titah tentang pembagian kembali lahan-lahan pertanian kepada petani. Dalam perkembangannya, reforma agraria mengalami perkembangan dan perubahan
dimana ada negara yang berhasil dan membawa perubahan dalam perkembangan pembangunan di negaranya namun ada pula yang gagal Wiradi 2000.
Gerakan reforma agraria besar-besaran yang terjadi pertama kali pada jaman modern yaitu pada saat terjadinya Revolusi Perancis 1789. Revolusi
Perancis mendasari dua hal yang menjadi tujuan pembaharuan dalam hal reforma agraria, yaitu membebaskan petani dari ikatan “tuan-budak” serfdom dari sistem
feodal dan melembagakan usaha tani keluarga yang kecil-kecil sebagai satuan pertanian yang dianggap ideal.
Gagasan ideal reforma agraria di Perancis ini membawa pengaruh luas keseluruh Eropa, terutama Eropa Barat dan Utara. Bulgaria merupakan contoh
negara yang telah lebih dahulu melakukan pembaharuan agraria yang lebih komprehensif, dimana reforma agraria tidak hanya berupa redistribusi lahan,
tetapi juga mencakup program-program penunjangnya secara terpadu seperti koperasi kredit, tabungan terpusat untuk kepentingan pengolahan, pabrik kalengan
dan juga pembinaan usaha tani intensif. Setelah itu, reforma agraria diadopsi oleh banyak Negara untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di
negaranya, termasuk Indonesia.
2.3. Kondisi Reforma Agraria di Indonesia
Berdasarkan catatan sejarah pertanahan nasional, pelaksanaan proses reforma agraria di Indonesia telah mengalami pasang surut. Tonggak penting
dalam hukum nasional Indonesia yang menyangkut program reforma agraria adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang: Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria disingkat UUPA yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan landreform, seperti ketentuan-ketentuan mengenai luas maksimum-minimum hak
milik atas tanah pasal 7 dan 17 ayat 1 UUPA dan pembagian tanah kepada petani tak bertanah Pasal 17 ayat 3 UUPA. Pelaksanaan program landreform
tersebut hanya berjalan intensif dari tahun 1961 sampai 1965. Secara akumulatif dari tahun 1960 sampai 2000, tercatat bahwa distribusi lahan telah berhasil
dilakukan dalam konteks landreform seluas 850ribu ha dengan jumlah rumah
tangga tani yang menerima sebanyak 1292851 keluarga dimana rata-rata per keluarga menerima 0.66 ha Wiradi 2009.
Saat program landform tersebut diluncurkan, kondisi politik di Indonesia sedang labil. Pada masa itu dikenal pendekatan “politik sebagai panglima”,
dimana tiap kebijakan pemerintah dimaknai dalam konteks politik. Partai Komunis Indonesia PKI kemudian menjadikan landform sebagai alat yang
ampuh untuk menarik simpatisan. Landform diklaim sebagai alat perjuangan partai mereka, dengan menjanjikan tanah sebagai faktor penarik untuk perekrutan
anggota. Pola ini berhasil membuat PKI cepat disenangi oleh masyarakat terutama di Jawa yang petaninya sudah merasakan kekurangan tanah garapan. Namun bagi
petani bertanah luas, landreform merupakan ancaman bagi mereka baik secara politik maupun ekonomi. Ada kekhawatiran diantara petani bertanah luas terhadap
akan menurunnya luas penguasaan tanah mereka yang akhirnya berimplikasi kepada penurunan pendapatan keluarga dan kesejahteraan.
Program landform hanya berjalan intensif dari tahun 1961 sampai 1965. Namun demikian, pemerintahan Orde Baru yang berkuasa pada masa berikutnya
mengklaim bahwa landreform tetap dilaksanakan meskipun secara terbatas. Selama era pemerintahan Orde Baru, untuk menghindari kerawanan sosial politik
yang besar, maka landreform diimplementasikan dengan bentuk yang sangat berbeda. Peningkatan akses petani terhadap tanah dilakukan melalui kebijakan
transmigrasi. Program ini kemudian dibarengi dengan program pengembangan Perkebunan Inti Rakyat PIR. Luas tanah yang diberikan kepada transmigran dan
petani plasma mengikuti ketentuan batas minimum penguasaan yaitu 2 ha lahan garapan per keluarga. Sebagian kalangan menganggap bahwa selama masa orde
baru, kegiatan reforma agraria mengalami mati suri dan terjadi pembelokan makna dari reforma agraria itu sendiri.
Pada masa reformasi, pemerintah berupaya untuk menggiatkan kembali landreform dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka Pelaksanaan Landreform yang ditandatangani
oleh Presiden BJ Habibie. Tim landreform ini mempunyai tugas yaitu: