Konsep Mathla’ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah

terpecah-pecah. Perbedaan mathla‟ bagi beliau lebih banyak disebabkan karena sengketa politik. 134 Kajian Hasbi ash-Shiddieqy, T.M. tentang mathla‟ global terlihat bahwa dalam hadis-hadis tentang memulai puasa, beliau menafsirkan lafaz اْوُمْوُصَتَا dan اْوُرِطْفُ تَا khitabnya ditujukan kepada kaum Muslim secara keseluruhan. Permulaan dan berakhirnya puasa didasarkan pada kenampakan hilal pada salah satu tempat di muka Bumi. 135 Sedangkan mathla‟ approach parsial merupakan batas geografis keberlakuan rukyat dengan menggunakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa kesatuan umat Islam bukan hanya berdasarkan sama di dalam menetapkan awal bulan Hijriah untuk seluruh permukaan planet bumi, melainkan bisa diwujudkan dengan adanya rasa saling menghargai di antara umat Islam. Maksudnya bila ada orang yang berhasil melihat hilal pada suatu wilayah, maka hasil rukyatnya itu hanya berlaku untuk wilayah ditetapkannya rukyat hilal dan juga wilayah yang berdekatan. 136 Pemahaman mengenai mathla‟ approach parsial yaitu dengan mendasarkan argumentasinya pada hadis yang diriwayatkan oleh Kuraib: 137 ٍرْ ُح ُنْب يِلَع اََ دَح : ٍرَفْعَ ُنْب ُ ْيِعاَْ ِإ اََ دَح : ُنْب ُدمَُُ اََ دَح َةَلَمْرَح َِِْأ : ٌ ْيَرُك ِ َرَ بْ َأ : ََِإ ُْتَثَعَ ب ِثِراَْْا َتِْب ِ ْ َفْلا مُأ نَأ ِماللاِب َةَيِواَعُم . َلاَق : َماللا ُتْمِدَقَ ف . اَهَ تَ اَح ُتْيَ َقَ ف . ِهُتْساَو ِماللاِب اَنَأَو َناَ َمَر ُل َ ِ يَلَع . ِةَعْمُْاا َةَلْ يَل َلَ ِْْا اَْ يَأَرَ ف . ُتْمِدَق َُُ 134 Susiknan Azhari, 2008, Op.Cit., hlm. 75-76 135 Mukhlis Makruf, Pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqi dalam Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan, Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Ekonomi Islam Universitas IslamNegeri Walisongo, Semarang, 2013, Diakses dari http:www.distrodoc.comthesisHasbi+ash+Shiddieqi , Pada tanggal 19 Maret 2017. Pukul 08:07 WIB 136 Ibid 137 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid I, Dar Al-Fath, Kairo, 1990, hlm. 307 ِرْهللا ِرِ َأ ِ َةَْ يِدَمْلا . ٍاابَع ُنْبا ِ َلَأَ َف . َلَ ِْْا َرَكَ ُُ . َلاَقَ ف : ِةَعُمُْاا َةَلْ يَل ُاَْ يَأَر ُتْلُقَ ف َلَ ِْْا ُمُتْ يَأَر َََم . َلاَقَ ف : َةَلْ يَل َُتْ يَأَر َتْنَأ اْوُماَصَو ُاا لا َُأَر ُتْلُقَ ف ِةَعُمُْاا . ُةَيِواَعُم َماَصَو . َلاَق : َُْ يَأَر ْنِكَل ِتْب لا َةَلْ يَل . ُاَرَ نْوَأ اًمْوَ ي َْ ِ َ َ َ ِمْكُن ََح ُمْوُصَن ُلاَ َ ن َ َف . ُتْلُقَ ف َلاَق ِِماَيِصَو َةَيِواَعُم ِةَيؤُرِب يِفَتْكَت َاَأ : َا . ِها ُلْوُسَر اَنَرَمَأ اَذَكَ َملَسَو ِْيَلَع ُها ىلَص . 138 ُ مل م اور َ Artinya: “ Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Ismail bin Ja‟far memberitahukan kepada kami, Muhammad bin Abu Harmalah memeberitahukan kepada kami, Kuraib memberitahukan kepadaku: “ Ummu al-Fadhl binti al-Harits mengutusnya untuk menghadap Mu‟awiyah di Syam. Ia berkata, “Aku sampai ke Syam, lantas menyelesaikan urusanku dan aku melihat hilal bulan sabit bulan Ramadhan telah terbit, sedangkan aku berada di Syam. Kami melihat bulan itu pada malam Jum‟at. Aku sampai di Madinah pada akhir bulan Ramadhan dan Ibnu Abbas bertanya kepadaku, kemudian ia menyebutkan hilal tersebut, ia bertanya, „kapan kamu melihat bulan itu?‟ Aku menjawab,‟Kami melihatnya pada malam Jum‟at.‟ Ia bertanya lagi, „Apakah kamu melihatnya pada malam Jum‟at?‟ Aku katakana,‟Orang-orang melihatnya, kemudian mereka berpuasa dan Mu‟awiyah juga berpuasa‟. Kemudian ia berkata,‟Tetapi kamu melihatnya pada malam Sabtu, dan kami masih berpuasa hingga menyempurnakan tiga puluh hari atau sampai kami melihatnya‟. Aku lalu berkata.