Mathla’ Menurut Mazhab Syafi’i

Syafi‟i tentang qiyas, maka ia berkata: “Di kala keadaan darurat”. Artinya, bahwa ia menetapkan hukum berdasarkan qiyas apabila keadaan memaksa. 236 Imam Syafi‟i sangat mekankankan agar semua ulama Fiqh, semua penguasa dan semua hakim dapat menguasai dengan baik bahasa Arab. Sebab, hanya dengan itu mereka akan dapat memahami dengan benar nash-nash al- Qur‟an dan Sunah. 237 Imam Syafi‟i kemudian meringkas kaidah-kaidah ushul fiqh sebagai berikut: “Kami menetapkan ketentuan hukum berdasarkan kitabullah l- Qur‟andan Sunah yang ijma‟ nya tidak mengandung perbedaan pendapat. Mengenai itu kami mengatakan bahwa kami telah menetapkan ketentuan hukum atas dasar kebenaran lahir dan batin yang nyata dan tersembunyi. Kami menetapkan ketentuan hukum menurut Sunah yang diriwayatkan „an thariq al-infirad secara perorangan. Kami pun menetapkan ketentuan hukum berdasarkan ijma‟ dan qiyas perbandingan, namun qiyas lebih lemah daripada ijma‟. Akan tetapi, jalan qiyas baru dapat ditempuh dalam keadaan darurat, karena qiyas tidak boleh ditempuh selagi masih terdapat khabar hadi s.” 238 Pada tahun 195 H. datang ke Irak dan sekumpulan ulama belajar kepadanya. Disanalah ia mengajarkan kitab-kitabnya yang ditulisnya dalam mazhab Irak atau mazhab qadim. Kemudian pada tahun 198 H. Ia pergi ke Mesir. Disanalah tampak kelebihan-kelebihan Imam Syafi‟i mengenai pemikiran dan pendapatnya, maka ia mengajarkan kitab-kitabnya yang baru kepada murid- 236 Ibid 237 Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit., hlm. 428 238 Ibid., hlm. 433 muridnya di Mesir, atau disebut dengan mazhab jadid. Ia terus menetap di Mesir sampai ia wafat. 239 Demikianlah Imam Syafi‟i adalah pakar yurisprudensi Islam, salah seorang tokoh yang tidak kaku dalam pengambilan hukum dan tanggap terhadap keadaan lingkungan tempat beliau menentukan hukum, sehingga tidak segan-segan untuk mengubah penetapan yang semula telah ia lakukan untuk menggantikan dengan hukum yang baru, karena berubah keadaan lingkungan yang dihadapi. Qaul qadim sebagai hasil ijtihadnya yang pertama dan qaul jadid sebagai pembaharuan ijtihad sebelumnya. 240 Imam Syafi‟i kurang lebih selama 30 tahun ia menulis buku-buku tentang ilmu fiqh, dan diantara buku- bukunya yang sangat terkenal adalah ar-Risalah dan al- „Umm. 241 Imam Syafi‟i wafat Pada malam Jum‟at tanggal 28 Rajab tahun 204 H. dalam usia 54 tahun, ia wafat meninggalkan ilmu Fiqh yang nyaris meratai kaum Muslim di muka bumi. 242 Berdasarkan berbagai penjelasan di atas bahwa mazhab Syafi‟i merupakan sekumpulan pemikiran Imam Syafi‟i di bidang hukum-hukum syari‟at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci tafshil, kaidah-kaidah dan ushul, serta memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan sebagai satu kesatuan. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab Syafi‟i adalah ushul dan fiqhnya. Dapatlah dipahami pula bahwa Imam Syafi‟i mendasarkan mazhabnya pada al- Qur‟an, Hadis Rasul yang dianggap sahih, al- Ijma‟, dan al-Qiyas. Adapun murid- murid Imam Syafi‟i yang menyebarluaskan atau membesarkan mazhabnya adalah muridnya yang di Irak dan Mesir. Adapun murid- 239 Hudhari Bik, Op.Cit., hlm. 435-436 240 M. Ali Hasan, Op.Cit., hlm 213 241 Ibid 242 Ibid., hlm. 436 muridnya yang terdiri dari orang-orang Irak antara lain: Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin Yaman Al-Kilbi Al- Baghdadi, Ahmad bin Hanbal, Hasan bin Muhammad bin Shabah Az- Za‟farani Al-Baghdadi, Abu Ali Al- Husain bin Ali Al-Karabisi, dan Ahmad bin Yahya bin Abdul Aziz Al-Baghdadi. Sedangkan yang terdiri dari orang-orang Mesir antara lain: Yusuf bin Yahya Al- Buwaith Al-Misri, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al- Muzni Al- Misri, Rabi‟ bin Abdul Jabbar Al-Muradi, Harmalah bin Yahya bin Abdullah At-Tajibi, Yunus bin Abdul A‟la Ash Shadafi Al-Misri, dan Abu Bakar Muhammad bin Ahmad. 243 2. Mathla‟ Menurut Mazhab Syafi‟i Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa dalam menetapkan awal bulan Hijriah ditetapkan berdasarkan pada kebiasaan masyarakat memegang rukyatnya dari seorang yang adil walau identitas pribadinya tidak jelas, baik ketika langit dalam keadaan cerah atau tidak. Dengan syarat yang melihatnya termasuk orang yang adil, muslim, baligh, berakal, merdeka dan lelaki. Sebab Ibnu Umar pernah melihat hilal lalu menyampaikannya kepada Rasulullah saw. kemudian beliaupun menyambut beritanya dengan melakukan puasa dan memerintahkannya kepada masyarakat. 244 Mengenai mathla‟ menurut mazhab Syafi‟i. „Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqhu „Ala Madzhabil Arba‟ah menjelaskan bahwasannya apabila rukyatul hilal telah ditetapkan pada suatu wilayah, maka wilayah tersebut dan wilayah lain yang berdekatan dengan wilayah penetapan rukyatul hilal diwajibkan untuk berpuasa atas dasar penetapan hilal di wilayah tersebut. Dan wilayah yang dekat itu memiliki mathla‟ yang sama dengan wilayah ditetapkannya hilal, dengan 243 Hudhari Bik, Op.Cit., hlm. 437-443 244 Wahbah Al-zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 33 batasan jarak antara kurang lebih 24 farsakh. 245 Sedangkan wilayah yang jauh dari wilayah ditetapkannya rukyatul hilal tidak diwajibkan untuk berpuasa disebabkan adanya perbedaan mathla‟. 246 Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy- Syarbini Syafi‟iah dalam kitabnya Mughniyl Muhtaaj Matan Minhaaj Ath-Thalibin menjelaskan bahwasannya apabila hilal terlihat pada suatu negeri maka hukumnya hanya berlaku bagi negeri yang terdekat dari negeri terlihatnya hilal yaitu sejarak dibolehkannya qashar shalat masafah al-qasr. 247 Muhammad ibn Muhammad Abi Hamid al-ghazali Syafi‟iah dalam kitabnya Al-Wajiz fi Fiqhi Madzhab al-Imam Asy- Syafi‟i bahwa apabila telah terlihat hilal pada suatu tempat, maka tidak diharuskan untuk berpuasa bagi tempat lain. Ukuran jauh dan dekatnya tempat terlihatnya hilal dengan tempat-tempat lain dengan jarak boleh di qasharnya shalat masafah al- qasr. Dan apabila seseorang berpuasa dan melakukan perjalanan ke wilayah lain, kemudian setelah masuknya hari ke 30 ia belum melihat hilal, maka ia tetap berpuasa bersama penduduk di wilayah tersebut dengan hukum sesuai keadaan wilayah yang dikunjungi. Dan seandainya kita berpergian ke suatu wilayah yang belum terlihat hilal, maka lebih utama untuk untuk tetap berpuasa. Maka ia tetap mendapatkan pahala puasa. 