mengurangi tekanan terhadap perekonomian di wilayah perkotaan. Peran lain industrialisasi pertanian terhadap pembangunan sektor perkotaan dapat dilihat
dari fungsinya sebagai penyedia bahan baku untuk industri di perkotaan, disamping itu sebagai penyedia bahan pangan bagi pekerja di sektor perkotaan.
2.3. Penelitian Terdahulu tentang Sektor Pertanian dan Kemiskinan
Penelitian tentang sektor pertanian dengan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi SAM telah banyak dilakukan. Priyarsono et al.
2008, melakukan studi eksplorasi berbagai sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Hasil studi ini memberi kesimpulan bahwa
pembangunan sektor pertanian bukan saja bertujuan meningkatkan pendapatan rumahtangga, namun juga lebih berpihak pada kaum miskin, terutama yang
berada di perdesaan, bila dibandingkan dengan pembangunan sektor industri non pertanian.
Dengan menggunakan pendekatan SAM Thailand, Thaiprasert 2006, mengkaji tentang peranan sektor pertanian dan sektor industri di dalam
pembangunan ekonomi negara Thailand. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa analisis terhadap sektor unggulan terutama sektor pertanian memiliki peran
penting terhadap sektor lainnya dibandingkan dengan sektor non pertanian. Investasi sektor pertanian memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang
backward and forward lingkage, ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi Thailand terletak pada sektor pertanian dan sektor yang terkait dengan sektor
pertanian yaitu agroindustri. Nokalla 2002, mengemukakan bahwa injeksi pengeluaran aktual pada
program investasi sektor pertanian ASIP di negara Zambia dengan
menggunakan kerangka SAM 1995 menyimpulkan bahwa Agricultural Sector Investment Program
akan mendorong produksi pertanian komersial tumbuh lebih besar daripada pertanian non komersial. Ditinjau dari aspek pendapatan program
ASIP dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga perdesaan tidak berkeahlian lebih besar daripada rumahtangga perkotaan tidak berkeahlian dan berkeahlian.
Penelitian ini memberi pandangan bahwa investasi di sektor pertanian menguntungkan penduduk perdesaan terutama bagi kelompok berpendapatan
rendah. Arndt et
. al. 1998, melakukan penelitian dengan fokus utama di sektor
pertanian yang menggunakan data SAM Mozambique 1995 dengan MOZAM. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa : 1 pengembangan pertanian dapat
mengurangi kesenjangan pendapatan antara perkotaan dan perdesaan. 2 pengembangan pertanian sangatlah bersesuaian dalam membangun
keseluruhan kegiatan produksi, nilai tambah dan pendapatan rumahtangga, dan 3 strategi pertumbuhan yang ditujukkan untuk mengurangi kemiskinan harus
memfokuskan diri pada sektor pertanian. Strategi tersebut didasarkan pada nilai multiplier melalui aliran perekonomian masyarakat perdesaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Suwandee 1996, yang melihat hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara pertumbuhan sektor pertanian dan
industri. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa kemajuan sektor pertanian dan pertumbuhan industri memberikan kontribusi satu sama lain dalam
proses pembangunan. Data yang digunakan dengan dua kategori yakni data Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan yang cenderung memberlakukan derajat
proteksi yang tinggi terhadap sektor pertanian, sedangkan data Indonesia, Malasyia dan Thailand yang cenderung tidak berpihak terhadap sektor pertanian.