‟Apakah tidak cukup dengan melihat 138 Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Juz II, Maktabah Dahlan, Indonesia, hlm. 765, Hadits No 1087, Bab Puasa Mu‟awiyah dan puasanya?‟ Ia menjawab, „Tidak, Rasulullah saw. memerintahkan kami demikian‟.” 139 H.R. Muslim Imam Tirmidzi berpendapat bahwa hadis ini termasuk hadis hasan shahih gharib, dan hadis ini diamalkan menurut pendapat ahli Ilmu bahwasannya untuk setiap wilayah berlaku rukyat masing-masing. Dan dalam kitab Fathul „Alam, syarah Bulughul Maram menjelaskan bahwa keharusan mengikuti rukyat bagi wilayah yang lebih dekat dengan wilayah berhasilnya rukyat, berikut wilayah lain yang berada dalam satu garis bujur dengan wilayah itu. 140 Tidak pernah terjadi bahwa seluruh permukaan Bumi ini berada pada hari yang sama. Bila di kota Mekah 39◦ 50‟ Bujur Timur sekarang pukul 16.00. sore kamis sore misalnya, maka di suatu tempat yang terleta k pada 129◦ 50‟ Bujur Timur sekarang pukul 21.00 malam Jum‟at menurut kalender Hijriyah disebut sudah hari jum‟at. Jadi di kota Mekah yang terletak pada 39◦ 50‟ Bujur Timur masih hari kamis sedangkan di tempat yang terletak pada 129◦ 50‟ Bujur Timur sudah hari jum‟at. 141 Berdasarkan kejadian di atas, pendukung mathla‟ approach parsial berpendapat bahwa tanggal awal bulan Hijriah tidak harus jatuh pada hari yang sama untuk seluruh permukaan planet bumi. Berdasarkan pertimbangan ini muncullah pikiran mathla‟ lokal.Yaitu, apabila hilal berhasil di rukyat pada suatu kota pada saat Matahari terbenam maka sejak Matahari terbenam hari itu sudah dinyatakan tanggal satu bulan baru bagi penduduk kota tersebut dan juga wilayah yang berdekatan. 142 139 Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan Tirmidzi, Penerjemah, Ahmad Yuswaji, Shahih Sunan Tirmidzi Seleksi Hadits Shahih dari Kitab Sunan Tirmidzi, Cetakan Pertama, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005, hlm. 556-557 140 Sayyid Sabiq, 1990, Op.Cit., hlm. 307 141 Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 58 142 Ibid., hlm. 59 Pendapat mathla‟ lokal ini dipandang bersifat ilmiah karena sejalan dengan ilmu astronomi. Akan tetapi bila diterapkan secara konsekwen akan menimbulkan banyak masalah. Misalnya sebuah kota terbelah dua, bagian sebelah Barat sudah berhari raya sedangkan sebelah Timur belum. Dalam menetapkan garis zone time atau waktu daerah, garis itu dibelok-belokkan sehingga tidak membelah sebuah kota, untuk menghindarkan kesulitan seperti digambarkan di atas, dengan pertimbangan di atas maka banyak pendukung mathla‟ approach parsial di dalam mengartikan mathla‟ lokal sebagai mathla‟ dalam kesatuan negara atau mathla‟ fi wilayatul hukmi. 143 Adapun mathla‟ wilayatul hukmi merupakan batas geografis keberlakuan rukyat dengan menjadikan batasan negara secara politik sebagai batasan dalam keberlakuan rukyat atau yang lebih dikenal dengan kesatuan dalam wilayah hukum. Misalnya Indonesia, konsekuensinya apabila hilal terlihat dimanapun di wilayah Indonesia, dianggap berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Penduduk melaksanakan puasa dan berhari raya secara serentak berdasarkan ketetapan pemerintah. 