Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

3 mempergunakan segala sumber keilmuwannya, apabila Notaris yang bersangkutan tidak menguasai bidang hukum tertentu dalam pembuatan akta, maka ia wajib berkonsultasi dengan rekan lain yang mempunyai keahlian dalam masalah yang sedang dihadapi, disamping itu Notaris juga wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang masalah klien karena kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. 5 Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya. 6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat Notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, seperti yang dimaksud Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Wewenang Notaris diatur dalam Pasal 15 menyebutkan : 1 Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan danatau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2 Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Notaris berwenang pula: 5 Marisco A. Umbas, 2013, “Pelaksanaan Pengawasan terhadap Tugas dan Fungsi Notaris,” Lex Privatum, Vol.I, No.4, hal. 68. 6 Philipus M. Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati, 1997, Tentang Wewenang, Penerbit Yuridika, Surabaya, hal. 1. 4 a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta risalah lelang. 3 Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2, Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 15 ayat 1 dan 2 tersebut di atas mengatur tentang Wewenang Notaris, sedangkan dalam Pasal 15 ayat 3-nya merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang ius constituendum. Mengingat peranan dan kewenangan Notaris yang sangat penting bagi lalu lintas hukum dalam kehidupan bermasyarakat, maka perilaku dan tindakan Notaris dalam menjalankan fungsi kewenangan, rentan terhadap penyalahgunaan yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, sehingga lembaga pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris perlu diefektifkan. Ketentuan yang mengatur tentang pengawasan bagi Notaris diatur dalam Bab IX Pasal 67 sampai dengan Pasal 81 Undang-Undang Jabatan Notaris dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris sebagai peraturan pelaksanaannya. Ketentuan-ketentuan ini merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi kelemahan dan kekurangan dalam sistem pengawasan terhadap 5 Notaris, sehingga diharapkan dalam menjalankan profesi jabatannya, Notaris dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. 7 Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak menutup kemungkinan bersinggungan dengan permasalahan hukum pidana yang melibatkan seorang Notaris. Hal ini bisa terjadi pada waktu notaris diminta untuk membuat akta oleh seorang client. Akta yang diminta ini mengandung suatu perbuatan pidana yang tidak disadari atau dilakukan dengan sengaja oleh Notaris dan Client yang bersangkutan tidak menerangkan kepada Notaris. Meskipun demikian, notaris harus bertanggungjawab atas akta yang dibuatnya tersebut. Jika notaris tidak menyadari bahwa akta yang dibuatnya mengandung unsur pidana, maka notaris yang bersangkutan akan dipanggil sebagai saksi. Dasar hukum pemanggilan terhadap Notaris tertuang dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris Pasal 66, yaitu : 1 Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang: a mengambil fotokopi Minuta Akta danatau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. 2 Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dibuat berita acara penyerahan. 3 Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan. 4 Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 3, majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan. 7 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris, hal.3. 6 Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut di atas maka dapat di lihat ada 2 dua isu hukum. Pertama, Pasal 66 ayat 1 huruf a tidak menjelaskan akta yang mana yang bisa diambil penyidik, penuntut umum atau hakim. Apakah hanya sebatas akta yang tersangkut perkara pidana atau untuk semua akta. Redaksi Pasal 66 ayat 1 huruf a ini bisa ditafsirkan penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengambil semua akta yang disimpan Notaris. Kedua, berkaitan dengan ijin Majelis Kehormatan Notaris, apakah ijin ini mutlak ataukah bisa disimpangi. Bila dilihat dari bunyi Pasal 66 ayat 3 dan ayat 4 yaitu majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan Pasal 66 ayat 3. Dalam hal Majelis Kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 3, Majelis Kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan Pasal 66 ayat 4. Redaksi kedua ayat ini menunjukkan bahwa ijin Majelis Kehormatan Notaris, tidak mutlak harus diberikan, mengingat setelah 30 hari, penyidik, penuntut umum dan hakim dapat begitu saja mengambil fotocopy akta dan minuta dari Notaris. Pemanggilan Notaris sebagai saksi, seharusnya pemanggilan tidak dapat dilakukan begitu saja. Menurut ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris pemanggilan Notaris ini harus mendapatkan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris. Perlunya persetujuan Majelis Kehormatan Notaris mengingat Notaris sebagai pejabat umum yang harus merahasiakan akta yang dibuatnya sebagaimana diuraikan berikut ini. 7 Sebagai tindak lanjut dari amanat Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris maka pada tanggal 5 Februari 2016 diterbitkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris selanjutnya disebut Permenkumham No. 7 Tahun 2016 saja. Konsideran Permenkumham No. 7 Tahun 2016 ini menyebutkan bahwa peraturan ini dibuat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66A ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Majelis Kehormatan Notaris. Pasal 1 angka 1 Permenkumham No. 7 Tahun 2016 yang menyebutkan Majelis