Gejala Klinis Patogenesis Kusta 1. Definisi

peringkat ketiga, dengan jumlah penderita 22.390 jiwa pada tahun 2012 WHO,2013. Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2012 terdapat 18.994 kasus baru di Indonesia, dengan 15.703 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler MB yang merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun 2012 tersebut, 6.667 kasus diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.191 kasus diderita oleh anak-anak WHO,2013. Menurut Ress 1975 dalam Zulfikli 2002, dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni bakteri Mycobacterium Leprae itu sendiri dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah: 1. Usia, anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa. 2. Jenis kelamin, laki-laki lebih banyak menderita kusta. 3. Ras, bangsa Asia dan Afrika lebih banyak menderita kusta. 4. Keadaan sosial, umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah. 5. Lingkungan, fisik, biologi dan sosial yang kurang sehat.

2.1.3. Gejala Klinis

Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta yang bersifat intraselular obligat. Saraf tepiperifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas. Maka untuk mendiagnosis kusta dicari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan yang tampak pada kulit. Untuk menciptakan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda kardinal cardinal signs, yaitu: 1. Kelainan lesi kulit yang mati rasa. Kelainan kulitlesi dapat berbentuk bercak putih hipopigmentasi atau kemerahan eritema yang mati rasa anestesi. 2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi neuritis perifer kronis. Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa: a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan paresis atau kelumpuhan paralisis otot. c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak. 3. Adanya basil tahan asam BTA di dalam kerokan jaringan kulit slit skin smear. Gejala-gejala umum pada reaksi kusta : 1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil 2. Anoreksia 3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus 4. Nyeri kepala 5. Kadang-kadang disertai Neuritis dan Orchitis

2.1.4. Klasifikasi

Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.

1. Tipe Tuberkuloid TT

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat meninggi menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal.

2. Bordeline Tuberculoid BT

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe tuberculoid TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Mid Bordeline BB

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe borderline tuberculoidBT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

4. Bordeline Lepromatous BL

Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punced-out. Tanda- tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepramatosa LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.

5. Tipe Lepramatosa LL

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi pelipis, dagu, cuping telinga: sedang dibadan dan diwajah mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progressif, muncul makula dan papula baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki. Klasifikasi Internasional Madrid, 1953 - Indeterminate I - Tuberkuloid T - Borderline – Dimorphus B - Lepromatosa L Klasifikasi WHO 1981 - Pausibasilar PB Hanya kusta tipe tuberculoidTT dan sebagian besar tipe borderline tuberculoid BT dengan bakteri tahan asam BTA negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe indeterminate I dan tuberkuloid T menurut klasifikasi Madrid. - Multibasilar MB Termasuk kusta tipe lepramatosa LL, tipe borderline lepramatosa BL, tipe mid borderline BB dan sebagian tipe borderline tuberculoid BT menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe borderline – dimorphus B dan tipe lepromatosa L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif Syahril R. Lubis.

2.1.5 Patogenesis

M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman M. Leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag berasal dari monosit darah, sel mononuklear, histiosit untuk memfagositnya. Pada kusta tipe lepramatosa LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.Pada kusta tipe tuberculoid TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia type Langerhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya. Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. Leprae di samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif Syahril R. Lubis.

2.1.6. Pemeriksaan