SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMANTAUAN POLA PENYEBARAN DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

(1)

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK

PEMANTAUAN POLA PENYEBARAN

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

Tesis

untuk memenuhi sebagian persyaratan

mencapai derajat Sarjana S-2

Program Magister Teknologi Informasi

diajukan oleh

Winny Setyonugroho

14970/PS/MTI/04

Kepada

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS GADJAH MADA


(2)

Tesis

Sistem Informasi Geografis untuk Pemantauan Pola Penyebaran

Dengue Haemorrhagic Fever

Dipersiapkan dan disusun oleh

Winny Setyonugroho 14970/PS/MTI/04

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 7 Februari 2006

Susunan Dewan Penguji

Pembimbing I Anggota Dewan Penguji Lain

Prof. Adhi Susanto, M.Sc., Ph.D. Ir. Wahyuni R, M.Sc

NIP. 130 235 526 NIP. 130 890 122

Pembimbing II

Selo, ST., MT., M.Sc

NIP. 132 163 781

Prof. dr. Hari Kusnanto, Dr.PH.

NIP. 132 133 729

Tesis ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister

tanggal _________________

Dr.Ir.Lukito Edi Nugroho,M.Sc NIP. 131 963 570

Pengelola Minat Studi Teknologi Informasi Program Studi S2 Teknik Elektro


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 3 Maret 2006


(4)

PRAKATA

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia-Nya dalam penyusunan tesis ini. Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih untuk bimbingan, dukungan serta kontribusi dalam penelitian ini

• Prof. Adhi Susanto, M.Sc., Ph.D., sebagai Pembimbing I yang telah memberikan masukan dan bimbingannya untuk memberikan sentuhan yang lebih ‘tehnik’ pada penelitian ini.

• Prof. dr. Hari Kusnanto, Dr.PH. , sebagai Pembimbing II kembali mengingatkan saya kembali kedalam dunia kesehatan masyarakat.

• Dr.Ir.Lukito Edi Nugroho,M.Sc, selaku direktur MTI

• Papa serta istri tercintaku Utami, yang banyak menberi masukan serta menjadi teman berdikusi sepanjang pengerjaan penelitian ini

• Pak Abi yang memberi masukan dalam penyususan penulisan

• Mas Gde yang banyak membantu mengenalkan lebih jauh lagi SIG

• Anis Fuad, DEA., yang membantu mencarikan data untuk penlitian ini

• Nuring yang telah membantu menyusun data

• Semua teman-teman MTI angkatan 5 dalam suka dan duka belajar selama mengambil S2 ini.

• Mas Sonny, mba Yeni, dan mba Nana di sekertariat MTI, yang sering mendengar keluh kesah komplain dari kami angkatan 5.


(5)

• Bapak, Ibu, Papa, dan Mama dengan doa nya, dorongan serta segala bantuannya selama penelitian ini.

• Mas Iwan, mba Arifah, Nadhya, Alya, dan Ayesha yang ikut mendorong dan menghibur.

• Terakhir dan paling penting, istri tercintaku Utami, my sweetest doughter Atiya, my precious boy Daffa, thank for your patience and great love during my school.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Halaman Pernyataan...ii

PRAKATA...iii

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR TABEL...vii

DAFTAR GAMBAR ...viii

Intisari ... x

Abstract ... xi

BAB I ... 1

I.1 Permasalahan ... 6

I.2 Manfaat Penelitian ... 6

I.3 Tujuan Penelitian ... 7

I.4 Batasan Penelitian ... 7

BAB II... 8

II.1 Tinjauan Pustaka ... 8

II.2 Dasar Teori... 10

II.2.1 Sistem Informasi Geografis... 10

II.2.2 DHF... 19

II.2.3 Iklim ... 22

II.2.4 Urban... 25

II.3 Hipotesis... 26

BAB III ... 27

III.1 Alat... 27

III.2 Bahan ... 27

III.3 Metode Penelitian ... 28

III.3.1 Area Penelitian ... 28

III.3.2 Persiapan Penelitian ... 29

III.3.3 Pengumpulan Data ... 29

III.3.4 Pengembangan SIG... 30

III.3.5 Analisis Data ... 37

BAB IV ... 39

IV.1 View ... 39

IV.2 Tables ... 42

IV.3 SIG DHF dengan Tema Bulanan ... 44

IV.4 SIG DHF dengan Tema Mingguan ... 47

IV.5 Sekilas tahun 2001-2004 ... 50

IV.5.1 DHF... 50

IV.5.2 Hujan ... 51

IV.5.3 Jumlah Penduduk ... 52


(7)

IV.6 DHF dan Hujan ... 54

IV.7 DHF dan Penduduk ... 58

IV.8 Frekuensi DHF ... 60

BAB V... 63

V.1 Kesimpulan ... 63

V.2 Saran... 64

Daftar Pustaka ... 66


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel III.1 Poligon desa ... 36

Tabel III.2 Poligon kecamatan ... 36

Tabel III.3 Poligon kabupaten... 37

Tabel IV.1 Penderita DHF tahun 2001-2004 ... 50

Tabel IV.2 Rata-rata Curah Hujan ... 51


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1 Data dalam Sistem informasi Geografis ... 5

Gambar I.2 Lapisan data ... 5

Gambar II.1 Sistem Informasi Geografis (Filbert)... 11

Gambar II.2 Lapisan-lapisan data tematik ... 12

Gambar II.3 Tipe proyeksi peta (Filbert) ... 14

Gambar II.4 Perbandingan data garis (vektor sebelah kiri) dengan data raster ... 14

Gambar II.5 Perbandingan data titik (vektor sebelah kiri) dengan data raster... 14

Gambar II.6 Perbandingan data poligon (kiri) dan data raster... 14

Gambar II.7 Representasi dunia nyata menjadi raster ... 15

Gambar II.8 Siklus perkembangbiakan DHF (Sutaryo, 2004)... 21

Gambar II.9 Perubahan Iklim dan Kesehatan Manusia (Session dan Ushijima, 2004) ... 24