248 Sayyid Sabiq dalam kitabnya fiqhu As- Sunnah menjelaskab bahwa pendapat yang dipilih oleh golongan 245 Satu farsakh kira-kira 5544 m, maka satu mathla‟ adalah 133,56 km. Lihat Ibid., hlm. 39 246 Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 550 247 Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy-Syarbini, Mughniyl Muhtaaj Matan Minhaaj Ath-Thalibin, Jilid I, Dar Al-Fikr, Beirut, hlm. 569-570 248 Muhammad Ibn Muhammad Abi Hamid Al-Ghazali, Al-Wajiz Fi Fiqhi Madzhab Al-Imam Asy- Syafi‟I, Dar Al-Fikr, Beirut, 2004, hlm. 84 Syafi‟i ialah setiap wilayah memiliki rukyat masing- masing. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Kuraib: 249 ٍرْ ُح ُنْب يِلَع اََ دَح : ٍرَفْعَ ُنْب ُ ْيِعاَْ ِإ اََ دَح : ُنْب ُدمَُُ اََ دَح َةَلَمْرَح َِِْأ : ٌ ْيَرُك ِ َرَ بْ َأ : ََِإ ُْتَثَعَ ب ِثِراَْْا َتِْب ِ ْ َفْلا مُأ نَأ ِماللاِب َةَيِواَعُم . َلاَق : َماللا ُتْمِدَقَ ف . اَهَ تَ اَح ُتْيَ َقَ ف . ِهُتْساَو ِماللاِب اَنَأَو َناَ َمَر ُل َ ِ يَلَع . ِةَعْمُْاا َةَلْ يَل َلَ ِْْا اَْ يَأَرَ ف . ُتْمِدَق َُُ ِرْهللا ِرِ َأ ِ َةَْ يِدَمْلا . ٍاابَع ُنْبا ِ َلَأَ َف . َلَ ِْْا َرَكَ ُُ . َلاَقَ ف : ِةَعُمُْاا َةَلْ يَل ُاَْ يَأَر ُتْلُقَ ف َلَ ِْْا ُمُتْ يَأَر َََم . َلاَقَ ف : َةَلْ يَل َُتْ يَأَر َتْنَأ اْوُماَصَو ُاا لا َُأَر ُتْلُقَ ف ِةَعُمُْاا . ُةَيِواَعُم َماَصَو . َلاَق : َةَلْ يَل َُْ يَأَر ْنِكَل ِتْب لا . ُاَرَ نْوَأ اًمْوَ ي َْ ِ َ َ َ ِمْكُن ََح ُمْوُصَن ُلاَ َ ن َ َف . َاَأ ُتْلُقَ ف َلاَق ِِماَيِصَو َةَيِواَعُم ِةَيؤُرِب يِفَتْكَت : َا . ىلَص ِها ُلْوُسَر اَنَرَمَأ اَذَكَ َملَسَو ِْيَلَع ُها . 250 ُ مل م اور َ Artinya: “ Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Ismail bin Ja‟far memberitahukan kepada kami, Muhammad bin Abu Harmalah memeberitahukan kepada kami, Kuraib memberitahukan kepadaku: “ Ummu al-Fadhl binti al-Harits mengutusnya untuk menghadap Mu‟awiyah di Syam. Ia berkata, “Aku sampai ke Syam, lantas menyelesaikan urusanku dan aku melihat hilal bulan sabit bulan Ramadhan telah terbit, sedangkan aku berada di Syam. Kami melihat bulan itu pada malam Jum‟at. Aku sampai di Madinah pada akhir bulan Ramadan dan Ibnu Abbas bertanya kepadaku, kemudian ia menyebutkan 249 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid I, Dar Al-Fath, Kairo, 1990, hlm. 307 250 Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Juz II, Maktabah Dahlan, Indonesia, hlm. 765, Hadits No 1087, Bab Puasa hilal tersebut, ia bertanya, „kapan kamu melihat bulan itu?‟ Aku menjawab,‟Kami melihatnya pada malam Jum‟at.‟ Ia bertanya lag i, „Apakah kamu melihatnya pada malam Jum‟at?‟ Aku katakana,‟Orang-orang melihatnya, kemudian mereka berpuasa dan Mu‟awiyah juga berpuasa‟. Kemudian ia berkata,‟Tetapi kamu melihatnya pada malam Sabtu, dan kami masih berpuasa hingga menyempurnakan tiga puluh hari atau sampai kami melihatnya‟. Aku lalu berkata.‟Apakah tidak cukup dengan melihat Mu‟awiyah dan puasanya?‟ Ia menjawab, „Tidak, Rasulullah saw. memerintahkan kami demikian‟.” 