Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
                                                                                3 mempergunakan
segala sumber
keilmuwannya, apabila
Notaris yang
bersangkutan  tidak  menguasai  bidang  hukum  tertentu  dalam  pembuatan  akta, maka  ia  wajib  berkonsultasi  dengan  rekan  lain  yang  mempunyai  keahlian  dalam
masalah  yang  sedang  dihadapi,  disamping  itu  Notaris  juga  wajib  merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang masalah klien karena kepercayaan yang
telah diberikan kepadanya.
5
Setiap  wewenang  yang  diberikan  kepada  jabatan  harus  ada  aturan hukumnya.
6
Sebagai  batasan  agar  jabatan  dapat  berjalan  dengan  baik,  dan  tidak berbenturan  dengan  wewenang  jabatan  lainnya.  Dengan  demikian  jika  seorang
pejabat  Notaris  melakukan  tindakan  di  luar  wewenang  yang  telah  ditentukan, dapat  dikategorikan sebagai  perbuatan melanggar hukum,  seperti  yang dimaksud
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang  lain,  mewajibkan  orang  yang  karena  salahnya  menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Wewenang Notaris diatur dalam Pasal 15 menyebutkan : 1
Notaris  berwenang  membuat  Akta  autentik  mengenai  semua perbuatan,  perjanjian,  dan  penetapan  yang  diharuskan  oleh  peraturan
perundang-undangan danatau
yang dikehendaki
oleh yang
berkepentingan  untuk  dinyatakan  dalam  Akta  autentik,  menjamin kepastian  tanggal  pembuatan  Akta,  menyimpan  Akta,  memberikan
grosse,  salinan  dan  kutipan  Akta,  semuanya  itu  sepanjang  pembuatan Akta  itu  tidak  juga  ditugaskan  atau  dikecualikan  kepada  pejabat  lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2 Selain  kewenangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1,  Notaris
berwenang pula:
5
Marisco A. Umbas, 2013, “Pelaksanaan Pengawasan terhadap Tugas dan
Fungsi Notaris,” Lex Privatum, Vol.I, No.4, hal. 68.
6
Philipus M. Hadjon  dan Tatik Sri Djatmiati,  1997, Tentang Wewenang, Penerbit Yuridika, Surabaya, hal. 1.
4 a.
mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus; c.
membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat  uraian  sebagaimana  ditulis  dan  digambarkan  dalam  surat
yang bersangkutan; d.
melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e.
memberikan  penyuluhan  hukum  sehubungan  dengan  pembuatan Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta risalah lelang.
3 Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2,
Notaris  mempunyai  kewenangan  lain  yang  diatur  dalam  peraturan perundang-undangan.
Pasal  15  ayat  1  dan  2  tersebut  di  atas  mengatur  tentang  Wewenang
Notaris, sedangkan dalam Pasal 15 ayat 3-nya merupakan wewenang yang akan ditentukan  kemudian  berdasarkan  aturan  hukum  lain  yang  akan  datang  ius
constituendum. Mengingat peranan dan kewenangan Notaris yang sangat penting bagi lalu
lintas  hukum  dalam  kehidupan  bermasyarakat,  maka  perilaku  dan  tindakan Notaris dalam menjalankan fungsi  kewenangan,  rentan terhadap penyalahgunaan
yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, sehingga lembaga pembinaan dan  pengawasan  terhadap  Notaris  perlu  diefektifkan.  Ketentuan  yang  mengatur
tentang  pengawasan  bagi  Notaris  diatur  dalam  Bab  IX  Pasal  67  sampai  dengan Pasal  81  Undang-Undang  Jabatan  Notaris  dan  Keputusan  Menteri  Hukum  dan
Hak  Asasi  Manusia  Republik  Indonesia  Nomor  M.39-PW.07.10  Tahun  2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris sebagai peraturan
pelaksanaannya.  Ketentuan-ketentuan  ini  merupakan  salah  satu  upaya  untuk mengantisipasi  kelemahan  dan  kekurangan  dalam  sistem  pengawasan  terhadap
5 Notaris,  sehingga  diharapkan  dalam  menjalankan  profesi  jabatannya,  Notaris
dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
7
Notaris  dalam  menjalankan  jabatannya  tidak  menutup  kemungkinan bersinggungan  dengan  permasalahan  hukum  pidana  yang  melibatkan  seorang
Notaris. Hal ini bisa terjadi pada waktu notaris diminta untuk membuat akta oleh seorang  client.  Akta  yang  diminta  ini  mengandung  suatu  perbuatan  pidana  yang
tidak  disadari  atau  dilakukan  dengan  sengaja  oleh  Notaris  dan  Client  yang bersangkutan  tidak  menerangkan  kepada  Notaris.  Meskipun  demikian,  notaris
harus  bertanggungjawab  atas  akta  yang  dibuatnya  tersebut.  Jika  notaris  tidak menyadari  bahwa  akta  yang  dibuatnya  mengandung  unsur  pidana,  maka  notaris
yang bersangkutan akan dipanggil sebagai saksi. Dasar  hukum  pemanggilan  terhadap  Notaris  tertuang  dalam  Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris Pasal 66, yaitu : 1  Untuk  kepentingan  proses  peradilan,  penyidik,  penuntut  umum,  atau
hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang: a  mengambil  fotokopi  Minuta  Akta  danatau  surat-surat  yang
dilekatkan  pada  Minuta  Akta  atau  Protokol  Notaris  dalam penyimpanan Notaris; dan
b memanggil  Notaris  untuk  hadir  dalam  pemeriksaan  yang berkaitan  dengan  Akta  atau  Protokol  Notaris  yang  berada  dalam
penyimpanan Notaris. 2  Pengambilan  fotokopi  Minuta  Akta  atau  surat-surat  sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf a, dibuat berita acara penyerahan. 3  Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 tiga puluh
hari  kerja  terhitung  sejak  diterimanya  surat  permintaan  persetujuan sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1  wajib  memberikan  jawaban
menerima atau menolak permintaan persetujuan.
4  Dalam  hal  majelis  kehormatan  Notaris  tidak  memberikan  jawaban dalam  jangka  waktu  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  3,  majelis
kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.
7
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis
Pengawas Notaris, hal.3.
6 Bertitik  tolak  pada  ketentuan  Pasal  66  Undang-Undang  Jabatan  Notaris
tersebut di atas maka dapat di lihat ada 2 dua isu hukum. Pertama, Pasal 66 ayat 1  huruf  a  tidak  menjelaskan  akta  yang  mana  yang  bisa  diambil  penyidik,
penuntut umum atau hakim. Apakah hanya sebatas akta  yang tersangkut  perkara pidana  atau  untuk  semua  akta.  Redaksi  Pasal  66  ayat  1  huruf  a  ini  bisa
ditafsirkan  penyidik,  penuntut  umum  dan  hakim  dapat  mengambil  semua  akta yang disimpan Notaris. Kedua, berkaitan dengan ijin Majelis Kehormatan Notaris,
apakah  ijin  ini  mutlak  ataukah  bisa  disimpangi.  Bila  dilihat  dari  bunyi  Pasal  66 ayat  3 dan ayat  4  yaitu  majelis  kehormatan Notaris  dalam waktu  paling lama
30 tiga puluh hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud  pada ayat  1 wajib memberikan jawaban menerima atau
menolak  permintaan  persetujuan  Pasal  66  ayat  3.  Dalam  hal  Majelis Kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  3,  Majelis  Kehormatan  Notaris  dianggap  menerima permintaan persetujuan Pasal 66 ayat 4. Redaksi kedua ayat ini menunjukkan
bahwa ijin Majelis Kehormatan Notaris, tidak mutlak harus diberikan, mengingat setelah 30 hari, penyidik, penuntut umum dan hakim dapat begitu saja mengambil
fotocopy akta dan minuta dari Notaris. Pemanggilan  Notaris  sebagai  saksi,  seharusnya  pemanggilan  tidak  dapat
dilakukan  begitu  saja.  Menurut  ketentuan  Pasal  66  Undang-Undang  Jabatan Notaris  pemanggilan  Notaris  ini  harus  mendapatkan  persetujuan  Majelis
Kehormatan  Notaris.  Perlunya  persetujuan  Majelis  Kehormatan  Notaris mengingat  Notaris  sebagai  pejabat  umum  yang  harus  merahasiakan  akta  yang
dibuatnya sebagaimana diuraikan berikut ini.