Gambar III.1 Diagram Pengembangan Sistem (Pressman, 2005) ... 31

Gambar III.2 Diagram Use Case... 32

Gambar III.3 Diagram Data Flow Sistem Informasi Geografis untuk DHF ... 33

Gambar III.4 E-R diagram ... 35

Gambar III.5 Diagram tabel E-R... 35

Gambar IV.1 Tabel data atribut dari shapefiles. ... 43

Gambar IV.2 Tabel data eksternal ... 43

Gambar IV.3 Join tabel atribut asli dengan tabel data eksternal... 44

Gambar IV.4 Tahun 2001 bulan 1... 45

Gambar IV.5 Tahun 2001 bulan 2... 45

Gambar IV.6 Tahun 2001 bulan 3... 46

Gambar IV.7 Tahun 2001 bulan 4... 46

Gambar IV.8 Tahun 2001 bulan 5... 46

Gambar IV.9 Tahun 2001 bulan 6... 46

Gambar IV.10 Tahun 2001 bulan 7... 46

Gambar IV.11 Tahun 2001 bulan 8... 46

Gambar IV.12 Tahun 2001 bulan 9... 47

Gambar IV.13 Tahun 2001 bulan 10... 47

Gambar IV.14 Tahun 2001 bulan 11... 47

Gambar IV.15 Tahun 2001 bulan 12... 47

Gambar IV.16 Tahun 2003 minggu 1 ... 48

Gambar IV.17 Tahun 2003 minggu 2 ... 48

Gambar IV.18 Tahun 2003 minggu 11 ... 48

Gambar IV.19 Tahun 2003 minggu 12 ... 48

Gambar IV.20 Tahun 2003 minggu 21 ... 48

Gambar IV.21 Tahun 2003 minggu 22 ... 48


(10)

Gambar IV.23 Tahun 2003 minggu 32 ... 49

Gambar IV.24 Tahun 2003 minggu 41 ... 49

Gambar IV.25 Tahun 2003 minggu 42 ... 49

Gambar IV.26 Tahun 2003 minggu 49 ... 49

Gambar IV.27 Tahun 2003 minggu 50 ... 49

Gambar IV.28 Penderita DHF tahun 2001-2004 ... 50

Gambar IV.29 Curah hujan rata-rata tahun 2001-2004 ... 52

Gambar IV.30 Kepadatan Penduduk per Kecamatan 2001-2004 ... 53

Gambar IV.31 Regresi Linear Hujan dan DHF ... 54

Gambar IV.32 Penderita DHF dan Curah Hujan rata-rata tahun 2001 ... 56

Gambar IV.33 Penderita DHF dan Curah Hujan rata-rata tahun 2002 ... 56

Gambar IV.34 Penderita DHF dan Curah Hujan rata-rata tahun 2003 ... 56

Gambar IV.35 Penderita DHF dan Curah Hujan rata-rata tahun 2004 ... 56

Gambar IV.36 Hujan terhadap DHF 2001 ... 57

Gambar IV.37 Hujan terhadap DHF 2002 ... 57

Gambar IV.38 Hujan terhadap DHF 2003 ... 57

Gambar IV.39 Hujan terhadap DHF 2004 ... 57

Gambar IV.40 Nilai rata-rata M dari nilai M masing-masing kecamatan ... 58

Gambar IV.41 Kepadatan penduduk terhadap DHF tahun 2001-2204... 59

Gambar IV.42 Insiden DHF... 59

Gambar IV.43 Insiden per 1000 penduduk dan kepadatan penduduk ... 60

Gambar IV.44 Frekuensi dalam bulan tahun 2001-2004 ... 61


(11)

INTISARI

Dengue Haemorraghic Fever (DHF) adalah penyakit yang banyak terjadi di negara

tropis seperti di Indonesia. Meskipun penyakit ini menjadi bahasan penting setiap tahunnya, namun penyediaan program preventif yang menyeluruh belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pola DHF, khususnya di Kota Yogyakarta, provinsi DI Yogyakarta dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). dua variabel yang di analisis dalam penelitian ini, berdasarkan asumsi pada beberapa penelitian dan literatur bahwa penyebab DHF di beberapa tempat, adalah kepadatan penduduk dan hujan. Semakin tinggi dua variabel tersebut, semakin tinggi pula insiden DHF terjadi.

Hasil dari penelitian ini memperlihakan bahwa dua variabel ini mempunyai hubungan yang nyata terhadap kasus DHF. Hasil telah di verivikasi menggunakan analisis statistik menggunakan data yang sama. Sebagai hasilnya, memunculkan hipotesis bahwa terdapat variabel lain sebagai penyebab dari DHF seperti iklim mikro, kelembaban udara dan temperatur, serta sanitasi pada wilayah tertentu

Kata Kunci : Sistem Informasi Geografis, Dengue Haemorraghic Fever, curah hujan, kepadatan penduduk urban, Yogyakarta


(12)

ABSTRACT

Dengue Haemorraghic Fever (DHF) is a desease that frequently happens in tropic

countries such as Indonesia. Although this disease has always been an important topic every year, policy studies in order to provide preventive action due to this disease are rarely conducted.

This research proposed a method to analyse the pattern of DHF case particularly in Yogyakarta City, DI Yogyakarta province using Geographic Information System (GIS). Two variable being analyze in this research, based on assumption from several researches and literatures as the major caused of DHF in certain areas, are

demographic density and rainfalls. The higher those variables are, the higher the DHF incidence will happen.

Result in this research has shown that either of these variables have a significant correlation to the DHF number of cases. The result was verified using a statistical analysis based on the same data. As the outcome, a hypothesis is presented that other important variables might be the caused of DHF case such as micro-climate, relative humidity and air temperature, also sanitation specifically in each particular area.

Keywords : Geographic Information System, Dengue Haemorraghic Fever, rainfall, urban density, Yogyakarta


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

Dengue Haemorrhagic Fever atau Demam Berdarah Dengue (DBD)

merupakan penyakit infeksi yang menjadi masalah besar kesehatan beresiko kematian tinggi di negara berikilim tropis. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus Dengue. Virus Dengue menimbulkan panas demam tinggi pada tubuh penderita Dengue Fever (DF = demam Dengue) serta dapat pula disertai perdarahan (dengue Haemorrhagic

fever, DHF) kemudian dapat berlanjut fase lanjutan Dengue Shock Syndrome (DSS).

Penyakit DBD selain menimbulkan kesakitan atau kematian pada anak dan orang dewasa juga dapat menimbulkan epidemi. Menurut Gubbler (2005) pada awal abad 21 sindroma DHF/DF merupakan penyakit arboviral terpenting pada manusia yang menjangkiti negara-negara tropis di dunia.

Pada dasarwarsa terakhir ini, kasus DHF telah menjangkiti lebih dari 100 negara. Terdapat 100 ribu kasus per tahun yang terjadi. Menurut Soponntamarak (2003), Dengue sendiri merupakan penyakit endemik di daerah Asia Tenggara, Western Pasific, dan Amerika Selatan, dan bahkan muncul di Amerika Serikat dan Jepang.

