Keaslian Penulisan Metode Penelitian

D. Keaslian Penulisan

Setelah di telusuri daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana belum ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan yang aka n diangkat yaitu tentang “Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana menguasai narkotika”. Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, pemikiran, gagasan dan usaha penulis sendiritanpa adanya penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, namun apabila terdapat kesamaan maka penulis siap bertanggungjawab atas keaslian penulisan skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang di maksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana ini disinonimkan dengan Delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata Delictum.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana. ’ Berdasarkan rumusan yang ada maka delik strafbaar feit memuat beberapa unsur yakni: 1. Suatu perbuatan manusia; Universitas Sumatera Utara 2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang; 3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Keragaman pendapat diantara para sarjana hukum mengenai defenisi strafbaar feit telah melahirkan beberapa rumusan atau terjemahan mengenai strafbaar feit itu sendiri, yaitu: a. Perbuatan pidana Mulyatno menejermahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan Pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.Dapat diartikan demik ian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia. 16 Beliau mendefenisikan Perbuatan Pidana sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut” .istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut. 17 b. Peristiwa Pidana Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam perundang- undangan formal Indonesia, istilah “peristiwa pidana” pernah digunakan secara resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam 16 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal 47. 17 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 71. Universitas Sumatera Utara Pasal 14 ayat 1. Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana’ lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat di timbulkan baik oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam.Oleh karena itu, dalam percakapan sehari-hari sering didengar suatu ungkapan bahwakejadian itu merupakan peristiwa alam. c. Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah diperkenalkan oleh pihak pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana Khusus, misalnya Undang- undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Narkotika, dan Undang- undang mengenai Pornografi yang mengatur secara Khusus Tindak Pidana Pornografi. Istilah Tindak Pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang di dalam undang-undang menentukan pada Pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk melapor kan kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul kejahatan, ternyata dia tidak melaporkan, maka dia dapat dikenai sanksi. 18 18 Tegu Prasetyo, Op. Cit., hal 48. Universitas Sumatera Utara d. Delik Berasal dari bahasa latindelictum, istilah ini juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dari beberapa literatur, misalnya E. Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana dalam bukunya Hukum Pidana I. A. Zainal Abidin dalam buku beliau Hukum Pidana I. Muljatno pernah menggunakan istilah ini, seperti pada judul buku beliau Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan walaupunmenurut beliau lebih tepat dengan perbuatan pidana. e. Pelanggaran Pidana Istilah ini dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja. f. Perbuatan yang boleh dihukum Istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam buku beliau Ringkasan tentang Hukum Pidana.Begitu juga Schravendijkdalam bukunya Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia. g. Perbuatan yang dapat dihukum Istilah ini digunakan oleh pembentuk Undang-undang dalam Undang-undang No. 12Drt1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak. 19 Setelah melihat berbagai defenisi diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di 19 Adami Chazawi, Op. Cit, hal 68. Universitas Sumatera Utara sini selain perbuatan yang berifat aktif melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh hukum juga perbuatan yang bersifat pasif tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum. 20 Setelah mengetahui defenisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur- unsur tindak pidana, yaitu: 1. Unsur Obyektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku dader yang dapat berupa : a. Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat. contoh unsur obyektif yang berupa “perbuatan” yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang dan di ancam oleh peraturan perundang-undangan. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat disebut antara lain perbuatan- perbuatan yang dirumuskan didalam pasal 242, 263, 362 KUHP. Didalam ketentuan pasal 362 KUHP misalnya, unsur obyektif yang berupa “perbuatan” dan sekaligus merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah perbuatan mengambil. b. Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil. Contoh unsur obyektif yang berupa suatu “akibat” adalah akibat-akibat yang dilarang dan diancam oleh undang-undang dan sekaligus merupakan syarat mutlak dalam tindak pidana antara lain akibat-akibat sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 351, 338 KUHP. Dalam ketentuan pasal 338 KUHP misalnya, unsur obyektif yangberupa “akibat” yang 20 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hal 50. Universitas Sumatera Utara dilarang dan diancam dengan undang-undang adalah akibat yang berupa matinya orang. c. Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. Contoh unsur obyektif yang berupa “keadaan” yang dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah keadaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 160, 281 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 282 KUHP misalnya, unsur obyektif yang berupa “keadaan” adalah di tempat umum. 2. Unsur Subyektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri sipelaku dader yang berupa: a. Hal yang dapat di pertanggungjawabkannya seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan kemampuan bertanggung jawab . b. Kesalahan atau schuld. Berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung jawab di atas, persoalannya adalah kapan seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab? Seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat, yaitu : 1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dank arena juga mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya itu. 2. keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendak terhadap perbuatan yang ia lakukan. Universitas Sumatera Utara 3. Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana yang tidak dilarang oleh undang-undang. 21

