Diberhentikan Dengan Tidak Hormat dari Jabatan

52 1. sepakat mereka yang mengikatkan diirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Akta notaris yang dapat dibatalkan tersebut tetap mengikat selama belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Akta menjadi tidak mengikat sejak ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 58 Akta notaris dikatakan batal demi hukum jika melanggar unsur objektif, yaitu: 1. suatu hal tertentu; 2. suatu sebab yang tidak terlarang. Akta notaris batal demi hukum sejak akta tersebut ditandatangani dan tindakan hukum yang tersebut dalam akta dianggap tidak pernah terjadi, dan tanpa perlu ada putusan pengadilan. 59 Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Jabatan Notaris menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris yaitu membuat akta secara umum, dengan batasan sepanjang: 1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang- undang; 2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan; 3. Mengenai subjek hukum orang atau badan hukum untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan; 58 Habib Adjie, Op.Cit., hal. 55. 59 Habib Adjie, Op.Cit., hal. 55. 53 4. Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris; 5. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta. 60 Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, Irawan Soerodjo juga mengemukakan bahwa ada 3 tiga unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu: 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; 2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum; 3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuat. 61 Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai suatu alat bukti mengenai perbuatan atau peristiwa di lapangan hukum. Nilai kekuatan pembuktian akta otentik sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata dan Pasal 285 Rbg yaitu: Nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya adalah: 1 sempurna; dan 2 mengikat. Hal ini berarti apabila alat bukti akta otentik yang diajukannya telah memenuhi syarat formil dan materil, akibatnya bukti lawan yang dikemukakan pihak yang menjadi lawan tidak mengurangi kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang melekat pada dirinya. Dengan demikian kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum di dalamnya menjadi sempurna dan mengikat kepada para pihak mengenai apa yang disebut dalam akta; Nilai kekuatan pembuktian akta otentik juga sempurna dan mengikat kepada hakim sehingga hakim harus menjadikannya sebagai dasar fakta yang sempurna dan 60 Habib Adjie, Op.cit., hal. 56. 61 Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya, hal. 148. 54 cukup untuk mengambil putusan atas penyelesaian perkara yang disengketakan. Akan berbeda jadinya jika seandainya notaris dalam pembuatan akta tersebut telah melalaikan kewajibannya dan tidak melakukan pekerjaannya dengan prinsip kehati-hatian sehingga menyebabkan akta otentik yang dibuatnya itu menjadi kehilangan kekuatan pembuktian sempurnanya, akibat tidak terpenuhinya salah satu syarat formil sahnya akta. Oleh karena akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, menjadikannya dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain, akan tetapi apabila dapat dibuktikan prosedur pembuatan akta otentik tersebut menyalahi ketentuan seperti yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dalam hal ini Undang-Undang Jabatan Notaris yang mewajibkan notaris melakukan serangkaian tindakan permulaan yang mengancam pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dengan ancaman kehilangan keotentikannya dan syarat-syarat formil yang telah ditentukan, maka kekuatan pembuktian akta otentik itu menjadi tidak sempurna dan mengikat lagi tetapi merosot menjadi hanya sebagai bukti permulaan tulisan saja. Dan akta otentik juga sudah tidak dapat berdiri sendiri lagi dan harus dibantu dan didukung oleh sekurang-kurangnya salah satu alat bukti yang lain. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian lahiriah, formal dan material. 