Penelitian tentang penyakit DBD dianggap penting karena sudah menunjukkan indikasi perluasan wilayah penyebaran antar negara. Hasil penelitian Singapore


(14)

Ministry of Health (2005) menyatakan bahwa nilai kerugian ekonomisnya masih

lebih rendah dibanding penyakit flu burung (SARS) ataupun HIV/AIDS. Namun demikian kerugian lain yang timbul akibat pengeluaran biaya pengobatan, kehilangan kesempatan kerja atau kesempatan belajar juga sangat bernilai bagi tingkat kesejahteraan hidup seseorang. Penurunan tingkat kesejahteraan hidup masyarakat dengan prasarana pendukung kesehatan rendah pada akhirnya akan menimbulkan kerugian ekonomi tinggi pada suatu negara. Hal ini terlihat nyata pada beberapa negara berkembang beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, dan negara-negara Amerika Latin

Sangat disayangkan komitmen para pemimpin negara dalam memberikan andil dalam pemberantasan dengue masih kurang. Dua pencanangan pemberantasan sarang nyamuk di Indonesia pada tahun 1998 dan 1999 kurang ada tindakan nyata dan berkesinambungan. Kenyataan menunjukkan kemudian tahun akhir tahun 2003 dan awal 2004 terjadi wabah DHF.

Melihat jumlah insidensi Dengue di Indonesia, DI Yogyakarta menurut Sutaryo (2004) menjadi salah satu propinsi yang banyak melaporkan kasus ini, selain DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Salah satu kondisi di DI Yogyakarta, yaitu pertumbuhan jumlah penduduk yang terkonsentrasi di beberapa wilayah yang menyebabkan peningkatan kepadatan penduduk, diduga menjadi salah satu sebab terjadinya DHF. Seperti penelitian yang telah dilakukan di Brazil, ditemukan bahwa perkembangbiakan Ae.Aegypty banyak


(15)

terjadi di daerah perkotaan.

Karakteristik kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi antara negara maju (developed countries) dengan negara berkembang (developing countries) sangatlah berbeda. Di negara maju konsentrasi tempat tinggal penduduk mempunyai makna sebagai efisiensi dalam pemberian fasilitas oleh pemerintah kepada rakyatnya, sehingga sarana dan prasarana air bersih serta drainase dibangun dan tertata dengan sangat rapih. Hal demikian tidak terjadi di negara berkembang, karena konsentrasi pembangunan oleh permerintah bukan pada penyediaan sarana dan prasana air bersih, pembangunan drainase, serta alasan klasik tidak adanya anggaran untuk dialokasikan dalam pembangunan di sektor ini, sehingga banyak masyarakat tinggal di daerah padat penduduk tanpa dilengkapi sarana dan prasarana air bersih yang memadai, bahkan pembuangan limbah rumahtangga bercampur dengan saluran pembuangan air hujan yang minim.

Usaha preventif perlu lebih digalakkan sebagai usaha penurunan angka kejadian penyakit DBD, khususnya melalui cara pemberantasan jentik nyamuk vektor dari virus dengue. Kondisi bebas jentik nyamuk merupakan kunci keberhasilan penanggulangan penyakit DBD walaupun sangat susah untuk dilakukan karena menyangkut perilaku sehat-prasarana-tata tertib masyarakat setempat. Sebagai gambaran Singapura yang sudah termasuk dalam kategori negara maju baru mencapai Angka Bebas Jentik 95% sehingga masih tetap terjadi kasus DHF. Oleh karena itu pilihan tindakan preventif yang tepat melalui penggalian dan sosialisasi informasi


(16)

tentang DHF, faktor-faktor penyebab, metode pencegahan yang efektif dan efisien serta peningkatan perilaku sehat dalam suatu masyarakat perlu segera ditingkatkan. Bentuk tindakan perventif tersebut kemudian didukung dalam bentuk kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai suatu bentuk informasi spasial sangat diperlukan untuk mendukung proses pengambilan keputusan pemecahan suatu permasalahan. Hal ini karena sifat fungsi kegunaan SIG sebagai media informasi tampilan visual gabungan (multi layers) berbagai macam data dalam bentuk peta. Peta yang terbentuk merupakan citra yang tampilan detail informasi berdasar gabungan berbagai basisdata yang diperlukan (Gambar I.1).

Penggunaan SIG bukan sekedar pengganti atas suatu basisdata, tapi mengandung nilai tambah atas data. Dengan metode penampilan data yang lain dengan sebuah tabel ataupun diagram, SIG dapat difungsikan sebagai sebuah media untuk mendapatkan informasi “baru” dari data yang telah ada.


(17)

Gambar I.1 Data dalam Sistem informasi Geografis

Dengan menggabungkan data berupa kepadatan penduduk di suatu wilayah, data curah hujan, serta data penderita DHF, diharapkan hasil dari lapisan informasi SIG dapat ditemukan pola hubungan jumlah ataupun penyebaran penderita di suatu wilayah berdasarkan karakteristik wilayah (Gambar I.2).

Gambar I.2 Lapisan data

Hasil kompilasi data dapat digunakan sebagai sistem pendukung pada pengambilan keputusan maupun sistem pendukung kebijakan manajerial. SIG

Teks

Citra

Multimedia

Basis

SIG

Tampilan Visual

atau

SIG

Lain-lain Curah Hujan

DHF


(18)

bahkan dapat digunakan dalam kondisi darurat dan bencana. Informasi yang tersaji dari SIG berguna dalam penegakan program preventif yang dapat dilakukan oleh pihak terkait, dalam hal ini departemen kesehatan dan pemerintah daerah untuk mengurangi resiko peningkatan jumlah penderita DHF yang berkaitan dengan berkembang dan berubahnya karakteristik suatu wilayah.

I.1 Permasalahan

Sampai saat ini masih belum tersedia sarana (keras dan perangkat-lunak) yang menyediakan informasi spasial tentang DHF dalam hal kecenderungan wilayah kejadian, waktu kejadian, serta faktor pendukung kejadian untuk mengetahui informasi sebaran dan bentuk kejadian DHF

I.2 Manfaat Penelitian

a. Sebagai sistem informasi pengambilan keputusan pihak penentu kebijakan atau peneliti bidang kesehatan dalam hal penanggulangan dan penanganan penyebaran penyakit DHF di Indonesia.

b. Bagi peneliti: memberikan kepuasan dalam melakukan penelitan yang dapat disumbangkan dalam bidang pelayanan kesehatan menggunakan teknologi informasi.

c. Bagi masyarakat: meningkatkan kewaspadaan terhadap DHF agar menggiatkan diri untuk memelihara lingkungan agar tetap sehat.