Kehormatan Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Sebagai jabatan kepercayaan notaris wajib merahasiakan isi akta dan segala keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya. Hal ini sejalan dengan sumpah jabatan yang diucapkan sebelum notaris melaksanakan jabatannya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Notaris tidak bisa secara bebas mengungkapkan atau membocorkan rahasia jabatannya kepada siapa pun kecuali terdapat peraturan perundang-undangan lain yang memperbolehkannya untuk membuka rahasia 8 jabatannya, sumpah jabatan tersebut ditegaskan sebagai salah satu kewajiban notaris yang diatur dalam Pasal 16 ayat 1 huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menyatakan dalam menjalankan jabatanya, notaris berkewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpahjanji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. Penggunaan hak untuk merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan jabatan diatur pula dalam hukum acara pidana, hukum perdata, dan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Pasal 170 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa, mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau juga jabatannya diwajibkan untuk menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari penggunaan hak untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya. Selanjutnya dalam Pasal 1909 ayat 2 KUHPerdata dinyatakan bahwa, segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya menurut undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagaimana demikian. Pasal 322 ayat 1 KUHPidana menyatakan bahwasanya, barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah. Dalam hal Notaris yang berkewajiban merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan jabatan maka notaris dikatakan memiliki hak ingkar untuk dijadikan saksi baik dalam peradilan perdata maupun peradilan pidana. Istilah hak 9 ingkar merupakan terjemahan dari verschoningsrech yang artinya adalah hak untuk dibebaskan dari memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu perkara baik itu perkara perdata maupun perkara pidana. Hak ini merupakan pengecualian dari Pasal 1909 KUH Perdata bahwa setiap orang yang dipanggil menjadi saksi wajib memberikan kesaksian. Tiap-tiap orang yang dipanggil sebagai saksi, mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan-keterangan. Seseorang yang berdasarkan undang-undang dipanggil sebagai saksi, yang sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagai saksi diancam pidana sebagai melakukan suatu kejahatan. Pengecualiannya ialah apabila seseorang yang dipanggil itu, mempunyai hak untuk menolak memberikan keterangan-keterangan sebagai saksi, berdasarkan hubungan-hubungan tertentu yang disebutkan dalam undang-undang. 8 Dalam hukum acara perdata, Pasal 1909 KUH Perdata mewajibkan setiap orang yang cakap menjadi saksi, untuk memberikan kesaksian di muka pengadilan. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap mereka, yang berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan kesaksian yaitu sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1909 KUH Perdata dan Pasal 146 dan 277 HIR, mereka dapat mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri sebagai saksi, dengan jalan menuntut penggunaan hak ingkarnya verschoningsrecht. 9 Dalam hukum acara pidana, ketentuan dalam Pasal 170 ayat 1 dan 2 KUHAP menyebutkan: 1 Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. 8 A. Kohar, 1984, Notaris Berkomunikasi, Alumni, Bandung, hal. 42. 9 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 120. 10 2 Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. Dalam hal pemanggilan Notaris sebagai tersangka atau yang terindikasi melakukan tindak pidana, maka pemanggilan notaris yang mensyaratkan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris patut untuk dipermasalahkan. Karena hal ini dapat dikatakan bertentangan Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Lebih jauh lagi persyaratan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris bertentangan dengan ketentuan Pasal 112 Kitab Undang-Undang Acara Pidana KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: 1 Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. 2 Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya. Ketentuan Pasal 112 KUHAP tersebut dapat dikatakan bahwa penyidik berhak memanggil tersangka dan orang yang disangkakan ini wajib datang kepada penyidik. Ketentuan ini berlaku untuk setiap orang dan tanpa syarat apapun. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mennyatakan bahwa pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris yang menyatakan untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah. Dalam perkembangan selanjutnya ketentuan Pasal 66 ini dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 11 49PUU-X2012. Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak mengindahkan bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, notaris memiliki tanggungjawab terhadap akta yang dibuatnya sehingga notaris harus berhadapan langsung dengan Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim ketika harus berhadapan dengan pengadilan. Atas Putusan MKRI para Notaris tidak perlu mempermasalahkannya, sebagai Warga Negara Indonesia yang taat hukum notaris harus tunduk dan patuh pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, karena Putusan Mahkamah Konstitusi telah “final and binding” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Namun pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris masalah dimunculkan lagi tentang perlunya persetujuan bagi Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim untuk mengambil fotokopi minuta akta danatau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris. Jika pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 