144 Pemahaman mengenai mathla‟ wilayatul hukmi yaitu dengan argumentasi bahwa apabila suatu daerah dipimpin oleh satu kepala negara, walaupun berjauhan, apabila kepala negara telah mengumumkan dimulainya puasa dengan rukyat yang telah dilakukan di suatu daerah kekuasaannya maka seluruh umat Islam di negara tersebut wajib mengikuti penetapan pemerintah. Hal ini menurut mereka sejalan dengan kaidah fiqh yaitu “ َ َ ِ ْلا ُ َ ْرَ َ ٌااَ ْلِ ِ ِا َ ْلا ُ ْ ُ ” keputusan pemerintah bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaankontroversi. 145 Wahbah al Zuhaily menjelaskan mengenai batasan jarak mathla‟ bahwa satu mathla‟ setara dengan 24 farsakh. Jika 1 143 Ibid 144 Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyat telaah syari‟ah, sains dan teknologi, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 19 145 Susiknan Azhari, 2008, Loc.Cit farsakh 5544 m, maka jarak 1 mathla‟ tersebut adalah 24 × 5544 = 133,056 km. Akan tetapi, jika 1 farsakh adalah 3 mil, maka jarak 1 mathla‟ tersebut menjadi 1,6093 km × 3 × 24 = 115,8696 km. Dengan munculnya konsep negara bangsa nation state di masa ini, maka jarak tersebut dapat memunculkan berbagai masalah. Jika jarak keberlakuan hasil rukyat diberlakukan sejauh mathla‟, sebagaimana penjelasan di atas, maka sebuah negara yang memilki wilayah yang luas seperti Indonesia akan memiliki beberapa mathla‟. Untuk itu Indonesia menganut konsep mathla‟ wilayatul hukmi 146 Terlepas dari berbagai perbedaan ijtihad tentang masalah mathla‟ dan juga di dalam menafsirkan hadis-hadis tentang penentuan awal bulan Hijriah atau hadis tentang hisab rukyat. Maka mathla‟ ini perlu diketahui secara astronomi. Farid Ruskanda 147 mengenai pemikirannya terhadap mathla‟ dapat dilihat berdasarkan pendapatnya yang menyatakan bahwa tidak seharusnya penetapan awal bulan Hijriah jatuh secara bersamaan di seluruh dunia, disebabkan dalam sistem penanggalan Hijriah terdapat garis batas tanggal internasional yang dinamakan garis tanggal Islam internasional The International Islamic Date Line. 148 Garis 146 Ibid. Lihat juga Wahbah Al-zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 39 147 Faris Ruskanda adalah salah seorang penggagas teleskop rukyat, dilahirkan di Bandung, 28 Maret 1948. S1 Teknik Fisika ITB diselesaikannya tahun 1974, S2 dituntaskan di Reading Univesity Inggris pada 1978. Pada 1988 ia mencapai gelar doktor dalam bidang ilmu Pengetahuan Teknik pada ITB. Ia aktif menulis tentang Hisab Rukyat di berbagai media. Diakses pada http:syakirman.blogspot.co.id201101tokoh-tokoh-ilmu-falak-di-pulau- jawa.html pada Rabu, 16-11-2016 Pukul 11:30 WIB. 148 Garis ini diperkenalkan pertama kali oleh Mohammad Ilyas pada tahun 1978. Pada umumnya ILDL berbentuk lingkaran parabola dan terkadang menyerupai garis lurus separuh parabola. ILDL memisahkan dua kawasan Bumi, yaitu kawasan sebelah Barat garis yang merupakan kawasan dapat melihat hilal awal bulan dan kawasan sebelah Timur garis yang merupakan kawasan tidak bisa melihat hilal awal bulan. Garis ini apabila membelah suatu negara dapat ditarik ke arah Timur dengan batas Timur Negara yang bersangkutan. Dengan kata lain ILDL dapat dibuat tegak lurus pada ujung paling Timur daerah yang telah mencapai imkān al-rukyah. Lihat Lu‟ayyin, Konsep Kalender Qassūm-„Audah Konsistensi Konsep Kalender ini tidak memperhitungkan faktor jarak antara dua tempat, sehingga permulaan pada bulan Hijriah di kedua tempat bisa jatuh pada tanggal yang sama, akan tetapi bisa juga berbeda. Walaupun secara geografis dua tempat yang saling berdekatan, jika keduanya berada pada sisi yang berlainan dari garis tanggal Hijriah tersebut, maka awal bulan Hijriah di dua tempat itu berbeda. 