D. Keaslian Penulisan
Setelah  di  telusuri  daftar  skripsi  di  perpustakaan  Fakultas  Hukum Universitas  Sumatera  Utara  dan  arsip  yang  ada  di  Departemen  Hukum  Pidana
belum ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan  yang  aka
n  diangkat  yaitu  tentang  “Pertanggungjawaban  pidana terhadap  orang  yang  dengan  sengaja  tidak  melaporkan  adanya  tindak  pidana
menguasai  narkotika”.  Penulisan  skripsi  ini  adalah  asli  dari  ide,  pemikiran, gagasan dan usaha penulis sendiritanpa adanya penjiplakan dari hasil karya orang
lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, namun apabila terdapat kesamaan maka penulis siap bertanggungjawab atas keaslian penulisan skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan 1.  Pengertian Tindak Pidana
Istilah  tindak  pidana  merupakan  terjemahan  dari “strafbaar feit”, di  dalam
Kitab  Undang-Undang  Hukum  Pidana  tidak  terdapat  penjelasan  mengenai  apa sebenarnya  yang  di  maksud  dengan  strafbaar  feit  itu  sendiri.  Biasanya  tindak
pidana ini disinonimkan dengan Delik, yang berasal dari  bahasa Latin yakni kata Delictum.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut:
“Delik  adalah  perbuatan  yang  dapat  dikenakan  hukuman  karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.
’ Berdasarkan  rumusan  yang  ada  maka  delik  strafbaar  feit  memuat  beberapa
unsur yakni: 1.
Suatu perbuatan manusia;
Universitas Sumatera Utara
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;
3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Keragaman pendapat diantara para sarjana hukum mengenai defenisi strafbaar feit  telah  melahirkan  beberapa  rumusan  atau  terjemahan  mengenai  strafbaar  feit
itu sendiri, yaitu: a.
Perbuatan pidana Mulyatno    menejermahkan  istilah  strafbaar  feit  dengan  perbuatan  Pidana.
Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna
adanya  suatu  kelakuan  manusia  yang  menimbulkan  akibat  tertentu  yang dilarang  hukum  dimana  pelakunya  dapat  dikenakan  sanksi  pidana.Dapat
diartikan  demik ian  karena  kata  “perbuatan”  tidak  mungkin  berupa  kelakuan
alam,  karena  yang  dapat  berbuat  dan  hasilnya  disebut  perbuatan  itu  adalah hanya manusia.
16
Beliau  mendefenisikan  Perbuatan  Pidana  sebagai “perbuatan  yang  dilarang
oleh  suatu  aturan  hukum  larangan  mana  disertai  ancaman  sanksi  yang berupa  pidana  tertentu,  bagi  barang  siapa  melanggar  larangan  tersebut”
.istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut.
17
b. Peristiwa Pidana
Istilah  ini  pertama  kali  dikemukakan  oleh  Prof.  Wirjono  Prodjodikoro,  S.H., dalam  perundang-
undangan  formal  Indonesia,  istilah  “peristiwa  pidana” pernah  digunakan  secara  resmi  dalam  UUD  Sementara  1950,  yaitu  dalam
16
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi,  PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal 47.
17
Adami Chazawi,  Pelajaran Hukum  Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 71.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 14 ayat 1. Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana’ lebih  menunjuk  kepada  suatu  kejadian  yang  dapat  di  timbulkan  baik  oleh
perbuatan  manusia  maupun  oleh  gejala  alam.Oleh  karena  itu,  dalam percakapan  sehari-hari  sering  didengar  suatu  ungkapan  bahwakejadian  itu
merupakan peristiwa alam. c.