62 Nilai pembuktian tersebut antara lain : 1. Lahiriah Uitwendige Bewijskracht Kemampuan lahiriah akta notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Kemampuan tersebut menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan sehingga akta yang 62 Habib Adjie, Op.cit, hal. 72. 55 dibuat di bawah tangan tersebut baru berlaku sah apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau apabila hal tersebut dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. Suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap sebagai akta otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, bahwa akta itu bukan akta otentik. Akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya apabila suatu akta kelihatannya sebagai akta otentik artinya menandakan akta tersebut dilihat dari luar dan dari katakatanya sebagai yang berasal dari seorang pejabat umum, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta otentik sampai pihak lawan dapat membuktikan bahwa akta yang diajukan bukan akta otentik karena pihak lawan dapat mebuktikan adanya: a. Cacat hukum, karena pejabat yang membuatnya tidak berwenang atau; b. Tanda tangan pejabat di dalamnya adalah palsu; c. Isi yang terdapat didalamnya telah mengalami perubahan, baik berupa pengurangan atau penambahan kalimat. 2. Formal Formele Bewijskracht Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Ketentuan dalam Pasal 1871 KUHPerdata menyatakan bahwa segala keterangan yang tertuang di dalam akta otentik adalah benar diberikan dan disampaikan penanda-tangan kepada pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu, segala keterangan yang telah diberikan oleh 56 mereka yang menandatangani akta otentik tersebut dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan yang terdapat di dalamnya adalah benar dari orang yang menandatangani, tetapi juga meliputi kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta mengenai: a. Tanggal yang tertera di dalamnya dan harus dianggap benar; b. Berdasarkan kebenaran formil atas tanggal tersebut, tanggal pembuatan akta tidak dapat digugurkan lagi oleh para pihak dan hakim. Berdasarkan kekuatan pembuktian yang digariskan Pasal 1871 KUHPerdata, dapat disimpulkan bahwa akta otentik tidak hanya membuktikan secara formil kebenaran para pihak telah menerangkan hal- hal yang tercantum di dalamnya atau tertulis pada akta, tetapi juga meliputi bahwa yang diterangkan itu adalah benar. Sedangkan pada akta yang dibuat di bawah tangan kekuatan pembuktian ini hanya meliputi kenyataan, bahwa keterangan itu diberikan apabila tanda tangan itu diakui oleh yang menandatanganinya, atau dianggap telah diakui sedemikian rupa menurut hukum. Dalam arti formil, maka terjamin kebenaran atau kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orangorang yang hadir comparten, demikian juga tempat dimana akta itu dibuat dan sepanjang mengenai akta partij, bahwa para pihak memang menerangkan seperti yang diuraikan 57 dalam akta itu, sedangkan kebenaran dari keteranganketerangan itu sendiri hanya pasti antara para pihak sendiri. 63 3. Materiel Materiele Bewijskracht Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya tegenbewijs. Apabila seorang notaris mendengar keterangan dari para pihak yang bersangkutan, maka itu hanyalah berarti bahwa telah pasti bahwa pihak yang bersangkutan menerangkan demikian, terlepas dari kebenaran isi keterangan tersebut yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya ada. Notaris tidak memiliki kewajiban untuk mencari tahu kebenaran fakta yang diuraikan penghadap kepadanya. Kebenaran bahwa pejabat menyatakan demikian serta bahwa akta itu dibuat oleh pejabat adalah pasti bagi siapapun. Oleh karena akta tersebut, isi keterangan yang dimuat dalam akta itu berlaku sebagai yang benar, isinya itu mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi terbukti dengan sah diantara pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka dengan pengertian: a. Bahwa akta itu apabila dipergunakan di muka pengadilan adalah cukup dan bahwa hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya disamping itu; 63 GHS. Lumban Tobing, Op.cit., hal. 57 58 b. Bahwa pembuktian sebaliknya senantiasa diperkenankan dengan alatalat pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut undang-undang. 64

