PENDAHULUAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMANTAUAN POLA PENYEBARAN DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

1

BAB I PENDAHULUAN

Dengue Haemorrhagic Fever atau Demam Berdarah Dengue DBD merupakan penyakit infeksi yang menjadi masalah besar kesehatan beresiko kematian tinggi di negara berikilim tropis. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus Dengue. Virus Dengue menimbulkan panas demam tinggi pada tubuh penderita Dengue Fever DF = demam Dengue serta dapat pula disertai perdarahan dengue Haemorrhagic fever, DHF kemudian dapat berlanjut fase lanjutan Dengue Shock Syndrome DSS. Penyakit DBD selain menimbulkan kesakitan atau kematian pada anak dan orang dewasa juga dapat menimbulkan epidemi. Menurut Gubbler 2005 pada awal abad 21 sindroma DHFDF merupakan penyakit arboviral terpenting pada manusia yang menjangkiti negara-negara tropis di dunia. Pada dasarwarsa terakhir ini, kasus DHF telah menjangkiti lebih dari 100 negara. Terdapat 100 ribu kasus per tahun yang terjadi. Menurut Soponntamarak 2003, Dengue sendiri merupakan penyakit endemik di daerah Asia Tenggara, Western Pasific, dan Amerika Selatan, dan bahkan muncul di Amerika Serikat dan Jepang. Penelitian tentang penyakit DBD dianggap penting karena sudah menunjukkan indikasi perluasan wilayah penyebaran antar negara. Hasil penelitian Singapore 2 Ministry of Health 2005 menyatakan bahwa nilai kerugian ekonomisnya masih lebih rendah dibanding penyakit flu burung SARS ataupun HIVAIDS. Namun demikian kerugian lain yang timbul akibat pengeluaran biaya pengobatan, kehilangan kesempatan kerja atau kesempatan belajar juga sangat bernilai bagi tingkat kesejahteraan hidup seseorang. Penurunan tingkat kesejahteraan hidup masyarakat dengan prasarana pendukung kesehatan rendah pada akhirnya akan menimbulkan kerugian ekonomi tinggi pada suatu negara. Hal ini terlihat nyata pada beberapa negara berkembang beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, dan negara-negara Amerika Latin Sangat disayangkan komitmen para pemimpin negara dalam memberikan andil dalam pemberantasan dengue masih kurang. Dua pencanangan pemberantasan sarang nyamuk di Indonesia pada tahun 1998 dan 1999 kurang ada tindakan nyata dan berkesinambungan. Kenyataan menunjukkan kemudian tahun akhir tahun 2003 dan awal 2004 terjadi wabah DHF. Melihat jumlah insidensi Dengue di Indonesia, DI Yogyakarta menurut Sutaryo 2004 menjadi salah satu propinsi yang banyak melaporkan kasus ini, selain DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Salah satu kondisi di DI Yogyakarta, yaitu pertumbuhan jumlah penduduk yang terkonsentrasi di beberapa wilayah yang menyebabkan peningkatan kepadatan penduduk, diduga menjadi salah satu sebab terjadinya DHF. Seperti penelitian yang telah dilakukan di Brazil, ditemukan bahwa perkembangbiakan Ae.Aegypty banyak 3 terjadi di daerah perkotaan. Karakteristik kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi antara negara maju developed countries dengan negara berkembang developing countries sangatlah berbeda. Di negara maju konsentrasi tempat tinggal penduduk mempunyai makna sebagai efisiensi dalam pemberian fasilitas oleh pemerintah kepada rakyatnya, sehingga sarana dan prasarana air bersih serta drainase dibangun dan tertata dengan sangat rapih. Hal demikian tidak terjadi di negara berkembang, karena konsentrasi pembangunan oleh permerintah bukan pada penyediaan sarana dan prasana air bersih, pembangunan drainase, serta alasan klasik tidak adanya anggaran untuk dialokasikan dalam pembangunan di sektor ini, sehingga banyak masyarakat tinggal di daerah padat penduduk tanpa dilengkapi sarana dan prasarana air bersih yang memadai, bahkan pembuangan limbah rumahtangga bercampur dengan saluran pembuangan air hujan yang minim. Usaha preventif perlu lebih digalakkan sebagai usaha penurunan angka kejadian penyakit DBD, khususnya melalui cara pemberantasan jentik nyamuk vektor dari virus dengue. Kondisi bebas jentik nyamuk merupakan kunci keberhasilan penanggulangan penyakit DBD walaupun sangat susah untuk dilakukan karena menyangkut perilaku sehat-prasarana-tata tertib masyarakat setempat. Sebagai gambaran Singapura yang sudah termasuk dalam kategori negara maju baru mencapai Angka Bebas Jentik 95 sehingga masih tetap terjadi kasus DHF. Oleh karena itu pilihan tindakan preventif yang tepat melalui penggalian dan sosialisasi informasi 4 tentang DHF, faktor-faktor penyebab, metode pencegahan yang efektif dan efisien serta peningkatan perilaku sehat dalam suatu masyarakat perlu segera ditingkatkan. Bentuk tindakan perventif tersebut kemudian didukung dalam bentuk kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sistem Informasi Geografis SIG sebagai suatu bentuk informasi spasial sangat diperlukan untuk mendukung proses pengambilan keputusan pemecahan suatu permasalahan. Hal ini karena sifat fungsi kegunaan SIG sebagai media informasi tampilan visual gabungan multi layers berbagai macam data dalam bentuk peta. Peta yang terbentuk merupakan citra yang tampilan detail informasi berdasar gabungan berbagai basisdata yang diperlukan Gambar I.1. Penggunaan SIG bukan sekedar pengganti atas suatu basisdata, tapi mengandung nilai tambah atas data. Dengan metode penampilan data yang lain dengan sebuah tabel ataupun diagram, SIG dapat difungsikan sebagai sebuah media untuk mendapatkan informasi “baru” dari data yang telah ada. 5 Gambar I.1 Data dalam Sistem informasi Geografis Dengan menggabungkan data berupa kepadatan penduduk di suatu wilayah, data curah hujan, serta data penderita DHF, diharapkan hasil dari lapisan informasi SIG dapat ditemukan pola hubungan jumlah ataupun penyebaran penderita di suatu wilayah berdasarkan karakteristik wilayah Gambar I.2. Gambar I.2 Lapisan data Hasil kompilasi data dapat digunakan sebagai sistem pendukung pada pengambilan keputusan maupun sistem pendukung kebijakan manajerial. SIG Teks Citra Multimedia Basis SIG Tampilan Visual atau SIG Lain-lain Curah Hujan DHF Urban Density 6 bahkan dapat digunakan dalam kondisi darurat dan bencana. Informasi yang tersaji dari SIG berguna dalam penegakan program preventif yang dapat dilakukan oleh pihak terkait, dalam hal ini departemen kesehatan dan pemerintah daerah untuk mengurangi resiko peningkatan jumlah penderita DHF yang berkaitan dengan berkembang dan berubahnya karakteristik suatu wilayah.