Tindak Pidana Istilah  Tindak  Pidana  sebagai  terjemahan  strafbaar  feit  adalah  diperkenalkan
oleh  pihak  pemerintah  cq  Departemen  Kehakiman.  Istilah  ini  banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana Khusus, misalnya Undang-
undang  Tindak  Pidana  Korupsi,  Undang-undang  Narkotika,  dan  Undang- undang  mengenai  Pornografi  yang  mengatur  secara  Khusus  Tindak  Pidana
Pornografi. Istilah  Tindak  Pidana  menunjukkan  pengertian  gerak-gerik  tingkah  laku  dan
gerak gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak  berbuat,  akan  tetapi  dengan  tidak  berbuatnya  dia,  dia  telah  melakukan
tindak  pidana.  Mengenai  kewajiban  untuk  berbuat  tetapi  dia  tidak  berbuat, yang di dalam undang-undang  menentukan  pada Pasal 164 KUHP, ketentuan
dalam  pasal  ini  mengharuskan  seseorang  untuk  melapor  kan  kepada  pihak yang  berwajib  apabila  akan  timbul  kejahatan,  ternyata  dia  tidak  melaporkan,
maka dia dapat dikenai sanksi.
18
18
Tegu Prasetyo, Op. Cit., hal 48.
Universitas Sumatera Utara
d. Delik
Berasal  dari  bahasa  latindelictum,  istilah  ini  juga  digunakan  untuk menggambarkan  tentang apa  yang  dimaksud  dengan  strafbaar feit. Istilah  ini
dapat  dijumpai  dari  beberapa  literatur,  misalnya  E.  Utrecht,  walaupun  juga beliau  menggunakan  istilah  lain  yakni  peristiwa  pidana  dalam  bukunya
Hukum  Pidana  I.  A.  Zainal  Abidin  dalam  buku  beliau  Hukum  Pidana  I. Muljatno  pernah  menggunakan  istilah  ini,  seperti  pada  judul  buku  beliau
Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan walaupunmenurut beliau lebih tepat dengan perbuatan pidana.
e. Pelanggaran Pidana
Istilah  ini  dapat  dijumpai  dalam  buku  Pokok-pokok  Hukum  Pidana  yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja.
f. Perbuatan yang boleh dihukum
Istilah  ini  digunakan  oleh  Mr.  Karni  dalam  buku  beliau  Ringkasan  tentang Hukum  Pidana.Begitu  juga  Schravendijkdalam  bukunya  Buku  Pelajaran
Tentang Hukum Pidana Indonesia. g.
Perbuatan yang dapat dihukum Istilah ini  digunakan  oleh pembentuk  Undang-undang  dalam  Undang-undang
No. 12Drt1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
19
Setelah  melihat  berbagai  defenisi  diatas  maka  dapat  diambil  kesimpulan bahwa  yang  disebut dengan tindak pidana adalah  perbuatan  yang  oleh aturan
hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di
19
Adami Chazawi, Op. Cit, hal 68.
Universitas Sumatera Utara
sini  selain  perbuatan  yang  berifat  aktif  melakukan  suatu  perbuatan  yang sebenarnya  dilarang  oleh  hukum  juga  perbuatan  yang  bersifat  pasif  tidak
berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum.
20
Setelah  mengetahui  defenisi  dan  pengertian  yang  lebih  mendalam  dari tindak  pidana  itu  sendiri,  maka  di  dalam  tindak  pidana  tersebut  terdapat  unsur-
unsur tindak pidana, yaitu: 1.
Unsur Obyektif,  yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku dader  yang  dapat berupa :
a. Perbuatan,  baik  dalam  arti  berbuat  maupun  dalam  arti  tidak  berbuat.
contoh unsur obyektif yang berupa “perbuatan” yaitu perbuatan-perbuatan yang  dilarang  dan  di  ancam  oleh  peraturan  perundang-undangan.
Perbuatan-perbuatan  tersebut  dapat  disebut  antara  lain  perbuatan- perbuatan yang dirumuskan didalam pasal 242, 263, 362 KUHP. Didalam
ketentuan  pasal  362  KUHP  misalnya,  unsur  obyektif  yang  berupa “perbuatan”  dan  sekaligus  merupakan  perbuatan  yang  dilarang  dan
diancam oleh undang-undang adalah perbuatan mengambil. b.
Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil. Contoh unsur  obyektif  yang  berupa  suatu
“akibat”  adalah  akibat-akibat  yang dilarang dan diancam oleh undang-undang dan sekaligus merupakan syarat
mutlak  dalam  tindak  pidana  antara  lain  akibat-akibat  sebagaimana dimaksudkan  dalam  ketentuan  Pasal  351,  338  KUHP.    Dalam  ketentuan
pasal  338  KUHP  misalnya,  unsur  obyektif  yangberupa “akibat”  yang
20
Teguh Prasetyo, Op.Cit, hal 50.