Hasil analisis dengan metode error correction ditemukan bahwa ada hubungan dua arah bi-directional antara sektor pertanian dan pertumbuhan industri pada
semua negara kecuali pada kasus negara Malasyia. Sipayung 2000 melakukan penelitian tentang pengaruh kebijakan
makroekonomi terhadap sektor pertanian di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan alokasi investasi pemerintah dan perbankan
pada sektor pertanian akan meningkatkan minat investasi swasta pada sektor pertanian. Peningkatan pangsa alokasi investasi swasta asing pada sektor
pertanian sebesar 14 persen dan pangsa alokasi investasi swasta domestik pada sektor pertanian sebesar 9.46 persen. Dampaknya terhadap kapital stok pada total
sektor pertanian meningkat sebesar 8.87 persen, sementara kapital stok sektor non pertanian turun sebesar 2 persen dan mempengaruhi produksi pada sektor
pertanian dan sektor non pertanian. Dengan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Downey 1984, mencoba menganalisis ketimpangan pendapatan yang terjadi di Indonesia, untuk melihat siapa mendapat apa Who gets What. Untuk
menggambarkan kondisi ini, Downey melakukan disagregasi terhadap institusi rumahtangga berdasarkan buruh tani, buruh non-pertanian, desa-kota, dan lain
sebagainya. Kemudian baru dianalisis distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing klasifikasi rumahtangga tersebut. Pendapatan terendah diterima
oleh rumahtangga buruh tani sedangkan yang tertinggi diterima oleh tenaga kerja perkotaan dan diikuti oleh pemilik tanah di atas lima hektar.
Thorbecke 1985 menggunakan kerangka SNSE untuk menganalisis dampak langsung dan tidak langsung pilihan teknologi terhadap distribusi
pendapatan, jumlah pendapatan, komposisi output dan kesempatan kerja
di Indonesia. Dalam enam sektor yang spesifik dampak dari substitusi teknologi dilihat dengan menggunakan SNSE secara terpisah. Dengan menggunakan analisa
fixed price multiplier diperoleh gambaran tentang pola distribusi pendapatan dan
kesempatan kerja yang lebih sensitif dalam mengadopsi teknologi baru. Dengan menggunakan analisis multiplier SAM Bautista 2000, mengkaji
pengaruh pertumbuhan produktivitas terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dan dampaknya terhadap pemerataan pendapatan rumah tangga di
Vietnam Tengah. Dalam kajian tersebut Bautista mengelompokkan unsur perekonomian ke dalam 25 aktivitas atau sektor produksi, 5 kelompok faktor
produksi tenaga kerja serta mengelompokkan institusi ke dalam 4 golongan rumahtangga desa-kota berdasarkan kelompok pendapatan, 2 kelompok
perusahaan BUMN dan non BUMN, pemerintah dan neraca kapital serta Rest of the World ROW.
Hasil analisis multiplier tersebut menunjukkan bahwa multiplier
GDP sektor pertanian lebih besar dibandingkan dengan sektor pertambangan dan industri serta jasa. Komoditas ubikayu, ubi jalar dan ternak,
yang sebagian besar ditujukan untuk pasar lokal justru memiliki multiplier terbesar, sebaliknya beras dan komoditas lain yang berorientasi ekspor memiliki
multiplier terkecil. Sektor industri, khususnya industri-industri skala besar yang
padat modal dan kandungan impor tinggi memiliki multiplier yang relatif kecil dan sebaliknya untuk sektor industri pengolahan hasil pertanian.
Dengan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Manaf 2000 meneliti pengaruh subsidi harga pupuk terhadap pendapatan petani
melalui analisis jalur struktural atau Structural Path Analysis SPA. SPA ini digunakan untuk mengidentifikasi jalur-jalur asal pengaruh yang dipancarkan dari
satu sektor asal ke sektor-sektor tujuan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
pengaruh yang terbesar dari adanya subsidi harga pupuk diterima oleh sektor perkebunan, sedangkan pengaruh paling kecil justru diterima oleh rumahtangga
petani pemilik luas lahan 0.5-1.0 hektar, itupun setelah melalui faktor produksi modal.
Penelitian yang dilakukan oleh Ravallion dan Datt 1999 yang mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan kemiskinan di India. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata hasil pertanian yang lebih tinggi, pengeluaran pembangunan wilayah yang lebih tinggi, output non pertanian baik
di perdesaan maupun di perkotaan dan inflasi yang rendah. Elastisitas penurunan kemiskinan terhadap variabel-variabel tersebut hampir sama untuk seluruh
wilayah, kecuali untuk variabel peningkatan output non pertanian. Kajian Ravallion dan Datt 1999 diperoleh hasil bahwa penurunan kemiskinan absolut
di perdesaan berhubungan negatif terhadap upah riil di perdesaan dan terhadap rata-rata hasil pertanian, tetapi berhubungan positif terhadap harga bahan pangan.