2.3 Tinjauan tentang Majelis Kehormatan Notaris

Keberadaan Majelis Kehormatan Notaris dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sebagai berikut : 1 Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta danatau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Kewenangan yang dimiliki oleh majelis kehormatan notaris adalah apa yang menjadi kewenangan majelis pengawas daerah sehingga penulis berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh majelis kehormatan notaris yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terdapat sikap berlawanan dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 49PUU-X2012 yang mana telah menghapuskan kewenangan majelis pengawas daerah dalam hal memberikan persetujuan tindakan kepolisian terhadap notaris. 64 GHS. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 60 59 Berdasarkan hal tersebut maka kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Kehormatan Notaris adalah merupakan kewenangan procedural, karena kewenangan Majelis Kehormatan Notaris tersebut berasal dari peraturan perundang-undangan. Utamanya adalah Undang-Undang Jabatan Notaris. Sedangkan dalam hal pelaksanaan berbagai wewenangnya, Majelis Kehormatan Notaris harus memperhatikan berbagai syarat pelaksanaan yang dinyatakan dalam peraturan perundangan. Dalam kaitan dengan hal ini, wewenang dapat berarti hak dan kewajiban. Hak dimaknai sebagai kekuasaan untuk mengatur dan mengelola sendiri. Sedangkan kewajiban diartikan secara horizontal sebagai kekuasaan untuk menyelenggarakan aturan sebagai mana mestinya dan serta secara vertical diartikan sebagai cara menjalankan produk aturan terserbut dalam satu tertib ikatan pemerintahan Negara secara keseluruhan. Atas dasar ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa wewenang yang melekat pada Majelis Kehormatan Notaris dalam memberikan persetujuan atas tindakan kepolisian terhadap notaris adalah kewenangan mandat, yaitu kewenangan yang bersumber pada proses atau pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah, dalam hal ini pelimpahan wewenang dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Majelis Kehormatan Notaris untuk melaksanakan tugas memberikan persetujuan atau tidak, dikarenakan tugas dan tanggung jawab Majelis Kehormatan Notaris berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu yang melekat Seperti dijelaskan dalam bab terdahulu bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga terletak pada putusan 60 Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final tersebut berarti putusan Mahkamah Konstitusi mau tidak mau harus dilaksanakan dan tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas putusan tersebut. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi, artinya telah tertutup lagi bagi segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum setelahnya misal Kasasi atau PK Mahkamah Agung. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itulah lahir kekuatan mengikat secara hukum binding. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi Pasal 24 ayat 2 UUD 1945. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, kewenangan pemberian persetujuan pemeriksaan Notaris untuk kepentingan proses peradilan, pada mulanya berada pada Majelis Pengawas Daerah. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49PUU-X2012 tertanggal 28 Mei 2012, yang menghapus frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” pada Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, kewenangan tersebut dihapus. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, kewenangan pemberian 61 persetujuan pemeriksaan Notaris untuk kepentingan proses peradilan muncul kembali dan dibebankan kepada Majelis Kehormatan Notaris. Tentang apa yang menjadi kewenangan lembaga baru yang bernama Majelis Kehormatan Notaris dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan, bahwa untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang mengambil fotokopi Minuta Akta danatau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta. Selain hal tersebut yang terdapat di atas dalam Pasal yang lain juga disebutkan mengenai kewenangan ini bahwa dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk majelis kehormatan Notaris Majelis Kehormatan Notaris berjumlah 7 tujuh orang, terdiri atas unsur: Notaris sebanyak 3 tiga orang, Pemerintah sebanyak 2 dua orang, dan ahli atau akademisi sebanyak 2 dua orang. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran majelis kehormatan Notaris diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 66 dan 66A Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka tampak jelas bahwa tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran Majelis Kehormatan Notaris diatur dengan Peraturan Menteri. 62 Peran penting dari lembaga MKN ini adalah “menggantikan” peran MPD dalam menyetujui atau menolak pemanggilan Notaris dan pengambilan fotokopi protokol Notaris oleh penyidik, penuntut umum dan hakim. MKN ini merupakan badan yang bersifat independen dalam mengambil keputusan yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan bimbingan atau pembinaan dalam rangka memperkuat institusi Notaris dalam menegakkan Undang-Undang Jabatan Notaris bagi setiap orang yang menjalankan jabatan sebagai Notaris. Mengenai tugas dan kewenangan MKN ini sebenarnya belum diatur secara tegas di dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan. Apabila dilihat dari perbandingan mengenai tugas dan kewenangan dari MKN dan MPD terdapat persamaan dalam implementasinya sebagai sebagai suatu lembaga perlindungan hukum terhadap jabatan Notaris. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 66 UUJN, yang pada saat itu MPD berwenang dalam memberikan atau menolak permintaan persetujuan dari penyidik untuk memanggil dan memeriksa Notaris dalam proses peradilan, namun saat ini, kewenangan tersebut telah menjadi tugas MKN. 65 Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, MKN dapat melakukan pemeriksaan terhadap Notaris yang diduga melakukan pelanggaran malpraktek terkait dengan adanya dugaan unsur pidana dalam proses pembuatan akta otentik. Apabila ditemukan adanya bukti pelanggaran malpraktek yang dilakukan oleh Notaris yang menyebabkan kerugian bagi para pihak, maka dalam ini MKN dapat memberikan persetujuan kepada penyidik untuk diperiksa dalam proses peradilan, akan tetapi apabila MKN tidak menemukan adanya unsur pidana dalam akta yang 65 Lumaria, 2015, “Perlindungan Hukum terhadap Notaris Pasca Berlakunya Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014,” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol.4, No.1, hal.5. 63 dibuat oleh atau dihadapan Notaris, maka MKN tidak dapat memberikan persetujuan pemeriksaan kepada penyidik, penuntut umum maupun hakim. 66 Dalam praktek kenotariatan tidak sedikit pihak-pihak atau klien yang datang menghadap Notaris mempunyai niat atau maksud yang baik, karena banyak ditemukan pihak atau klien yang datang ke Notaris mencoba memanfaatkan kekurangcermatan atau ketidaktelitian dari Notaris, sehingga pada akhirnya apabila terjadi masalah, maka Notaris juga harus ikut mempertanggung jawabkan perbuatannya sebagai pihak yang dikatagorikan turut serta atau membantu melakukan suatu tindak pidana. Apalagi terdapat beberapa bentuk kejahatan dalam proses pembuatan akta otentik, seperti Notaris yang diduga melakukan pemalsuan surat atau memberikan memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik. 67 Peran MKN sangat diperlukan untuk memberikan suatu pembinaan dan perlindungan hukum bagi Notaris agar dapat terhindar dari pemasalahan hokum yang dapat menjatuhkan institusi Notaris sebagai lembaga kepercayaan bagi masyarakat. Kehadiran MKN ini diharapkan dapat memberikan suatu bentuk perlindungan hukum yang optimal bagi Notaris serta dapat memberikan pembinaan secara preventif maupun kuratif dalam penegakan UUJN dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum. 68 66 Ibid. 67 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, Yogyakarta UII Press, Yogyakarta, hal.18. 68 Dyah Madya Ruth S.N., 2015, Peran Majelis Kehormatan Notaris MKN dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Notaris sebagai Jabatan Publik Ditinjau dari UU No.2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Studi di NTB, Indonesia Notary Community INC, Bogor, hal.36. 64