Universitas Sumatera Utara
dilarang  dan  diancam  dengan  undang-undang  adalah  akibat  yang  berupa matinya orang.
c. Keadaan  atau  masalah-masalah  tertentu  yang  dilarang  dan  diancam  oleh
undang-undang. Contoh unsur obyektif yang berupa
“keadaan” yang dilarang dan diancam oleh  undang-undang  adalah  keadaan  sebagaimana  dimaksud  dalam
ketentuan  pasal  160,  281  KUHP.    Dalam  ketentuan  Pasal  282  KUHP misalnya, unsur obyektif yang berupa
“keadaan” adalah  di tempat umum. 2.
Unsur Subyektif,  yaitu unsur  yang terdapat  dalam  diri  sipelaku dader yang berupa:
a. Hal yang dapat di pertanggungjawabkannya seseorang terhadap perbuatan
yang telah dilakukan kemampuan bertanggung jawab . b.
Kesalahan  atau  schuld.  Berkaitan  dengan  masalah  kemampuan bertanggung  jawab  di  atas,  persoalannya  adalah  kapan  seseorang  dapat
dikatakan mampu bertanggung  jawab? Seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung  jawab  apabila  dalam  diri  orang  itu  memenuhi  tiga  syarat,
yaitu : 1.
Keadaan  jiwa  orang  itu  adalah  sedemikian  rupa,  sehingga  ia  dapat mengerti akan  nilai  perbuatannya dank arena juga mengerti akan nilai
dari akibat perbuatannya itu. 2.
keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendak terhadap perbuatan yang ia lakukan.
Universitas Sumatera Utara
3. Orang  itu  harus  sadar  perbuatan  mana  yang  dilarang  dan  perbuatan
mana yang tidak dilarang oleh undang-undang.
21
2.  Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Asas  pertanggungjawaban  dalam  hukum  pidana  ialah  tidak  dipidana  jika tidak ada kesalahan Geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi  mens sir
rea.Asas  ini  tidak  tersebut  dalam  hukum  tertulis  tapi  hukum  yang  tidak  tertulis yang  juga  di  Indonesia  berlaku.Pertanggujawaban  tanpa  adanya  kesalahan  dari
pihak  yang  melanggar,  dinamakan  leer  van  het  materiele  feit  feit  materielle. Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu dari H. R. 1961
Nederland, hal itu ditiadakan.
22
Untuk  adanya  pertanggungjawaban  pidana,  suatu  syarat  yang  diperlukan adalah  si  pembuat  harus  mampu  bertanggungjawab,  dengan  lain  perkataan  harus
ada  kemampuan  bertanggung  jawab  dari  si  pembuat.  Mengenai  apa  yang dimaksud  dengan  kemampuan  bertanggungjawab  teorekeningsvatbaarheid  ini
KUHP  tidak  merumuskannya.
23
Hanya  saja  Pasal  44  1  KUHP  merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar
tidak  dipidana,artinya  merumuskan  perihal  kebalikan  secara  negatif  dari kemampuan bertanggung jawab.
24
21
Tongat, Hukum  Pidana Materiil, Universitas Muhammadiyah, Malang Press, Malang, 2003, hal 4.
22
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal 153.
23
I Made Wadnyana, Asas-asas Hukum Pidana, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010, hal 58.
24
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 146.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan  pasal  ini  sebenarnya  tidak  memuat  apa  yang  di  maksud  dengan “tidak  mampu  bertanggungjawab”,  tetapi  hanya  memuat  suatu  alasan  yang
terdapat  pada  diri  si  pembuat,    sehingga  perbuatan  yang  dilakukannya  itu  tidak dapat  dipertanggungjawabkan  kepadanya.  Alasan  itu  berupa  keadaan  pribadi  si
pembuat  yang  bersifat  biologis,  yaitu  “jiwanya  cacat  dalam  tubuhnya  atau terganggu karena penyakit”. Dalam keadaan yang demikian itu, si pembuat tidak
punya  kebebasan  kehendak  dan    tidak  dapat  menentukan  kehendaknya  terhadap perbuatannya.