7 Sebagai  tindak  lanjut  dari  amanat  Pasal  66  Undang-Undang  Jabatan
Notaris maka pada tanggal 5 Februari 2016 diterbitkan Peraturan Menteri Hukum dan  Hak  Asasi  Manusia  Nomor  7  Tahun  2016  tentang  Majelis  Kehormatan
Notaris selanjutnya disebut Permenkumham No. 7 Tahun 2016 saja. Konsideran Permenkumham  No.  7  Tahun  2016  ini  menyebutkan  bahwa  peraturan  ini  dibuat
untuk  melaksanakan  ketentuan  Pasal  66A  ayat  3  Undang-Undang  Nomor  30 Tahun  2004  tentang  Jabatan  Notaris  sebagaimana  telah  diubah  dengan  Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum
dan  Hak  Asasi  Manusia  tentang  Majelis  Kehormatan  Notaris.  Pasal  1  angka  1 Permenkumham  No.  7  Tahun  2016  yang  menyebutkan  Majelis  Kehormatan
Notaris  adalah  suatu  badan  yang  mempunyai  kewenangan  untuk  melaksanakan pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk
kepentingan  penyidikan  dan  proses  peradilan,  atas  pengambilan  fotokopi  Minuta Akta  dan  pemanggilan  Notaris  untuk  hadir  dalam  pemeriksaan  yang  berkaitan
dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Sebagai  jabatan  kepercayaan  notaris  wajib  merahasiakan  isi  akta  dan
segala  keterangan  yang  diperoleh  dalam  pelaksanaan  jabatannya.  Hal  ini  sejalan dengan  sumpah  jabatan  yang  diucapkan  sebelum  notaris  melaksanakan
jabatannya,  sebagaimana  ditegaskan  dalam  Pasal  4  Ayat  2  Undang-Undang Nomor  30  Tahun  2004  tentang  Jabatan  Notaris  jo  Undang-Undang  Nomor  2
Tahun  2014  tentang  Perubahan  atas  Undang-undang  Nomor  30  Tahun  2004 tentang  Jabatan  Notaris.  Notaris  tidak  bisa  secara  bebas  mengungkapkan  atau
membocorkan  rahasia  jabatannya  kepada  siapa  pun  kecuali  terdapat  peraturan perundang-undangan  lain  yang  memperbolehkannya  untuk  membuka  rahasia
8 jabatannya,  sumpah  jabatan  tersebut  ditegaskan  sebagai  salah  satu  kewajiban
notaris  yang  diatur  dalam  Pasal  16  ayat  1  huruf  f  Undang-Undang  Nomor  2 Tahun  2014  tentang  Perubahan  atas  Undang-undang  Nomor  30  Tahun  2004
tentang  Jabatan  Notaris,  yang  menyatakan  dalam  menjalankan  jabatanya,  notaris berkewajiban  merahasiakan  segala  sesuatu  mengenai  akta  yang  dibuatnya  dan
segala  keterangan  yang  diperoleh  guna  pembuatan  akta  sesuai  dengan sumpahjanji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Penggunaan  hak  untuk  merahasiakan  sesuatu  yang  berkaitan  dengan jabatan diatur pula dalam hukum acara pidana, hukum perdata, dan Kitab Undang-
Undang  Hukum  Pidana.  Pasal  170  ayat  1  KUHAP  menyatakan  bahwa,  mereka yang  karena  pekerjaan,  harkat,  martabat,  atau  juga  jabatannya  diwajibkan  untuk
menyimpan  rahasia,  dapat  minta  dibebaskan  dari  penggunaan  hak  untuk memberikan  keterangan  sebagai  saksi,  yaitu  tentang  hal  yang  dipercayakan