Dengan demikian harga pangan yang rendah akan menurunkan tingkat kemiskinan karena sebagian besar penduduk miskin di perdesaan India tidak
memiliki lahan sehingga mereka adalah pembeli pangan. Dengan menggunakan data Amerika Latin, De Janvry dan Sadoulet
2000, mengkaji hubungan antara elastisitas distribusi pendapatan dan aset terhadap penurunan kemiskinan dengan pertumbuhan agregat. Elastisitas
kemiskinan di perkotaan terhadap pertumbuhan pendapatan secara agregat sebesar -0.95 dan hasil kajian tersebut juga menunjukkan bahwa variabel-variabel
pertanian tidak berpengaruh terhadap kemiskinan di kota. Di sisi lain, hasil kajian juga menunjukkan bahwa tingkat ketidakmerataan pendapatan berpengaruh
terhadap elastisitas kemiskinan, dimana ketidakmerataan yang rendah meningkatkan nilai absolut elastisitas tersebut yang bertanda negatif.
Decaluwe et al. 1999 mengkaji ulang penelitian sebelumnya Decaluwe et al.,
1998 dengan menggabungkan kerangka Social Accounting Matrix SAM pada model CGE untuk mengetahui dampak liberalisasi perdagangan dan
reformasi tarif terhadap kemiskinan. Kerangka Social Accounting Matrix SAM yang diadopsi untuk model CGE adalah pengelompokan rumahtangga. Hasil
kajian menunjukkan bahwa dampak penurunan harga ekspor tanaman pangan terhadap kemiskinan rumahtangga yaitu menurunkan head-count ratio untuk
seluruh kelompok rumahtangga kecuali rumahtangga di perdesaan. Rumahtangga perdesaan menunjukkan head-count ratio tertinggi yaitu sebesar 92.9 persen
populasi berada di bawah garis kemiskinan. Dibandingkan dengan nilai tahun dasar, nilai head-count ratio mengalami perbaikan hanya sebesar 0.4 persen,
yang berarti bahwa hanya sedikit sekali rumahtangga yang mengalami penurunan kemiskinan. Kelompok rumahtangga perkotaan, khususnya untuk kelompok
rumahtangga yang berpendidikan tinggi, peningkatan harga ekspor tanaman pangan menyebabkan peningkatan head-count ratio P
Thorbecke dan Jung 1996 menggunakan analisis multiplier untuk mengkaji dampak shock atau goncangan terhadap kemiskinan. Hasil analisis
yang tertinggi yaitu sebesar 0.5 persen sampai 0.8 persen, yang berarti terjadi peningkatan kemiskinan
pada kelompok rumahtangga tersebut. Dampak reformasi tarif impor menyebabkan ukuran poverty gap menurun untuk seluruh kelompok
rumahtangga. Tetapi perbaikan kemiskinan tersebut kurang begitu berarti bagi kelompok rumahtangga perdesaan dan rumahtangga perkotaan yang
berpendapatan tinggi.
diperoleh bahwa elastisitas kemiskinan terhadap rata-rata pendapatan, nilainya berhubungan positif dengan perbedaan rata-rata pendapatan dengan garis
kemiskinan. Selanjutnya nilai elastisitas tersebut digunakan untuk menghitung indeks kemiskinan FGT
Penelitian yang mengkaji peran sektor pertanian terhadap pengurangan kemiskinan, distribusi pendapatan dan pembangunan ekonomi di Chile dilakukan
oleh O’Ryan dan Sebastian 2003 dengan menggunakan model CGE. Model CGE digunakan untuk melihat dampak dari dua goncangan, yaitu :
1 peningkatan produktivitas tenaga kerja dan kapital di masing-masing sektor sebesar 2 persen, dan 2 pemberian subsidi harga untuk masing-masing sektor,
yaitu sektor pertanian, agroindustri dan industri. Para peneliti tersebut menyadari bahwa memberikan shock dalam bentuk persentase seperti dilakukan adalah tidak
fair, karena besaran shock tidak sama dikarenakan masing-masing sektor
memiliki ukuran yang berbeda sehingga rasio tenaga kerja dan kapital pun juga berbeda. Namun ide dasarnya adalah untuk mengetahui dampak shock tersebut
terhadap penurunan kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak peningkatan produktivitas tenaga kerja atau kapital di sektor industri terhadap
kinerja makroekonomi lebih besar dibandingkan dengan di sektor pertanian, tetapi dampaknya terhadap distribusi pendapatan sangat berbeda, dimana
peningkatan produktivitas kapital di sektor industri menurunkan tingkat pemerataan, namun sebaliknya untuk sektor pertanian. Pola yang sama juga
terjadi untuk peningkatan produktivitas tenaga kerja. Bagaimana dampak terhadap pengurangan kemiskinan? Meskipun sektor industri memberikan dampak yang
lebih baik terhadap kinerja ekonomi, namun dampak yang ditimbulkan terhadap pengurangan kemiskinan justru 25 persen lebih rendah dibanding sektor pertanian.