Jadi, keadaan
tersebut dapat
menjadi alasan
tidak dipertanggungjawabkannya si pembuat atas perbuatannya. Dapat dikatakan, pasal
ini  memuat  syarat-syarat  kemampuan  bertanggungjawab  seseorang  secara negatif.
25
Untuk  memberikan  gambaran  tentang  apa  yang  dimaksud  dengan pertanggungjawaban  kesalahan  dalam  ari  yang  seluas-luasnya,  berikut  ini  di
sampaikan pengertian tentang “kasalahan” dari berbagai pandangandoktrin dalam hukum pidana:
26
a. Pompe
Pompe, mengatakan kesalahan mempunyai ciri sebagai hal yang dapat dicela, dan
pada hakikatnya
tidak mencegah
kelakuan yang
melawan
hukum.Kemudian  dijelaskan  oleh  Pompe,  bahwa  hakikatnya  tidak  mencegah kelakuan yang  melawan hukum  di  dalam  perumusan  hukum  positif, disitulah
berarti  mempunyai  kesengajaan  dan  kealpaan,  yang  mengerah  kepada  sifat melawan hukum dalam kemampuan bertanggung jawab.
25
I Made Wadnyana, Op. Cit. hal 59.
26
Martiman Prodjohamiddjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,  PT. Sabdodadi, Jakarta, 1997, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
b. Van Hamel
Van  Hamel,
27
mengatakan  pertanggungjawaban  pidana  adalah  suatu  keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk:
1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri,
2. Mampu  untuk  menyadari,  bahwa  perbuatannya  itu  menurut  pandangan
masyarakat tidak dibolehkan, 3.
Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu. c.
Simons Simons
28
mengatakan, kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan suatu
upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orang. d.
Satochid Kartanegara Satochid  Kartanegara
29
menyatakan  bahwa  taerekeningsvatbaarheid  atau dapat  dipertanggungjawabkan  adalah  mengenai  keadaan  jiwa  seseorang,
sedangkan toerekenbaarheid
pertanggungjawaban adalah
mengenai perbuatan  yang  dihubungkan  dengan  si  pelaku  atau  pembuat.  Selanjutnya
Satochid  Kartanegara,  mengatakan  seseorang  dapat  dipertanggungjawabkan, jika :
1. Keadaan  jiwa  orang  itu  adalah  sedemikian  rupa,  sehingga  ia  dapat
mengerti  atau  tahu  akan  nilai  dari  perbuatannya  itu,  juga  akan  mengerti akan akibatnya.
2. Keadaan  Jiwa  orang  itu  adalah  sedemikian  rupa,  sehingga  ia  dapat
menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan. 3.
Orang  itu  harus  sadar,  insyaf,  bahwa  perbuatan  yang  dilakukan  adalah perbuatan  yang  terlarang  atau  tidak  dibenarkan  dari  sudut  hukum,
masyarakat maupun tata susila.
e. Vos
Vos menyatakan bahwa isi kesalahan ialah : 1.
Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan, 2.
Hubungan batin tertentu orang itu dengan perbuatan yang dilakukan yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.
27
I Made Wadnyana, Op. Cit. hal 58.
28
I Made Wadnyana, Ibid.
29
Martiman Prodjohamiddjojo, Op. Cit. hal 32.
Universitas Sumatera Utara
3. Tidak  adanya  alasan  yang  menghapuskan  pertanggungjawaban  terhadap
perbuatan pada pembuat. f.
E. Mezger E. Mezger menentukan tiga macam dalam pengertian kesalahan, yakni:
1. Kemampuan bertanggungjawab.
2. Bentuk kesalahan berwujud kesengajaan dan kealpaan.
3. Alasan-alasan penghapusan kesalahan.
g. Roeslan saleh
Roeslan  saleh  mengatakan  bahwa  untuk  adanya  kesalahan  yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, pada terdakwa haruslah :
1. Melakukan perbuatan pidana
2. Mampu bertanggung jawab.
3. Dengan sengaja atau alpa.
4. Tidak ada alasan pemaaf.
Selanjutnya  Roeslan  Saleh  mengatakan  bahwa  dalam  hal  kemampuan bertanggung  jawab  ada  dua  faktor,  yaitu  :  akal  dan  kehendak.  Dengan  akal  atau
daya  pikir,  orang  dapat  membedakan  antara  perbuatan  yang  diperbolehkan  dan perbuatan yang tidak diperbolehkan.Dan dengan kehendak atau dengan kemauan,
atau keinginan orang dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.