2.4 Pengawasan terhadap Notaris

2.4.1 Pengertian Pengawasan

Dalam setiap organisasi terutama organisasi pemerintahan fungsi pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin adanya kearsipan antara penyelenggara tugas pemerintahan oleh daerah-daerah dan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna. 69 Selanjutnya menurut Sujamto, pada dasarnya pengertian dasar dari suatu pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. 70

2.4.2 Pengawasan terhadap Notaris

Salah satu dasar hukum yang mengatur tentang pengawasan terhadap Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya adalah Pasal 1 butir 6 Undang- Undang Jabatan Notaris, menyatakan bahwa Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk rnelaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka yang melakukan tugas pengawasan terhadap Notaris setelah berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris adalah tugas dari Majelis Pengawas. 71 69 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993, Hukum Administrasi Pemerintahan Di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 233 70 Sujamto, 1993, Aspek Aspek-aspek Pengawasan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 53 71 Muhammad Haris, 2015, “Pengawasan Majelis Pengawas Daerah terhadap Notaris setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,” Jurnal Mimbar Hukum, Vol.36, No.2, hal.5-6. 65 Menurut Pasal 67 Undang-Undang Jabatan Notaris yang menjadi pengawas untuk mengawasi segala tugas dan jabatan Notaris adalah Menteri. Sebagai implementasi dari ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Jabatan Notaris, maka ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris. Sedangkan dalam Pasal I butir 5 Peraturan Menteri tersebut di atas, pengertian pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris. 72 Menurut Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota. Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas, pengertian pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris. 73 Bandingkan dengan ayat 1 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : KMK006SKBVIII1987 Nomor : M-04-PR.08.05 Tahun 1987 tentang tata cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris, menyebutkan bahwa : pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat prefentif dan represif oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman yang bertujuan untuk menjaga agar para Notaris dalam 72 Ibid. 73 Ibid. 66 menjalakankn profesinya tidak mengabaikan keluhuran martabat atau tugas jabatannya, tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, tidak melanggar sumpah jabatan dan tidak melanggar norma kode etik profesinya. Selanjutnya berdasarkan Kep.Men Keh HAM Nomor : M-01H.T. 03.01 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 8, pengawasan adalah kegiatan administrative yang besifat preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para Notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang- undangan. 74 Berdasarkan rumusan di atas yang menjadi tujuan pokok pengawasan adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan, bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Sisi lain dari pengawasan terhadap Notaris, adalah aspek perlindungan hukum bagi Notaris didalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku Pejabat umum. 75 Pengawasan terhadap Notaris sangat diperlukan, agar dalam melaksanakan tugas dan jabatannya Notaris wajib menjungjung tinggi martabat jabatannya. Ini berarti Notaris harus selalu menjaga segala tindak tanduknya, segala sikapnya dan segala perbuatannya agar tidak merendahkan martabatnya dan kewibawaanya sebagai Notaris. 76 74 L. Sumartini, 2001, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional tentang Hukum Acara Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, hal.35-36. 75 Ibid. 76 Endang Purnamaningsih, 2015, “Penegakan Hukum Jabatan Notaris dalam Pembuatan Perjanjian Berdasarkan Pancasila dalam Rangka Kepastian Hukum,” Adil: Jurnal Hukum, Vol.3, No.2, hal.326. 67 Salah satu dasar hukum yang mengatur tentang pengawasan terhadap Notaris dalam menjalanakan tugas dan jabatnnya adalah Pasal 1 butir 6 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang berbunyi : Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. Bandingkan dengan Pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris yang berbunyi : Jika Notaris mengabaikan martabat kedudukannya atau jabatannya atau melakukan tindakan yang melanggar ketentuan-ketentuan dari perundang-undangan umum atau melakukan kesalahan- kesalahan lainnya, baik di dalam maupun diluar menjalankan jabatannya, maka hal itu oleh Kejaksaan yang di dalam wilayahnya Notaris itu bertempat kedudukan, diberitahukannya kepada Pengadilan Negeri”. 77 Berdasarkan Pasal tersebut di atas, maka yang melakukan tugas pengawasan terhadap Notaris selalu berlakunya Undang-undang Jabatan Notaris adalah tugas dari Majelis Pengawas sedangkan sebelumnya pengawasn dilakukan Pengadilan yang dilakukan bersama-sama oleh Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan sedangkan aparat pelaksanaan pengawasan tersebut adalah Pengadilan Negeri yaitu Hakim. 78 Dengan demikian yang menjadi tujuan pokok pengawasan adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang digariskan dalam peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan, bukan saja jalur hukum 77 Ibid. 78 Ibid. 68 tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. 79

2.4.3 Manfaat dan Norma serta Etika Pengawasan

1. Manfaat Pengawasan

Berdasarkan beberapa pengertian tentang pengawasan yang telah disebut di atas maka jelaslah bahwa manfaat pengawasan secara umum adalah untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang obyek yang diawasi, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Jika dikaitkan dengan masalah penyimpangan, manfaat pengawasan adalah untuk mengetahui terjadi atau tidak terjadinya penyimpangan, dan bila terjadi perlu diketahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan tersebut. 80 Selain itu, pengawasan berfungsi pula sebagai bahan baku untuk melakukan perbaikan-perbaikan di waktu yang akan datang, setelah pekerjaan suatu kegiatan dilakukan pengawasan oleh pengawas.

2. Norma Pengawasan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata norma dijelaskan sebagai “ukuran untuk menentukan sesuatu, urgeren. 81 K ata “norma” berasal dari Bahasa Belanda, norm yang oleh wojowasito diberi arti sebagai norma aturan, ukuran nilai. 82 Jadi norma pengawasan adalah 79 Muhammad Haris, Op.cit, hal.61. 80 Sujamto, 1983, Beberapa Pengertian Dibidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta. hal 64 81 W.J.S Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 20 82 S. Wojowasito, 1978, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal 428 69 patokan, kaidah atau ukuran yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang yang harus diikuti dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan agar dicapai mutu pengawasan yang dikehendaki. 83

3. Etika Pengawasan

Kata “etika “ atau “etik” diperoleh dari bahasa asing. Dalam bahasa Belanda dikenal kata “ethiek atau ethica” yang artinya dijelaskan sebagai “falsafah tenang moral, ilmu moral, etika”. 84 Arti kata ethics dalam bahasa Inggris ada baiknya diambil dari The Harper Dictionary of Modern Thought yang dikutip oleh Sujamto dalam bukunya berjudul “Norma dan Etika Pengawasan” menyatakan : The branch of Philosophy that investigate morality and particular, the varities of thinking by whom human conduct is guided and may be appraised. Its spesial concern is with the Meaning and justification of utterencas about the rightness or wrongnes of actions, the virtue or vice of the motives which prompt them, the praiseworthness or blame worthiness of the agents who perform them, and the goodness or badness of the consequneces to which they give rise. Terjemahannya: Suatu Cabang Filsafat yang menyelidiki moralis dan khususnya, keragamaan pemikiran dengan mana perilaku manusia dituntun dan dinilai. Perhatian utamanya adalah tentang Makna dan pertimbangan akan pertanyaan-pertanyaan tentang benar atau salahnya tindaka-tindakan, kemuliaan atau kenistaan motif-motif yang mendasari tindakan-tindakan tersebut, kepatutan dan ketidakpatutan para 83 Sujamto, 1989, Norma dan Etika Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta, hal 18 84 Ibid, hal. 19. 70 pelaku tindakan tersebut, serta kebaikan atau keburukan akibat-akibat yang timbul dari tindakantindakan tersebut. 85 Secara etimologis, kata ethics dalam bahasa Inggris berasal dari kata latin ethicus dan kata Yunani ethikos, yang berarti moral. Jadi pada dasarnya, etika adalah suatu cabang filsafat yang obyek penyelidikannya adalah moral atau tingkah laku manusia. Kedudukan etika dalam filsafat, secara singkat dijelaskan oleh Poedjawijatna sebagai berikut : “Etika merupakan bagian dari filsafat. Sebagai ilmu etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat ia mencari keterangan benar yang sedalam-dalamnnya. Sebagai tugas tertentu bagi Etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia. Ada yang menyebut Etika itu filsafat kesusilaan, ini sama, karena Etika hendak mencari ukuran, mana yang susila itu, artinya, tindakan manusia manakah yang baik”. 86

2.4.4 Kode Etik Notaris

Etika berasal dari kata ”ethos” sebuah kata dari Yunani, yang diartikan identik dengan moral atau moralitas. 87 Istilah ini dijadikan sebagai pedoman atau ukuran bagi tindakan manusia dengan penilaian baik atau buruk dan benar atau salah. Etika melibatkan analisis kritis mengenai tindakan manusia untuk menentukan suatu nilai benar dan salah dari segi kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu istilah etika sering juga diartikan dengan tata krama, sopan santun, pedoman moral, dan norma susila. 85 Sujamto, Op.Cit., hal. 18 86 Poedjawijatna, 1984, Etika Filsafat Tingkath Laku, Bina Aksara, Jakarta, hal 6 87 H. Budi Untung, 2001, Visi Global Notaris, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal. 65