Mathla’ Menurut Mazhab Hanbali
ahli Fiqh lainnya. Dalam metode qiyas nya ia tidak hanya melihat pada kesamaan atau kemiripan
„illat saja, melainkan lebih jauh lagi, yaitu melihat pada hikmah
yang terkandung dalam kasus pemecahan hukum. Sebab „illat suatu ketentuan hukum adalah sebabnya,
sedangkan hikmah yang terkandung dalam pemecahan hukum adalah tujuannya. Yaitu kemaslahatan yang
hendak diwujudkan dan kemudharatan yang hendak dihindarkan.
262
Selain itu ia juga mengindahkan prinsip istihsan,
263
yaitu menetapkan hukum mengenai suatu kasus dengan ketetapan hukum yang berlainan dengan
hukum yang ditetapkan pada kasus yang serupa, atas dasar pertimbangan kemaslahatan agama dan umat. Lain
halnya dengan Imam Syafi‟i yang mengatakan bahwa istihsan adalah taladzdzudz istihsan adalah suatu
kenyamanan.
264
Kemudian ia juga tidak mengabaikan prinsip istihsab, yaitu tidak mengabaikan kenyataan. Apa yang
berlaku di masa lalu, tetap berlaku di masa kini dan mendatang, selama tidak ada dalil alasan yang nyata dan
kongkrit untuk dapat mengubahnya. Imam Ahmad ibn Hanbal juga berpegang pada prinsip
dzari‟ah, yaitu cara, jalan, atau sarana yang mengakibatkan terjadinya suatu
perbuatan. Dalam hal itu, ia memperluas pengertiannya. Bahwa cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan
hukumnya sama dengan hukum tujuannya. Yakni apabila cara, jalan atau sarana yang mengakibatkan hal-hal yang
haram. Maka hukumnya adalah haram, dan juga sebaliknya.
265
262
Ibid., hlm. 490
263
Menurut istilah ulama Ushul Fiqh, Istihsan ialah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas
„illat nya untuk mengamalkan qiyas yang samar „illat nya, atau meninggalkan hukum yang bersifat umum dan perpegang
kepada hukum yang bersifat pengecualian karena ada dalil yang memperkuatnya. Lihat M. Ali Hasan, Op.Cit., hlm. 190
264
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit., hlm. 491
265
Ibid
Pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal sangat dipengaruhi oleh pemikiran gurunya yaitu Imam Syafi‟i,
dikemudian hari setelah Imam Ahmad ibn Hanbal menjadi seorang imam besar, ia berkat
a, “jika saya ditanya mengenai masalah yang saya tidak mengetahui
hadisnya, saya akan menjawab menurut pendapat asy- Syafi‟i.”
266
Dalam usia 77 tahun ia masih terus melanjutkan kegiatan mengajar, yang dalam usia setua itu, ia
menderita sakit, makin hari makin keras. Pada masa hidupnya, ia merupakan ahli Fiqh satu-satunya. Tak lama
kemudian ia wafat.
267
Imam Ahmad ibn Hanbal wafat pada hari Ju
m‟at tanggal 12 bulan Rabi‟ul Awal tahun 241 H. jenazahnya dan di makamkan di Baghdad setelah
shalat Jum‟at.
268
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas bahwa mazhab Hanbali merupakan sekumpulan pemikiran
Imam Ahmad bin Hanbal di bidang hukum-hukum syari‟at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil
secara terperinci tafshil, kaidah-kaidah dan ushul, serta memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu
dijadikan sebagai satu kesatuan. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab Hanbali adalah
ushul dan fiqhnya. Dapatlah dipahami pula bahwa Imam Ahmad bin Hanbal mendasarkan mazhabnya pada al-
Qur‟an, Hadis Rasul yang dianggap sahih, al-Ijma‟, dan al-Qiyas, Istihsan, Istihsab, dan
Dzari‟ah. Adapun
sebagian orang
yang terkenal
menyebarluaskan atau membesarkan mazhabnya adalah Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani‟ yang
terkenal dengan Atsram, Ahmad bin Muhammad bin Hajaj Al-Marwazi, dan Ishak bin Ibrahim yang terkenal
dengan Ibnu Rahawaih Al- Marwazi.
269
266
Ibid., hlm. 470
267
Ibid., hlm 550
268
Ahmad Asy-Syurbasi, Op.Cit., hlm. 257
269
Hudhari Bik, Op.Cit.,hlm. 444-445
2. Mathla‟ Menurut Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali
berpendapat bahwa
dalam menetapkan awal bulan Hijriah dapat ditetapkan
berdasarkan oleh seorang mukallaf, adil dalam prilaku dan jiwanya, lelaki, perempuan atau budak belian. Dan
tidak memadai keberhasilan rukyat seorang yang adil apabila ada penghalang, dan mensyaratkan keberhasilan
rukyat dua orang yang adil pada rukyat awal Syawal untuk penentuan Idul Fitri.
270
Mengenai mathla‟ menurut mazhab Hanbali
„Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqhu „Ala Madzhabil Arba‟ah menjelaskan bahwasannya apabila
telah ditetapkannya rukyatul hilal pada suatu wilayah. Maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan
tidak adanya perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh dari wilayah ditetapkannya rukyatul hilal.
Apabila telah sampai kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah. Maka, seluruh penduduk di muka bumi
diwajibkan untuk berpuasa. Dan tidak menjadi pertimbangan dengan adanya perbedaan
mathla‟ hilal secara mutlak.
271
Dijelaskan juga oleh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwasannya
pendapat jumhur ulama Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa rukyat di suatu negeri berlaku untuk
seluruh kaum muslimin di negeri-negeri lain yang dekat maupun jauh. Maka, seluruh orang wajib berpuasa
termasuk bagi yang melihatnya.
272
Ibnu Qudamah Hanabilah dalam kitabnya Al- Mughni bahwasannya umat Muslim sepakat atas
wajibnya berpuasa di bulan Ramadan yang apabila telah ditetapkannya rukyatul hilal pada hari tersebut dari
bulan Ramadan, berdasarkan kesaksian orang-orang
270
Wahbah Al-zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 34-36
271
Abdurrahman Al-Jaziri, Loc.Cit.
272
Wahbah al-Zuhaili, 1996, Loc.Cit.
yang terpercaya. Maka diwajibkan berpuasa Ramadan bagi seluruh Muslim.
273
Hasan Ayub juga menerangkan dalam kitabnya fiqhul „ibadaat biadillatiha fil islam bahwa mayoritas
ulama Hanabilah menetapkan perbedaan mathla‟ tidak
berpengaruh, yaitu bila penduduk suatu negara melihat hilal Ramadan, seluruh negara Islam wajib berpuasa
bersamaan dengan penduduk yang melihat hilal. berdasarkan keumuman hadis Rasulullah saw. tentang
hisab rukyat, yaitu dengan argumentasi bahwa lafadz
ِتَيْؤُرِل اْوُرِطْفَاَو ِِتَيْؤُرِل اْوُمْوُص ”berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu
karena melihat hilal”
274
Khitab sasaran yang dituju adalah seluruh ummat, apabila
salah seorang mereka menyaksikan hilal pada tempat manapun, itu berarti rukyat bagi mereka semua.
275
Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas daerah
kekuasaan.
276
Sedangkan Wahbah Al-Zuhaily menyatakan bahwa hadis di atas menunjukkan wajibnya berpuasa bagi
seluruh kaum muslimin berkenaan erat dengan rukyat yang tidak terikat mutlak. Oleh sebab itu, rukyat dapat
diterima atau terpenuhi baik dari orang banyak jama‟ah
maupun dari seseorang yang kesaksiannya diterima.
277
273
Abi Muhammad „Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Al-Mughni Fi Fiqhi Al-Imam Ahmad Ibn Hanal Asy-Syaibani, Juz III, Dar Al-Fikr, Beirut,
hlm. 5
274
Hasan Ayub, Loc.Cit.
275
Sayyid sabiq, 1978, Op.Cit., hlm 172
276
Ahmad Izzuddin, Op.Cit., hlm. 86
277
Wahbah Al-Zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 41
BAB IV
PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG MATHLA’
DALAM PERSPEKTIF ASTRONOMI