I.1 Permasalahan

Sampai saat ini masih belum tersedia sarana perangkat-keras dan perangkat- lunak yang menyediakan informasi spasial tentang DHF dalam hal kecenderungan wilayah kejadian, waktu kejadian, serta faktor pendukung kejadian untuk mengetahui informasi sebaran dan bentuk kejadian DHF

I.2 Manfaat Penelitian

a. Sebagai sistem informasi pengambilan keputusan pihak penentu kebijakan atau peneliti bidang kesehatan dalam hal penanggulangan dan penanganan penyebaran penyakit DHF di Indonesia. b. Bagi peneliti: memberikan kepuasan dalam melakukan penelitan yang dapat disumbangkan dalam bidang pelayanan kesehatan menggunakan teknologi informasi. c. Bagi masyarakat: meningkatkan kewaspadaan terhadap DHF agar menggiatkan diri untuk memelihara lingkungan agar tetap sehat. 7

I.3 Tujuan Penelitian

Perancangan Sistim Informasi Geografis untuk pendukung penanganan penyakit Dengue Haemorrhagic Fever dalam hal: a. Hubungan kepadatan penduduk di suatu wilayah dengan pola penyebaran DHF. b. Hubungan pengaruh hujan wilayah terhadap pola kecenderungan penyebaran DHF I.4 Batasan Penelitian a. Penderita dengan diagnosis DF dan DHFDSS yang berdomisili di Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta tahun 2001-2004. b. Wilayah penelitian Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta c. Fokus pada variabel kepadatan penduduk dan curah hujan rata-rata bulanan. d. Fokus pada tahap pengembangan model sistem informasi geografis yang dapat digunakan untuk melakukan analisis pola penyebab DHF. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA