Teori Tanggungjawab Landasan Teoritis

31 Pasal 1365 KUH Perdata dikandung ajaran tentang tanggung jawab, seperti dalam rumusan sebagai berikut: ”Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati- hatinya”. Pasal 1365 KUH Perdata di atas, menunjukan bahwa dalam KUH Perdata dikenal ada 2 dua jenis tanggung jawab, yaitu : a. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan, artinya seseorang dapat dimintai pertanggung jawaban atas kesalahan yang telah diperbuatnya dan akibat kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain; b. Tanggung jawab berdasarkan risiko, artinya seseorang dapat dimintai pertanggung jawaban atas kerugian yang diderita oleh orang lain bukan karena kesalahan yang bersangkutan, melainkan sebagai resiko yang ditanggungnya karena kesalahan orang lain dan orang tersebut adalah menjadi bawahannya atau menjadi tanggungnya, atau dalam pengawasannya. Tanggung jawab karena kesalahan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 1367 KUH Perdata merupakan bentuk klasik pertanggung jawaban perdata.

1.5.1.5. Teori Hukum Pembuktian

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam proses Hukum Acara Pidana. Akan berakibat fatal jia seseorang yang didakwakan melakukan tindak pidana namun setelah dibuktikan melalui proses pembuktian dipersidangan, ia tidak terbukti bersalah. Untuk menghindari hal seperti itu Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari dan menemukan atau paling tidak agar mendekati kebenaran materill. Menurut Ansorie Abuan bahwa pembuktian ini adalah merpakan masalah yang pelik ingewikkeld dan justru masalah pembuktian 32 menempati titik sentral dalam Hukum Acara Pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materill, dan bukan untuk mencari kesalahan seseorang. 32 Indonesia menganut teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Pada teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitnya dua alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. 33 Bambang Poernomo berpendapat bahwa sistem atau Teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif Negatief Wettelijke Bewijstheorie bahwa “Sistem pembuktian ini merupakan gabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time. 34 Sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari hasil penggabungan kedua teori yang saling bertentangan menghasilkan sistem atau teori pembuktian atas dasar undang-undang secara negatif dengan rumusannya yang berbunyi “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang- undang”. 32 Ansorie Abuan, Syarifuddin Fetanase, Ruben Ahmad, 1990, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, hal. 185. 33 Ibid, hal. 188. 34 Bambang Purnomo, 1986, Hukum Acara Pidana, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia dalam UU RI Tahun 1981, Liberty, Yogyakarta, hal. 42. 33 Bertitik tolak dari uraian di atas untuk menentukan salah atau tidaknya seorang tedakwa menurut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative, terdapat dua komponen : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 35 D. Simons yang dikutip Wirjono Prodjodikoro, menyatakan dalam sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda yaitu pada peraturan perundang-undangan, keyakinan hakim dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan perundang-undangan. 36 Masih lebih lanjut menurut pendapat D. Simons bahwa teori pmbuktian berdasarkan undang-undang bermakna dan hanya berlaku untuk keuntungan terdakwa, tidak dimaksudkan untuk menjurus kepada dipidananya orang yang tidak bersalah hanya dapat kedang-kadang memaksa dibebaskannya orang bersalah. 37 Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan, “Untuk Indonesia yang telah menerapkan Teori Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif negatief wettelijke melalui KUHAP, sebaiknya dipertahankan, 35 Hendrastanto Yudowidagdo, dkk. 1987, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 240. 36 Wirjono Prodjodikoro, 1992, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung, hal. 77.. 37 Ibid.