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan Geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea.Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi hukum yang tidak tertulis yang juga di Indonesia berlaku.Pertanggujawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit feit materielle. Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu dari H. R. 1961 Nederland, hal itu ditiadakan. 22 Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, suatu syarat yang diperlukan adalah si pembuat harus mampu bertanggungjawab, dengan lain perkataan harus ada kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat. Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggungjawab teorekeningsvatbaarheid ini KUHP tidak merumuskannya. 23 Hanya saja Pasal 44 1 KUHP merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana,artinya merumuskan perihal kebalikan secara negatif dari kemampuan bertanggung jawab. 24 21 Tongat, Hukum Pidana Materiil, Universitas Muhammadiyah, Malang Press, Malang, 2003, hal 4. 22 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal 153. 23 I Made Wadnyana, Asas-asas Hukum Pidana, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010, hal 58. 24 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 146. Universitas Sumatera Utara Ketentuan pasal ini sebenarnya tidak memuat apa yang di maksud dengan “tidak mampu bertanggungjawab”, tetapi hanya memuat suatu alasan yang terdapat pada diri si pembuat, sehingga perbuatan yang dilakukannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Alasan itu berupa keadaan pribadi si pembuat yang bersifat biologis, yaitu “jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit”. Dalam keadaan yang demikian itu, si pembuat tidak punya kebebasan kehendak dan tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya. Jadi, keadaan tersebut dapat menjadi alasan tidak dipertanggungjawabkannya si pembuat atas perbuatannya. Dapat dikatakan, pasal ini memuat syarat-syarat kemampuan bertanggungjawab seseorang secara negatif. 25 Untuk memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban kesalahan dalam ari yang seluas-luasnya, berikut ini di sampaikan pengertian tentang “kasalahan” dari berbagai pandangandoktrin dalam hukum pidana: 26 a. Pompe Pompe, mengatakan kesalahan mempunyai ciri sebagai hal yang dapat dicela, dan pada hakikatnya tidak mencegah kelakuan yang melawan hukum.Kemudian dijelaskan oleh Pompe, bahwa hakikatnya tidak mencegah kelakuan yang melawan hukum di dalam perumusan hukum positif, disitulah berarti mempunyai kesengajaan dan kealpaan, yang mengerah kepada sifat melawan hukum dalam kemampuan bertanggung jawab. 25 I Made Wadnyana, Op. Cit. hal 59. 26 Martiman Prodjohamiddjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Sabdodadi, Jakarta, 1997, hal. 32. Universitas Sumatera Utara b. Van Hamel Van Hamel, 27 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk: 1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri, 2. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan, 3. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu. c. Simons Simons 28 mengatakan, kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orang. d. Satochid Kartanegara Satochid Kartanegara 29 menyatakan bahwa taerekeningsvatbaarheid atau dapat dipertanggungjawabkan adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan toerekenbaarheid pertanggungjawaban adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si pelaku atau pembuat. Selanjutnya Satochid Kartanegara, mengatakan seseorang dapat dipertanggungjawabkan, jika : 1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, juga akan mengerti akan akibatnya. 2. Keadaan Jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan. 3. Orang itu harus sadar, insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang terlarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum, masyarakat maupun tata susila. e. Vos Vos menyatakan bahwa isi kesalahan ialah : 1. Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan, 2. Hubungan batin tertentu orang itu dengan perbuatan yang dilakukan yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. 27 I Made Wadnyana, Op. Cit. hal 58. 28 I Made Wadnyana, Ibid. 29 Martiman Prodjohamiddjojo, Op. Cit. hal 32. Universitas Sumatera Utara 3. Tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban terhadap perbuatan pada pembuat. f. E. Mezger E. Mezger menentukan tiga macam dalam pengertian kesalahan, yakni: 1. Kemampuan bertanggungjawab. 2. Bentuk kesalahan berwujud kesengajaan dan kealpaan. 3. Alasan-alasan penghapusan kesalahan. g. Roeslan saleh Roeslan saleh mengatakan bahwa untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, pada terdakwa haruslah : 1. Melakukan perbuatan pidana 2. Mampu bertanggung jawab. 3. Dengan sengaja atau alpa. 4. Tidak ada alasan pemaaf. Selanjutnya Roeslan Saleh mengatakan bahwa dalam hal kemampuan bertanggung jawab ada dua faktor, yaitu : akal dan kehendak. Dengan akal atau daya pikir, orang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan.Dan dengan kehendak atau dengan kemauan, atau keinginan orang dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. 30 30 Martiman Prodjohamiddjojo, Ibid. Universitas Sumatera Utara Untuk menjelaskan hal kapankah terdapatnya kemampuan bertanggung jawab pidana, dapat dengan dua cara, yaitu sebagai berikut: 31 1 Dengan berdasarkan dan atau mengikuti dari rumusan pasal 44 1 tadi. Dari pasal 44 1 KUHP itu sendiri, yang sifatnya berlaku umum, artinya berlaku terhadap semua bentuk dan wujud perbuatan. Pasal 44 1 menentukan dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab. Dengan berpikir sebaliknya, orang yang mampu bertanggungjawab atas perbuatannya berwujud tindak pidana apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana yang dinyatakan oleh pasal 44 1, artinya bila jiwanya tidak cacat dalam pertumbuhanya, atau jiwanya tidak terganggu karena penyakit, demikian itulah orang mampu bertanggung jawab. 2 Dengan tidak menghubungkan dengan norma Pasal 44 1, dengan mengikuti pendapat Satochid Kartanegara, orang yang mampu bertanggungjawab itu ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu : a. keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa norma sehingga ia bebas atau mempunyai kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia akan lakukan; b. keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk dapat mengerti terhadap nilai perbuatannya beserta akibatnya; c. keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia mampu untuk menyadari, menginsyafi bahwa perbuatan yang akan dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yang tercela, kelakuan yang tidak dibenarkan oleh hokum, atau oleh masyarakat maupun tata susila.