30
30
Martiman Prodjohamiddjojo, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Untuk  menjelaskan  hal  kapankah  terdapatnya  kemampuan  bertanggung jawab pidana, dapat dengan dua cara, yaitu sebagai berikut:
31
1 Dengan berdasarkan dan atau mengikuti dari rumusan pasal 44 1 tadi. Dari
pasal  44  1  KUHP  itu  sendiri,  yang  sifatnya  berlaku  umum,  artinya  berlaku terhadap  semua  bentuk  dan  wujud  perbuatan.  Pasal  44  1  menentukan  dua
keadaan  jiwa  yang  tidak  mampu  bertanggungjawab.  Dengan  berpikir sebaliknya,  orang  yang  mampu  bertanggungjawab  atas  perbuatannya
berwujud tindak pidana apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana yang  dinyatakan  oleh  pasal  44  1,  artinya  bila  jiwanya  tidak  cacat  dalam
pertumbuhanya,  atau  jiwanya  tidak  terganggu  karena  penyakit,  demikian itulah orang mampu bertanggung jawab.
2 Dengan tidak menghubungkan dengan norma Pasal 44 1, dengan mengikuti
pendapat Satochid Kartanegara, orang yang mampu bertanggungjawab itu ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
a. keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa norma sehingga ia bebas
atau  mempunyai  kemampuan  dalam  menentukan  kehendaknya  terhadap perbuatan yang ia akan lakukan;
b. keadaan  jiwa  orang  itu  yang  sedemikian  rupa,  sehingga  ia  mempunyai
kemampuan  untuk  dapat  mengerti  terhadap  nilai  perbuatannya  beserta akibatnya;
c. keadaan  jiwa  orang  itu  sedemikian  rupa  sehingga  ia  mampu  untuk
menyadari,  menginsyafi  bahwa  perbuatan  yang  akan  dilakukannya  itu adalah  suatu  kelakuan  yang  tercela,  kelakuan  yang  tidak  dibenarkan  oleh
hokum, atau oleh masyarakat maupun tata susila.
3. Pengertian Narkotika
Secara  Umum,  yang  dimaksud  dengan  narkotika  adalah  sejenis  zat  yang dapat  menimbulkan  pengaruh-pengaruh  tertentu  bagi  orang-orang  yang
menggunakannya, yaitu dengan cara memasukan ke dalam tubuh. Istilah  narkotika  yang  digunakan  disini  bukanlah  “narcotics”  pada
farmacologie farmasi,  melainkan  sama artinya dengan “drug” yaitu sejenis zat
31
Adami Chazawi, Op. Cit., hal 148.
Universitas Sumatera Utara
yang  apabila  dipergunakan  akan  membawa  efek  dan  pengaruh-pengaruh  tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu:
a. Mempengaruhi kesadaran;
b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia;
c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:
1. Penenang;
2. Perangsang bukan ransangan sex;
3. Menimbulkan  halusinasi  pemakai  tidak  mampu  membedakan  antara
khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat.
32
Sesuai  dengan  pengertian  pada  pasal    1  ayat  1  Undang-Undang  Narkotika yang di maksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik  sintetis  maupun  semisintetis, yang  dapat  menyebabkan penurunan  atau  perubahan  kesadaran,  hilangnya  rasa,  mengurangi  sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkanketergantungan.
