Analisis Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Di Indonesia Dari Sisi Penawaran Tahun 1998-2010
1.1
Latar Belakang
Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan
salah satu indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Kestabilan inflasi
merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang
pada akhirnya akan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengendalian inflasi penting untuk dilakukan karena didasarkan pada
pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak
negatif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
1. Dampak negatif tersebut:
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan
terus turun sehingga standar hidup masyarakat turun dan akhirnya menjadikan
semua orang terutama orang miskin akan bertambah miskin. Kedua, inflasi yang
tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (
uncertainty
) bagi pelaku ekonomi
dalam mengambil keputusan.
Studi empiris Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa inflasi yang tidak
stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi,
investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan
ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan
1 Bank Indonesia Official Website.
http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Pengenalan+Inflasi/pentingnya.htm, “Pentingnya kestabilan Inflasi”.
(2)
2
tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi
tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.
Inflasi di Indonesia pernah mencapai titik yang tertinggi yaitu pada
pertengahan dasawarsa 1960-an dimana terjadi
hyper
inflasi yang melanda
perekonomian nasional dengan laju inflasi mencapai 650 persen. Hal tersebut
terutama disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang kemudian
dibiayai Bank Indonesia dalam bentuk pencetakan uang. Laju inflasi Indonesia
selama tahun 1998-2010 menunjukkan adanya fluktuasi yang bervariasi dari
waktu ke waktu yang disebabkan oleh faktor yang berbeda. Pada periode awal
1998, tingkat inflasi tinggi sebesar 77,63 persen, tingkat inflasi yang tinggi ini
karena dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Selama tahun
1999-2000, tingkat inflasi Indonesia mengalami penurunan dan penurunan yang
tertinggi terjadi pada bulan Januari 2000 yaitu sebesar -9,30 persen (BPS, 2000).
77.63
2.01 9.35 12.55 10.03 5.06 6.40 17.11
6.60 6.59 11.062.78 6.96 0
20 40 60 80 100
PERSEN
TAHUN
Inflasi Sumber : BPS, diolah
Gambar 1.1 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu 1998 – 2010
Krisis energi dunia yang ditandai dengan naiknya harga minyak dunia
menjadi sebuah krisis energi untuk Indonesia. Dimulai tahun 2005 dimana akibat
(3)
kenaikan harga minyak dunia membuat pemerintah Indonesia menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan kenaikan harga secara umum.
Laju inflasi selama periode 2005-2010 dapat dilihat pada Gambar 1.2. Tingkat
inflasi tertinggi terjadi saat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak
(BBM) yaitu tahun 2005 dan tahun 2008. Pada tahun 2005 kenaikan harga BBM
mencapai 126 persen dengan menetapkan harga minyak tanah sebesar Rp 2.500
per liter. Harga bensin premium naik menjadi Rp 6.000 per liter dan minyak solar
sebesar Rp 5.500 per liter. Pada tahun 2008 harga BBM jenis premium menjadi
Rp 6.000 per liter, solar menjadi
Rp 5.500 per liter dan minyak tanah menjadi Rp
2.500 per liter. Laju inflasi pada saat pemerintah menaikkan harga BBM pada
tahun 2005 mencapai 17,11 persen sedangkan untuk tahun 2008 laju inflasi
mencapai 11,06% (BPS, Pertamina, 2005-2008)
17.11
6.60 6.59
11.06
2.78
6.96
0 5 10 15 20
2005 2006 2007 2008 2009 2010
PERSEN
TAHUN
Inflasi
Sumber : BPS, diolah
Gambar 1.2 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu 2005 – 2010
World Bank
dalam publikasinya menyebutkan bahwa kenaikan harga
pangan dunia telah menyebabkan terjadinya krisis pangan yang semakin
(4)
4
mengkhawatirkan
2. Krisis pangan yang melanda dunia dimulai tahun 2007-2008
di mana berawal dari gagalnya panen yang terjadi di Cina dan Rusia akibat
terjadinya bencana banjir dan gelombang panas. Gagalnya panen gandum di Rusia
mengakibatkan harga komoditi tersebut naik dan dampaknya secara global akan
menaikkan harga pangan dunia. Pada tahun 2008, di beberapa negara seperti
Afghanistan, Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh dan Nepal telah terbukti bahwa
kenaikan harga pangan mempunyai dampak yang besar terhadap tingkat inflasi.
Kenaikan harga pangan dunia ini akan berdampak langsung bagi kondisi pangan
Indonesia karena tingkat ketergantungan masyarakat masih tinggi khususnya
impor bahan pangan. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan bahan pangan akan
menjadi beban berat bagi rakyat khususnya warga miskin. Hal ini disebabkan
pengeluaran maupun kemampuan daya beli keluarga miskin terhadap pangan
menempati persentase yang sangat besar dari total pengeluaran keluarga.
Identifikasi penyebab inflasi dari sisi
supply
(penawaran) atau
cost push
inflation
belum banyak dilakukan. Sebagian penelitian yang menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia melihat dari sisi permintaan atau
demand pull inflation
(Mardianti, 2006; Devi, 2006). Untuk penelitian yang
melihat dari sisi penawaran atau
cost push inflation
di Indonesia telah dilakukan
oleh Permana (2006) dan Babussalam (2004). Di kedua penelitian tersebut ada
hasil yang pro kontra dimana menurut Permana, harga BBM dan harga beras tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi sedangkan menurut Babussalam
kenaikan harga BBM itu berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia. Studi
2 Website World Bank.http://siteresources.worldbank.org/INTURBANDEVELOPMENT/
(5)
Permana menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah dan ekspektasi adaptif yang
berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi dalam kurun waktu 1998-2003.
1.2
Perumusan Masalah
Dari sisi penawaran, faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi adalah
guncangan penawaran yang bersifat negatif dan kenaikan biaya produksi.
Guncangan penawaran yang bersifat negatif ini terjadi akibat bencana alam dan
terganggunya distribusi dalam komoditi pangan domestik. Akibat terjadinya gagal
panen dan adanya distribusi komoditi pangan yang tidak merata menyebabkan
kenaikan harga komoditi pangan domestik.
Kenaikan biaya produksi diwakili oleh adanya harga BBM, upah gaji dan
exchange rate
karena berhubungan dengan harga dari bahan baku produksi yang
diimpor dari luar negeri. Krisis energi yang terjadi di Indonesia sebagai dampak
dari krisis energi dunia membuat harga bahan bakar minyak (BBM) mengalami
kenaikan. BBM yang merupakan salah satu input dalam proses produksi dan
kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi dan dampaknya akan
menyebabkan produsen menaikkan harga jual produknya di pasaran. Kenaikan
harga produk di masyarakat cenderung akan mendorong terjadinya inflasi.
Nilai tukar rupiah atau
exchange rate
yang selalu berfluktuatif berpengaruh
terhadap biaya produksi karena dengan naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar
membuat bahan baku yang diimpor dari negara lain menjadi lebih mahal dan
membuat biaya produksi menjadi mahal dan akhirnya mendorong produsen untuk
menaikkan harga jual di masyarakat. Keberadaan serikat pekerja yang selalu
(6)
6
mendorong adanya kenaikan upah yang lebih tinggi sebagai tuntutan dari biaya
hidup yang semakin mahal disatu sisi akan membuat biaya produksi naik dan
sekali lagi akan membuat kenaikan harga jual produk di masyarakat.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan diatas maka dalam
penelitian ini akan dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inflasi di
Indonesia dari sisi supply atau
cost push inflation.
Data yang digunakan
merupakan data inflasi secara bulanan dari tahun 1998 – 2010.
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Menggambarkan perkembangan inflasi di Indonesia dari tahun 1998-2010.
2.
Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dan
menjelaskan variabilitas inflasi di Indonesia dari sisi penawaran agregat.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi
pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain:
1.
Bagi pemerintah atau instansi terkait, penelitian ini bermanfaat untuk
melihat faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dari sisi penawaran
sehingga dapat diambil kebijakan yang tepat untuk pengendalian laju inflasi.
2.
Bagi akademisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pada penelitian lainnya yang ingin menganalisis tentang inflasi.
(7)
3.
Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman tentang inflasi yang terjadi di Indonesia dan faktor-faktor
(8)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Kerangka Teori
2.1.1
Inflasi
Mankiw (2007) menyebutkan bahwa inflasi adalah seluruh kenaikan dalam
harga. Badan Pusat Statistik (2005) mendefinisikan inflasi sebagai angka
gabungan dari perubahan harga dari sekelompok barang dan jasa yang dikonsumsi
masyarakat dan dianggap mewakili seluruh barang dan jasa yang dijual di pasar.
Khalwaty (2000) menyatakan bahwa inflasi adalah suatu keadaan yang
mengindikasikan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara.
Bank Indonesia , inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum
dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat
disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan
harga) pada barang lainnya.
Inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang dapat
diartikan sebagai gejala kenaikan harga barang dan jasa masyarakat yang bersifat
umum dan terus menerus. Secara teori, pada dasarnya inflasi berkaitan dengan
fenomena interaksi antara permintaan dan penawaran. Namun, pada kenyataannya
inflasi tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lainnya seperti tata niaga dan
(9)
2.1.2
Teori Inflasi
Cavanese dalam Atmadja (1999) menyebutkan bahwa terdapat berbagai
macam teori yang berusaha menjelaskan inflasi dari berbagai sudut pandang.
Teori tersebut adalah
Teori Kuantitas, Keynesian Model, Mark-up Model dan
Teori Struktural.
Teori Kuantitas adalah teori yang tertua yang membahas
tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami
penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini
juga dikenal sebagai model kaum moneteris (
monetarist models
). Teori ini
menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi)
masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Inti dari teori ini
adalah sebagai berikut :
1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik
uang kartal maupun giral.
2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan
oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa
mendatang.
Teori Keynesian Model,
dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini,
bahwa inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan hidup di luar batas
kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat
terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang
tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi
inflationary gap
.
Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena
dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk
(10)
10
mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti
pandangan kaum
monetarist
,
Keynesian models
ini lebih banyak dipakai untuk
menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek.
Mark-up Model,
teori ini mendasarkan pemikiran bahwa model inflasi
ditentukan oleh dua komponen, yaitu
cost of production
dan
profit margin
.
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang
menyusun
cost of production
dan atau kenaikan pada
profit margin
akan
menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.
Teori Struktural,
merupakan inflasi yang terjadi di negara-negara
berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena
moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau
cost push inflation
. Hal
ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada
umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, guncangan ekonomi yang
bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal
pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal
yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya
term
of trade
; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi
harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan
atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut
dengan
structural bottlenecks. Structural bottleneck
terutama terjadi dalam tiga
hal, yaitu :
1.
Supply
dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis
. Hal ini dikarenakan
pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode
(11)
dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi
supply
dari sektor
pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
2.
Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan
ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor
. Keterbatasan
cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor
barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang-barang modal yang sangat
dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Akibat
dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju
pertumbuhan
supply
barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan
permintaan.
3.
Pengeluaran pemerintah terbatas
. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan
rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan,
akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan
dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya
dibiayai dengan pencetakan uang (
printing of money
).
Adanya
structural bottlenecks
ini, dapat memperburuk inflasi di negara
berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di
negara-negara yang sedang berkembang sering
menjadi suatu fenomena jangka panjang,
yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Berbeda dengan
kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi
jumlah uang beredar, kaum
neo-structuralist
menekankan pada struktur sektor
(12)
12
keuangan. Dasar pemikiran kaum
neo-structuralist
ini adalah pengaruh uang
terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari
supply side
atau produksi.
Berdasarkan pemikiran kaum
neo-structuralist
, uang merupakan salah satu
faktor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk
investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) menjadi murah, maka
volume investasi akan meningkat dan juga meningkatkan volume produksi
sehingga penawaran barang meningkat, yang pada akhirnya menekan tingkat
inflasi. Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan,
penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat
inflasi dari luar negeri (
imported inflation
). Hal ini disebabkan antara lain oleh
harga barang-barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya
devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor.
2.1.3
Sumber Inflasi
Di dalam teori kuantitas, dijelaskan bahwa sumber utama terjadinya inflasi
adalah karena adanya kelebihan permintaan (
demand
) sehingga uang yang beredar
di masyarakat bertambah banyak. Dalam teori ini sumber inflasi dibedakan
menjadi dua yaitu teori
demand pull inflation
dan
cost push inflation
. Selain
menggunakan pendekatan teori kuantitas dalam menganalisis sumber-sumber
penyebab inflasi, juga digunakan pendekatan struktur ekonomi, pendekatan
moneter dan pendekatan akuntansi seperti dijelaskan oleh Khalwaty (2000) di
bawah ini:
(13)
a.
Demand pull inflation
Demand pull inflation
terjadi karena adanya kenaikan permintaan secara
agregat, dimana kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh
(full employment).
Kenaikan permintaan total
(agregate demand)
selain dapat
menaikkan harga-harga juga dapat meningkatkan produksi. Jika kondisi
produksi telah berada pada kesempatan penuh, maka kenaikan permintaan
tidak lagi mendorong kenaikan produksi
(
output
) tetapi hanya mendorong
kenaikan harga-harga yang biasa disebut sebagai Indeks Murni
(pure
inflation).
Mishkin (2009) menyebutkan inflasi yang disebabkan
demand pull
inflation
dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1 di bawah ini:
Sumber : Mishkin, 2009.
Gambar 2.1
Demand Pull Inflation
b.
Cost push inflation
Cost push inflation
terjadi pada kondisi tingkat penawaran lebih rendah jika
dibandingkan dengan tingkat permintaan. Hal ini disebabkan oleh adanya
(14)
14
kenaikan harga faktor produksi sehingga produsen terpaksa mengurangi
produksinya sampai pada jumlah tertentu. Penawaran total (
supply agregat
)
terus menurun karena semakin mahalnya biaya produksi. Apabila keadaan
tersebut berlangsung cukup lama, maka terjadilah inflasi yang disertai dengan
resesi. Kenaikan biaya produksi yang menimbulkan
cost push inflation
didorong oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1.
Adanya tuntutan kenaikan upah dari para pekerja yang biasa dikoordinir
oleh organisasi serikat buruh.
2.
Adanya industri yang monopolis, yang memberikan kekuatan kepada
produsen untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih
tinggi.
3.
Kenaikan bahan baku industri.
4.
Pemerintah terlalu berambisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi
dalam jumlah yang besar yang seharusnya dapat diserahkan kepada pihak
swasta.
5.
Adanya kebijakan pemerintah, baik yang bersifat ekonomi maupun non
ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga, seperti kenaikan tarif
angkutan umum dan kenaikan tarif listrik, kenaikan gaji pegawai negeri
dan kenaikan anggaran belanja negara yang dibiayai dengan pencetakan
uang baru (
money creation
).
6.
Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga
seperti musim kemarau panjang yang mengakibatkan gagalnya panen.
(15)
7.
Pengaruh inflasi dari luar negeri, terutama bagi negara-negara yang
menganut sistem ekonomi terbuka atau pasar bebas.
Sedangkan menurut Lipsey (1995) menyatakan bahwa
cost push inflation
dapat disebabkan oleh:
1.
Wage Cost Push Inflation
Teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah menyatakan bahwa
kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada
kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi.
2.
Price Push Inflation
Teori inflasi yang menekankan
price push
atau juga dikenal dengan istilah
administered price theory of inflation
, memiliki persamaan dengan teori inflasi
yang menekankan dorongan biaya upah. Teori tersebut menyatakan bahwa para
penjual memiliki kekuatan monopoli, dan mereka ingin sekali menaikkan
harga, tapi karena mereka takut terjadnya
antitrust
dari pihak pemerintah maka
mereka menggunakan kenaikan dalam biaya produksi dapat dijadikan alasan
yang diperlukan untuk membenarkan adanya kenaikan harga.
3.
Import Cost Push Inflation
Inflasi karena dorongan biaya impor, berupa suatu kenaikan dalam tingkat
harga suatu negara yang disebabkan adanya suatu kenaikan dalam harga-harga
barang impor penting.
4.
Structural Rigidity Inflation
Menekankan kekakuan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya
tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain
(16)
16
dan adalah mudah untuk menaikkan upah berupa uang dan harga-harga
daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga-harga adalah
kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada
sektor-sektor yang berkontraksi potensial. Sehingga proses penyesuaian upah dan
harga-harga di dalam sebuah perekonomian dengan adanya kekakuan struktural
menyebabkan munculnya inflasi.
Mishkin (2009) menyebutkan inflasi yang disebabkan
cost push inflation
dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.2 di bawah ini:
Sumber : Mishkin, 2009.