(19)

I.3 Tujuan Penelitian

Perancangan Sistim Informasi Geografis untuk pendukung penanganan penyakit Dengue Haemorrhagic Fever dalam hal:

a. Hubungan kepadatan penduduk di suatu wilayah dengan pola penyebaran DHF. b. Hubungan pengaruh hujan wilayah terhadap pola kecenderungan penyebaran

DHF

I.4 Batasan Penelitian

a. Penderita dengan diagnosis DF dan DHF/DSS yang berdomisili di Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta tahun 2001-2004.

b. Wilayah penelitian Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta

c. Fokus pada variabel kepadatan penduduk dan curah hujan rata-rata bulanan. d. Fokus pada tahap pengembangan model sistem informasi geografis yang dapat


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tinjauan Pustaka

DHF sudah merupakan ancaman nyata di daerah Asia Tenggara yang terletak di daerah tropis. Nyamuk Ae.Aegypti dan Ae.Albopictus sebagai vektor virus dari penyakit tersebut. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit DHF di Indonesia sudah termasuk tinggi (Sutaryo, 2004), termasuk salah satunya adalah Propinsi DI Yogyakarta merupakan salah satu daerah dengan kasus yang tinggi. Salah satu faktor pendukung tingginya kasus kejadian DHF di DIY adalah kondisi lingkungan habitat pertumbuhan vektor virus Dengue.

Kondisi lingkungan terbuka berupa perkebunan dan persawahan menjadi penunjang penyebaran vektor penyebab DHF. Tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah juga membantu penyebaran vektor secara cepat, khususnya pada wilayah yang kurang didukung oleh sarana dan prasarana sanitasi lingkungan yang baik. Sanitasi lingkungan yang tidak baik mendukung banyak terjadinya genangan air buangan limbah rumah tangga maupun sisa air hujan. Genangan air bersih merupakan tempat ideal bagi perkembangbiakan vektor Dengue. Kasus-kasus ini juga ditemui ditemui di berbagai wilayah perkotaan Brazil untuk jenis nyamuk Ae.Aegypti (Degallier dkk, 2000 dalam Sutaryo, 2004). Tercatat bahwa sejak tahun 1994 diberbagai kota di Brazil telah terjadi peningkatan perkembangan penyebaran DHF


(21)

dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 (Teixeira,2002). Puncak kejadian kasus terjadi pada tahun 2001 yaitu dengan ditandai oleh munculnya virus DEN-3 yang terjadi lebih tinggi dari akumulasi total kasus dekade sebelumnya.

Tercatat pula selama ini bahwa selain munculnya outbreak juga telah dialkukan berbagai tindakan kontrol dan penanganan. Di kawasan Asia Tenggara, Singapura melakukan tindakan kontrol terhadap DHF melalui pengurangan vektor, pendidikan dan promosi kesehatan, serta penegakan hukum. Penelusuran dan penyelidikan secara rutin dilakukan pada wilayah yang di identifikasi sebagai area sensitif dengue. Bahkan sejak tahun 1970, house index untuk Aedes tetap terjaga dibawah 2% (Teng, 1997), artinya dari angka 2% populasi nyamuk yang ada masih mampu menimbulkan kasus DHF. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara beriklim tropis masih berpeluang terkena ancaman kasus DHF, walaupun dengan penanganan yang ketat.

Melihat kenyataan terdapatnya hubungan antara karakteristik geografi, demografi wilayah dan urutan kejadian kasus DHF maka perlu dilakukan penanganan secara komprehensif berdasarkan variabel-variabel pendukung penyebabnya tersebut. Salah satu alat untuk menganalisis hubungan antar variabel penyebab kejadian adalah sistem informasi greografi berdasarkan pendekatan ruang dan waktu kejadian. Penelitian yang telah dilakukan oleh Muttitanon et al. (2004) di propinsi Nakhon Pathom, mengidentifikasi variabel georeferenced untuk mengalisis variabel yang berkaitan dengan proses penyebaran DHF. Demikian pula yang dilakukan oleh Bohra dan Adrianasolo (2001) menggunakan SIG sebagai sarana penggabung


(22)

aspek-aspek sosiokultural dengan data DHF. Faktor-faktor sosiokultural dicatat dan dibagi menjadi 5 kategori resiko kemudian dilakukan superimpose dengan data pasien untuk dimunculkan dalam bentuk peta menggunakan fasilitas SIG. Hasilnya menunjukan bahwa 94,5% terklasifikasikan dengan tepat.

II.2 Dasar Teori

II.2.1 Sistem Informasi Geografis

Dasar pemikiran utama SIG adalah informasi nilai gambar dalam bentuk peta hasil analisis kumpulan banyak data. Secara harfiah Sistem Informasi Geografis diartikan sebagai sebuah sistem komputer yang mengatur data spasial. Dalam SIG citra bumi tidak hanya ditampilkan dalam bentuk gambar atau foto seperti peta (kertas) konvensional tetapi lebih mengarah dalam bentuk informasi. Data yang berisi tentang informasi spasial dari peta konvensional kemudian tersaji melalui olahan analisis sistem komputer dalam betuk lebih beragam dan fleksibel. Oleh karena itu SIG mempunyai tiga kemampuan utama (computer mapping, analisis spasial, dan basisdata spasial) sebagai sebuah sistem terdiri atas: a) keras; b) perangkat-lunak dan prosedur yang dirancang untuk mendukung penangkapan, pengaturan, manipulasi, analisis, pemodelan, dan menampilkan data spasial yang berreferensi untuk memecahkan perencanaan dan pengaturan masalah yang kompleks (Haithcoat,2005). Rincian uraian sistem terlihat pada Gambar II.1


(23)

Gambar II.1 Sistem Informasi Geografis (Filbert)

SIG mempunyai cara kerja berupa penyimpanan informasi tentang bumi sebagai koleksi berupa lapisan bertema yang dapat di hubungkan secara geografis. Cara kerja ini sangat sederhana, tetapi sangat berdaya guna untuk banyak kepeluan, serta sudah terbukti bermanfaat untuk memecahkan berbagai kasus nyata, mulai dari melacak paket sampai pemodelan sirkulasi atmosfer secara global (gambar II.2).


(24)

Gambar II.2 Lapisan-lapisan data tematik

Lapisan-lapisan dalam SIG dapat di buat dari berbagai tipe data , dan kemudian dikombinasikan sesuai keinginan dan kebutuhan. Lapisan-lapisan ini terdiri atas data geografis atau data spasial, data yang dihubungkan dengan deskripsi ataupun tabulasi, serta berisi informasi. Dalam pengkombinasian lapisan-lapisan ini, SIG menggunakan koordinat (garis lintang dan garis bujur) untuk memastikan ketepatan letak antar lapisan-lapisan. Dengan sistem kerja demikian, menjadikan kekuatan SIG sebagai penggabung berbagai macam informasi dalam konteks spasial dan mendapatkan sebuah konklusi baru.

