BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kerangka Teori
2.1.1 Inflasi
Mankiw 2007 menyebutkan bahwa inflasi adalah seluruh kenaikan dalam harga. Badan Pusat Statistik 2005 mendefinisikan inflasi sebagai angka
gabungan dari perubahan harga dari sekelompok barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dan dianggap mewakili seluruh barang dan jasa yang dijual di pasar.
Khalwaty 2000 menyatakan bahwa inflasi adalah suatu keadaan yang mengindikasikan semakin merosotnya nilai riil intrinsik mata uang suatu negara.
Bank Indonesia , inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat
disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya.
Inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang dapat diartikan sebagai gejala kenaikan harga barang dan jasa masyarakat yang bersifat
umum dan terus menerus. Secara teori, pada dasarnya inflasi berkaitan dengan fenomena interaksi antara permintaan dan penawaran. Namun, pada kenyataannya
inflasi tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lainnya seperti tata niaga dan kelancaran dalam lalu lintas barang dan jasa serta peranan kebijakan pemerintah.
2.1.2 Teori Inflasi
Cavanese dalam Atmadja 1999 menyebutkan bahwa terdapat berbagai macam teori yang berusaha menjelaskan inflasi dari berbagai sudut pandang.
Teori tersebut adalah Teori Kuantitas, Keynesian Model, Mark-up Model dan Teori Struktural.
Teori Kuantitas adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami
penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris monetarist models. Teori ini
menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Inti dari teori ini
adalah sebagai berikut : 1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik
uang kartal maupun giral. 2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan
oleh harapan ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang.
Teori Keynesian Model,
dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan hidup di luar batas
kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang permintaan agregat melebihi jumlah barang-barang yang
tersedia penawaran agregat, akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang penawaran agregat ini terjadi karena
dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk
mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk
menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek.
Mark-up Model, teori ini mendasarkan pemikiran bahwa model inflasi
ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang
menyusun cost of production dan atau kenaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.
Teori Struktural, merupakan inflasi yang terjadi di negara-negara
berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal
ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, guncangan ekonomi yang
bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya, atau hal-hal
yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade
; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan
atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Structural bottleneck terutama terjadi dalam tiga
hal, yaitu :
1. Supply dari sektor pertanian pangan tidak elastis. Hal ini dikarenakan
pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode
dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
2. Cadangan valuta asing yang terbatas kecil akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor
. Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-
barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Akibat
dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan
permintaan.
3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan
rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan
dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang printing of money.
Adanya structural bottlenecks ini, dapat memperburuk inflasi di negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di negara-
negara yang sedang berkembang sering menjadi suatu fenomena jangka panjang,
yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan pada struktur sektor
keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi.
Berdasarkan pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu faktor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk
investasi melimpah, menyebabkan harga uang suku bunga menjadi murah, maka volume investasi akan meningkat dan juga meningkatkan volume produksi
sehingga penawaran barang meningkat, yang pada akhirnya menekan tingkat inflasi. Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan,
penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri imported inflation. Hal ini disebabkan antara lain oleh
harga barang-barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor.
2.1.3 Sumber Inflasi
Di dalam teori kuantitas, dijelaskan bahwa sumber utama terjadinya inflasi adalah karena adanya kelebihan permintaan demand sehingga uang yang beredar
di masyarakat bertambah banyak. Dalam teori ini sumber inflasi dibedakan menjadi dua yaitu teori demand pull inflation dan cost push inflation. Selain
menggunakan pendekatan teori kuantitas dalam menganalisis sumber-sumber penyebab inflasi, juga digunakan pendekatan struktur ekonomi, pendekatan
moneter dan pendekatan akuntansi seperti dijelaskan oleh Khalwaty 2000 di bawah ini:
a. Demand pull inflation
Demand pull inflation terjadi karena adanya kenaikan permintaan secara
agregat, dimana kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh full employment.
Kenaikan permintaan total agregate demand selain dapat menaikkan harga-harga juga dapat meningkatkan produksi. Jika kondisi
produksi telah berada pada kesempatan penuh, maka kenaikan permintaan tidak lagi mendorong kenaikan produksi output tetapi hanya mendorong
kenaikan harga-harga yang biasa disebut sebagai Indeks Murni pure inflation.
Mishkin 2009 menyebutkan inflasi yang disebabkan demand pull inflation
dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1 di bawah ini:
Sumber : Mishkin, 2009.
Gambar 2.1 Demand Pull Inflation b.
Cost push inflation Cost push inflation
terjadi pada kondisi tingkat penawaran lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat permintaan. Hal ini disebabkan oleh adanya
kenaikan harga faktor produksi sehingga produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai pada jumlah tertentu. Penawaran total supply agregat
terus menurun karena semakin mahalnya biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung cukup lama, maka terjadilah inflasi yang disertai dengan
resesi. Kenaikan biaya produksi yang menimbulkan cost push inflation didorong oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Adanya tuntutan kenaikan upah dari para pekerja yang biasa dikoordinir oleh organisasi serikat buruh.
2. Adanya industri yang monopolis, yang memberikan kekuatan kepada produsen untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih
tinggi. 3. Kenaikan bahan baku industri.
4. Pemerintah terlalu berambisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dalam jumlah yang besar yang seharusnya dapat diserahkan kepada pihak
swasta. 5. Adanya kebijakan pemerintah, baik yang bersifat ekonomi maupun non
ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga, seperti kenaikan tarif angkutan umum dan kenaikan tarif listrik, kenaikan gaji pegawai negeri
dan kenaikan anggaran belanja negara yang dibiayai dengan pencetakan uang baru money creation.
6. Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga seperti musim kemarau panjang yang mengakibatkan gagalnya panen.
7. Pengaruh inflasi dari luar negeri, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem ekonomi terbuka atau pasar bebas.
Sedangkan menurut Lipsey 1995 menyatakan bahwa cost push inflation dapat disebabkan oleh:
1. Wage Cost Push Inflation
Teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada
kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. 2.
Price Push Inflation Teori inflasi yang menekankan price push atau juga dikenal dengan istilah
administered price theory of inflation , memiliki persamaan dengan teori inflasi
yang menekankan dorongan biaya upah. Teori tersebut menyatakan bahwa para penjual memiliki kekuatan monopoli, dan mereka ingin sekali menaikkan
harga, tapi karena mereka takut terjadnya antitrust dari pihak pemerintah maka mereka menggunakan kenaikan dalam biaya produksi dapat dijadikan alasan
yang diperlukan untuk membenarkan adanya kenaikan harga. 3.
Import Cost Push Inflation Inflasi karena dorongan biaya impor, berupa suatu kenaikan dalam tingkat
harga suatu negara yang disebabkan adanya suatu kenaikan dalam harga-harga barang impor penting.
4. Structural Rigidity Inflation
Menekankan kekakuan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain
dan adalah mudah untuk menaikkan upah berupa uang dan harga-harga daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga-harga adalah
kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektor- sektor yang berkontraksi potensial. Sehingga proses penyesuaian upah dan
harga-harga di dalam sebuah perekonomian dengan adanya kekakuan struktural menyebabkan munculnya inflasi.
Mishkin 2009 menyebutkan inflasi yang disebabkan cost push inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.2 di bawah ini:
Sumber : Mishkin, 2009.
Gambar 2.2 Cost Push Inflation
2.1.3.1 Hubungan Harga Komoditi Pangan dan Inflasi
Kenaikan komoditas di belahan dunia merupakan fenomena unik bagi sebagian orang, yang melihat kaitannya dengan perkembangan makro ekonomi
dan hubungannya dengan tingkat inflasi. Disadari atau tidak, inflasi bahan pangan secara logika dasar makro ekonomi, dapat menyebabkan peningkatan inflasi,
sedangkan inflasi sangat erat kaitannya dengan besaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dan pertumbuhan merupakan kunci untuk memberantas
unemployment . Braun 2008, menjelaskan adanya keterkaitan antara krisis
pangan dengan krisis finansial, walaupun secara underlying causes penyebab dasarnya berbeda. Namun, keduanya dapat mengancam keamanan pangan,
keamanan politik, dan stabilitas finansial dan ekonomi. Dapat dijabarkan juga bahwa inflasi pangan menaikkan tekanan secara
umum pada nilai inflasi di seluruh dunia. Dalam kaitannya dengan negara berkembang, hal ini dapat terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati
porsi terbesar dari tingkat konsumsi masyarakat. Studi Braun 2008 menunjukkan bahwa rata-rata inflasi bahan pangan lebih tinggi dari rata-rata inflasi secara
keseluruhan di 27 dari 31 negara dengan proporsi besar dari konsumsi pangan. Rahardja 2011 menyatakan bahwa harga komoditas di Indonesia seperti
gula, minyak goreng, kedelai dan jagung berhubungan dengan harga dunia. Dalam periode sekitar satu tahun, satu persen kenaikan rata-rata harga komoditas dunia
akan menyebabkan kenaikan sebesar satu persen harga domestik di Indonesia. Komoditas yang lain akan merespon hal yang sama dengan waktu respon yang
bervariasi. Secara umum, kecepatan harga domestik untuk menyesuaikan terhadap guncangan harga dunia yang paling cepat adalah komoditas gula dan minyak
goreng sedangkan yang paling lambat pada kedelai dan jagung. Kecepatan transmisi terhadap guncangan harga international juga berbeda diantara provinsi
di Indonesia
4
.
4
Sjamsu Rahardja. Ekonom pada World Bank Jakarta. Hhttp:go.worldbank.orgAAG7PZGKR0
2.1.3.2 Hubungan antara Harga Minyak Dunia dan Inflasi
Purwanti 2011 menyebutkan bahwa mekanisme transmisi dampak oil price shock
terhadap harga dan inflasi dijelaskan oleh Blanchard. Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan
markup sehingga harga akan naik, karena hubungan antara keduanya berbanding
lurus. Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak menyebabkan peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk meningkatkan
harga.
2.1.3.3 Hubungan antara Upah Buruh dan Inflasi
Hubungan antara upah dan inflasi ditunjukkan oleh teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah dan menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan
yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. Di samping itu kekakuan
struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain dan menjadi mudah untuk
menaikkan upah berupa uang dan harga-harga daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat
adanya penurunan upah dan harga pada sektor-sektor yang berkontraksi potensial. Jadi proses penyesuaian di dalam sebuah perekonomian dengan adanya kekakuan
struktural menyebabkan munculnya inflasi.
2.1.3.4 Hubungan antara Expected Inflation dan Inflasi
Mankiw 2007 menyebutkan bahwa kurva Philips Philips Curve dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung pada tiga
kekuatan salah satunya adalah inflasi yang diharapkan. Inflasi yang diharapkan expected inflation
tersebut ada beberapa bentuk yaitu:
a. Inflasi ekspektasional, yang tergantung pada perbandingan-perbandingan
dalam hal melihat harapan di masa yang akan datang forward looking expextation
. Dengan begitu laju inflasi yang terbentuk sekarang akan dipengaruhi nilainya oleh nilai laju inflasi pada masa yang akan datang. Hal
ini mengakibatkan pembentukan harga dan upah akan disesuaikan dengan laju inflasi yang diharapkan pada masa yang akan datang.
b. Ekspektasi adaptif, tergantung pada perbandingan-perbandingan dalam hal
melihat pengalaman di masa yang lampau backward looking expectation. Dengan begitu laju inflasi yang akan datang dipengaruhi nilainya oleh laju
inflasi pada masa lampau. Hal ini mengakibatkan pembentukan harga dan upah akan disesuaikan dengan laju inflasi yang terjadi pada masa yang
lampau. Ekspektasi adaptif ini susah untuk ditanggulangi, karena menyangkut efek psikologis, berupa trauma akan laju inflasi yang terbentuk di masa lalu.
Oleh karena itu model ekspektasi adaptif ini memiliki pengaruh yang paling besar terhadap laju inflasi dibandingkan bila menggunakan variabel
ekspektasi yang lain Bank Indonesia, 2000.