Mathla’ Menurut Mazhab Maliki
Metode yang ditempuh Imam Malik dalam menetapkan ketentuan hukum fiqh yang tidak terdapat
nashnya didalam al- Qur‟an dan Sunah, memang sedikit
berlainan dengan metode yang di tempuh oleh para imam ahli Fiqh lainnya. Ia lebih mengutamakan
ijma‟ para sahabat Nabi saw. dari pada qiyas. Bila belum juga
dapat memecahkan suatu kasus, ia melihat apa yang diamalkan oleh kaum Muslim penduduk Madinah,
karena mereka itulah yang paling banyak menerima dan mendengar hadis-hadis. Jika belum terpecahkan barulah
ia malakukan qiyas. Akan tetapi, jka hasil qiyas itu ternyata bertentangan dengan kemaslahatan umum,
baginya lebih baik menetapkan keputusan hukumnya atas dasar prinsip kemaslahatan umum. Menurutnya
itulah yang terbaik. Jika masih tidak ditemukan pemecahan hukumnya, maka kasus tersebut dipecahkan
berdasarkan tradisi dan adat kebiasaan masyarakat. Dengan syarat adat kebiasaan itu tidak bertentangan
dengan syara‟.
207
Setelah Imam Malik wafat, fiqhnya tumbuh dan berkembang diikuti dan diperkaya oleh banyak ahli
Pikir, para Mujtahid, dan para ahli Fiqh. Di antara mereka adalah seorang filosof ternama dari Andalus Ibn
ar-Rusyd. Namun, sebagian dari para ahli Fiqh yang hidup sezaman dengannya menantang keras dan
menyalahinya. Bahkan beberapa orang dari sahabat- sahabat serta murid-muridnya mengkritiknya, seperti Al-
Layts ibn Sa‟ad ahli Fiqh dari Mesir dan asy-Syafi‟i.
208
Berdasarkan pendapat yang masyhur ia wafat di Madinah, yaitu pada tanggal 14 bulan Rabi‟ul Awwal
tahun 179 H. dan di makamkan di tanah perkuburan Al- Baqi‟.
209
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas bahwa mazhab Maliki merupakan sekumpulan pemikiran Imam
207
Ibid., hlm. 270
208
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit.,hlm. 304
209
Ahmad Asy-Syurbasi, Op.Cit.,hlm. 138
Malik di bidang hukum- hukum syari‟at yang digali
dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci tafshil, kaidah-kaidah dan ushul, serta memiliki
keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan sebagai satu kesatuan. Dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan mazhab Maliki adalah ushul dan fiqhnya. Dapatlah dipahami pula bahwa Imam Malik
mendasarkan mazhabnya pada al-
Qur‟an, Hadis Rasul yang dianggap sahih,
‟Amal Ahlul Madinah, al-Qiyas dan al-Maslahah al-Mursalah.
Adapun sebagian besar orang yang datang kepada Imam Malik adalah orang-orang Mesir dan Maghribi
dari Afrika dan Andalusia, merekalah orang-orang yang menyebarluaskan mazhab Maliki diseluruh Afrika Utara
dan Andalusia. Kemudian mazhab itu muncul di Basrah, Baghdad, dan Khurasan, dengan perantaraan ulama.
210
Adapun orang-orang Mesir yang menyebarluaskan mazhab Maliki di antaranya Abu Abdillah bin Wahab
bin Muslim Al-Quraisy, Abu Abdillah Abdur Rahman bin Qasim Al-Itqi, Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qaisi Al-
Amiri Al- Ja‟di, Abu Abdullah bin Hakam bin A‟yun bin
Laits, Ashbagh bin Faraj Al-Umawi, Muhammad bin Abdullahbin Abdul Hakam, Muhammad bin Ibrahim bin
Ziyad Al-Iskandari. Sedangkan penduduk Afrika dan Andalusia
diantaranya Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman Al-Qurthubi, Isa bin Dinar Al-Andalusi, Yahya
bin Yahya Katsir Al-Laits, Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As Salmi, Abdul Hasan Ali bin Ziyad At-
Tunisi, Asad bin Furat, Abdus Salam bin Sa‟id At Tanukhi.
211
Mereka itulah tokoh-tokoh yang menyiarkan mazhab Maliki di negeri-negeri bagian barat. Adapun di negeri
bagian timur tidak ada orang yang melihat dan belajar fiqh pada Imam Malik, akan tetapi di negeri bagian timur
terdapat orang-orang yang tidak melihat dan belajar
210
Hudhari Bik, Op.Cit.,hlm. 423
211
Ibid., hlm 423-430
kepada Imam Malik namun pandai tentang mazhab Maliki, yaitu
Ahmad bin Mu‟dzil bin Ghailan Al-abdi dan Abu Ishak Isma‟il bin Isma‟il bin Hammad bin
Zaid.
212
Demikianlah tokoh-tokoh yang mengajarkan dan menyebarluaskan mazhab Maliki, hubungan mereka
kepada Imam Malik adalah hubungan murid kepada gurunya dan hubungan perawi dengan orang yang
beristinbath. Apabila di kalangan mereka terdapat perbedaan pendapat itu hanya disebabkan berbedanya
riwayat dari Imam Malik atau perbedaan pendapat dalam memahami nash-nash yang diriwayatkan dari Imam
Malik.
213
2. Mathla‟ Menurut Mazhab Maliki
Mazhab Maliki
berpendapat bahwa
dalam menetapkan awal bulan Hijriah khususnya awal
Ramadan dan Syawal dapat ditempuh dengan tiga cara yaitu. Pertama, rukyat dari kelompok terbesar walau
mereka tidak tergolong orang yang adil, yakni terjamin tidak akan berbuat dusta menurut kebiasaan, juga tidak
membedakan jenis kelamin, merdeka atau adilnya. Kedua, rukyat dari dua orang adil atau lebih, baik
keadaan langit beraawan atau cerah.
214
Ketiga, mencukupi keberhasilan rukyat satu orang yang adil
pada kondisi hilal tidak terdapat keraguan untuk dapat terlihat.
215
Dan mensyaratkan keberhasilan rukyat dua orang yang adil pada rukyat awal Syawal.
216
Serta dalam kesaksian keberhasilan rukyat perempuan tidak dapat
diterima menurut kalangan Malikiah
217
212
Ibid., hlm 430-431
213
Ibid., hlm 432
214
Wahbah Al-zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm.32
215
Jayusman, “Kajian Ilmu Falak Perbedaan Penentuan Awal Bulan Kamariah: Antara Khilafiah dan Sains” Al-Maslahah Jurnal Ilmu Syari‟ah,
Vol. 11, No. 1, edisi April 2015, hlm. 17
216
Ibid
217
Ibid
Mengenai mathla‟ menurut mazhab Maliki sama
seperti halnya Mazhab Hanafi. „Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Al-
Fiqhu „Ala Madzhabil Arba‟ah menjelakan bahwasannya apabila telah ditetapkannya
rukyatul hilal pada suatu wilayah. Maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan tidak adanya
perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh dari wilayah ditetapkannya rukyatul hilal. Apabila telah
sampai kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah. Maka, seluruh penduduk di muka bumi diwajibkan untuk
berpuasa. Dan tidak menjadi pertimbangan dengan adanya perbedaan
mathla‟ hilal secara mutlak.
218
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan dalam kitabnya al- Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwasannya Mazhab
Maliki mereka berpendapat bahwa rukyat di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum Muslim di negeri-negeri
lain. Sehingga perbedaan mathla‟ tidak memiliki
pengaruh apapun terhadap penentuan masuknya bulan baru Hijriah. Dan tanpa perlu mempertimbangkan jarak
qashar shalat
masafah al-qasr.
Puasa wajib
dilaksanakan oleh setiap orang yang mendengar kabar rukyat jika dilaksanakan oleh dua orang adil atau oleh
jama‟ah yang menyebarluaskan beritanya.
219
Mengenai mathla‟ menurut mazhab Maliki juga
dapat dilihat dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karangan seorang filosof ternama
dari Andalus Ibn ar-Rusyd Malikiyah yang mengikuti dan memperkaya fiqh nya Imam Malik.
220
Bahwasannya Ibnul
Qasim meriwayatkan
dari Imam
Malik bahwasannya apabila di suatu wilayah orang-orang
belum berpuasa, kemudian ada berita bahwa di wilayah lain orang-orang sudah berpuasa karena melihat hilal,
218
Abdurrahman Al-Jaziri, Loc.Cit.
219
Wahbah al-Zuhaili, 1996, Loc.Cit
220
Ahmad Asy-Syurbasi, Op.Cit.,hlm. 138
mereka yang tidak berpuasa itu wajib mengqadha puasanya untuk hari tersebut.
221
Mathla‟ menurut mazhab Maliki juga dapat dilihat dalam kitab Hasyiyah Ad-
Dasuqi „Alas Syarhil Kabir Bahwasannya rukyat di suatu negeri berlaku untuk
seluruh kaum muslimin di negeri-negeri lain. Baik negeri yang dekat ataupun negeri yang jauh dari negeri
berhasilnya rukyat. Sehingga perbedaan mathla‟ tidak
memiliki pengaruh
apapun terhadap
penentuan masuknya bulan baru Hijriah. Dan tanpa perlu
mempertimbangkan jarak qashar shalat masafah al- qasr.
222
Hasan Ayub juga menerangkan dalam kitabnya fiqhul „ibadaat biadillatiha fil islam bahwa mayoritas
fuqaha Malik menetapkan perbedaan mathla‟ tidak
berpengaruh, yaitu bila penduduk suatu negara melihat hilal Ramadan, seluruh negara Islam wajib berpuasa
bersamaan dengan penduduk yang melihat hilal. berdasarkan keumuman hadis Rasulullah saw. tentang
hisab rukyat, yaitu dengan argumentasi bahwa lafadz
ِتَيْؤُرِل اْوُرِطْفَاَو ِِتَيْؤُرِل اْوُمْوُص ”berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah
kamu karena melihat hilal”.
223
Khitab sasaran yang dituju adalah seluruh umat
Islam di dunia, maka apabila salah seorang mereka menyaksikan
hilal pada tempat manapun, itu berarti rukyat bagi mereka semua.
224
Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan.
225
Wahbah Al-Zuhaily
menyatakan bahwasannya
hadis ini
menunjukkan bahwa wajibnya berpuasa bagi seluruh kaum muslimin berkenaan erat dengan rukyat yang tidak
221
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Alih Bahasa, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Analisa Fiqih Para
Mujtahid, Cetakan Pertama, Pustaka Amani, Jakarta, 2002, hlm. 644
222
Hasyiyah Ad- Dasuqi „Alas Syarhil Kabir, Makatabah Syamilah, hlm.
2051
223
Hasan Ayub, Loc.Cit.
224
Sayyid sabiq, 1978, Op.Cit., hlm 172
225
Ahmad Izzuddin, Op.Cit., hlm. 86
terikat mutlak. Oleh sebab itu, rukyat dapat diterima atau terpenuhi baik dari orang banyak
jama‟ah maupun dari seseorang yang kesaksiannya diterima.
226