132
5.3. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas peneliti memberi beberapa saran yaitu Bagi masyarakat nelayan khususnya Nelayan ABK dengan adanya posisi atau
jabatan yang mereka peroleh dalam sebuah kapal, seharusnya bisa membantu nelayan ABK yang lain untuk mendapatkan perlindungan dari Toke kapal, yanga mana
nelayan ABK yang memiliki jabatan seperti Tekong, apit dan kuanca harus bersikap terbuka dan menjalin hubungan yang baik dengan sesama nelayan ABK khususnya
yang memiliki jabatan yang rendah seperti anggota dan memberikan perlindungan penuh, dan kepercayaan terhadap anggota kapal tersebut, atau bersatu untuk
memperjuangkan hak yang harus diterima oleh sesama nelayan ABK dan dapat memperkenalkan seluruh anggota kapal, khususnya anggota biasa agar dapat
berhubungan langsung dengan Toke kapal maupun menjalin hubungan ekonomi,sosisal dan budaya dalam suatu pola hubungan patrom-klien.
Bagi Toke kapal seharusnya lebih mengenal seluruh anggota nelayan ABK dan bersikap adil tehadap seluruh nelayan ABK. Dikerenakan setiap anggota nelayan
ABK memiliki peranannya masing-masing disebuah kapal nelayan, dengan adanya peranan tersebut membuat anggota nelayan ABK memiliki peran penting dalam
proses penangkapan ikan, maka hal tesebut menyebabkan walapun jabatan setiap anggota nelayan ABK berbeda, kalau salah satu dari jabatan tersebut tidak mengambil
peran dalam proses penangkapan ikan, maka bisa dipastikan kapal nelayan akan kesulitan untuk menghasilkan atau memperoleh hasil tangkapan yang memuaskan
yang menyebabkan Toke kapal akan mengalami kerugian dalam membangun usaha dibidang perikanan.
Universitas Sumatera Utara
133
Bagi pemerintah diharapkan seharusnya bisa memberikan pertologan dan keadailan bagi nelayan ABK khususnya dari segi pembagian upah, dikarenakan
besaran upah yang diterima oleh nelayan ABK tidak sesuai dengan hasil yang diterima oleh Toke kapal, dengan adanya peranan pemerintah seharusnya bisa
meringankan beban yang diterima oleh nelayan ABK, walaupun hasil pembagian upah tidak bisa dirobah setidaknya, adanya bantuan berupa dana dan susbsidi bagi
nelayan ABK, diharapkan mampu meringankan beban nelayan ABK khususnya pada musim terang bulan dan musim peceklik, dan memberi perhatian lebih kepada
nelayan ABK yang memilki jabatan rendah seperti anggota biasa agar bisa mendapatkan bantuan lebih dari pada nelayan ABK yang memilki jabatan lebih tinggi
seperti Tekong, Apit, dan kuanca.
Universitas Sumatera Utara
25
BAB II GAMBARAN UMUM
2.1.Sejarah
Kota Sibolga merupakan salah satu kota terkecil yang berada di daerah sumatera utara yang mana berdekatan dengan gunung dan pesisir pantai, Dengan luas
wilayah 3.356,60 ha yang terdiri dari 1.126,9 ha daratan Sumatera, 238,32 ha daratan kepulauan, dan 2.171,6 ha lautan. Yang memiliki batas wilayah, sebelah utara
berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, sebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, sebelah selatan berbatasan langsung
dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan sebelah barat berbatasan langsung dengan Teluk Tapian. Adapun Pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan Kota Sibolga
adalah Pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan Pulau Panjang, Sementara sungao-sungai yang dimiliki, yakni Aek Doras, Sihopo-hopo, Aek Muara
Baiyon dan Aek Horsik. Berikut sakilas sejarah terbentuknya Kota Sibolga Sultan Hutagalung
Menurut penulis Sejarah Sibolga, Tengku Luckman Sinar SH dengan mengutip hasil catatan riset seorang pembesar Belanda, EB Kielstra
– disebutkan bahwa sekitar tahun 1700 seorang dari Negeri Silindung bernama Tuanku Dorong Hutagalung mendirikan
Kerajaan Negeri Sibogah, yang berpusat di dekat Aek Doras. Dalam catatan EB Kielstra ditulis tentang Raja Sibolga
: “Disamping Sungai Batang Tapanuli, masuk wilayah Raja Tapian Nauli berasal dari Toba, terdapat Sungai Batang Sibolga, di
mana berdiamlah Raja Sibolga .” Penetapan tahun 1700 itu diperkuat analisis tingkat
keturunan yakni bahwa Marga Hutagalung yang telah berdiam di Sibolga sudah mencapai sembilan keturunan. Kalau jarak kelahiran antara seorang ayah dengan anak
pertama adalah 33 tahun angka ini adalah rata-rata usia nikah menurut kebiasaan
Universitas Sumatera Utara
26
orang Batak, lalu dikalikan jumlah turunan yang sudah sembilan itu, itu berarti sama dengan 297 tahun. Maka kalau titik tolak perhitungan adalah tahun 1998, yaitu waktu
diselenggarakannya Seminar Sehari Penetapan Hari Jadi Sibolga pada 12 Oktober 1998, itu berarti ditemukan angka 1701 tahun.