kepadanya. Selanjutnya  dalam  Pasal  1909  ayat  2  KUHPerdata  dinyatakan  bahwa,
segala  siapa  yang  karena  kedudukannya,  pekerjaannya,  atau  jabatannya  menurut undang-undang,  diwajibkan  merahasiakan  sesuatu,  namun  hanyalah  semata-mata
mengenai  hal-hal  yang  pengetahuannya  dipercayakan  kepadanya  sebagaimana demikian.  Pasal  322  ayat  1  KUHPidana  menyatakan  bahwasanya,  barangsiapa
dengan  sengaja  membuka  rahasia  yang  wajib  disimpannya  karena  jabatan  atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah. Dalam  hal  Notaris  yang  berkewajiban  merahasiakan  sesuatu  yang
berkaitan  dengan  jabatan  maka  notaris  dikatakan  memiliki  hak  ingkar  untuk dijadikan saksi baik dalam peradilan perdata maupun peradilan pidana. Istilah hak
9 ingkar  merupakan  terjemahan  dari  verschoningsrech  yang  artinya  adalah  hak
untuk dibebaskan dari memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu perkara baik itu perkara perdata maupun perkara pidana. Hak ini merupakan pengecualian dari
Pasal 1909 KUH Perdata bahwa setiap orang yang dipanggil menjadi saksi wajib memberikan kesaksian.
Tiap-tiap orang yang dipanggil sebagai saksi, mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan-keterangan. Seseorang yang berdasarkan undang-undang
dipanggil sebagai saksi, yang sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagai saksi diancam  pidana  sebagai  melakukan  suatu  kejahatan.  Pengecualiannya  ialah
apabila seseorang yang dipanggil itu, mempunyai hak untuk menolak memberikan keterangan-keterangan  sebagai  saksi,  berdasarkan  hubungan-hubungan  tertentu
yang disebutkan dalam undang-undang.
8
Dalam hukum acara perdata, Pasal 1909 KUH Perdata mewajibkan setiap orang  yang  cakap  menjadi  saksi,  untuk  memberikan  kesaksian  di  muka
pengadilan.  Ketentuan  ini  tidak  berlaku  terhadap  mereka,  yang  berdasarkan ketentuan-ketentuan  peraturan  perundang-undangan  dapat  dibebaskan  dari
kewajiban  untuk  memberikan  kesaksian  yaitu  sebagaimana  yang  telah  diatur dalam  Pasal  1909  KUH  Perdata  dan  Pasal  146  dan  277  HIR,  mereka  dapat
mempergunakan  haknya  untuk  mengundurkan  diri  sebagai  saksi,  dengan  jalan menuntut penggunaan hak ingkarnya verschoningsrecht.
9
Dalam  hukum  acara  pidana,  ketentuan  dalam  Pasal  170  ayat  1  dan  2 KUHAP menyebutkan:
1 Mereka  yang  karena  pekerjaan,  harkat  martabat  atau  jabatannya
diwajibkan  menyimpan  rahasia,  dapat  minta  dibebaskan  dari  kewajiban untuk  memberi  keterangan  sebagai  saksi,  yaitu  tentang  hal  yang
dipercayakan kepada mereka.
8
A. Kohar, 1984, Notaris Berkomunikasi, Alumni, Bandung, hal. 42.
9
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 120.
10 2
Hakim  menentukan  sah  atau  tidaknya  segala  alasan  untuk  permintaan tersebut.