persetujuan tersebut berasal dari Majelis Pengawas Daerah, sedangkan pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 persetujuan berasal dari Majelis Kehormatan Notaris. Dalam hal tersebut di atas pertanyaan yang bisa dimunculkan apa bedanya persetujuan melalui Majelis Pengawas Daerah dengan persetujuan melalui Majelis Kehormatan Notaris? Apakah hal ini tidak mengingkari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas mengingat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa dibutuhkannya persetujuan seperti yang diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 12 telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Menurut penulis hal tersebut merupakan norma konflik yaitu norma yang berasal dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49PUU-X2012 yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 bertentangan dengan norma yang terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dimana norma dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49PUU-X2012 tidak mengharuskan adanya persetujuan bagi bagi Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim untuk mengambil fotokopi minuta akta danatau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notari sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 hal tersebut masih memerlukan ”persetujuan” dari Majelis Kehormatan Notaris. Dalam hal ini seolah-olah Majelis Kehormatan Notaris berdiri di atas Mahkamah Konstitusi atau bahkan Undang-Undang Dasar 1945. Pengaturan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris juga memiliki ketidakjelasan norma kabur mengingat apakah fotocopy akta yang dapat diambil penyidik, penuntut umum dan hakim hanya sebatas akta yang tersangkut perkara pidana atau untuk semua akta, karena redaksi Pasal 66 ayat 1 huruf a ini bisa ditafsirkan penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengambil semua akta yang disimpan Notaris. Selain itu ketidakjelasan juga terjadi apakah ijin Majelis Kehormatan Notaris mutlak ataukah bisa disimpangi, mengingat setelah 30 hari ijin disampaikan, maka ijin tersebut tidak diperlukan lagi. Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan- perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa 13 penelitian yang berkaitan dengan pemanggilan Notaris baik pemeriksaan terhadap Notaris maupun membuka rahasia akta, yaitu : 1. Penelitian Muhammad Ilham Arisaputra dengan judul ”Kewajiban Notaris Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Dalam Kaitannya dengan Hak Ingkar Notaris”. Tesis pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimana implementasi hak ingkar notaris dalam menjaga kerahasiaan akta berdasarkan UUJN? b. Bagaimana kendala terhadap penggunaan hak ingkar notaris dalam menjaga kerahasiaan akta dalam kaitannya dengan hak ingkar berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris? Penelitian Muhammad Ilham Arisaputra dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang kewajiban notaris dalam menjaga kerahasiaan akta. Perbedaannya jika penelitian Muhammad Ilham Arisaputra, mengkaitkan kewajiban notaris dalam menjaga kerahasiaan akta dengan hak ingkar notaris, maka pada penelitian yang akan dilakukan mengkaitkan kewajiban notaris dalam menjaga kerahasiaan akta dengan persetujuan Dewan kehormatan Notaris. 2. Penelitian Pricilia Yuliana Kambey dengan judul ”Peran Notaris Dalam Proses Peradilan Pidana ”. Tesis Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, tahun 2013. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah keberadaan notaris sebagai pejabat umum dalam memberikan kesaksian terhadap suatu perkara menyangkut akta yang dibuatnya dalam proses peradilan pidana? 14 b. Bagaimanakah peran notaris dalam memberikan keterangan untuk membantu proses peradilan pidana dikaitkan dengan rahasia jabatannya? Penelitian Pricilia Yuliana Kambey dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang keberadaan notaris sebagai pejabat umum dalam memberikan kesaksian terhadap suatu perkara menyangkut akta yang dibuatnya dalam proses peradilan pidana. Perbedaannya jika penelitian Pricilia Yuliana Kambey, menganalisis peran notaris dalam memberikan keterangan untuk membantu proses peradilan pidana dikaitkan dengan rahasia jabatannya, maka pada penelitian yang akan dilakukan meganalisis perlunya ijin Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya. 3. Penelitian Yenny Lestari Wilamarta dengan judul “Rahasia notaris, hak ingkar dan perlindungan hukum bagi notaris yang membuka isi rahasia akta ”. Tesis Program Magister Kenotariatan, Fakultas HukumUniversitas Indonesia, Tahun 2011. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut : a. Apakah notaris diperbolehkan membuka isi rahasia akta yang dibuatnya kepada lembaga penyidik atau lembaga penuntut? b. Apakah notaris dapat menggunakan hak ingkar yang terdapat dalam Undang-Undang Jabatan Notaris bila bertentangan dengan undang- undang lainnya? c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap notaris yang membuka isi rahasia akta? 15 Penelitian Yenny Lestari Wilamarta dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang notaris yang membuka rahasia akta. Perbedaannya jika penelitian Yenny Lestari Wilamarta mengkaitkan rahasia notaris dengan hak ingkar dan perlindungan hukum bagi notaris yang membuka isi rahasia akta, maka pada penelitian yang akan dilakukan mengkaitkan rahasia notaris dengan perlunya ijin Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya. Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik substansi maupun metodologinya. Bertitik tolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul ”Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Pemberian Persetujuan Terhadap Penyidik bagi Notaris yang Tersangkut Kasus Pidana Terhadap Akta yang Dibuatnya ”.

1.2. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi Notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya ius constitutum? 16 2. Bagaimana sebaiknya pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya ius constituendum?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris terhadap akta yang dibuatnya yang tersangkut hukum pidana ius contitutum. 2. Untuk mengetahui pengaturan yang sebaiknya terhadap fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris terhadap akta yang dibuatnya yang tersangkut hukum pidana ius contituendum.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan pengaturan pemanggilan notaris terkait akta yang dibuatnya tersangkut hukum pidana.

1.4.2. Manfaat Praktis

Sebagai masukan bagi Majelis Kehormatan Notaris dalam memberikan persetujuan atas pemanggilan notaris terkait akta yang dibuatnya tersangkut hukum pidana. 17

1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1.5.1. Landasan Teoritis

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Bernard Arief Sidharta, teori hukum merupakan teori yang secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. 10 Teori-teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah Teori Fungsi, Teori Wewenang, Teori Tanggungjawab dan Teori Hukum Pembuktian. Selain teori-teori tersebut, penelitian ini juga menggunakan konsep Akta Notaris untuk dijadikan pisau analisis dalam menjawab perumusan masalah penelitian.

1.5.1.1. Konsep Akta Notaris

Notaris dijadikan Pejabat Umum adalah ketentauan undang-undang menghendakinya, karena satu-satunya Pejabat umum yang melayani kepentingan umum, sesuai kewenangannya yang disebutkan dalam UUJN adalah pembuatan akta otentik, yang berkaitan dengan. Pasal 1868 KUHPer. Adapun Pasal 1868 KUHPer. Memuat definisi tentang akta otentik sebagai berikut: 10 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 104.