33 Bertitik tolak dari uraian di atas untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang tedakwa menurut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative, terdapat dua komponen :
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang 2.
Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
35
D. Simons yang dikutip Wirjono Prodjodikoro, menyatakan dalam sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif ini,
pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda yaitu pada peraturan perundang-undangan, keyakinan hakim dan menurut undang-undang, dasar
keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan perundang-undangan.
36
Masih lebih lanjut menurut pendapat D. Simons bahwa teori pmbuktian berdasarkan undang-undang bermakna dan hanya berlaku untuk keuntungan
terdakwa, tidak dimaksudkan untuk menjurus kepada dipidananya orang yang tidak bersalah hanya dapat kedang-kadang memaksa dibebaskannya orang
bersalah.
37
Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan, “Untuk
Indonesia yang telah menerapkan Teori Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif negatief wettelijke melalui KUHAP, sebaiknya dipertahankan,
35
Hendrastanto Yudowidagdo, dkk. 1987, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 240.
36
Wirjono Prodjodikoro, 1992, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung, hal. 77..
37
Ibid.
34 berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan
hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus
dituntut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
38
1.5.2. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teoritis, maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
38
Ibid, hal. 78.
35
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
Kewajiban sebagai Saksi
Karena jabatannya untuk menyimpan rahasia, dapat dibebaskan sebagai saksi
Notaris Pejabat umum pembuatan Akta
Pemanggilan oleh Penyidik
Fungsi Majelis Kehormatan Notaris Dalam Pemberian Persetujuan Terhadap Penyidik Bagi Notaris Yang Tersangkut Kasus Pidana Terhadap Akta Yang Dibuatnya
Landasan Teori
Simpulan dan Saran
1. Bagaimana pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi
Notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya ius constitutum? 2.
Bagaimana sebaiknya pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya ius
constituendum?
Sebagai Saksi Sebagai Tersangka
Pasal 27 UUD NRITahun 1945
Pasal 112 KUHAP
Pemanggilan notaris harus mendapat izin Majelis Kehormatan Notaris
Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris
Norma kabur Pasal 66: -
Tidak dibatasi fotocopy akta yang boleh diambil diambil penyidik, penuntut umum dan hakim -
Ijin pemanggilan dari Majelis Kehormatan Notaris tidak diperlukan lagi, 30 hari setelah ijin diajukan.
Tidak perlu ijin
Metode Penelitian Teori Fungsi
Teori Wewenang Teori Tanggungjawab
Teori Hk. Pembuktian
Fungsi Majelis Kehormatan Notaris Dalam Pemberian Persetujuan Terhadap Penyidik Bagi Notaris Yang Tersangkut Kasus Pidana Terhadap Akta Yang Dibuatnya
36
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Sesuai dari adanya norma kabur yaitu norma yang berasal dari Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
, maka dalam penelitian ini peneliti mempergunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang- undangan
yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu yang dalam hal ini adalah permasalahan tentang fungsi Majelis
Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi Notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.
Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma
dalam hukum positif.
39
Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau
pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.
40
1.6.2.
Jenis Pendekatan
Pendekatan approach yang digunakan dalam suatu penelitian normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan
ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta penjelasan hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif.
39
Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, hal. 295.
40
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta, hal 13-14.