Gambar 2.2
Cost Push Inflation
2.1.3.1
Hubungan Harga Komoditi Pangan dan Inflasi
Kenaikan komoditas di belahan dunia merupakan fenomena unik bagi
sebagian orang, yang melihat kaitannya dengan perkembangan makro ekonomi
dan hubungannya dengan tingkat inflasi. Disadari atau tidak, inflasi bahan pangan
secara logika dasar makro ekonomi, dapat menyebabkan peningkatan inflasi,
(17)
sedangkan inflasi sangat erat kaitannya dengan besaran tingkat pertumbuhan
ekonomi suatu negara dan pertumbuhan merupakan kunci untuk memberantas
unemployment
. Braun (2008), menjelaskan adanya keterkaitan antara krisis
pangan dengan krisis finansial, walaupun secara
underlying cause
s (penyebab
dasarnya) berbeda. Namun, keduanya dapat mengancam keamanan pangan,
keamanan politik, dan stabilitas finansial dan ekonomi.
Dapat dijabarkan juga bahwa inflasi pangan menaikkan tekanan secara
umum pada nilai inflasi di seluruh dunia. Dalam kaitannya dengan negara
berkembang, hal ini dapat terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati
porsi terbesar dari tingkat konsumsi masyarakat. Studi Braun (2008) menunjukkan
bahwa rata-rata inflasi bahan pangan lebih tinggi dari rata-rata inflasi secara
keseluruhan di 27 dari 31 negara dengan proporsi besar dari konsumsi pangan.
Rahardja (2011) menyatakan bahwa harga komoditas di Indonesia seperti
gula, minyak goreng, kedelai dan jagung berhubungan dengan harga dunia. Dalam
periode sekitar satu tahun, satu persen kenaikan rata-rata harga komoditas dunia
akan menyebabkan kenaikan sebesar satu persen harga domestik di Indonesia.
Komoditas yang lain akan merespon hal yang sama dengan waktu respon yang
bervariasi. Secara umum, kecepatan harga domestik untuk menyesuaikan terhadap
guncangan harga dunia yang paling cepat adalah komoditas gula dan minyak
goreng sedangkan yang paling lambat pada kedelai dan jagung. Kecepatan
transmisi terhadap guncangan harga international juga berbeda diantara provinsi
di Indonesia
4.
4
Sjamsu Rahardja. Ekonom pada World Bank Jakarta. Hhttp://go.worldbank.org/AAG7PZGKR0
(18)
18
2.1.3.2
Hubungan antara Harga Minyak Dunia dan Inflasi
Purwanti (2011) menyebutkan bahwa mekanisme transmisi dampak
oil
price shock
terhadap harga dan inflasi dijelaskan oleh Blanchard. Ketika terjadi
kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan
markup
sehingga harga akan naik
,
karena hubungan antara keduanya berbanding
lurus. Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak menyebabkan
peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk meningkatkan
harga.
2.1.3.3
Hubungan antara Upah Buruh dan Inflasi
Hubungan antara upah dan inflasi ditunjukkan oleh teori inflasi yang
menekankan dorongan biaya upah dan menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan
yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan
permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. Di samping itu kekakuan
struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih
dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain dan menjadi mudah untuk
menaikkan upah berupa uang dan harga-harga daripada menurunkannya.
Mengingat bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat
adanya penurunan upah dan harga pada sektor-sektor yang berkontraksi potensial.
Jadi proses penyesuaian di dalam sebuah perekonomian dengan adanya kekakuan
struktural menyebabkan munculnya inflasi.
(19)
2.1.3.4
Hubungan antara
Expected Inflation
dan Inflasi
Mankiw (2007) menyebutkan bahwa kurva Philips
(Philips Curve)
dalam
bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung pada tiga
kekuatan salah satunya adalah inflasi yang diharapkan. Inflasi yang diharapkan
(expected inflation)
tersebut ada beberapa bentuk yaitu:
a.
Inflasi ekspektasional
, yang tergantung pada perbandingan-perbandingan
dalam hal melihat harapan di masa yang akan datang
(forward looking
expextation)
. Dengan begitu laju inflasi yang terbentuk sekarang akan
dipengaruhi nilainya oleh nilai laju inflasi pada masa yang akan datang. Hal
ini mengakibatkan pembentukan harga dan upah akan disesuaikan dengan
laju inflasi yang diharapkan pada masa yang akan datang.
b.
Ekspektasi adaptif,
tergantung pada perbandingan-perbandingan dalam hal
melihat pengalaman di masa yang lampau (
backward looking expectation
).
Dengan begitu laju inflasi yang akan datang dipengaruhi nilainya oleh laju
inflasi pada masa lampau. Hal ini mengakibatkan pembentukan harga dan
upah akan disesuaikan dengan laju inflasi yang terjadi pada masa yang
lampau. Ekspektasi adaptif ini susah untuk ditanggulangi, karena menyangkut
efek psikologis, berupa trauma akan laju inflasi yang terbentuk di masa lalu.
Oleh karena itu model ekspektasi adaptif ini memiliki pengaruh yang paling
besar terhadap laju inflasi dibandingkan bila menggunakan variabel
ekspektasi yang lain (Bank Indonesia, 2000).
(20)
20
2.1.3.5
Hubungan antara Nilai Tukar (
Exchange Rate
) dan Inflasi
Studi Permana (2004) menjelaskan bahwa nilai tukar merupakan salah satu
variabel mekanisme transmisi kebijakan moneter. Nilai tukar berpengaruh
terhadap inflasi karena adanya
direct passthrough effect
melalui harga bahan baku
impor. Barang tersebut dapat berupa barang konsumsi, bahan baku, dan barang
modal. Dampak perubahan nilai tukar terhadap laju inflasi melalu impor barang
konsumsi tergolong ke dalam
first
direct passthrough
, karena harga impornya
dapat langsung mempengaruhi harga jual produk tersebut di dalam negeri.
Sedangkan dampak melalui impor bahan baku dan barang modal tergolong ke
second direct passthrough
, karena pembentukan harganya melalui proses
produksi terlebih dahulu.
Dengan adanya depresiasi nilai tukar maka harga bahan baku impor akan
naik sehingga biaya produksi akan naik, penawaran akan turun dan terjadilah
inflasi dari sisi penawaran (
cost push inflation
). Nilai tukar mempunyai elastisitas
yang besar terhadap inflasi karena masih besarnya ketergantungan industri
terhadap bahan baku impor.
2.1.4. Penghitungan Inflasi di Indonesia
Menurut BPS (2009), inflasi di Indonesia merupakan perubahan Indeks
Harga Konsumen (IHK) pada suatu periode terhadap periode sebelumnya.
Penghitungan IHK tersebut menggunakan metode Laspeyers yang dikembangkan
(modified Laspeyers)
karena dalam rumusan indeksnya menggunakan kuantum
(21)
yang tetap sesuai tahun dasar. Rumusan Indeks Laspeyers dituliskan sebagai
berikut:
∑
∑
%
∑
(2.1)
dimana :
In = Indeks bulan ke-n
Pn = Harga jenis komoditi bulan ke-n
Po = Harga jenis komoditi tahun dasar
Qo= Kuantum jenis komoditi tahun dasar
dengan pertimbangan teknis pengolahan dari penghitungan IHK, maka
rumusan Indeks Laspeyers diatas dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
menghasilkan rumusan indeks sebagai berikut:
%
∑ (2.2)
dimana :
In = Indeks bulan ke-n
Pn = Harga jenis komoditi bulan ke-n
Po = Harga jenis komoditi tahun dasar
Qo= Kuantum jenis komoditi tahun dasar
P
(n-1)= Harga jenis komoditi bulan ke- (n-1)
Tahapan untuk menghitung inflasi dimulai dengan menghitung relatif harga
(RH), kemudian menghitung nilai konsumsi (NK), menghitung IHK, dan terakhir
menghitung angka inflasi untuk masing-masing kota. Dari masing-masing kota
ditimbang untuk mendapatkan angka inflasi nasional.
(22)
22
Menurut BPS, penghitungan inflasi di Indonesia dilaksanakan di 66 kota
dan meliputi 774 jenis barang/jasa dan kemudian dikelompokan menjadi 7
kelompok utama yaitu:
1. Bahan Makanan
2. Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
3. Perumahan
4. Sandang
5. Kesehatan
7. Transportasi dan Komunikasi
Komponen penghitungan IHK adalah:
1.
Tahun Dasar
Periode dasar atau tahun dasar adalah periode waktu tertentu yang dipakai
sebagai dasar perbandingan. Pengukuran IHK sampai dengan bulan maret
1998 menggunakan periode 1988-1989 sebagai tahun dasar. Sedangkan sejak
April tahun 1998 menggunakan periode tahun 1996 sebagai periode dasar dan
sejak Januari 2004 sudah menggunakan tahun 2002 sebagai periode dasar.
Sejak Juni 2008 tahun dasar yang dipakai untuk penghitungan inflasi adalah
2007.
2.