II.2.1.1 Data

Komponen terpenting dari SIG adalah data. Data tersebut dapat dalam format digital yang tersedia, ataupun dari bentuk konvensional (kertas) yang di digitalkan. Selain data berbentuk spasial, SIG dapat menampung data dalam bentuk tekstual


(25)

seperti DBMS yang telah digunakan secara luas, data multimedia, citra satelit, dan berbagai macam format digital lainnya.

Dari berbagai macam data tersebut, SIG akan mendapatkan relasi spasial diantara berbagai objek yang dinampakkan. Berbagai data yang ditampilkan pada tiap lapisan yang berbeda. Lapisan tersebut dibuat berdasarkan tema tertentu sesuai kepentingan dan kebutuhan. Kombinasi dari berbagai lapisan yang mempunyai variabel masing-masing menjadikan hasil kombinasi tersebut sebagai variabel baru.

Data digital yang akan dianalisis ada kemungkinan mempunyai format yang berbeda, oleh karena itu perlu di konversi format proyeksinya agar dapat di integrasikan ke dalam SIG. Proyeksi adalah hal fundamental dalam komponen pembuatan peta. Proyeksi sendiri adalah konversi informasi dari bentuk tiga dimensi bumi, berbentuk kurve menjadi media dua dimensi berupa kertas atau layar komputer. Proyeksi yang digunakan berbeda untuk setiap kepentingan, menyesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya proyeksi yang merepresentasikan bentuk dengan akurat akan mengkaburkan ukuran sesungguhnya. Proses proyeksi di dalam SIG ini dilakukan oleh komputer, untuk menjadikan informasi dalam bentuk digital, dan kemudian di satukan dengan proyeksi lainnya, dan dijadikan satu menjadi proyeksi yang sama.


(26)

Gambar II.3 Tipe proyeksi peta (Filbert)

Dalam SIG, representasi data biasa menggunakan 2 metode utama, yaitu vektor dan raster. Vektor ciri (juga disebut features) mempunyai bentuk berupa titik, garis, dan poligon. Sedangkan raster (disebut juga grid), adalah jaring sel-sel berukuran normal yang merepresentasikan bagian-bagian permukaan bumi.

Gambar II.4 Perbandingan data garis (vektor sebelah kiri) dengan data raster

Gambar II.5 Perbandingan data titik (vektor sebelah kiri) dengan data raster


(27)

Gambar II.7 Representasi dunia nyata menjadi raster

Didalam data SIG, terdapat data atribut, yaitu informasi tentang data spasial sebagai tambahan keterangan pada lokasi spasial. Pada tipe raster, penyimpanan dapat secara sederhana (nilai sel = nilai atribut), atau kompleks (nilai sel= id sel dan informasi atribut yang disimpan di luar basisdata dari id sel), serta informasi luar yang terhubung dengan sel melalui id sel. Sebagai contoh adalah: kondisi kualitas jalan raya, tipe vegetasi, ataupun catatan kesehatan pada sebuah pusat pelayanan kesehatan.

II.2.1.2 Perangkat-keras dan Perangkat-lunak

Perangkat-lunak pada SIG menyediakan beberapa macam fungsi dan alat, yang pada dasarnya digunakan untuk manajemen data untuk:

a. Menyimpan,

b. Query (mencari tahu), c. Menampilkan,


(28)

e. Membuat, dan

f. Memodifikasi data/informasi yang ada.

Perkembangan teknologi dan tren yang ada menyebabkan program SIG ini tidak hanya di butuhkan pada komputer desktop, melainkan juga dibutuhkan dalam bentuk pembagian informasi pada media internet, sehingga muncullah perangkat lunak mapserver yang bertugas menampilkan data SIG pada media internet.

Berkaitan dengan itu perangkat-keras yang dibutuhkan juga berkembang, yaitu dengan berbagai macam tipe perangkat-keras, mulai dari komputer server, komputer personal, dan berkembang sampai kepada konfigurasi networked. Beberapa alat yang digunakan dalam SIG:

a. Printer. b. Plotter. c. Digitizer. d. Scanner. e. Monitor.

f. Sistem Jaringan.

II.2.1.3 Manusia

Manusia memegang peranan penting dalam SIG, sebagai pengguna, menjadi penentu tujuan dan menyediakan alasan serta landasan hukum dalam pemakaian SIG. Manusia dalam SIG dapat berposisi sebagai pengguna, pengembang, pengambil


(29)

keputusan, dan juga sebagai analis.

Hasil kerja analisis terhadap sistem ini, digunakan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Kedua hal ini tidak hanya berkaitan dengan seorang individu saja, melainkan juga berkaitan dengan organisasi tempat dia berada. Keputusan yang diambil dipengaruhi oleh tujuan dan latar belakang organisasi serta menjadi penentu apakah keputusan yang akan diambil tersebut mempengaruhi organisasi, publik, juga konstituen.

II.2.1.4 Kemampuan SIG

Dibalik semua kecanggihan dan kesederhanaan prinsip SIG, sistem ini dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang mucul mengenai hal-hal berikut: a. Lokasi. Pada kondisi ini, dapat menjawab berbagai pertanyaan mengenai tempat

tertentu. Lokasi ini dapat di diskripsikan dalam berbagai cara, misalnya: kode pos, ketinggian, garis bujur dan garis lintang, ataupun nama tempat.

b. Kondisi. Informasi yang bisa didapatkan adalah kondisi tentang suatu lokasi, misalnya: daerah dengan tanaman padi, daerah dengan kondisi perumahan padat, daerah dengan penduduk dibawah garis kemiskinan, dan lain-lain.

c. Kecenderungan, berupa penggalian informasi melalui pencarian perbedaan kondisi suatu wilayah sesuai dengan rentang waktu tertentu.


(30)

d. Pola. Penggalian pola terntentu yang kemungkinan muncul karena sebelumnya tidak nampak. Misalnya banyak digunakan pada kepolisian untuk mencari lokasi penculikan ataupun pencurian kendaraan bermotor.

e. Pemodelan. Dalam rangka menentukan kejadian yang akan terjadi didalam suatu area. Sebagai contoh adalah pemodelan pencemaran pada suatu sungai.

II.2.1.5 SIG sebagai sistem penunjang keputusan

Salah satu manfaat SIG adalah sebagai sistem penunjang keputusan (decission

support system = DSS), dalam hal ini adalah penunjang keputusan dalam arti yang

umum. Para pengambil keputusan dapat mengambil manfaat atas hasil informasi yang dihasilkan oleh SIG.

Penggunaan DSS dalam SIG adalah dengan kemampuannya menganalisis bermacam situasi “bagaimana jika” didalam konteks DSS. Tetapi dapat pula sistem ini hanya murni sistem spasial saja, atau yang dapat memiliki komponen temporal.

Menurut Marble (1999), SIG memberikan keleluasaan kepada para perancang dan pengambil keputusan untuk:

a. Mengintegrasikan data ruang dan waktu yang tersedia dalam jumlah yang besar b. Menggunakan data yang sesuai untuk mengembangkan model perkiraan

(ramalan) untuk memprediksi hasil, sebagai alternatif pilihan untuk sebuah kebijakan, dan


(31)

c. membuat tampilan hasil penerapan model yang mudah dipahami oleh para pegawai publik, masyarakat umum, dan juga termasuk komunitas ilmuwan.

II.2.2 DHF

Demam Berdarah adalah nama yang lebih dikenal di masyarakat. Penyakit ini lebih sering ditujukan kepada Demam Berdarah Dengue, suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue, dengan gejala yang biasa terjadi adalah demam dan menyebabkan perdarahan.

Dengue Fever (demam dengue), Dengue Haemorraghic Fever/Desngue Shock Syndrome, menurut penelitian disebabkan oleh empat serotipe yang sama. Hal ini

ditegaskan oleh Sutaryo (2004) yang mengatakan bahwa, secara virologis penyebab demam dengue (dengue fever = DF) dan Dengue Haemorrhagic fever/Dengue Shock

Syndrome (DHF/DSS) sama, yaitu virus Dengue. Secara imunologis dan biologi

molekular empat serotipe yang menyebabkan DF sama dengan yang menyebabkan DHF/DSS.

Penyakit dengan virus dengue ini merupakan masalah kesehatan yang serius karena dapat mengakibatkan epidemi. Bahkan sampai sekarang, masih menjadi masalah besar di dunia. Banyak terjadi di negara di wilayah tropis dan kebanyakan pula di negara sedang berkembang, dengan banyak penduduknya yang masih dalam kondisi miskin.


(32)

Ae.Albopictus. Vektor ini sangat mudah berkembang biak, dengan hanya memerlukan

sedikit air tergenang selama beberapa hari, atau tempat air bersih untuk keperluan hidup sehari-hari. Dengan kondisi ini, wilayah ataupun negara yang memberikan dukungan terhadap perkembangbiakan vektor ini, seperti pada daerah tropis, daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, lingkungan pedesaan di daerah agraris, atau di mana pun wilayah yang memudahkan terjadinya genangan air bersih, harus mempunyai kesadaran dan kewaspadaan tinggi terhadap penyakit ini.

Lingkungan yang memberikan dukungan terhadap perkembangbiakan vektor ini adalah beriklim tropis, daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, lingkungan pedesaan di daerah agraris, atau di mana pun wilayah yang memudahkan terjadinya genangan air bersih.

Salah satu kondisi di DI Yogyakarta, yaitu pertumbuhan jumlah penduduk yang terkonsentrasi di beberapa wilayah yang menyebabkan peningkatan kepadatan penduduk, diduga menjadi salah satu sebab terjadinya DHF. Seperti penelitian yang telah dilakukan di Brazil, ditemukan bahwa perkembangbiakan Ae.Aegypty banyak terjadi di daerah perkotaan.

Penyebaran DHF ini sangat dipengaruhi oleh perilaku dan aktivitas manusia. Manusia adalah pembawa virus yang utama. Arus transportasi yang semakin berkembang, menyebabkan perpindahan manusia pembawa virus Dengue juga makin cepat dan dalam jangkauan yang lebih jauh pula. Disini manusia tidak secara langsung akan menularkan penyakit yang dibawanya kepada orang lain, pengertian


(33)

penularan dengan menggunakan vektor berarti adalah manusia terjangkit penyakit DHF, kemudian manusia tersebut digigit nyamuk, disini nyamuk menghisap darah yang mengandung virus Dengue tersebut. Disinilah peran nyamuk sebagai vektor, atau perantara. Ketika nyamuk yang mengandung virus dengue tersebut menggigit orang lain, maka tertularlah orang lain dengan penyakit DHF tersebut, karena kemasukan virus dengue yang dibawa nyamuk tersebut.

Itulah sebabnya faktor pengendalian perkembangbiakan vektor menjadi hal yang sangat diperhatikan, karena dengan logika probabilitas, semakin banyak vektor maka kemungkinan penjangkitan penyakit akan semakin besar pula.


(34)

Perkembangbiakan vektor DHF cukup membutuhkan sediki air tergenang. Hal ini menjadi masalah pada negara-negara yang beriklim tropis. Wilayah beriklim tropis dicirikan oleh curah hujan tinggi, bahkan kadang hujan turun sepanjang tahun. Selain hujan, kondisi lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangbiakannya. Kondisi lingkungan pedesaan yang banyak terdapat kebun dengan kerimbunan pepohonannya sangat memungkinkan timbulnya genangan air. Demikian pula di lingkungan perkotaan dengan kondisi penataan pemukiman yang tidak baik. Banyaknya buangan sampah non organik dan sanitasi buruk sangat berpotensi menimbulkan tampungan air (hujan dan limbah). Munculnya tampungan air secara alami serta kurangnya paparan cahaya matahari akibat kepadatan pemukiman yang tidak tertata baik juga mendukung perkembanganbiakan vektor dengu. Seperti yang terjadi di Brazil, perkembangbiakan nyamuk ini justru terdapat di kota. Bahkan menurut Sutaryo (Subodro dkk,1977) di Indonesia dengue pertama kali menyerang kota di tepi pantai yang padat penduduknya, yaitu Jakarta dan Surabaya, baru menyebar ke kota-kota pedalaman bahkan di pedesaan.

II.2.3 Iklim

Kesadaran manusia akan iklim dan cuaca yang berperan terhadap kesehatan manusia telah ada sejak lama. Bahkan jauh sebelum ditemukan bukti nyata tentang hubungannya terhadap kesehatan, manusia telah menduganya. Hipocrates (460-377 SM) tercatat sebagai orang yang membuat kontribusi besar terhadap pemikiran awal tentang hal ini


(35)

Cuaca sendiri adalah gambaran yang instan atas variasi elemen-elemen atmosfer, seperti radiasi, kelembaban, tekanan, angin dan temperatur. Sedangkan iklim adalah sebagai kumpulan secara statistis atas rata-rata elemen yang terdapat dalam cuaca dalam kurun waktu tertentu. Atau lebih mudahnya dikatakan bahwa cuaca adalah kondisi atmosfer pada waktu tertentu pada tempat tertentu, sedangkan iklim adalah karakter cuaca pada periode yang lebih panjang (harian, bulanan, bahkan tahunan) dan pada lokasi yang lebih luas (Mather, 1974).

