Dampak Simulasi Kebijakan Redistribusi Lahan Plus Terhadap

nilai value saja. Perubahan tingkat harga merupakan sebuah jembatan antara perubahan yang satu dengan yang lainnya. Dampak yang diakibatkan kebijakan landreform plus memiliki hasil yang berbeda dengan kebijakan reforma agraria yang hanya melakukan redistribusi kepemilikan lahan. Perubahan tingkat pendapatan masing masing kelompok rumah tangga sebagi akibat kebijakan landreform plus dapat ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11 Perubahan Pendapatan per kelompok Rumah Tangga di Indonesia sebagai akibat kebijakan redistribusi lahan plus Kelompok rumah tangga Pendapatan Kondisi awal dalam milyar Rp. Pendapatan Hasil Simulasi dalam milyar Rp. Perubahan Buruh pertanian 176 433 214583.63 21.62 Pengusaha pertanian kecil 344 579 409069.86 18.72 Pengusaha pertanian menengah 194 684 213036.17 9.43 Pengusaha pertanian atas 190 948 205919.84 7.84 Golongan bawah perdesaan 493 413 499062.42 1.14 Bukan angkatan kerja perdesaan 172 862 181224.94 4.84 Golongan atas perdesaan 467 649 466983.21 - 0.14 Golongan bawah perkotaan 709 284 702662.95 - 0.93 Bukan angkatan kerja perkotaan 243 502 245024.64 0.63 Golongan atas perkotaan 826 478 799408.13 - 3.28 Sumber : Olahan penulis menggunakan model CGE Tabel 11 menunjukkan perubahan tingkat pendapatan masing-masing kelompok rumah tangga di Indonesia sebagai akibat kebijakan redistribusi lahan plus. Dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh pada Tabel 11 dengan Tabel 5 maka perubahan tingkat pendapatan masing masing kelompok rumah tangga mengalami perbedaan. Untuk kelompok rumah tangga buruh tani dan pengusaha pertanian kecil mengalami perubahan pendapatan dengan amplitudo yang lebih besar. Perubahan yang lebih besar ini didorong oleh kenaikan produktivitas sektor pertanian yang notabene menjadi sumber penghasilan utama dari kedua kelompok rumah tangga tersebut. Perubahan produktivitas sektor pertanian akan mengakibatkan keuntungan dari sektor pertanian akan meningkat, konsekwensinya tingkat pengembalian modal bagi para pemilik faktor yang digunakan di sektor pertanian akan meningkat pula. Hal ini dapat juga menjelaskan fenomena perubahan pendapatan yang terjadi pada kelompok pengusaha pertanian golongan atas dimana pada simulasi pertama kelompok rumah tangga ini mengalami penurunan tingkat pendapatan sedangkan pada simulasi kedua kelompok ini mengalami kenaikan pendapatan. Pada simulasi pertama kelompok ini kehilangan sebagian lahan yang menjadi sumber pendapatannya sehingga pada akhirnya mengakibatkan penurunan tingkat pendapatan dari kelompok tersebut. Pada simulasi kedua penurunan pendapatan sebagai akibat penurunan kepemilikan lahan dapat di-offset oleh kenaikan pengembalian dari faktor yang masih tersisa sebagai akibat adanya kenaikan produktivitas. Oleh karena itu hasil akhir dari dua kondisi ini menunjukkan bahwa kebijkan reforma agraria masih bisa meningkatkan pendapatan kelompok yang tanahnya di reditribusikan kepada kelompok lain dengan syarat adanya peningkatan produktivitas di sektor pertanian. Dampak dari perubahan pendapatan yang terjadi selanjutnya mengakibatkan perubahan tingkat konsumsi yang dilakukan oleh masing-masing kelompok rumah tangga. Hal ini berimplikasi pada perubahan tingkat permintaan. Perubahan ini dapat ditunjukan pada Tabel 12. Tabel 12 Perubahan komposisi permintaan barang setiap sektor sebagai akibat kebijakan redistribusi lahan plus di Indonesia Sektor Permintaan Kondisi awal dalam milyar Rp. Permintaan Hasil Simulasi dalam milyar Rp. Perubahan Pertanian Tanaman Pangan 504 389 510 919 1.29 Pertanian Tanaman Lainnya 190 255 200 416 5.34 Peternakan dan Hasil-hasilnya 268 949 275 367 2.39 Kehutanan dan Perburuan 52 284 55 396 5.95 Perikanan 178 722 183 087 2.44 Pertambangan 583 942 592 734 1.51 Industri Makanan Minuman dan Tembakau 806 011 834 530 3.54 Industri Lainnya 2 803 083 2 834 169 1.11 Jasa Swasta 4 161 800 4 208 652 1.13 Sektor Lainnya 483 316 365 387 - 24.40 Sumber : Olahan penulis menggunakan model CGE Tabel 12 menunjukkan bahwa perubahan permintaan sebagai akibat redistribusi lahan plus memiliki amplitudo yang lebih besar jika dibandingkan dengan perubahan tingkat permintan sebagai akibat redistribusi lahan yang terdapat pada tabel 7. Hal ini bisa dijelaskan karena perubahan pendapatan masing-masing kelompok rumah tangga yang terjadi pada redistribusi lahan plus cenderung lebih besar jika dibandingkan dengan perubahan pendapatan rumah tangga pada saat kebijakan redistribusi lahan. Perubahan komposisi permintaan ini selanjutnya akan mengakibatkan perubahan dalam total produksi di setiap sektor serta komposisi perdagangan Indonesia dengan Negara lain seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13 Perubahan nilai produksi ekspor dan impor setiap sektor akibat kebijakan redistribusi lahan plus di Indonesia dalam Sektor Perubahan Nilai Produksi Perubahan Nilai Ekspor Perubahan Nilai Impor Pertanian Tanaman Pangan 15.44 0.52 1.64 Pertanian Tanaman Lainnya 29.80 6.26 4.18 Peternakan dan Hasil-hasilnya 1.92 -2.84 28.52 Kehutanan dan Perburuan 5.11 -7.24 75.19 Perikanan 2.25 -6.37 20.81 Pertambangan 0.26 -0.01 4.93 Industri Makanan Minuman dan Tembakau 2.82 1.10 6.43 Industri Lainnya 1.58 1.52 0.16 Jasa Swasta 1.25 1.55 -1.55 Sektor Lainnya -23.99 -19.99 -31.26 Sumber : Olahan penulis menggunakan model CGE Dampak akhir dari hasil simulasi kebijakan redistribusi lahan plus ini adalah meningkatnya PDB Indonesia dengan nilai 1.80 dan kenaikan tingkat harga konsumen dengan adanya inflasi sebesar 0.50. Berdasarkan hasil ini kita dapat melihat bahwa dengan kebijakan reforma agraria maka PDB naik dengan nilai sangat signifikan naik sebesar 1.8 sedangkan inflasi naik hanya sekitar 0.5. Hal ini dapat dijelaskan karena dalam kasus reforma agraria kenaikan output nasional lebih banyak didorong dari sisi supply melalui kenaikan teknologi produksi sehingga kenaikan harga yang diakibatkan kenaikan permintaan dapat diredam oleh kenaikan dari sisi penawaran.