149 Adapun garis tanggal Hijriah garis batasnya ditentukan oleh tempat yang disana Bulan dan Matahari terbenam secara bersamaan. Karena garis tanggal merupakan garis batas antara tempat yang esoknya sudah masuk bulan baru dan tempat yang esoknya belum memasukinya. Secara teknis, garis tanggal ini merupakan batas antara tempat yang disana hilal mungkin terlihat dan tempat yang hilal tidak mungkin terlihat saat Matahari terbenam. Sebagaimana Matahari terbit dan terbenam di permukaan Bumi pada saat- saat tertentu, maka Bulanpun terbit dan terbenam dengan cara yang sama, dan garis ini bergeser setiap bulan. 150 Farid Ruskanda menjelaskan bahwa terjadinya persamaan dan perbedaan penanggalan ini tidak dijumpai pada sistem tahun Masehi karena tempat garis tanggalnya selalu tetap. Sedangkan pada penanggalan Hijriah garis tanggal ini selalu bergeser. Disebabkan garis tanggal Hijriah lebih rumit dibandingkan garis tanggal Masehi. Karena garis tanggal Masehi sistem tanggal, bulan dan tahunnya hanya ditentukan oleh gerakan Bumi dan Matahari. Sedangkan garis tanggal Hijriah sistem tanggal, bulan dan tahunnya ditentukan oleh gerakan Bulan, Bumi dan Matahari. 151 Qassūm-„Audah dalam Kitab Tathbīqāt Al-Hisābāt Al-Falakiyyah Fī Al- Masāil Al-Islāmiyyah Terhadap Prinsip Visibilitas Hilal dalam Penentuan Awal Bulan Kamariah , Skripsi Program Studi Ilmu Falak Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2015, hlm. 51. Diakses dari http:eprints.walisongo.ac.id . Pada tanggal 16 Nopember 2016. Pukul. 11:30 WIB 149 Farid Ruskanda, Op.Cit.,hlm. 18 150 Ibid., hlm. 24-25 151 Ibid., hlm. 20-21 Farid Ruskanda juga menyatakan bahwa terdapat perbedaan tanggal pada saat yang bersamaan disebabkan Bumi berbentuk bola. Dengan demikian, jika bagian Bumi yang satu dalam keadaan gelap malam, maka pada saat yang sama, bagian Bumi yang lain berada dalam keadaan yang terang siang. 152 Thomas Djamaluddin 153 menyatakan bahwasannya persoalan perbedaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha telah menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Walaupun saat ini perbedaan hari raya tidak menimbulkan masalah serius, tetapi masalah tersebut selalu menimbulkan ketidaktentraman di masyarakat. Apabila tidak segera diatasi itu berpotensi berdampak pada gangguan ekonomi dan sosial, karena menyangkut aktivitas masyarakat dalam skala luas. Menurutnya perbedaan hari raya yang sering terjadi belakangan ini lebih disebabkan oleh penggunaan kriteria yang tidak seragam. Baik para penganut hisab maupun rukyat pada dasarnya mereka menggunakan kriteria penentuan awal bulan. 154 Pemikiran Thomas Djamaluddin tentang mathla‟ dapat terlihat berdasarkan pendapatnya yang mengatakan bahwa sumber perbedaan dalam penentuan awal bulan Hijriah selain disebabkan oleh penggunaan kriteria yang tidak seragam, juga disebabkan adanya masalah rukyat lokal dan global yang dipicu berkembangnya media komunikasi yang semakin cepat. Berita tentang penetapan awal Ramadan dan hari raya di Arab Saudi atau negara-negara lainnya dengan cepat tersebar dan sering menjadi acuan. Masalahnya, kemudian masyarakat menjadi bingung mana yang akan diikuti. 