Hubungan nyata pengaruh lingkungan diluar manusia terhadap dampak kesehatan manusia terlihat nyata pada Gambar II.9. Terlihat pada Gambar II.9 bahwa kesehatan manusia tidak bediri sendiri tetapi sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan ekosistem sekitarnya. Ekosistem sangat menentukan dan mengarahkan tingkat kestabilan serta berkelanjutan kondisi biosfer sebagai sistem penunjang kehidupan (WHO).


(36)

Gambar II.9 Perubahan Iklim dan Kesehatan Manusia (Session dan Ushijima, 2004)

Iklim sendiri memberikan efek secara natural dan sistem sosial melalui berbagai cara, dan masing-masing berdampak terhadap kesehatan. Secara umum, perubahan cuaca yang nampak setelah 1990 telah menyebabkan banyak perubahan dan meningkatkan ancaman terhadap kesehatan manusia (Session dan Ushijima, 2004). Perubahan iklim dapat memperngaruhi secara langsung (misalnya meningkatnya stresor panas, kematian karena banjir ataupun tanah longsor) dan juga mempengaruhi secara tidak langsung, misalnya perubahan sifat pada vektor penyakit, kualitas udara, kualitas air, ataupun ketersedian pangan.

Perubahan iklim yang ekstrim, berupa abnormalitas curah hujan yang tinggi atau panjangnya musim kering terbukti berdampak pada kesehatan masyarakat. Tingkat kemampuan mengatasai dampak negatif iklim sangat ditentukan oleh kondisi


(37)

sosio-teknis-kultueal masayarakat setempat. Oleh karena itu identifikasi unsur iklim yang berdampak pada kesehatan manusia sangat diperlukan sebagai usaha pengurangan angka kesakitan dan kematian.

II.2.4 Urban

Urban yang didalam kamus webster dikatakan berasal dari kata latin urbanus,

urbs atau kota, di definisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kota,

karakter dari sebuah kota, atau bentuk dari sebuah kota. Sedangkan urbanisasi menurut Bertinelli (2003) adalah perbandingan antara urban dengan total populasi.

Kepadatan penduduk suatu kota atau disebut sebagai urban density, diukur dalam jumlah populasi per kilometer persegi (Tatem dan Hay, 2004). Pada penataan kota developed country, urban density dimaksudkan sebagai suatu efisiensi. Penggunaan tanah yang lebih sedikit untuk penduduk yang lebih banyak memberikan efek penggunaan energi yang lebih sedikit dan lebih efisien jika ditinjau dari sisi ekosistem. Sebagai contoh penyediaan sarana transportasi umum akan lebih mudah menjangkau masyarakat dengan menggunakan lebih sedikit sumber daya karena jaraknya yang lebih dekat. Tujuan utama dari urban density ini adalah penggunaan tanah (ekosistem secara umum) sesedikit mungkin sehingga mempunyai kemungkinan yang lebih besar dengan meberikan lingkungan alami untuk tetap eksis.

Kondisi demikian bertolak belakang dengan negara berkembang, kepadatan urban yang sangat tinggi atau over-urbanization, bukan dimaksudkan sebagai


(38)

efisiensi. Hal ini disebabkan karena alasan ekonomi, sehingga menjadi daerah dengan kondisi sanitasi yang sangat kurang, miskin infrastruktur, dan lebih parah lagi menjadikan rendahnya standar kehidupan dan kesehatan di wilayah tersebut.

Kenyataan ini menyebabkan daerah urban mempunyai banyak resiko di bidang kesehatan dibanding di daerah rural. Sebagai contoh, penduduk di daerah urban lebih beresiko terinfeksi secara langsung TBC, juga penyakit dengan bantuan penyebaran vektor seperti DHF (Tatem dan Hay, 2004).

II.3 Hipotesis

a. Teknologi informasi dapat menunjang penyampaian informasi mengenai kasus DHF kepada para pengambil keputusan yang terkait.

b. Penyebaran penderita DHF berhubungan dengan tingkat kepadatan penduduk c. Penyebaran penderita DHF berhubungan dengan curah hujan.

d. Penyebaran penderita DHF berhubungan dengan tingkat kepadatan penduduk dan curah hujan.


(39)

BAB III

CARA PENELITIAN

III.1 Alat

Perangkat-lunak: program pengolah statistik, dan program untuk menampilkan dan mengolah sistem informasi geografis

Perangkat-keras: komputer yang dapat memenuhi spesifikasi perangkat-lunak yang digunakan.

III.2 Bahan

Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

a. Kajian Pustaka, berupa telaah pustaka berupa buku, artikel, jurnal, serta artikel dan jurnal dari internet.

b. Pengumpulan data : satu, data yang dikumpulkan berupa data pasien dengan diagnosis DF dan DHF/DSS yang berdomisili di wilayah Kota, dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta. Dua, data hujan yang dikumpulkan dari stasiun hujan milik BMG yang berada di wiliayah DI Yogyakarta.


(40)

III.3 Metode Penelitian

III.3.1 Area Penelitian

DI Yogyakarta adalah sebuah propinsi yang terletak di pulau Jawa yang terletak di bagian tengah. DI Yogyakarta berbatas dengan laut Indonesia di sebelah selatan, dan berbatasan dengan propinsi Jawa Tengah di sisi timur laut, tenggara, barat, dan barat laut.

Mempunyai posisi 70.33I -80.12I Lintang Selatan dan 1100.00I – 1100.50I Bujur Timur, dengan luas 3.185,80 km2 atau 0,17% dari luas Indonesia, sehingga merupakan propinsi terkecil di Indonesia setelah DKI Jakarta (http://www.pemda-diy.go.id).

Wilayah DI Yogyakarta terletak di ketinggian antara 100-499 m dari permukaan laut sebesar 65%, dibawah ketinggian 100 m sebesar 28,84%, ketinggian 500-999 m sebesar 5,04% dan ketinggian diatas 1000 m sebesar 0,47%.

Sedangkan untuk iklim, mempunyai curah hujan antara 6 mm – 949 mm, yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan.

Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta menjadi ibukota Propinsi DIY dan mempunyai status Kota untuk daerah tingkat II, satu-satunya disamping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus kabupaten. Batas-batas wilayah kota ini adalah:


(41)

a. Sebelah utara: Kabupaten Sleman

b. Sebelah timur: Kabupaten Bantul & Sleman c. Sebelah selatan: Kabupaten Bantul

d. Sebelah barat: Kabupaten Bantul & Sleman

Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 11OO 24’ 19” sampai 11OO 28’ 53” Bujur Timur dan 7° 49’ 26” sampai 7° 15’ 24” Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan laut

Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY, dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT (www.jogja.go.id).