Data Harga
Harga yang dipilih dalam pengumpulan data harga konsumen adalah harga
eceran, yaitu harga transaksi secara tunai yang terjadi antara penjual
(pedagang eceran) dan pembeli (konsumen langsung).
(23)
3.
Paket komoditas
Adalah sejumlah komoditi yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di suatu
kota yang digunakan sebagai acuan dalam penghitungan indeks. Paket
komoditas diperoleh dari suatu survei pengeluaran rumahtangga yang
mencakup seluruh pengeluaran konsumsi untuk komoditi. Survei tersebut
adalah Survei Biaya Hidup (SBH).
4.
Diagram Timbangan
Bobot/peran dari setiap jenis barang/jasa, dimana sumber datanya adalah
Survei Biaya Hidup (SBH) yaitu nilai konsumsi makanan dan bukan makanan.
Setelah diperoleh IHK, maka inflasi dapat diketahui. Penghitungan inflasi
menggunakan persamaan sebagai berikut:
(2.3)
Dimana
merupakan inflasi yang terjadi pada periode t,
merupakan IHK
pada periode t sedangkan
merupakan IHK pada periode sebelumnya.
Inflasi terjadi apabila perubahan IHK bernilai positif, apabila perubahannya
bernilai negatif maka disebut terjadi deflasi.
2.2
Tinjauan Studi Terdahulu
Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi telah banyak
dilakukan. Pada Tabel 2.1 akan ditampilkan ringkasan penelitian terdahulu
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi.
(24)
24
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Inflasi.
NO NAMA
PENELITI JUDUL PENELITIAN DATA DAN METODE HASIL PENELITIAN 1 Permana, 2004 Analisis Faktor-faktor Penentu Laju Inflasi dilihat dari Sisi
Penawaran dan Ekspektasi Adaptif dalam Rezim Nilai Tukar Mengambang Bebas
-Indonesia, data tahun 1993-2004 -Model regresi
berganda OLS
Harga BBM dan harga beras tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi, sedangkan nilai tukar berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. 2 Trihadmini, 2004 Analisis Determinan Inflasi di Indonesia Periode 1988-2002
- Indonesia, data tahun 1988-2002 - Model Persamaan Simultan
Ekspektasi inflasi dan inflasi impor berpengaruh terhadap inflasi. 3 Krisnawati, 2006 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Inflasi di Indonesia.
- Indonesia (1983-2004 dan 1997-2004)
- Multicointegration
Output gap sangat berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia periode 1983-2004 sedangkan periode 1997-2004 yang berpengaruh terhadap inflasi adalah disequilibrium pasar uang. 4 Mardianti, 2006
Analisis Inflasi di Indonesia dari Sisi Permintaan Uang
- Data Indonesia periode 1990: kuartal 1 sampai 2005: kuartal 3 - Error Correction
Model (ECM)
Inflasi Indonesia periode t-1, perubahan broad money, perubahan nilai tukar periode t-1 dan t-2, berhubungan positif dengan inflasi di Indonesia.
5 Devi, 2006 Analisis Inflasi di Indonesia
- Indonesia, data tahun 2000-2005 - Model OLS
PDB, nilai tukar dan jumlah uang beredar secara serentak mempunyai hubungan secara signifikan terhadap inflasi, secara parsial nilai tukar dan jumlah uang beredar
(25)
mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. 6 Apriani, 2007 Analisis Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia Terhadap Inflasi dan Output di Indonesia: Periode 1990-2006
- Indonesia, data tahun 1990-2006 - Model VAR
dilanjutkan dengan VECM Guncangan harga minyak dunia berhubungan positif dengan inflasi, output, jumlah uang beredar dan nilai tukar riil. 7 Budiarti, 2008 Pengaruh Kenaikan Harga Bbm Terhadap Indeks Harga Konsumen (Ihk) Masing-Masing Kelompok Barang Dan Jasa Di Kota Banda Aceh Tahun 1998-2008
-Kota Banda Aceh, data tahun 1998-2008
-Model VAR
Kenaikan harga BBM berhubungan positif dengan inflasi umum dan inflasi untuk masing-masing komoditi barang dan jasa.
8
Sultan, 2011
Inflation in Kingdom of Saudi Arabia: A Bound Test Analysis-Arab Saudi -Model
Cointegration dengan VECM
Inflasi di dunia ekonomi, tingkat nilai tukar dan money supply adalah faktor utama yang
mempengaruhi inflasi di Saudi Arabia. 9 Dwiantoro,
2004
Analisis
Determinan Inflasi di Indonesia dengan Engle-Granger Error Correction Model
-Indonesia -Model
Eagle-Granger Error Correction Model (EG-ECM)
GDP riil berpengaruh negatif terhadap inflasi dan inflasi harapan berpengaruh positif terhadap tingkat inflasi dalam jangka panjang. 10 Monfort and
Pena, 2008 Inflation Determinant in Paraguay: Cost Push versus Demand Pull Factors -Paraguay -Model Cointegration dengan pendekatan VAR
Jumlah uang beredar berpengaruh dalam inflasi jangka panjang sedangkan harga luar negeri/ harga
beberapa produk makanan dan indeks upah punya pengaruh dalam jangka pendek
(26)
26
Penelitian ini berdasarkan penelitian Permana (2004). Persamaan penelitian
ini dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi inflasi di Indonesia dari sisi penawaran. Sedangkan perbedaannya
terletak pada cakupan tahun, variabel yang digunakan dan metode analisis yang
digunakan. Periode tahun dalam penelitian Permana adalah data kuartalan dari
tahun 1993-2004 sedangkan dalam penelitian ini periode yang digunakan adalah
data bulanan dari tahun 1998-2010.
Variabel yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah harga BBM dan
harga beras sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel harga minyak
dunia dan indeks harga komoditi pangan dunia. Metode yang digunakan dalam
penelitian terdahulu adalah regresi berganda
Ordinary Least Square (OLS)
sedangkan dalam penelitian ini menggunakan analisis
Vector Error Correction
Model (VECM)
.
2.3
Kerangka Pemikiran Operasional
Guncangan penawaran yang negatif berupa bencana alam telah
menyebabkan kegagalan panen dan terjadinya kelangkaan komoditi pangan.
Kelangkaan pangan akan berimbas pada naiknya harga komoditi pangan.
Disamping itu adanya krisis energi yang mulai melanda di tahun 2005 yang
dimulai dengan berkurangnya pasokan minyak dunia berimbas pada kenaikan
harga minyak dunia. Di Indonesia, kenaikan harga minyak dunia diikuti oleh
kenaikan harga bahan bakar minyak oleh pemerintah. BBM yang merupakan input
produksi sehingga kenaikan harganya akan meningkatkan biaya produksi. Supaya
(27)
tidak mengalami kerugian, maka produsen akan menaikkan harga jual produknya
ke konsumen sehingga akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga di
masyarakat. Semakin mahalnya harga-harga membuat buruh berusaha menuntut
kenaikan upah supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Kenaikan upah ini
akan meningkatkan biaya produksi dan sekali lagi akan membuat produsen
menaikkan harga jual produknya. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar
akan membuat harga bahan baku impor menjadi mahal sehingga akan membebani
biaya produksi. Kerangka pemikiran di atas dapat disajikan dalam Gambar 2.3.
Krisis Pangan Dunia dan Domestik
Krisis energi Dunia ‐ Harga minyak dunia
Gambar 2.3 Skema Kerangka Pemikiran
ik
Harga BBM naik Harga Pangan Naik
Biaya Produksi Naik UMR
Cost Push Inflation
Exchange rate -harga bahan baku impor naik.
Inflasi
(28)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder berupa data
bulanan periode 1998-2010. Variabel, data, satuan dan sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1. Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya
Data (Variabel)
Data yang digunakan
Satuan
Sumber Data
Inflasi (INF)
Angka inflasi bulanan
Indeks
Badan Pusat
Statistik (BPS)
Harga minyak
dunia (P_OIL)
Data harga minyak dunia
per bulan
$US/barel
International
Monetary Fund
(IMF)
Indeks harga
komoditi pangan
dunia (IHP)
Data indeks harga dari 55
komoditi pangan dunia.