3. Pengertian Narkotika

Secara Umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukan ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang digunakan disini bukanlah “narcotics” pada farmacologie farmasi, melainkan sama artinya dengan “drug” yaitu sejenis zat 31 Adami Chazawi, Op. Cit., hal 148. Universitas Sumatera Utara yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu: a. Mempengaruhi kesadaran; b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia; c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa: 1. Penenang; 2. Perangsang bukan ransangan sex; 3. Menimbulkan halusinasi pemakai tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat. 32 Sesuai dengan pengertian pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Narkotika yang di maksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkanketergantungan. 33 Pada mulanya zat narkotika ditemukan orang yang penggunanya ditujukan untuk kepentingan umat manusia, khususnya di bidang pengobatan.Dengan berkembang pesat industry obat-obatan dewasa ini, maka kategori jenis zat-zat narkotika semakin meluas pula seperti halnya yang tertera dalam lampiran Undang-undang Narkotika No. 35 Tahun 2009. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka obat-obatan semacam narkotika berkembang pula cara pengelolaannya. Namun belakangan di ketahui bahwa zat- 32 Taufik Makarao, Dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 16. 33 Gatot Supramono, HUkum Narkoba Nasional edisi revisi, Djambatan,Jakarta, 2009, hal 159. Universitas Sumatera Utara zat narkotika tersebut memiliki daya kecanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya terus menerus pada obat-obat narkotika itu.Dengan demikian, maka untuk jangka waktu yang mungkin agak panjang si pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan, dan pengendalian guna bisa di sembuhkan. Smith Kline dan Frech Clinical Staff mengemukakan defenisi tentang narkotika yaitu: Narcotic are drugs which produch insensibility or stuporduce to their depressant offer on the central nerveous system, included in this definition are opium-opium derivativis morphine, codein, methadone. Artinya lebih kurang ialah, Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral.Dalam defenisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu morphine, cocein, methadone. Sedangkan menurut Verdoovende Middelen Ordonantie Staatblad 1927 No. 287 jo. No. 536 yang telah diubah, yang dikenal sebagai undang-undang obat bius, narkotika adalah “bahan-bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan, atau yang dapat menurunkan kesadaran. Di samping menurunkan kesadaran juga manimbulkan gejala-gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus-menerus dan liar dengan akibat antara lain terjadi ketergantungan pada bahan- bahan tersebut”. Dalam undang-undang bius tersebut, yang dikategorikan sebagai narkotika tidak hanya obat bius saja melainkan disebut juga candu, ganja, kokain, morphin, heroin, dan zat-zat lainnya yang membawa pengaruh atau akibat pada tubuh.Zat- Universitas Sumatera Utara zat tersebut berpengaruh karena bergerak pada hampir seluruh system tubuh, terutama pada syaraf otak dan sumsum tulang belakang. Selain itu karena mengkonsumsi narkotika akan menyebabkan lemahnya daya tahan serta hilangnya kesadaran. Zat-zat narkotika yang semula ditujukan untuk kepantingan pengobatan, namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya perkembangan teknologi obat-obatan maka Janis-janis narkotika dapat diolah sedemikian banyak seperti yang terdapat pada saat ini, serta dapat pula disalahgunakan fungsinya yang bukan lagi untuk kepantingan dibidang pengobatan, bahkan sudah mengancam kelangsungan eksistensi generasi suatu bangsa. 