155 152 Ibid., hlm. 17 153 pakar astronomi Indonesia. Sekarang ia bekerja sebagai Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Eselon I dan Peneliti Utama IVe Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika di LAPAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Thomas Djamaluddin, 2011, Op.Cit., hlm. iii 154 Ibid., hlm. 11 155 Thomas Djamaluddin, 2004, Op.Cit., hlm. 243-244 Thomas Djamaluddin mengatakan bahwasannya dalam Al- Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 185 yang berkaitan dengan ibadah puasa Allah memberi pedoman umum “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitanmu”. Menurutnya apabila mengikuti rukyat global, setiap orang harus sabar berjaga sepanjang malam dalam ketidakpastian. Karena rukyatul hilal tidak bisa dipastikan di mana dan kapan bisa terlihat. Tentunya, hal ini lebih menyulitkan umat daripada rukyat lokal. Keputusan rukyat lokal cukup dinantikan sekitar 1-2 jam setelah maghrib. 156 Menurut Thomas Djamaluddin mengenai perbedaan pendapat dalam penetapan awal bulan Hijriah merupakan hasil ijtihad dengan argumentasi masing-masing yang dianggap kuat.Terlepas dari perbedaan masalah argumentasi atau dalilnya, hal ini perlu ditinjau dari segi astronominya. 157 Mengenai definisi sama hari dalam penetapan awal bulan Hijriah menurut Thomas Djamaluddin pengertian sama sangat relatif. Secara astronomi bisa berarti mengalami waktu siang secara bersamaan, dengan kata lain bila beda waktunya kurang dari 12 jam. Bila diterapkan dalam kasus di Hawaii yang beda waktunya dengan Arab Saudi dihitung kearah Timur hanya 11 jam, definisi sama harinya malah berbeda tanggal. Misalnya, hari wukuf tanggal 16 April 1997 di Arab Saudi berarti tanggal 15 April 1997 di Hawaii. Lagi pula, pola pikir untuk menyamakan puasa hari Arafah di Indonesia harus sama dengan hari wukuf hanya terjadi bila kita tunduk pada sistem kalender Syamsiah dan mengabaikan sistem kalender Hijriah yang disyariatkan. Saat wukuf di Arafah bisa terjadi di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijjah, jadi bukan waktunya untuk melaksanakan puasa hari Arafah. 158 Menurut Thomas Djamaluddin hal itu dapat dijelaskan dengan meruntut perjalanan waktu berdasarkan peredaran Bumi. Bagi muslim di Timur Tengah puasa Arafah mulai 156 Ibid., hlm. 245 157 Ibid 158 Ibid., hlm. 246 sejak fajar misalnya 16 April 1997. Makin ke Barat waktu fajar bergeser. Di Eropa Barat waktu fajar awal puasa kira- kira 3 jam sesudah di Arab Saudi. Makin ke Barat lagi, di pantai Barat Amerika Serikat waktu fajar awal puasa Arafah bergeser lagi yaitu 11 jam setelah Arab Saudi. Di Hawaii, puasa Arafah juga masih 16 April, tetapi fajar awal puasanya sekitar 13 jam setelah Arab Saudi. 159 Apabila diteruskan ke Barat, ditengah lautan Pasifik ada garis tanggal internasional, maka sebutan 16 April harus diganti menjadi 17 April walaupun hanya berbeda beberapa jam dengan Hawaii. Awal puasa Arafah di Indonesia pun yang dilakukan sekitar 7 jam setelah fajar Hawaii, dilakukan dengan sebutan tanggal yang berbeda akibat melewati garis tanggal internasional. 160 Pemikiran Muhammad Syaukat Audah 161 tokoh falak internasioanal tentang mathla‟ secara astronomi. Menurutnya perbedaan mathla‟ apabila dikaitkan dengan observasi rukyat hilal, dapat dilihat dari tiga poin yaitu: Pertama, kondisi rukyat hilal berbeda sesuai perbedaan garis bujur. Artinya, wilayah yang berada dalam satu garis bujur tidak bisa dikatakan memiliki mathla‟ yang sama. 159 Ibid 160 Ibid., hlm. 246-247 161 Nama lengkapnya Ir. Muhammad Syaukat „Audah di dunia Internasional lebih dikenal dengan nama Mohammad Shawkat Odeh. Dalam homepage http:www.geocities.com capecanaveral1092index.html nya, Odeh mengatakan bahwa ia berasal dari Nablus, Palestina dan lahir di kota Kuwait, 6 Maret 1979. Ia tumbuh besar di kota Amman ibukota negara Jordan. Ia menyelesaikan studi Mekanik dan Engineering di Universitas Jordan, Fakultas Sains dan Teknologi pada tahun 2002. Di