33
Pada  mulanya  zat  narkotika  ditemukan  orang  yang  penggunanya  ditujukan untuk  kepentingan  umat  manusia,  khususnya  di  bidang  pengobatan.Dengan
berkembang  pesat  industry  obat-obatan  dewasa  ini,  maka  kategori  jenis  zat-zat narkotika  semakin  meluas  pula  seperti  halnya  yang  tertera  dalam  lampiran
Undang-undang  Narkotika  No.  35  Tahun  2009.  Dengan  perkembangan  ilmu pengetahuan  dan  teknologi  tersebut,  maka  obat-obatan  semacam  narkotika
berkembang pula cara pengelolaannya. Namun belakangan di ketahui bahwa zat-
32
Taufik  Makarao,  Dkk,  Tindak  Pidana  Narkotika,  Ghalia  Indonesia,  Jakarta,  2003,  hal 16.
33
Gatot Supramono, HUkum Narkoba Nasional edisi revisi,  Djambatan,Jakarta, 2009, hal 159.
Universitas Sumatera Utara
zat  narkotika  tersebut  memiliki  daya  kecanduan  yang  bisa  menimbulkan  si pemakai bergantung hidupnya terus menerus pada obat-obat narkotika itu.Dengan
demikian,  maka  untuk  jangka  waktu  yang  mungkin  agak  panjang  si  pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan, dan pengendalian guna bisa di sembuhkan.
Smith  Kline  dan  Frech  Clinical  Staff  mengemukakan  defenisi  tentang narkotika yaitu:
Narcotic are drugs which produch insensibility or stuporduce to their depressant offer on the central nerveous system, included in this definition are opium-opium
derivativis morphine, codein, methadone. Artinya  lebih  kurang  ialah,  Narkotika  adalah  zat-zat  atau  obat  yang  dapat
mengakibatkan  ketidaksadaran  atau  pembiusan  dikarenakan  zat-zat  tersebut bekerja  mempengaruhi susunan syaraf sentral.Dalam  defenisi narkotika ini sudah
termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu morphine, cocein, methadone. Sedangkan menurut  Verdoovende Middelen Ordonantie Staatblad 1927 No.
287  jo.  No.  536  yang  telah  diubah,  yang  dikenal  sebagai  undang-undang  obat bius,  narkotika  adalah  “bahan-bahan  yang  terutama  mempunyai  efek  kerja
pembiusan,  atau  yang  dapat  menurunkan  kesadaran.  Di  samping  menurunkan kesadaran  juga  manimbulkan  gejala-gejala  fisik  dan  mental  lainnya  apabila
dipakai  secara  terus-menerus  dan  liar  dengan  akibat  antara  lain  terjadi ketergantungan pada bahan-
bahan tersebut”. Dalam  undang-undang  bius  tersebut,  yang  dikategorikan  sebagai  narkotika
tidak hanya obat bius saja melainkan disebut juga candu, ganja, kokain, morphin, heroin,  dan  zat-zat lainnya  yang membawa pengaruh atau akibat pada tubuh.Zat-
Universitas Sumatera Utara
zat  tersebut  berpengaruh  karena  bergerak  pada  hampir  seluruh  system  tubuh, terutama  pada  syaraf  otak  dan  sumsum  tulang  belakang.  Selain  itu  karena
mengkonsumsi narkotika akan menyebabkan lemahnya daya tahan serta hilangnya kesadaran.
Zat-zat  narkotika  yang  semula  ditujukan  untuk  kepantingan  pengobatan, namun  dengan  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi,  khususnya
perkembangan  teknologi  obat-obatan  maka  Janis-janis  narkotika  dapat  diolah sedemikian  banyak  seperti  yang  terdapat  pada  saat  ini,  serta  dapat  pula
disalahgunakan  fungsinya  yang  bukan  lagi  untuk  kepantingan  dibidang pengobatan,  bahkan  sudah  mengancam  kelangsungan  eksistensi  generasi  suatu
bangsa.
34
Adapun penggolongan narkotika adalah sebagai berikut : a.
Narkotika Golongan I Yang  dimaksud  dengan  narkotika  golongan  I  adalah  narkotika  yang  hanya
dapat  digunakan  untuk  tujuan  ilmu  pengetahuan  dan  tidak  digunakan  dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II
Yang  dimaksud  dengan  narkotika  golongan  II  adalah  narkotika  yang berkhasiat  untuk  pengobatan  yang  digunakan  sebagai  pilihan  terakhir  dan
dapat  digunakan  dalam  terapi  danatau  tujuan  pengembangan  ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
34
Taufik Makarao, Dkk, Op. Cit. hal 17.