Indeks
Food
Agricultural
Organization
(FAO)
Exchange Rate
(KURS)
Data nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika
Serikat per bulan
$US/Rupiah Bank
Indonesia
Expected inflation
(EXP_INF)
Data inflasi bulan
sebelumnya (I
t-1)
Indeks BPS
Tingkat
upah
(W) Rata-rata upah riil per
bulan per pekerja di
bawah mandor/supervisor
sektor manufaktur
(29)
Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang merupakan data dunia yaitu
harga minyak dunia dan indeks harga komoditi pangan dunia. Penggunaan data
harga minyak dunia berdasarkan beberapa penelitian yang menganalisis dampak
harga minyak dunia terhadap inflasi yaitu penelitian Purwanti (2011) dan
penelitian Apriani (2007), sedangkan penggunaan variabel indeks harga komoditi
pangan dunia disebabkan indeks harga komoditi pangan Indonesia tidak tersedia
dalam bulanan dan menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Rahardja (2011)
menyatakan bahwa kenaikan satu persen harga komoditi pangan dunia akan
meningkatkan sebesar satu persen harga komoditi pangan di Indonesia.
Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 13 tahun yaitu
dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2008 per bulan, sehingga terdapat sebanyak
156 unit observasi. Dengan periode waktu tersebut, maka dapat digunakan analisis
time series
, agar dapat menggambarkan hubungan jangka panjang antar variabel.
3.2.
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan untuk mendukung dan mencapai tujuan
penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrika.
3.2.1.
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk memberikan
gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Analisis deskriptif dapat
dilakukan dengan menggunakan bantuan grafik, tabel dan diagram. Dalam
(30)
30
mengenai perkembangan laju inflasi yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu
1998-2010 dan juga digunakan untuk menggambarkan perkembangan variabel
harga minyak dunia, tingkat upah buruh,
exchange rate
dan indeks harga pangan
dunia.
3.2.2.
Analisis Ekonometrika
Analisis ekonometrika yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan model
pada penelitian yang dilakukan oleh Dwiantoro (2004) dan Permana (2004). Studi
Dwiantoro menggunakan analisis
Engle-Granger Error Correction Model
dan
studi Permana menggunakan analisis regresi berganda
Ordinay Least Square
(OLS)
sedangkan dalam penelitian ini akan menggunakan analisis
Vector Error
Correction Model
karena data yang digunakan tidak semua stasioner pada level
dan terdapat kointegrasi diantara variabel-variabel tersebut.
3.2.2.1.
Uji Stasionaritas
Dalam menerapkan uji deret waktu
(time series)
disyaratkan stasionaritas
dari
series
yang digunakan. Untuk itu, sebelum melakukan analisis lebih lanjut,
perlu dilakukan uji stasionaritas terlebih dahulu terhadap data yang digunakan.
Tujuan dari uji ini adalah untuk mendapatkan nilai rata-rata yang stabil dan
random error
sama dengan nol, sehingga model regresi yang diperoleh memiliki
kemampuan prediksi yang handal dan menghindari timbulnya regresi lancung
(spurious regression).
Secara operasional suatu data
series
dikatakan stasioner
apabila data tersebut tidak mengandung unsur
trend.
Disamping itu, syarat yang
(31)
harus dipenuhi suatu data
series
sehingga dapat dikatakan stasioner apabila
mempunyai kondisi sebagai berikut:
1. Rata-rata tetap (
constant
) tidak terpengaruh oleh jalannya waktu (
invariant with
respect to time
).
2. Variasi data tetap (
variance to be constant
) untuk seluruh series data.
3.
Covariance
antar nilai dari waktu yang berbeda tergantung dari jarak nilai (
time
lag)
bukan pada posisi waktu dimana
covariance
tersebut dihitung.
Secara statistik, ketiga kondisi
series
yang stasioner di atas dapat dinyatakan
sebagai berikut:
Rata-rata :
(3.1)
Variance
:
(3.2)
Covariance
:
(3.3)
dimana
Y
adalah data observasi, adalah rata-rata konstan dari variabel
Y
,
merupakan varians konstan dari variabel
Y
,
t
menunjukkan waktu,
p
menunjukkan
jarak nilai
(time lag)
dan
, kovarians (atau
otokovarians
) pada keterlambatan k
adalah kovarians antara nilai dan
yaitu antara dua nilai , terpisah
sebanyak
periode.
Untuk mendeteksi apakah suatu
series
data stasioner atau tidak secara visual
dapat dilihat
plot
/grafik data observasi terhadap waktu. Apabila kecenderungan
fluktuasinya di sekitar nilai rata-rata dengan amplitudo yang relatif tetap atau
tidak terlihat adanya kecenderungan
(trend)
naik atau turun maka dapat dikatakan
stasioner. Penggunaan grafik sangat tergantung pada kejelian dan pengalaman
(32)
32
peneliti. Uji stasionaritas yang akhir-akhir ini banyak digunakan adalah uji
akar-akar unit
(unit roots test)
. Dalam penelitian ini, uji stasioneritas yang digunakan
adalah uji akar unit
(Unit Roots Test)
dengan metode
Augmenterd Dickey Fuller
Test (ADF test)
dengan alasan bahwa
ADF Test
telah mempertimbangkan
kemungkinan adanya autokorelasi pada
error term
jika
series
yang digunakan non
stasioner.
Uji Akar-akar Unit
Uji stasioneritas akan dilakukan dengan metode ADF dan PP sesuai dengan
bentuk
trend
deterministik yang dikandung oleh setiap variabel. Hasil
series
stasioner akan berujung pada penggunaan VAR dengan metode standar.
Sementara series nonstasioner akan berimplikasi pada dua pilihan yaitu VAR
yaitu VAR dalam bentuk
differens
atau VECM.
Pengujian stasionaritas secara teori dan prakteknya menggunakan tiga
asumsi dasar yaitu tidak adanya
trend
dan konstanta, adanya konstanta, adanya
trend
dan konstanta. Dalam menentukan uji statistik dan hipotesis alternatif yang
sesuai diperlukan pengujian adanya
trend
pada data deret waktu. Pengujian
trend
ini dilakukan untuk menghasilkan uji
unit root
yang lebih
powerfull.
Langkah
awal yang dilakukan adalah dengan melihat adanya
trend
pada data dengan
menggunakan grafik. Pengujian yang lebih formal dapat dilakukan dengan
memeriksa signifikansi adanya
trend
pada data deret waktu. Selanjutnya, dalam
memilih uji statistik yang sesuai dalam mendeteksi adanya
unit root
, hal pertama
yang dilakukan adalah meneliti adanya perubahan struktural
(structural change)
(33)
Adanya perubahan struktural ini berarti nilai parameter estimasi tidak sama
dalam periode penelitian, dengan kata lain perubahan struktural ini akan
menyebabkan adanya perbedaan
intercept
(konstanta) atau
slope,
ataupun
kemungkinan adanya perbedaan pada
intercept
maupun
slope
dalam garis regresi.
Untuk mendeteksi adanya perubahan struktural ini dapat dilakukan dengan
melihat fluktuasi data dengan grafik. Adanya perubahan struktural dapat
menyebabkan data terlihat seperti tidak stasioner, sehingga dalam perhitungan
akan mengarah pada penerimaan hipotesis nol yang salah.
Uji akar unit pertama kali dikembangkan oleh Dickey-Fuller (DF), dasar uji
stasioner data dengan akar unit dapat dijelaskan melalui persamaan:
:
,
:
,
, dimana
(3.4)
Dimana adalah koefisien otoregresif dan
adalah residual yang bersifat
random atau stokastik dengan rata-rata nol, varian konstan dan nonautokorelasi.
Residual yang seperti itu disebut
white noise
. Jika pada persamaan (3.4),
,
maka dikatakan bahwa variabel random Y mempunyai
unit
root
. Jika data
mempunyai
unit root
maka data tersebut bergerak secara
random walk
sedangkan
yang
random walk
bersifat tidak stasioner.
Dalam bentuk hepotesis dapat ditulis:
(series mengandung unit
root
)
(series tidak mengandung unit
root
)
Dari persamaan 3.4, dapat ditulis juga dalam bentuk:
(34)
34
∆
:
,
,
:
,
:
,
∆
:
,
,
Dimana
∆
dan
, sehingga bentuk hipotesis menjadi :
(series mengandung unit
root
)
(series tidak mengandung unit
root
)
Langkah-langkah uji akar-akar unit dengan menggunakan metode ADF Test
adalah sebagai berikut:
1. Misalkan terdapat persamaan sebagai berikut:
di mana
adalah koefisien otoregesif, adalah
white noise error term
yang
mempunyai rata-rata sama dengan nol dan varians konstan serta tidak
mengandung autokorelasi. Jika
, maka dapat dinyatakan bahwa variabel
mempunyai akar unit. Dalam istilah ekonometrika, series yang memiliki akar unit
disebut ‘
random walk
’.
Dalam bentuk hipotesis menjadi:
(series mengandung unit root)
(series tidak mengandung unit root)
2. Persamaan di atas dapat juga dinyatakan dalam bentuk lain (turunan pertama),
Dimana
∆
dan
, sehingga bentuk hipotesis menjadi :
(series mengandung unit
root
)
(35)
Jika
, maka persamaan di atas dapat ditulis:
∆
Persamaan ini menunjukan bahwa turunan pertama dari series yang
random walk
( ) adalah sebuah series stasioner dengan asumsi bahwa adalah benar-benar
random.