umurnya yang menginjak ke-20, tahun 1998, Odeh mendirikan sebuah lembaga penelitian dan observasi hilal ICOP Islamic Crescents‟ Observation Project. Hingga saat ini, lembaga tersebut memiliki ratusan ilmuwan yang terdiri dari pakar ilmu falak dan individu-individu yang intens dalam penelitian dan pengkajian hilal dari berbagai negara di dunia. Lihat Muh. Nashirudin, “Tinjauan Fikih Dan Astronomis Penyatuan Mathla‟: Menelusuri Pemikiran M.S. Odeh Tentang Raga m Penyatuan Mathla‟, Jurnal Ijtihad, Vol. 12, No. 2, edisi Desember 2012, hlm. 181-182. Diakses pada http:www.ijtihad.iainsalatiga.ac.id . Pada 16 Nopember 2016. Pukul. 17:00 WIB. Karena Matahari dan Bulan akan berada pada waktu terbenam yang berbeda walaupun berada pada satu garis bujur. Kedua, kondisi rukyat hilal berbeda sesuai perbedaan garis lintang. Hampir sama dengan poin pertama, wilayah yang berada dalam satu garis lintang juga tidak bias dikatakan memiliki mathla‟ yang sama. Ketiga, ketinggian lokasi observasi dari permukaan air laut harus diperhatikan saat rukyat. Ketika seseorang melakukan observasi, maka ketinggian tempat observasi dari permukaan air laut sangat mempengaruhi keberhasilan rukyat. Oleh karena itu, keberhasilan rukyat tidak bisa disamakan antara satu wilayah dengan wilayah lain. 162 162 Muh. Nashirudin, “Tinjauan Fikih Dan Astronomis Penyatuan Mathla‟: Menelusuri Pemikiran M.S. Odeh Tentang Ragam Penyatuan Mathla‟, Jurnal Ijtihad, Vol. 12, No. 2, edisi Desember 2012, hlm. 187-188. Diakses pada http:www.ijtihad.iainsalatiga.ac.id . Pada 16 Nopember 2016. Pukul. 17:00 WIB.

BAB III PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG

MATHLA’ DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH Mazhab menurut bahasa berasal dari kata dzahaba yang berarti pergi atau dapat juga berarti pendapat. Adapun menurut istilah, mazhab artinya adalah metode yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa. Mazhab juga merupakan sistem pemikiran atau pendekatan intelektual. Secara khusus, istilah ini digunakan untuk sesuatu yang berkaitan dengan aliran-aliran dalam fiqh. 163 Selain itu, mazhab juga diartikan sebagai jalan dan keyakinan yang diikuti. Menurut para filosof, mazhab berarti pemikiran-pemikiran, teori-teori ilmiah, dan filsafat yang saling berkaitan hingga menjadi satu keatuan yang utuh. Bentuk plural atau jamaknya adalah madzahib. Demikianlah definisi mazhab menurut kalangan ahli bahasa dan para filosof. 164 Sesuai dengan makna dasarnya, para pakar syari‟at mendefinisikan mazhab sebagai sekumpulan pemikiran- pemikiran mujtahid di bidang hukum- hukum syari‟at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci tafshil, kaidah-kaidah dan ushul, serta memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan sebagai satu kesatuan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab adalah ushul dan fiqhnya seorang mujtahid. 165 Sebagaimana akan dibahas dibawah ini mengenai batas geografis keberlakuan rukyat mathla‟ menurut pendapat empat mazhab dalam Islam. Yakni mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazha b Syafi‟i, dan mazhab Hanbali. 166 163 Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqh, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 149 164 Asmaji Muchtar, Fatwa-fatwa Imam Asy- Syafi‟I, Cetakan Pertama, Amzah, Jakarta, 2014, hlm. 169 165 Ibid 166 Ahmad Subagyo, Kamus Istilah Ekonomi Islam, PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia Building, Jakarta, 2009, hlm. 265

A. Mathla’ Menurut Mazhab Hanafi