Tentang nama atau sebutan Sibolga, dicerita-kan bahwa pada awal-nya Ompu Datu Hurinjom yang membuka perkampungan Simaninggir, mempu-nyai postur
tubuh tinggi besar, di samping memiliki tenaga dalam yang kuat. Adalah tabu bagi orang Batak menyebut nama seseorang secara langsung apalagi orang tersebut lebih
tua dan dihormati, maka untuk menyebut nama kampung yang dibuka Ompu Datu Huri
njom dipakai sebutan “Sibalgai” yang artinya kampung atau huta untuk orang yang tinggi besar. Asal kata Sibolga dengan pengertian tersebut lebih dapat diterima
darip ada untuk istilah “Bolga-Bolga” yaitu nama sejenis ikan yang hidup di pantai
berawa- rawa; atau istilah “Balga Nai” yang berarti besar untuk menunjukkan ke arah
luasnya lautan. Orang Batak bia sanya menggunakan kata “bidang” untuk
menggambarkan sesuatu yang luas, bukan kata balga yang berarti besar. Namun apa pun kisah sejarah awal kelahiran nama dan Kerajaan Sibolga, kota
di Teluk Tapian Nauli ini telah menjalankan peran sejarah yang sangat berarti. Di masa lalu Sibolga berjaya sebagai pelabuhan dan gudang niaga untuk barang-barang
hasil pertanian dan perkebunan seperti karet, cengkeh, kemenyan dan rotan. Inggris bahkan pernah menjadikan Sibolga sebagai pelabuhan gudang niaga lada terbesar di
Teluk Tapian Nauli. Lebih dari itu, berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 7 Desember 1842 tempat kedudukan Residen Tapanuli dipindahkan dari
Air Bangis ke Sibolga, dan sejak itulah Sibolga resmi menjadi Ibukota Keresidenan. Meski statusnya sebagai Ibukota Keresidenan sempat dipindahkan ke Padang
Universitas Sumatera Utara
27
Sidempuan antara tahun 1885-1906, namun predikat itu akhirnya kembali lagi ke Sibolga berdasarkan Staadblad yang dikeluarkan pada 1906 itu.
Dalam perjalanannya, pada 1850, di masa Mohd Syarif menjadi Datuk Poncan, bersama-sama dengan Residen Kompeni Belanda bernama Conprus, mereka
pindah dari Pulau Poncan ke Pasar Sibolga. Pada tahun ini pula rawa-rawa besar itu ditimbun untuk menyusunnya menjadi sebuah negeri .