Dalam  hal  pemanggilan  Notaris  sebagai  tersangka  atau  yang  terindikasi melakukan  tindak  pidana,  maka  pemanggilan  notaris  yang  mensyaratkan
persetujuan Majelis Kehormatan Notaris patut untuk dipermasalahkan. Karena hal ini  dapat  dikatakan  bertentangan  Pasal  27  UUD  1945  yang  menyatakan  bahwa
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Lebih  jauh  lagi  persyaratan  persetujuan  Majelis  Kehormatan  Notaris bertentangan  dengan  ketentuan  Pasal  112  Kitab  Undang-Undang  Acara  Pidana
KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: 1 Penyidik  yang  melakukan  pemeriksaan,  dengan  menyebutkan  alasan
pemanggilan  secara  jelas,  berwenang  memanggil  tersangka  dan  saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah
dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan  dan  hari  seorang  itu  diharuskan  memenuhi  panggilan
tersebut.
2 Orang  yang  dipanggil  wajib  datang  kepada  penyidik  dan  jika  ia  tidak datang  penyidik  memanggil  sekali  lagi,  dengan  perintah  kepada
petugas untuk membawa kepadanya.
Ketentuan  Pasal  112  KUHAP  tersebut  dapat  dikatakan  bahwa  penyidik berhak memanggil tersangka dan orang yang disangkakan ini wajib datang kepada
penyidik. Ketentuan ini berlaku untuk setiap orang dan tanpa syarat apapun. Pasal  66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
mennyatakan  bahwa  pengambilan  minuta  akta  dan  pemanggilan  Notaris  yang menyatakan  untuk  kepentingan  proses  peradilan,  penyidik,  penuntut  umum,  atau
hakim  dengan  persetujuan  Majelis  Pengawas  Daerah.  Dalam  perkembangan selanjutnya  ketentuan  Pasal  66  ini  dinyatakan  oleh  Mahkamah  Konstitusi  tidak
mempunyai  kekuatan  hukum  mengikat  Putusan  Mahkamah  Konstitusi  Nomor:
11 49PUU-X2012.  Putusan  Mahkamah  Konstitusi  ini  tidak  mengindahkan  bahwa
Notaris  dalam  menjalankan  tugas  jabatannya,  notaris  memiliki  tanggungjawab terhadap akta yang dibuatnya sehingga notaris harus berhadapan langsung dengan
Penyidik,  Penuntut  Umum  dan  Hakim  ketika  harus  berhadapan  dengan pengadilan.
Atas  Putusan  MKRI  para  Notaris  tidak  perlu  mempermasalahkannya, sebagai Warga Negara Indonesia yang taat hukum notaris harus tunduk dan patuh
pada  Putusan  Mahkamah  Konstitusi  tersebut,  karena  Putusan  Mahkamah Konstitusi telah “final and binding” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat
1  Undang-Undang  Nomor  24  Tahun  2003  Tentang  Mahkamah  Konstitusi. Namun pada Pasal 66  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas  Undang-undang  Nomor  30  Tahun  2004  tentang  Jabatan  Notaris  masalah dimunculkan  lagi  tentang  perlunya  persetujuan  bagi  Penyidik,  Penuntut  Umum
dan  Hakim  untuk  mengambil  fotokopi  minuta  akta  danatau  surat-surat  yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan
memanggil  notaris  untuk  hadir  dalam  pemeriksaan  yang  berkaitan  dengan  akta yang  dibuatnya  atau  protokol  notaris  yang  berada  dalam  penyimpanan  notaris.
Jika  pada  Pasal  66  Undang-Undang  Nomor  30  Tahun  2004  persetujuan  tersebut berasal dari Majelis Pengawas Daerah, sedangkan pada Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 persetujuan berasal dari Majelis Kehormatan Notaris. Dalam hal tersebut di atas pertanyaan yang bisa dimunculkan apa bedanya
persetujuan melalui Majelis Pengawas Daerah dengan persetujuan melalui Majelis Kehormatan  Notaris?  Apakah  hal  ini  tidak  mengingkari  Putusan  Mahkamah
Konstitusi  tersebut  di  atas  mengingat  dalam  Putusan  Mahkamah  Konstitusi disebutkan bahwa dibutuhkannya persetujuan seperti  yang diatur dalam Pasal  66
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
12 telah  dinyatakan  oleh  Mahkamah  Konstitusi  bertentangan  dengan  Undang-
Undang Dasar 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Menurut penulis hal tersebut merupakan norma konflik yaitu norma  yang
berasal  dari  Putusan  Mahkamah  Konstitusi  Nomor:  49PUU-X2012  yang berdasarkan  Undang-Undang  Dasar  1945  bertentangan  dengan  norma  yang
terdapat  dalam  Pasal  66  Undang-Undang  Nomor  2  Tahun  2014  dimana  norma dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49PUU-X2012 tidak mengharuskan
adanya  persetujuan  bagi  bagi  Penyidik,  Penuntut  Umum  dan  Hakim  untuk mengambil fotokopi minuta akta danatau surat-surat yang dilekatkan pada minuta
akta  atau  protokol  notaris  dalam  penyimpanan  notaris;  dan  memanggil  notaris untuk  hadir  dalam  pemeriksaan  yang  berkaitan  dengan  akta  yang  dibuatnya  atau
protokol  notaris  yang  berada  dalam  penyimpanan  notari  sedangkan  norma  yang terkandung  dalam  Pasal  66  Undang-Undang  Nomor  2  Tahun  2014  hal  tersebut
masih memerlukan ”persetujuan” dari Majelis Kehormatan Notaris. Dalam hal ini seolah-olah Majelis Kehormatan Notaris berdiri di atas Mahkamah Konstitusi atau
bahkan Undang-Undang Dasar 1945. Pengaturan  Pasal  66  Undang-Undang  Jabatan  Notaris  juga  memiliki
ketidakjelasan norma kabur mengingat apakah fotocopy akta yang dapat diambil penyidik, penuntut umum dan hakim hanya sebatas akta yang tersangkut  perkara
pidana  atau  untuk  semua  akta,  karena  redaksi  Pasal  66  ayat  1  huruf  a  ini  bisa ditafsirkan  penyidik,  penuntut  umum  dan  hakim  dapat  mengambil  semua  akta
yang  disimpan  Notaris.  Selain  itu  ketidakjelasan  juga  terjadi  apakah  ijin  Majelis Kehormatan  Notaris  mutlak  ataukah  bisa  disimpangi,  mengingat  setelah  30  hari
ijin disampaikan, maka ijin tersebut tidak diperlukan lagi. Berdasarkan
penelitian kepustakaan
baik melalui
perpustakaan- perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa
13 penelitian yang berkaitan dengan pemanggilan Notaris baik pemeriksaan terhadap
Notaris maupun membuka rahasia akta, yaitu : 1.
Penelitian Muhammad Ilham Arisaputra dengan judul ”Kewajiban Notaris Dalam  Menjaga  Kerahasiaan  Akta  Dalam  Kaitannya  dengan  Hak  Ingkar
Notaris”.  Tesis  pada  Program  Magister  Kenotariatan  Fakultas  Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis
ini adalah sebagai berikut : a.
Bagaimana  implementasi  hak  ingkar  notaris  dalam  menjaga kerahasiaan akta berdasarkan UUJN?
b. Bagaimana  kendala  terhadap  penggunaan  hak  ingkar  notaris  dalam
menjaga  kerahasiaan  akta  dalam  kaitannya  dengan  hak  ingkar berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris?
Penelitian  Muhammad  Ilham  Arisaputra  dengan  penelitian  yang  akan dilakukan  memiliki  persamaan  dan  perbedaan.  Persamaannya  kedua
penelitian  ini  sama-sama  meneliti  tentang  kewajiban  notaris  dalam menjaga kerahasiaan akta. Perbedaannya jika penelitian Muhammad Ilham
Arisaputra,  mengkaitkan  kewajiban  notaris  dalam  menjaga  kerahasiaan akta dengan hak ingkar notaris, maka pada penelitian yang akan dilakukan
mengkaitkan  kewajiban  notaris  dalam  menjaga  kerahasiaan  akta  dengan persetujuan Dewan kehormatan Notaris.