4.3 Dampak Simulasi Kebijakan Redistribusi Lahan dan Redistribusi

Lahan Plus terhadap Tingkat Kemiskinan Hasil simulasi yang diperoleh dari analisis CGE, selanjutnya digunakan untuk mengukur dampak kebijkan redistribusi lahan dan redistribusi lahan plus terhadap tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan. Untuk tujuan ini perubahan pendapatan yang terjadi antar kelompok rumah tangga dari hasil anailisi CGE ditransformasikan ke dalam data rumah tangga yang ada dalam SUSENAS. Dalam analisis microsimulation setiap rumah tangga yang terdapat dalam data SUSENAS dikategorikan ke dalam sepuluh kelompok keluarga sesuai dengan yang ada dalam kategori SNSE. Selanjutnya, setiap rumah tangga dalam SUSENAS pendapatannya dinaikkanditurunkan sesuai dengan perubahan yang terjadi dari hasil CGE untuk masing-masing kelompok rumah tangga. Perubahan pendapatan dari masing-masing rumah tangga ini selanjutnya digunakan untuk mengukur perubahan struktur kemiskinan dan distribusi pendekatan melalui pendekatan Foster-Greer-Thorbecke FGT dan koefisien Gini. Hasil microsimulation menunjukkan bahwa reforma agraria dapat memperbaiki kondisi kemiskinan di Indonesia seperti yang dapat ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 14 Dampak kebijakan redistribusi lahan dan redistribusi lahan plus terhadap kemiskinan di Indonesia Indikator Kemiskinan Kondisi awal Hasil simulasi landreform Hasil simulasi landreform plus Head count index 15.42 13.57 11.37 Poverty gap ratio 18.78 18.14 17.53 Severity of poverty 5.48 5.16 4.87 Sumber : Olahan penulis hasil analisis microsimmulation Tabel 14 menunjukkan bahwa pada kondisi awal, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah sebesar 15.42. Hal ini mengandung makna bahwa sekitar 15.42 dari total penduduk Indonesia hidup berada dibawah garis kemiskinan. Disi lain, pada tahun 2008 poverty gap ratio di Indonesia memiliki nilai sebesar 18.78 sedangkan severity of poverty memiliki nilai 5.48. Nilai poverty gap ratio sebesar 18.78 menunjukan bahwa rata-rata kesenjangan antara standar hidup orang-orang miskin di Indonesia dengan garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebesar 18.78. Hal ini berarti bahwa secara rata-rata, orang-orang miskin di Indonesia hidup dengan tingkat pengeluaran 18.78 lebih kecil dibandingkan dengan standar pengeluaran untuk dapat hidup layak. Adapun