“Sibolga jolong basusuk ,Banda digali urang rantau, Jangan manyasa munak barisuk, Kami sapeto dagang
sansei” Maksudnya yakni bahwa pada mulanya Kota Sibolga ini dibangun dengan
menggali parit-parit dan bendar-bendar untuk mengeringkan rawa-rawa besar itu, dengan menggerakkan para narapidana rantai serta ditambah dengan tenaga-tenaga
rodi, ditim-bunlah sebagian rawa-rawa itu dan berdirilah negeri baru Pasar Sibolga. Di masa Sibolga dibangun menjadi kota, istana raja yang berada di tepi Sungai
Aek Doras dan pemukiman di sekelilingnya dipindahkan ke kampung baru, Sibolga Ilir. Di atas komplek tersebut dibangun pendopo Residen dan perkantoran Pemerintah
Belanda. Walaupun pada tahun 1871 Belanda menghapuskan sistem pemerintahan raja-raja dan diganti dengan Kepala Kuria, namun Anak Negeri menganggapnya tetap
sebagai Raja dan sebagai pemangku adat. Sementara Datuk Poncan di Sibolga diberi jabatan sebagai Datuk Pasar dan tugasnya memungut pajak anak negeri yang tinggal
di Kota Sibolga terhadap warga Cina perantauan, Di dalam melaksanakan tugasnya, Datuk Pasar dibantu oleh Panghulu Batak, Pangulu Malayu, Pangulu Pasisir, Pangulu
Nias, Pangulu Mandailing dan Pangulu Derek. Pada 1916 Datuk Stelsel dihapuskan serta diganti dengan Demang Stelsel,
mengepalai satu-satu distrik menurut pembagian yang diadakan, dalam mana Pasar
Universitas Sumatera Utara
28
Sibolga masuk Distrik Sibolga, sebagaimana beberapa resort kekuriaan. Untuk memudahkan kontrol berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
Keresidenan Tapanuli dibagi menjadi tujuh Afdeling yaitu Afdeling Singkil, Sibolga, Nias, Barus, Natal, Angkola dan Mandailing. Sedangkan Afdeling Sibolga terdiri dari
beberapa distrik yakni Distrik Sibolga, Distrik Kolang, Tapian Nauli, Sarudik, Badari, dan Distri Sai Ni Huta. Pada masa Pemerintahan Militer Jepang, Kota Sibolga
dipimpin oleh seorang Sityotyo baca: Sicoco di samping jabatannya selaku Bunshutyo baca: Bunsyoco, tapi dalam kenyataanya adalah Gunyo yang memegang
pimpinan kota sebagai kelanjutan dari Kepala Distrik yang masih dijabat oleh bekas demang, ZA Sutan Kumala Pontas.
Pada masa pendudukan Jepang, Mohammad Sahib gelar Sutan Manukkar ditunjuk sebagai Kepala Kuria dengan bawahan Mela, Bonan Dolok, Sibolga Julu,
Sibolga Ilir, Huta Tonga-tonga, Huta Barangan dan Sarudi. Beliau inilah yang menjadi Kepala Kuria yang terakhir di Sibolga karena setelah zaman kemerdekaan,
sekitar tahun 1945 istilah Kepala Kuria praktis sudah tidak ada lagi. Mengenai Sejarah Kuno Sibolga Tidak dapat diketahui secara pasti sejak kapan bumi Teluk
Tapian Nauli mulai dihuni orang. Namun berdasarkan sejumlah catatan sejarah, diperkirakan sejak tahun 1500 sudah terjadi hubungan dagang antara para penghuni
Teluk Tapian Nauli dengan dunia luar yang paling jauh yakni negeri orang-orang Gujarat dan pendatang dari negeri asing lain seperti Mesir, Siam, Tiongkok. Para
golongan terkemuka Tapian Nauli juga sudah dikenal di Mesopotamia, paling tidak melalui sejarah lisan yang dibawa saudagar Arab.
Tercatat pula bahwa pada tahun 1500 itu pelaut Portugis sudah hilir mudik di lautan dalam rangka mencari dan mengumpulkan rempah-rempah untuk dibawa ke
Eropa. Uang Portugis yang beredar di kalangan masyarakat yang berdiam di Teluk
Universitas Sumatera Utara
29
Tapian Nauli saat itu merupakan salah satu bukti. Ketika itu keberadaan Teluk Tapian Nauli sangat penting. Selain sebagai pangkalan pengambilan garam, dusun ini
terkenal juga sebagai pangkalan persinggahan perahu-perahu mancanegara guna mengambil air untuk keperluan pelayaran jauh. Peranan Teluk Tapian Nauli sebagai
pangkalan persinggahan dan pelabuhan dagang semakin dikukuhkan ketika Belanda dan Inggris memasuki wilayah itu di kemudian hari. Kapal Belanda di bawah
pimpinan Gerard De Roij datang kepantai Barat Sumatera Teluk Tapian Nauli pada 1601. Sedangkan Inggris memasuki wilayah ini pada 1755.
Kota Sibolga dahulunya merupakan Bandar kecil di Teluk Tapian Nauli dan terletak di Poncan Ketek. Pulau kecil ini letaknya tidak jauh dari kota Sibolga yang
sekarang ini. Diperkirakan Bandar tersebut berdiri sekitar abad delapan belas dan sebagai penguasa adalah “Datuk Bandar”. Kemudian pada zaman pemerintahan
kolonial Belanda, pada abad sembilan belas didirikan Bandar Baru yaitu Kota Sibolga yang sekarang, karena Bandar di Pulau Poncan Ketek dianggap tidak akan dapat
berkembang. Disamping pulaunya terlalu kecil juga tidak memungkinkan menjadi Kota Pelabuhan yang fungsinya bukan saja sebagai tempat bongkar muat barang
tetapi juga akan berkembang sebagai Kota Perdagangan. Akhirnya Bandar Pulau Poncan Ketek mati bahkan bekas-bekasnya pun tidak terlihat saat ini. Sebaliknya
Bandar Baru yaitu Kota Sibolga yang sekarang berkembang pesat menjadi Kota Pelabuhan dan Perdagangan.
Pada zaman awal kemerdekaan Republik Indonesia Kota Sibolga menjadi ibukota Keresidenan Tapanuli di bawah pimpinan seorang Residen dan membawahi
beberapa “Luka atau Bupati”. Pada zaman revolusi fisik Sibolga juga menjadi tempat kedudukan Gubernur Militer Wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur Bagian Selatan,
kemudian dengan dikeluarkannya surat keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor:
Universitas Sumatera Utara
30
102 Tanggal 17 Mei 1946, Sibolga menjadi Daerah Otonom tingkat “D” yang luas
wilayahnya ditetapkan dengan Surat Keputusan Residen Tapanuli Nomor: 999 tanggal 19 November 1946 yaitu Daerah Kota Sibolga yang sekarang. Sedang desa-
desa sekitarnya yang sebelumnya masuk wilayah Sibolga On Omne Landen menjadi atau masuk Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah. Dengan dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1956 Sibolga ditetapkan menjadi Daerah Swatantra Tingkat II dengan nama Kotapraja Sibolga yang dipimpin oleh seorang Walikota dan daerah
wilayahnya sama dengan Surat Keputusan Residen Tapanuli Nomor: 999 tanggal 19 November 1946.
Selanjutnya dengan Undang-Undang Nomor: 18 tahun 1956 Daerah Swatantra Tingkat II Kotapraja Sibolga diganti sebutannya menjadi Daerah Tingkat II
Kota Sibolga yang pengaturannya selanjutnya ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang dipimpin oleh
Walikota sebagai Kepala Daerah. Kemudian hingga sekarang Sibolga merupakan Daerah Otonom Tingkat II yang dipimpin oleh Walikota Kepala Daerah.
Kemudian dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor: 19 Tahun 1979 tentang pola dasar Pembangunan Daerah Sumatera Utara, Sibolga ditetapkan
Pusat Pembangunan Wilayah I Pantai Barat Sumatera Utara. Perkembangan terakhir yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Daerah Nomor: 4 Tahun 2001,
tentang Pembentukan Organisasi Kantor Kecamatan, Sibolga dibagi menjadi 4 empat Kecamatan, yaitu: Kecamatan Sibolga Utara, Kecamatan Sibolga Kota,
Kecamatan Sibolga Selatan, dan Kecamatan Sibolga Sambas. Bagian Humas Protokoler Setda Pemerintah Kota Sibolga 2013
Universitas Sumatera Utara
31
2.2. Letak Geografis