3. Setelah didapat persamaannya, prosedur pengujian adalah dengan menghitung
terlebih dahulu nilai statistik ADF.
Statistik uji:
Dengan melihat nilai dari statistik ADF yang merupakan koefisien otoregresifnya,
dapat diketahui apakah series mengandung
unit roots
atau tidak. Jika nilai ADF
(
) lebih kecil dari nilai kritis Tabel Mackinnon dengan derajat bebas
maka
ditolak atau dapat dikatakan bahwa series telah stasioner. Jika
data asli dari suatu series saling berintegrasi atau data sudah stasioner, maka data
tersebut berintegrasi pada order 0 atau dilambangkan dengan I(0). Selanjutnya,
jika data baru stasioner dan saling berintegrasi pata turunan pertama, maka data
terebut berintegrasi pada order 1 atau I(1). Begitu seterusnya sampai didapatkan
data yang stasioner pada order d atau I(d).
3.2.2.2.
Pemeriksaan
Lag
Optimal
Uji
lag
merupakan salah satu prosedur penting yang harus dilakukan
dalam pembentukan model karena uji kointegrasi, VAR dan VECM sebagai uji
(36)
36
secara arbiter
(trial and error)
untuk mendapatkan hasil yang optimal. Namun
dalam pemilihan
lag
, selain mempertimbangkan optimalitas seharusnya juga
memperhatikan adanya kemungkinan korelasi antar residual dan penurunan
degree of freedom
dari persamaan yang dihasilkan dan jumlah parameter yang
diestimasi menjadi semakin banyak sehingga menjadi tidak efisien (Enders,
2004).
Untuk memperoleh panjang selang yang tepat akan dilakukan 3 bentuk
pengujian secara bertahap. Pada tahap
pertama
akan dilihat panjang selang
maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai
inverse roots
karakteristik AR polinominalnya. Suatu sistem VAR dikatakan
stabil (stasioner) jika seluruh
roots
-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan
semuanya terletak di dalam unit
circle
.
Pada
tahap
kedua
, panjang selang optimal akan dicari dengan
menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat selang yang terpilih
adalah panjang selang menurut kriteria
Likelihood ratio
(LR),
Final Prediction
Error
(FPE),
Akaike Information Criterion
(AIC),
Schwarz Information Criterion
(SIC), dan
Hannan-Quinn Information Criterion
(HQ). Jika kriteria informasi
hanya merujuk pada sebuah kandidat selang maka kandidat tersebutlah yang
optimal. Jika diperoleh lebih dari satu kandidat, maka pemilihan dilanjutkan pada
tahap ketiga.
Pada tahap terakhir, nilai
adjusted R
2variabel VAR dari masing-masing
kandidat selang akan diperbandingkan, dengan penekanan pada variabel-variabel
(37)
dengan selang tertentu yang menghasilkan nilai
adjusted R
2terbesar pada
variabel-variabel penting di dalam sistem.
3.2.2.3.
Uji Kointegrasi
Jika
series
dari variabel-variabel yang diteliti diketahui memiliki
unit roots
dan terkointegrasi pada order tertentu, maka perlu dilakukan uji kointegrasi.
Dengan kata lain, uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi stabilitas hubungan
jangka panjang antara dua variabel atau lebih. Jika di antara variabel-variabel
terkait terdapat kointegrasi, berarti terdapat hubungan jangka panjang di antara
variabel-variabel tersebut. Jika variabel X dan variabel Y terintegrasi, maka hasil
regresi antar variabel X dan Y akan menghasilkan residual yang stasioner.
Adapun dua series yang terintegrasi akan memiliki hubungan jangka panjang yang
stabil. Gujarati dalam Zahira (2004) menyatakan bahwa pengujian kointegrasi
hanya valid jika dilakukan pada data asli yang stasioner.
Enders (2004) memberikan catatan penting tentang definisi kointegrasi
sebagai berikut:
1.
Kointegrasi merupakan kombinasi linier dari variabel-variabel yang seriesnya
nonstasioner.
2.
Semua variabel yang diuji harus terintegrasi (stasioner) pada order yang sama.
3.
Jika X
tmempunyai n komponen, maka dimungkinkan terdapat sebanyak n-1
linearly independent cointegrating vectors
, sedangkan jika X
thanya terdiri atas
(38)
38
Penelitian ini lebih lanjut menggunakan metode
Johansen Contegration test
untuk melakukan uji kointegrasi dengan prosedur sebagai berikut:
Misalkan terdapat persamaan
Vector Autoregression (VAR)
dengan order p
sebagai berikut:
… …
∑
ln
(3.5)
Maka, tahapan-tahapan penerapan pendekatan Johansen untuk kointegrasi adalah:
1.
Lakukan
autoregressive
order p dalam model
2.
Lakukan regresi dari
∆
terhadap
∆
,
∆
, ….,
∆
dan hasil
residual
untuk masing-masing t,
dan mempunyai m elemen.
3.
Lakukan regresi dari
terhadap
∆
,
∆
, ….,
∆
dan hasil
residual untuk masing-masing t, dan mempunyai m elemen.
4.
Hitung kuadrat dari korelasi canonical antara
dan yang dalam hal ini
disebut
.
5.
Lakukan
trace test
untuk mengetahui nilai
trace
staticticsatau
likelihood ratio
dengan rumus:
(3.6)
Dimana k = 0,1,…., m-1 dan
adalah nilai
eigenvalue
ke-i. Lambang T
menunjukkan banyak angka dalam periode waktu tersedia dalam data. Zahira
(2004) menyatakan bahwa nilai
trace
statselanjutnya dibandingkan dengan
nilai kritis dari tabel
Osterwald-Lenun
.
Jika nilai
trace
statlebih besar dari nilai
(39)
6.
Alternatif uji lainnya dengan menggunakan maximum
eigenvalue test
yaitu
mencari nilai
maximum
eigenvalue
statisticsebagai berikut:
max
at
atau te
atau ter
(3.7)
Nilai
max eigenvalue
statselanjutnya juga dibandingkan dengan nilai kritis dari
tabel
Osterwald-Lenum.
Trace test
dan
maximum eigenvalue test
dilakukan untuk berbagai
hipotesis nol, seperti
:
au tidak terdapat hubungan kointegrasi,
:
rdapat satu persamaan kointegrasi sampai
:
dapat
sebanyak (n-1) persamaan kointegrasi antar variabel. Banyaknya persamaan
kointegrasi ini menunjukkan banyaknya kombinasi linier antar variabel yang
stasioner.
3.2.2.4.
Metode
Vector Autoregressive
(
VAR)
VAR merupakan salah satu model linear dinamis (MLD) yang sedang
marak digunakan untuk aplikasi peramalan variabel-variabel (terutama) ekonomi
dalam jangka panjang maupun dalam jangka menengah-panjang. Sebagai bagian
dari ekonometrika, VAR merupakan salah satu pembahasan dalam
multivariate
time series
. VAR model pertama kali diperkenalkan oleh C.A. Sims (1972)
sebagai pengembangan dari pemikiran Granger (1969). Granger menyatakan
bahwa apabila dua variabel misalkan x dan y memiliki hubungan kausal di mana x
mempengaruhi y maka informasi masa lalu x dapat membantu memprediksi y.
VAR model dapat dikatakan sebagai model persamaan simultan karena
(40)
40
Keunikan VAR yaitu modeling dilakukan dengan memodelkan setiap
variabel endogen dalam sistem sebagai fungsi linear dari nilai
lag
/ selisih waktu
(
lagged value
) untuk semua variabel endogen dalam sistem. Penggunaan VAR
model umumnya untuk peramalan sistem peubah yang saling terkait satu sama
lain, disamping itu model ini dapat menganalisa dampak dinamis dari perubahan
(
random disturbance
) dalam sistem peubah tersebut. Fokus penggunaan VAR
terletak pada kemampuan model ini untuk melakukan peramalan (
forecasting
).
Peramalan yang dilakukan pun tanpa membutuhkan asumsi-asumsi untuk nilai
masing-masing variabel endogen di masa datang. Firdaus (2011) menyebutkan
beberapa keunggulan metode ini yaitu:
1.
Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang
kompleks (multivariat) sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan
variabel di dalam persamaan itu.
2.
Uji VAR yang multivariat bisa menghindarkan parameter yang bias akibat
tidak dimasukkannya variabel yang relevan.
3.
Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antarvariabel di dalam sistem
persamaan dengan menjadikan seluruh variabel sebagai variabel endogen.
4.
Metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering
muncul, termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable) di dalam model
ekonometrika konvensional terutama pada persamaan simultan sehingga
(41)
Adapun kelemahan dari analisis VAR adalah sebagai berikut:
1.
Model VAR lebih bersifat teori karena tidak memanfaatkan informasi dari
teori-teori terdahulu.
2.
Karena lebih menitikberatkan pada peramalan, maka model VAR dianggap
tidak sesuai untuk implikasi kebijakan.
3.
Tantangan terbesar VAR adalah pemilihan panjang
lag
yang tepat.
4.
Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner.
5.
Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan
3.2.2.5.
Metode
Vector Error Correction Model (VECM)
VECM adalah
Vector Autoregressive
(VAR) yang terbatas dan dirancang
untuk digunakan pada data nonstasioner yang diketahui memiliki hubungan
kointegrasi. Enders (2004) menyatakan bahwa variabel dalam VECM merupakan
variabel turunan pertama dalam model VAR, atau dengan kata lain bahwa
variabel dalam VECM merupakan variabel yang terkointegrasi pada orde pertama
[I(1)]. Hubungan dinamis jangka pendek dari suatu variabel di dalam sistem
dipengaruhi oleh penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang yang dikenal
sebagai
cointegration term
atau
error correction term.
Penyimpangan dari
keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui sekumpulan
penyesuaian parsial jangka pendek.
Hal yang perlu diperhatikan pada variabel yang berkointegrasi adalah
apabila suatu model menghendaki adanya persamaan jangka panjang, pergerakan
(42)
42
ketidakseimbangan (
disequilibrium
) dalam jangka pendek yang sering kita temui
dalam peristiwa ekonomi. Hal ini berarti apa yang diinginkan perilaku ekonomi
belum tentu sama dengan apa yang sebenarnya terjadi. Untuk itu suatu model
yang memasukkan penyesuaian untuk melakukan koreksi bagi ketidakseimbangan
atau model yang disebut model koreksi kesalahan
(Vector Error Correction
Model).
Model
Vector Error Correction Model
(VECM) dapat ditulis sebagai
berikut:
∆
∆
(3.8)
Dimana:
konstanta
Dalam hal ini koefisien
adalah koefisien jangka pendek sedangkan
adalah koefisien jangka panjang. Koefisien koreksi ketidakseimbangan
dalam
bentuk nilai absolut menjelaskan seberapa cepat waktu diperlukan untuk
mendapatkan nilai keseimbangan.
3.2.2.6.
PEMANFAATAN SISTEM VAR DAN VECM
Berikut adalah beberapa penggunaan sistem VAR dan VECM setelah
(43)
Impulse response Function (IRF)
Impulse respon
adalah salah satu metode estimasi pada VAR yang digunakan
untuk melihat respon variabel endogen terhadap adanya pengaruh inovasi (
shock
)
variabel endogen yang lain (Pindycks dan Rubinfeld, 1991). Inovasi
diinterpretasikan sebagai goncangan kebijakan (
policy shock
) atau sering juga
disebut aksi.
Forecast Error Decomposition of Variance (FEDVs)
FEVDs adalah metode yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan
dalam suatu variabel makro ditunjukkan oleh perubahan
variance error
yang
dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini dapat melihat juga
kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi
variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang
(how long/how persistent)
.
Dekomposisi varians merinci varians dari
error
peramalan (
forecast
) menjadi
komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen
dalam model. Melalui perhitungan persentase
squared prediction error
k-tahap ke
depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain, dapat
dilihat seberapa besar
error
peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel
itu sendiri dan variabel-variabel lainnya.
Granger Causality Test
Pengujian kausalitas dikembangkan oleh Granger (1969). Untuk
penyederhanaan uji, berikut diberikan contoh hubungan kausalitas antara variabel
(44)
44
∑
∑
∑
∑
(3.9)
(3.10)
Gujarati (2003) menyebutkan bahwa terdapat beberapa kasus yang bisa
terjadi dari persamaan kausalitas, yaitu:
1.
Undirectional causality
from Y to X, dapat diidentifikasikan jika koefisien
lag variabel Y pada persamaan pertama signifikan secara statistik
∑
dan untuk lag variabel X pada persamaan kedua tidak signifikan secara
statistik
∑
.
2.
Undirectional causality
from X to Y, dikatakan terjadi jika koefisien lag
variabel Y pada persamaan pertama tidak signifikan secara statistik
∑
dan untuk lag variabel X pada persamaan kedua signifikan secara statistik
∑
.
3.
Feedback
atau
bilateral causality
, jika koefisien dari kedua variabel
signifikan secara statistik dalam kedua persamaan regresi di atas.
4.
Independen jika koefisien dari kedua variabel tidak signifikan secara statistik
dalam kedua persamaan regresi di atas.
Dari uji kausalitas, dapat diketahui variabel-variabel mana yang memiliki
hubungan kausalitas dan variabel mana yang terjadi sebelum variabel lainnya atau
(45)
4.1
Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia
Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu
negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,
ekspor-impor, cadangan devisa, utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar. Laju
inflasi Indonesia selama kurun waktu tahun 1998-2010 menunjukkan fluktuasi
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.1. Nilai tertinggi dicapai pada tahun
1998 yaitu sebesar 77,63 persen dan nilai terendah dicapai pada tahun 1999
dengan laju inflasi sebesar 2,01 persen. Nilai tertinggi pada tahun 1998
merupakan dampak dari merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan faktor
sosial politik yang tidak aman, sehingga mengakibatkan harga barang dan jasa
terus meningkat tajam sampai akhir tahun 1998.
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 4.1 Laju Inflasi Tahunan di Indonesia Tahun 1998-2010
77.63
2.01 9.3512.5510.035.06 6.4
17.11
6.6 6.5911.062.78 6.96 0
20 40 60 80 100
LAJU
INFLASI
(PERSEN)
TAHUN Laju Inflasi
(1)
CointEq1 -0.687708 -0.031902 -0.001087 -0.001762 -0.000766 -0.003603 (0.08356) (0.10757) (0.00409) (0.00535) (0.00147) (0.00177) [-8.23053] [-0.29658] [-0.26587] [-0.32930] [-0.52262] [-2.04087] CointEq2 -0.163952 -0.436827 -0.014211 0.007742 -0.000430 0.000969
(0.06434) (0.08283) (0.00315) (0.00412) (0.00113) (0.00136) [-2.54810] [-5.27358] [-4.51241] [ 1.87921] [-0.38090] [ 0.71302] D(INFLASI(-1)) -0.141508 0.113447 0.001887 -0.005016 -0.001218 0.002575
(0.06833) (0.08797) (0.00334) (0.00438) (0.00120) (0.00144) [-2.07085] [ 1.28960] [ 0.56419] [-1.14643] [-1.01620] [ 1.78301] D(EXP_INF(-1)) 0.059363 -0.109741 0.007545 -0.005578 0.000753 -0.001869
(0.06464) (0.08321) (0.00316) (0.00414) (0.00113) (0.00137) [ 0.91841] [-1.31883] [ 2.38484] [-1.34772] [ 0.66436] [-1.36860] D(LN_KURS(-1)) 5.675182 1.368372 0.194498 -0.203773 -0.007493 -0.062214
(1.61669) (2.08128) (0.07913) (0.10352) (0.02835) (0.03416) [ 3.51037] [ 0.65747] [ 2.45793] [-1.96850] [-0.26433] [-1.82116] D(LN_P_OIL(-1)) -1.534474 2.038265 -0.003946 0.117053 0.019902 0.016089
(1.27716) (1.64417) (0.06251) (0.08178) (0.02239) (0.02699) [-1.20148] [ 1.23969] [-0.06313] [ 1.43138] [ 0.88878] [ 0.59619] D(LN_PFW(-1)) 11.79785 -15.71853 -0.235680 0.981828 0.570142 -0.019258 (4.32578) (5.56888) (0.21173) (0.27698) (0.07585) (0.09141) [ 2.72734] [-2.82257] [-1.11311] [ 3.54477] [ 7.51715] [-0.21069] D(LN_W_RIIL(-1)) -6.382102 1.272498 -0.144055 0.402795 0.092211 -0.040193
(4.00511) (5.15606) (0.19604) (0.25645) (0.07022) (0.08463) [-1.59349] [ 0.24680] [-0.73484] [ 1.57067] [ 1.31311] [-0.47492] R-squared 0.525106 0.287746 0.153887 0.177631 0.349341 0.052156 Adj. R-squared 0.502337 0.253597 0.113320 0.138203 0.318145 0.006712
(2)
Sum sq. resids 247.9615 410.9520 0.594049 1.016604 0.076228 0.110716 S.E. equation 1.303214 1.677719 0.063787 0.083445 0.022850 0.027538 F-statistic 23.06244 8.426167 3.793387 4.505134 11.19828 1.147689 Log likelihood -255.1932 -294.0939 209.4299 168.0608 367.5286 338.7893 Akaike AIC 3.418094 3.923297 -2.615972 -2.078712 -4.669203 -4.295964 Schwarz SC 3.575858 4.081061 -2.458209 -1.920948 -4.511439 -4.138201 Mean dependent -0.074870 0.000909 0.000176 0.012005 0.004411 0.003567 S.D. dependent 1.847345 1.941925 0.067741 0.089887 0.027672 0.027631 Determinant resid covariance (dof adj.) 4.11E-11
Determinant resid covariance 2.98E-11
Log likelihood 555.0203
Akaike information criterion -6.402861
(3)
Lampiran 7
Impulse Response Function
-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Response of INFLASI to INFLASI
-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Response of INFLASI to EXP_INF
-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Response of INFLASI to LN_KURS
-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Response of INFLASI to LN_P_OIL
-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Response of INFLASI to LN_PFW
-0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Response of INFLASI to LN_W_RIIL Response to Cholesky One S.D. Innovations
(4)
Lampiran 8 Uji
Granger Causality
Pairwise Granger Causality Tests Date: 11/02/11 Time: 14:24 Sample: 1998M01 2010M12 Lags: 2
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.