34 Adapun penggolongan narkotika adalah sebagai berikut : a. Narkotika Golongan I Yang dimaksud dengan narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. b. Narkotika Golongan II Yang dimaksud dengan narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi danatau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. 34 Taufik Makarao, Dkk, Op. Cit. hal 17. Universitas Sumatera Utara c. Narkotika Golongan III Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi danatau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. 35

F. Metode Penelitian

Penelitian marupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kostruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. 36 1. Jenis Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah dan tujuan dari penelitian ini, maka penelitian lebih cenderung merupakan penelitian yuridis normatif.Yaitu pendekatan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.Dimana penelitian hukum Normatif yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. 37 Penelitian Yuridis Normatif merupakan hanya penilitian bahan pustaka atau data sekunder.Pada penelitian yuridis normative, tidak diperlukan penyusunan atau perumusan hipotesa. 38 35 Gatot Supramono, Op. Cit., hal 160-167. 36 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 42. 37 Ibid. hal 51. 38 Ibid. hal 52. Universitas Sumatera Utara 2. Sumber Data dan Bahan Hukum Data yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau terhadap berbagai literature atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah penelitian yang sering disebut dengan bahan hukum sekunder, bahan hukum sekunder dapat dikelompokan kedalam beberapa bagian yaitu: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari norma, peraturan dasar peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat. b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum. c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedi, dan indeks kumulatif. 39 3. Teknik Pengumpulan Data atau Bahan Hukum Dalam Penelitian Yuridis Normatif atau kepustakaan, Teknik pengumpulan data dalam penelitian yuridis normative dilakukan dengan studi pustaka terhadap buhan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier ayau bahan non-hukum.Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun 39 Ibid. Universitas Sumatera Utara sekarang banyak dilakukan penelusuran hukum tersebut dengan melalui media internet. 4. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif, yang artinya penelitian ini dilakukan dengan menggunakan nalar si peneliti, dimana di dalam menganalisis masalah hukum , analisis kualitatif lebih focus kepada analisis hukumnya. Analisis data dilakukan dengan cara mengkaji atau menelaah hasil yang diperoleh dari pengolahan data, yang dilakukan dengan memberikan kritikan, dukungan, penolakan, ataupun komentar terhadap data atau bahan hukum yang telah disusun secara sistematis.

G. Sistematika Penulisan

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

2 54 90

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)

3 76 145

Analisa Hukum Pidana Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

0 71 97

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

BAB II PENGATURAN TENTANG PERBUATAN ORANG YANG DENGAN SENGAJA TIDAK MELAPORKAN ADANYA TINDAK PIDANA MENGUASAI NARKOTIKA DALAM UNDANG-UNDANG NARKOTIKA A. Narkotika - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tinda

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

0 0 28

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9