Hasil kajian lainnya tentang kemiskinan yang dilakukan di Indonesia diantaranya adalah Sutomo 1995 dengan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi
mencoba membandingkan kemiskinan dan pembangunan ekonomi yang terjadi pada dua wilayah, yaitu Provinsi Riau dan Provinsi Nusa Tenggara Timur NTT,
diperoleh hasil bahwa dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan selama ini telah terjadi ketimpangan pendapatan antar dua wilayah dan ketimpangan juga
terjadi antar kelompok rumahtangga dikedua wilayah. Masyarakat miskin dengan pendapatan terendah diterima oleh rumahtangga buruh non-pertanian
dan tertinggi pada kelompok rumahtangga bukan buruh non-pertanian terjadi pada kedua Provinsi. Ketimpangan pendapatan ini ditunjukkan oleh indeks gini
kedua Provinsi tersebut melebihi 0.5, sedangkan dengan menggunakan analisis distribusi pendapatan faktorial, menunjukkan Provinsi NTT intensif tenaga kerja
sedangkan di Provinsi Riau terjadi sebaliknya yaitu intensif modal. Ini berarti pada kedua Provinsi, bila terjadi peningkatan penggunaan tenaga kerja dan modal
memiliki peranan penting dalam meningkatkan nilai tambah bruto wilayah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Simatupang dan Darmorejo 2003
menunjukkan bahwa PDB sektor pertanian memiliki dampak terhadap insiden kemiskinan di perdesaan yang lebih besar dibanding sektor lainnya, sedangkan
kemiskinan di perkotaan terutama dipengaruhi oleh PDB sektor industri. Namun demikian PDB sektor lain, yaitu industri dan non pertanian lainnya juga
berpengaruh terhadap insiden kemiskinan. Kajian ini lebih menarik karena insiden kemiskinan juga dipengaruhi oleh harga beras, dengan demikian strategi
pembangunan yang efektif untuk pengentasan kemiskinan adalah strategi pembangunan yang lebih menitikberatkan pada pembangunan yang berbasis
pertanian Agricultural Led-Development, khususnya subsektor tanaman pangan.
Pyatt dan Round 2004 dengan menggunakan model SAM atau SNSE Indonesia Tahun 1980 untuk mengkaji efek pengganda harga tetap terhadap
penurunan kemiskinan di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan perubahan proporsi penduduk miskin dipengaruhi oleh perubahan pendapatan dan
perubahan harga. Namun perubahan harga tersebut hanya akan berarti jika garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok rumahtangga bergerak secara
berbeda. Pada model pengganda harga tetap efek perubahan harga tersebut diabaikan.
Booth 2000, melihat bahwa masalah kemiskinan dan pemerataan selama era Presiden Soeharto dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa head-count
ratio di Indonesia pada akhir Tahun 1980-an dibawah Philipina, tetapi di atas
Malaysia dan Thailand. Diantara Tahun 1987 – 1996 , kemiskinan relatif secara agregat menurun lambat, namun untuk wilayah perkotaan mengalami
peningkatan. Booth mendukung bahwa pembangunan pertanian dan perdesaan merupakan hal penting untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia. Namun
menurut Booth program-program pembangunan perdesaan hendaknya tidak lagi difokuskan pada tanaman pangan seperti yang telah dilakukan di masa lalu,
melainkan lebih difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan spesifik untuk penduduk miskin di daerah-daerah miskin.
2.4. Teori Basis Ekonomi