251 H.R. Muslim Imam Tirmidzi berpendapat bahwa hadis ini termasuk hadis hasan shahih gharib, dan hadis ini diamalkan menurut pendapat ahli Ilmu bahwasannya untuk setiap wilayah berlaku rukyat masing-masing. Dan dalam kitab Fathul „Alam, syarah Bulughul Maram menjelaskan bahwa keharusan mengikuti rukyat bagi wilayah yang lebih dekat dengan wilayah berhasilnya rukyat, berikut wilayah lain yang berada dalam satu garis bujur dengan wilayah itu. 252 Sedangkan Ibnu Rusyd menyatakan lahir hadis ini menghendaki bahwa tiap-tiap negeri itu mempunyai rukyat sendiri-sendiri, baik negeri atau wilayah itu saling berjauhan atau berdekatan. Sedangkan berdasarkan ilmiah harus dibedakan antara negeri atau wilayah yang jauh dengan yang dekat, 251 Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan Tirmidzi, Penerjemah, Ahmad Yuswaji, Shahih Sunan Tirmidzi Seleksi Hadits Shahih dari Kitab Sunan Tirmidzi, Cetakan Pertama, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005, hlm. 556-557 252 Sayyid Sabiq, 1990, Op.Cit., hlm. 307 khususnya bila terdapat perbedaan garis lintang dan meridiannya jauh sekali. 253 Hasan Ayub juga menerangkan dalam kitabnya fiqhul „ibadaat biadillatiha fil islam bahwa pendapat yang di pilih Syafi‟iah bahwa setiap penduduk suatu negara berhak melihat hilal sendiri. Karena setiap kelompok diperintahkan berdasarkan apa yang ada mereka dan bertanggung jawab di hadapan Allah swt. Berdasarkan hasil ijtihad mereka dalam rukyat, pendapat ini berpedoman kepada hadis Kuraib. 254 Wahbah Al-Zuhaily menyatakan bahwasannya Syafi‟iah menyamakan perbedaan antara mathla‟ bulan dan mathla‟ matahari dengan perbedaan waktu shalat. Sedangkan secara rasio al- Ma‟qul bahwa hukum Islam syara‟ menetapkan wajibnya puasa karena lahirnya bulan Ramadan. Padahal awal Ramadan sendiri tidak sama karena adanya perbedaan suatu negeri termasuk jaraknya. Hukum dalam memulai puasa sesuai keadaan negeri itu sendiri. 255

D. Mathla’ Menurut Mazhab Hanbali

1. Sejarah dan Pemikiran Imam Hanbali Imam Hambali nama lengkapnya ialah al-Imam Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal Addahili as- Syaibani al-Maruzi, ia dilahirkan di kota Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya bernama Muhammad as- Syaibani, sedangkan ibunya bernama Syarifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindun as-Syaibani wanita dari bangsa Syaibaniyah juga dari golongan terkemuka kaum bani Amir. 256 Ayahnya wafat di kala Imam Ahmad ibn Hanbal masih kanak-kanak. 257 253 Ibnu Rusyd, Bidayatu ‟l-Mujtahid, Alih Bahasa, M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Tarjamah Bidayatu „l-Mujtahid, Cetakan Pertama, CV. Asy-Syifa, Semarang, 1990, hlm. 598 254 Hasan ayub, Loc.Cit. 255 Wahbah Al-zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 40 256 M. Ali Hasan, Op.Cit., hlm. 221-222 257 Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit.,hlm. 449 Imam Ahmad ibn Hanbal sejak kecil sudah dapat menghafal al- Qur‟an, sudah biasa mempelajari dan memikirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat didalamnya. Bahkan sejak kecil, ia pun sudah belajar dan mempelajari ilmu hadis. 258 Pada usia 15 tahun Imam Ahmad ibn Hanbal mulai giat mempelajari ilmu hadis. Selama 7 tahun ia mempelajari hadis-hadis pada guru-gurunya di Baghdad. Untuk lebih memperkaya ilmu penegetahuannya tentang hadis, pada usia 18 tahun ia berangkat ke Bashrah, dan berguru pada ulama hadis di kota itu. Namun setelah satu satu tahun di Bashrah. Ia pergi ke Hijaz. Disana ia bertemu dengan Imam Syafi‟i dan berguru padanya. 