1. Sejarah dan Pemikiran Mazhab Hanafi Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah Irak pada tahun 80 H 65 9 M. Namanya sejak kecil ialah Nu‟man bin Tsabit bin Zauth bin Maah. Ayahnya adalah keturunan dari bangsa Persi yang sudah menetap di Kuffah. 167 Ia diberi nama “An-Nu‟man” sebagai kenangan akan nama salah seorang raja Persia di masa silam. 168 Gelar Abu Hanifah, karena putranya ada yang bernama Hanifah. Menurut riwayat lain karena ia begitu taat beribadah kepada Allah, yang dalam bahasa Arab Haniif berarti condong atau cenderung kepada yang benar. Riwayat lain pula menyatakan karena ia begitu dekat dan eratnya berteman dengan tinta. Karena Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta. 169 Imam Abu Hanifah menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi dewasa di Kufah. Sejak masih kanak- kanak, Imam Abu Hanifah mengkaji dan menghafal al- Qur‟an. Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang al- Qur‟an beliau sempat berguru kepada Imam Asin, seorang ulama terkenal pada masa itu. Selain memperdalam al- Qur‟an, beliau juga aktif mempelajari ilmu Fiqh pada kalangan sahabat Rasul, di antaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir. Dari mereka beliau juga mendalami ilmu Hadis. 170 Imam Abu Hanifah juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Beliau pernah 167 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Cetakan Kedua, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 184 168 Abdurrahman Asy- Syarkawi, A‟immah Al-Fiqh At-Tis‟ah, Alih Bahasa, H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Cetakan Pertama, Pustaka Hidayah, Bandung, 2000, hlm. 236 169 M. Ali Hasan, Loc.Cit. 170 Muhammad Jawad Mughniyah, Al- Fiqh „Ala Al-Madzahib Al- Khamsah, Alih Bahasa, Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2011, hlm. xxv belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu, yakni Humad bin Abu Sulaiman. Setelah wafat gurunya, Imam Abu Hanifah kemudian mulai mengajar di banyak majlis ilmu di Kufah. 171 Imam Abu Hanifah an- Nu‟man termasuk jajaran imam Fiqh Ahlus Sunnah yang terkenal di dunia Islam. 172 Imam Abu Hanifah berkata: “aku memberikan hukum berdasarkan al-Qur‟an apabila tidak aku jumpai dalam al- Qur‟an, maka aku gunakan hadis Rasulullah dan jika tidak ada dalam kedua-duanya al- Qur‟an dan al-Hadis aku dasarkan pada pendapat para sahabat- sahabtnya. Aku berpegang kepada pendapat siapa saja dari para sahabat dan aku tinggalkan apa saja yang tidak kusukai dan tetap berpegang kepada satu pendapat saja.” 173 Pada bagian akhir kata-kata Imam Abu Hanifah di atas dapat disimpulkan bagaimana ia menggunakan ijtihad dan pikiran. Dan bagaimana pula penggunaan pikiran untuk dapat membuat perbandingan diantara pendapat-pendapatnya dan memilih salah satunya. 174 Ciri khas Imam Abu Hanifah adalah, dalam ijtihadnya menggali ketentuan-ketentuan hukum fiqh, yaitu disamping berpegang pada al- Qur‟an, ia juga tetap berpegang atau berpedoman pada hadis. Akan tetapi, hanya hadis yang sahih yang mu‟tamad saja yang dijadikan sandaran. 175 Dalam metode qiyas nya, ia tak berbeda jauh dari para ahli Fiqh lainnya, yakni tidak mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum yang pernah berlaku 171 Ibid 172 Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit., hlm. 231 173 Ahmad Asy-Syurbasi, Al- Almatul Arba‟ah, Alih Bahasa, Sabil Huda, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Cetakan Kelima, Amzah, Jakarta, 2008, hlm. 19 174 Ibid. 175 Abdurrahman Asy-Syarkawi, Loc.Cit.