Universitas Sumatera Utara
c. Narkotika Golongan III
Narkotika  golongan  III  adalah  narkotika  yang  berkhasiat  pengobatan  dan banyak  digunakan  dalam  terapi  danatau  tujuan  pengembangan  ilmu
pengetahuan serta
mempunyai potensi
ringan mengakibatkan
ketergantungan.
35
F. Metode Penelitian
Penelitian  marupakan  suatu  kegiatan  ilmiah  yang  berkaitan  dengan  analisa dan kostruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.
36
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan  pada  perumusan  masalah  dan  tujuan  dari  penelitian  ini,  maka penelitian  lebih  cenderung  merupakan  penelitian  yuridis  normatif.Yaitu
pendekatan  dilakukan  dengan  mempergunakan  bahan  hukum  primer,  bahan hukum  sekunder  dan  bahan  hukum  tersier.Dimana  penelitian  hukum  Normatif
yang mencakup penelitian terhadap asas-asas  hukum,  sistematika hukum,  sejarah hukum dan perbandingan hukum.
37
Penelitian Yuridis Normatif merupakan hanya penilitian bahan pustaka atau data  sekunder.Pada  penelitian  yuridis  normative,  tidak  diperlukan  penyusunan
atau perumusan hipotesa.
38
35
Gatot Supramono, Op. Cit., hal 160-167.
36
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 42.
37
Ibid. hal 51.
38
Ibid. hal 52.
Universitas Sumatera Utara
2. Sumber Data dan Bahan Hukum Data  yang  digunakan  di  dalam  penulisan  skripsi  ini  adalah  data  sekunder.
Data  yang  diperoleh  dari  hasil  penelaahan  kepustakaan  atau  terhadap  berbagai literature  atau  bahan  pustaka  yang  berkaitan  dengan  masalah  penelitian  yang
sering  disebut  dengan  bahan  hukum  sekunder,  bahan  hukum  sekunder  dapat dikelompokan kedalam beberapa bagian yaitu:
a. Bahan  hukum  primer,  yaitu  bahan-bahan  hukum  yang  mengikat,  dan  terdiri
dari  norma,  peraturan  dasar  peraturan  perundang-undangan,  yurisprudensi, dan traktat.
b. Bahan  hukum  sekunder,  yaitu  yang  memberikan  penjelasan  mengenai bahan
hukum  primer,  seperti  misalnya,  rancangan  perundang-undangan,  hasil-hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum.
c. Bahan  hukum  tersier,  yakni  bahan  yang  memberikan  petunjuk  maupun
penjelasan  terhadap  bahan  hukum  primer  dan  sekunder,  contohnya  adalah kamus, ensiklopedi, dan indeks kumulatif.
39
3. Teknik Pengumpulan Data atau Bahan Hukum Dalam  Penelitian Yuridis Normatif atau kepustakaan, Teknik  pengumpulan
data dalam penelitian yuridis  normative  dilakukan dengan studi  pustaka terhadap buhan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun
bahan  hukum  tersier  ayau  bahan  non-hukum.Penelusuran  bahan-bahan  hukum tersebut  dapat  dilakukan  dengan  membaca,  melihat,  mendengarkan,  maupun
39
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sekarang  banyak  dilakukan  penelusuran  hukum  tersebut  dengan  melalui  media internet.
4. Analisis Data Analisis  data  dilakukan  dengan  metode  analisis  kualitatif,  yang  artinya
penelitian  ini  dilakukan  dengan  menggunakan  nalar  si  peneliti,  dimana  di  dalam menganalisis  masalah  hukum  ,  analisis  kualitatif  lebih  focus  kepada  analisis
hukumnya. Analisis  data  dilakukan  dengan  cara  mengkaji  atau  menelaah  hasil  yang
diperoleh  dari  pengolahan  data,  yang  dilakukan  dengan  memberikan  kritikan, dukungan,  penolakan,  ataupun  komentar  terhadap  data  atau  bahan  hukum  yang
telah disusun secara sistematis.
G. Sistematika Penulisan