EXP_INF does not Granger Cause INFLASI 154 1.45486 0.2367 INFLASI does not Granger Cause EXP_INF 0.43911 0.6454 LN_KURS does not Granger Cause INFLASI 154 11.0698 3.E-05
INFLASI does not Granger Cause LN_KURS 0.40935 0.6648 LN_P_OIL does not Granger Cause INFLASI 154 0.86775 0.4220 INFLASI does not Granger Cause LN_P_OIL 1.16747 0.3140 LN_PFW does not Granger Cause INFLASI 154 0.31319 0.7316 INFLASI does not Granger Cause LN_PFW 2.49973 0.0855 LN_W_RIIL does not Granger Cause INFLASI 154 0.59511 0.5528 INFLASI does not Granger Cause LN_W_RIIL 3.30180 0.0395
LN_KURS does not Granger Cause EXP_INF 154 0.52401 0.5932 EXP_INF does not Granger Cause LN_KURS 3.39224 0.0363
LN_P_OIL does not Granger Cause EXP_INF 154 2.53537 0.0826 EXP_INF does not Granger Cause LN_P_OIL 2.05444 0.1318 LN_PFW does not Granger Cause EXP_INF 154 1.80310 0.1684 EXP_INF does not Granger Cause LN_PFW 0.32307 0.7244 LN_W_RIIL does not Granger Cause EXP_INF 154 2.70682 0.0700 EXP_INF does not Granger Cause LN_W_RIIL 2.13580 0.1218 LN_P_OIL does not Granger Cause LN_KURS 154 2.09249 0.1270 LN_KURS does not Granger Cause LN_P_OIL 2.01051 0.1375 LN_PFW does not Granger Cause LN_KURS 154 1.84158 0.1622 LN_KURS does not Granger Cause LN_PFW 0.06751 0.9347 LN_W_RIIL does not Granger Cause LN_KURS 154 1.15340 0.3184 LN_KURS does not Granger Cause LN_W_RIIL 0.72850 0.4843 LN_PFW does not Granger Cause LN_P_OIL 154 6.06175 0.0029
LN_P_OIL does not Granger Cause LN_PFW 1.74595 0.1780 LN_W_RIIL does not Granger Cause LN_P_OIL 154 1.87229 0.1574 LN_P_OIL does not Granger Cause LN_W_RIIL 0.34614 0.7080 LN_W_RIIL does not Granger Cause LN_PFW 154 3.36122 0.0373
(5)
Lampiran 9 Uji
FEVDs
Period S.E. INFLASI EXP_INF LN_KURS LN_P_OIL LN_PFW LN_W_RIIL 1 1.303214 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 2 1.492380 82.17407 1.306038 10.19684 0.997642 3.817836 1.507576 3 1.604125 75.05842 4.744766 12.33848 1.603313 4.762675 1.492346 4 1.710362 67.20703 10.60640 12.85588 2.348347 5.493654 1.488690 5 1.799048 61.41044 14.96432 13.03879 3.017666 6.119404 1.449383 6 1.878294 56.82959 18.27367 13.37589 3.551750 6.555205 1.413893 7 1.950749 53.08381 20.78974 13.90123 4.004346 6.832332 1.388550 8 2.019066 49.90104 22.82480 14.52350 4.403823 6.976089 1.370750 9 2.084649 47.12540 24.54858 15.16755 4.768933 7.030486 1.359056 10 2.148135 44.67220 26.05086 15.78832 5.106649 7.030408 1.351563 11 2.209857 42.48478 27.38278 16.36631 5.419247 6.999975 1.346913 12 2.269992 40.52222 28.57571 16.89591 5.707716 6.954355 1.344093 13 2.328658 38.75224 29.65170 17.37809 5.973077 6.902483 1.342410 14 2.385948 37.14852 30.62743 17.81653 6.216732 6.849380 1.341412 15 2.441939 35.68920 31.51623 18.21571 6.440363 6.797694 1.340812 16 2.496707 34.35595 32.32903 18.58012 6.645771 6.748690 1.340439 17 2.550318 33.13333 33.07500 18.91389 6.834740 6.702854 1.340192 18 2.602838 32.00824 33.76188 19.22066 7.008954 6.660255 1.340013 19 2.654325 30.96952 34.39631 19.50359 7.169951 6.620754 1.339871 20 2.704837 30.00764 34.98399 19.76539 7.319111 6.584121 1.339749 21 2.754425 29.11439 35.52985 20.00836 7.457657 6.550099 1.339640 22 2.803137 28.28269 36.03816 20.23451 7.586665 6.518439 1.339539 23 2.851017 27.50639 36.51264 20.44554 7.707077 6.488907 1.339444 24 2.898107 26.78013 36.95656 20.64294 7.819723 6.461297 1.339354 25 2.944444 26.09924 37.37276 20.82798 7.925329 6.435425 1.339269 26 2.990062 25.45958 37.76376 21.00181 8.024535 6.411129 1.339189 27 3.034995 24.85752 38.13177 21.16542 8.117907 6.388268 1.339112 28 3.079273 24.28984 38.47877 21.31968 8.205946 6.366716 1.339040 29 3.122922 23.75368 38.80651 21.46538 8.289095 6.346363 1.338972 30 3.165970 23.24648 39.11654 21.60320 8.367752 6.327111 1.338907 31 3.208440 22.76596 39.41027 21.73378 8.442271 6.308873 1.338846 32 3.250356 22.31007 39.68894 21.85767 8.512971 6.291569 1.338787 33 3.291737 21.87696 39.95368 21.97536 8.580138 6.275131 1.338732 34 3.332605 21.46496 40.20552 22.08732 8.644030 6.259494 1.338679 35 3.372978 21.07257 40.44538 22.19395 8.704882 6.244601 1.338629 36 3.412873 20.69842 40.67408 22.29562 8.762905 6.230400 1.338581 37 3.452308 20.34126 40.89239 22.39267 8.818291 6.216845 1.338535 38 3.491296 19.99998 41.10101 22.48541 8.871218 6.203892 1.338491 39 3.529855 19.67352 41.30056 22.57412 8.921845 6.191501 1.338449 40 3.567996 19.36095 41.49162 22.65906 8.970318 6.179638 1.338409 41 3.605734 19.06139 41.67473 22.74047 9.016773 6.168268 1.338371 42 3.643081 18.77406 41.85037 22.81855 9.061333 6.157363 1.338334 43 3.680050 18.49821 42.01898 22.89351 9.104111 6.146893 1.338299 44 3.716650 18.23317 42.18099 22.96553 9.145212 6.136834 1.338265 45 3.752894 17.97833 42.33677 23.03478 9.184733 6.127162 1.338232 46 3.788791 17.73310 42.48667 23.10142 9.222764 6.117854 1.338200 47 3.824351 17.49694 42.63102 23.16559 9.259386 6.108891 1.338170 48 3.859583 17.26937 42.77013 23.22743 9.294678 6.100254 1.338141 49 3.894497 17.04992 42.90427 23.28706 9.328710 6.091925 1.338113 50 3.929100 16.83817 43.03370 23.34461 9.361548 6.083888 1.338086
(6)