259 Imam Ahmad ibn Hanbal juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir. Di antara gurunya yang lain adalah Yusuf al-Hasan bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Human dan Ibn Abbas. Imam Ahmad ibn Hanbal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadis, dan ia tidak mengambil hadis kecuali hadis-hadis yang sudah jelas sahihnya. Oleh karena itu, akhirnya ia berhasil mengarang kitab hadis, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hanbali. 260 Dalam hal menggali atau menarik kesimpulan hukum syari‟at serta dalam menetapkan fatwa-fatwanya. Imam Ahmad ibn Hanbal bersandar pada al- Qur‟an, Sunah Rasul, pernyataan para sahabat Nabi, serta hadis-hadis mereka, barulah ia menempuh qiyas apabila dalam keadaan darurat. Dan Imam Ahmad berbeda dari pendahulunya, ia lebih mengutamakan hadits dha‟if dari pada qiyas. Selagi ia memandang hadis itu benar dan ia yakin bahwa hadis itu tidak maudhu‟. 261 Metode qiyas Imam Ahmad ibn Hanbal lebih luas dari pada metode qiyas yang ditempuh oleh para Imam 258 Ibid., hlm. 447 259 Ibid., hlm. 452 260 Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. xxxi 261 Ibid., hlm. 488-489 ahli Fiqh lainnya. Dalam metode qiyas nya ia tidak hanya melihat pada kesamaan atau kemiripan „illat saja, melainkan lebih jauh lagi, yaitu melihat pada hikmah yang terkandung dalam kasus pemecahan hukum. Sebab „illat suatu ketentuan hukum adalah sebabnya, sedangkan hikmah yang terkandung dalam pemecahan hukum adalah tujuannya. Yaitu kemaslahatan yang hendak diwujudkan dan kemudharatan yang hendak dihindarkan. 262 Selain itu ia juga mengindahkan prinsip istihsan, 263 yaitu menetapkan hukum mengenai suatu kasus dengan ketetapan hukum yang berlainan dengan hukum yang ditetapkan pada kasus yang serupa, atas dasar pertimbangan kemaslahatan agama dan umat. Lain halnya dengan Imam Syafi‟i yang mengatakan bahwa istihsan adalah taladzdzudz istihsan adalah suatu kenyamanan. 264 Kemudian ia juga tidak mengabaikan prinsip istihsab, yaitu tidak mengabaikan kenyataan. Apa yang berlaku di masa lalu, tetap berlaku di masa kini dan mendatang, selama tidak ada dalil alasan yang nyata dan kongkrit untuk dapat mengubahnya. Imam Ahmad ibn Hanbal juga berpegang pada prinsip dzari‟ah, yaitu cara, jalan, atau sarana yang mengakibatkan terjadinya suatu perbuatan. Dalam hal itu, ia memperluas pengertiannya. Bahwa cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan hukumnya sama dengan hukum tujuannya. Yakni apabila cara, jalan atau sarana yang mengakibatkan hal-hal yang haram. Maka hukumnya adalah haram, dan juga sebaliknya. 265 262 Ibid., hlm. 490 263 Menurut istilah ulama Ushul Fiqh, Istihsan ialah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas „illat nya untuk mengamalkan qiyas yang samar „illat nya, atau meninggalkan hukum yang bersifat umum dan perpegang kepada hukum yang bersifat pengecualian karena ada dalil yang memperkuatnya. Lihat M. Ali Hasan, Op.Cit., hlm. 190 264 Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit., hlm. 491 265 Ibid