2. Penelitian  Pricilia  Yuliana  Kambey  dengan  judul  ”Peran  Notaris  Dalam
Proses Peradilan Pidana ”. Tesis Program Magister Kenotariatan, Fakultas
Hukum Universitas  Padjadjaran Bandung, tahun  2013. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah  keberadaan  notaris  sebagai  pejabat  umum  dalam
memberikan  kesaksian  terhadap  suatu  perkara  menyangkut  akta  yang dibuatnya dalam proses peradilan pidana?
14 b.
Bagaimanakah  peran  notaris  dalam  memberikan  keterangan  untuk membantu  proses  peradilan  pidana  dikaitkan  dengan  rahasia
jabatannya? Penelitian Pricilia Yuliana Kambey dengan penelitian yang akan dilakukan
memiliki  persamaan  dan  perbedaan.  Persamaannya  kedua  penelitian  ini sama-sama  meneliti  tentang  keberadaan  notaris  sebagai  pejabat  umum
dalam  memberikan  kesaksian  terhadap  suatu  perkara  menyangkut  akta yang  dibuatnya  dalam  proses  peradilan  pidana.  Perbedaannya  jika
penelitian  Pricilia  Yuliana  Kambey,  menganalisis  peran  notaris  dalam memberikan  keterangan  untuk  membantu  proses  peradilan  pidana
dikaitkan  dengan  rahasia  jabatannya,  maka  pada  penelitian  yang  akan dilakukan  meganalisis  perlunya  ijin  Majelis  Kehormatan  Notaris  dalam
pemberian  persetujuan  terhadap  penyidik  bagi  notaris  yang  tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.
3. Penelitian  Yenny  Lestari  Wilamarta  dengan  judul  “Rahasia  notaris,  hak
ingkar  dan  perlindungan  hukum  bagi  notaris  yang  membuka  isi  rahasia akta
”. Tesis Program  Magister Kenotariatan, Fakultas HukumUniversitas Indonesia,  Tahun  2011.  Rumusan  masalah  dari  tesis  ini  adalah  sebagai
berikut : a.
Apakah  notaris  diperbolehkan  membuka  isi  rahasia  akta  yang dibuatnya kepada lembaga penyidik atau lembaga penuntut?
b. Apakah  notaris  dapat  menggunakan  hak  ingkar  yang  terdapat  dalam
Undang-Undang  Jabatan  Notaris  bila  bertentangan  dengan  undang- undang lainnya?
c. Bagaimana  perlindungan  hukum  terhadap  notaris  yang  membuka  isi
rahasia akta?
15 Penelitian  Yenny  Lestari  Wilamarta  dengan  penelitian  yang  akan
dilakukan  memiliki  persamaan  dan  perbedaan.  Persamaannya  kedua penelitian  ini  sama-sama  meneliti  tentang  notaris  yang  membuka  rahasia
akta. Perbedaannya jika penelitian  Yenny Lestari Wilamarta mengkaitkan rahasia  notaris  dengan  hak  ingkar  dan  perlindungan  hukum  bagi  notaris
yang  membuka  isi  rahasia  akta,  maka  pada  penelitian  yang  akan dilakukan  mengkaitkan  rahasia  notaris  dengan  perlunya  ijin  Majelis
Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.
Berdasarkan  persamaan  dan  perbedaan  penelitian  sebelumnya  dengan penelitian  yang  akan  dilakukan  seperti  diuraikan  di  atas,  maka  dapat  dinyatakan
bahwa  penelitian  yang  akan  dilakukan  berbeda  dengan  penelitian-penelitian sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.
Bertitik  tolak  pada  latar  belakang  yang  telah  diuraikan  di  atas,  maka peneliti  tertarik  untuk  melakukan  penelitian  yang  dituangkan  dalam  bentuk  tesis
dengan judul ”Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Pemberian Persetujuan Terhadap  Penyidik  bagi  Notaris  yang  Tersangkut  Kasus  Pidana  Terhadap  Akta
yang Dibuatnya ”.
                