III.3.2 Persiapan Penelitian

Penggalian dan perumusan masalah menggunakan data faktual berupa jumlah kasus DHF yang tinggi di DI Yogyakarta, serta pengamatan terhadap pemberitaan di media masa tentang terjadinya kasus DHF dan terdapat di daerah urban yang padat.

III.3.3 Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang diperlukan untuk sistem ini berupa: a. Data hujan bulanan untuk wilayah Kota Yogyakarta.


(42)

c. Data jumlah penduduk untuk wilayah Kota Yogyakarta.

d. Data berupa peta digital untuk wilayah DI yogyakarta, dengan peta tematik desa, kecamatan, kabupaten, serta sungai.

III.3.4 Pengembangan SIG

Perancangan sistem mengenal beberapa model pengembangan, yang sering digunakan misalnya model waterfall, model prototipe, dan model spiral. Tiap model pengembangan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pada dasarnya model-model tersebut memiliki 4 proses, yaitu: analisis, perancangan, pengkodean, dan pengujian. Pengembangan SIG biasa menggunakan model yang bersifat dinamis dan dapat mengakomodasi perubahan secara fleksibel, oleh karena itu model spiral lebih sering dipilih untuk digunakan dalam pengembangan.


(43)

Gambar III.1 Diagram Pengembangan Sistem (Pressman, 2005)

III.3.4.1 Analisis Kebutuhan Sistem

SIG yang dibutuhkan adalah sebuah sistem yang dapat menggambarkan dengan mudah, pola penyebaran penderita DHF di Kota Yogyakarta, yang berhubungan dengan jumlah kepadatan penduduk serta jumlah curah hujan. Sistem ini diperlukan agar dapat membantu menganalisis pola penderita DHF, tanpa harus melakukan perhitungan yang rumit melalui metode statistik.

Kondisi terkini adalah data tersedia dalam bentuk :

a. Data penderita individual, dengan detail keterangan sampai ke tinggal alamat tempat tinggal (untuk lokasi) dan keterangan waktu sampai ketingkat harian, dan

Komunikasi / Evaluasi

Perencanaan

•Perkiraan

•Penjadwalan

•Analisis Resiko Perancangan

•Analisis

•Desain Konstruksi

•Kode

•Percobaan

Penerapan

•Pengiriman

•Umpan balik

•Evaluasi Kastomer


(44)

b. Data jumlah penderita per desa (untuk lokasi) dan keterangan waktu pada tingkat bulanan.

Untuk wilayah Kota Yogyakarta data sebelum tahun 2003 adalah dengan kondisi (b), dan mulai tahun 2003 sampai sekarang adalah dalam bentuk (a). Semua data tersedia dalam bentuk spreadsheet file (Ms Excel®).

III.3.4.2 Kebutuhan Fungsional Sistem

Sistem ini di rancang mempunyai fungsi berupa :

a. Pemasukan data penderita DHF, data kepadatan penduduk, serta data curah hujan, dan

b. Penampil informasi dalam bentuk tematic layer penderita DHF.

Fungsi diatas dapat ditampilkan dalam bentuk diagram use case sebagai berikut (Gambar II.2)

Gambar III.2 Diagram Use Case

Pada diagram data flow (Gambar III.3) ditampilkan aliran dari sistem ini dengan lebih jelas. Basis data DHF terpisah dengan sistem, sedangkan fungsi input


(45)

dan edit data dapat dikembangkan menggunakan sistem itu tersendiri.

Gambar III.3 Diagram Data Flow Sistem Informasi Geografis untuk DHF

III.3.4.3 Desain Data

Berdasarkan analisis desain sistem, maka dapat di identifikasikan kebutuhan data-data yang akan disimpan ke dalam sistem. Oleh karena itu data dikelompokkan menjadi segmen-segmen berikut.

a. Propinsi

Tabel ini berisi informasi mengenai nama propinsi berserta kode id nya yang merupakan standar baku penomeran dari BPS.

b. Kabupaten

Tabel ini berisi informasi mengenai nama kabupaten berserta kode id (standar BPS)

SIG

Pengguna

administrator

Merupakan bagian yang difokuskan untuk diteliti

Update

Informasi tematik

Dhf

database

Informasi tematik

Data DHF, penduduk, curah hujan

Data DHF, penduduk, curah hujan


(46)

c. Kecamatan

Tabel ini berisi informasi mengenai nama kecamatan beserta kode id (standar BPS).

d. Desa

Tabel ini berisi informasi mengenai nama desa beserta kode id (standar BPS). e. DHF

Tabel ini berisi informasi mengenai jumlah penderita di suatu desa pada waktu tertentu.

f. Penduduk

Tabel ini berisi informasi mengenai kepadatan penduduk tiap km2 pada suatu kecamatan dalam waktu 1 tahun.

g. Hujan

Tabel ini berisi informasi jumlah curah hujan rata-rata perbulan (jumlah curah hujan total dalam satu bulan dibagi jumlah hari hujan) di suatu kabupaten.

Kategori diatas kemudian di analisis untuk menghasilkan entitas-entitas yang diperlukan pada setiap kategori data. Hasil dari analisis tersebut dapat digambarkan diagram E-R sebagai berikut (Gambar III.4):

Masukan diatas tersebut kemudian ditranslasikan kedalam model relasional , berupa tabel-tabel yang diperlukan berserta relasi yang diperlukan (Gambar III.5)


(47)

Gambar III.4 E-R diagram

Gambar III.5 Diagram tabel E-R

KABUPATEN

Kabupaten_id Kabupaten_nama

KECAMATAN

Kecamatan_nama Kecamatan_id

PENDUDUK

tahun kepadatan_penduduk

DHF

tahun bulan pederita

HUJAN

tahun bulan

Curah_hujan

Propinsi_id

Propinsi_nama

PROPINSI

DESA


(48)

III.3.4.4 Model Data Terintegrasi

Model Terintegrasi dipilih untuk pengimplementasian basisdata relasional di dalam SIG yang dikembangkan ini. Data atribut disimpan dalam tabel yang terpisah dan diakses melalui operasi relasional “JOIN”, dan berfungsi sebagai basisdata map

feature atau data atribute (tabel III.1, III.2, III.3).

Tabel III.1 Poligon desa

Tabel III.2 Poligon kecamatan

Poly_id Desa_id Desa_id tahun bulan Penderita

Relational Join

POLIGON_TABEL ATRIBUT_TABEL

Poly_id kecamatan_id kecamatan_id tahun bulan Curah_hujan

Relational Join


(49)

Tabel III.3 Poligon kabupaten

Model data terintegrasi ini memberikan karakteristik tersendiri pada data spasialnya. Informasi ini digunakan untuk memberikan elemen spesifik untuk mengelompokkan elemen-elemen data spasial.

Tabel Poligon adalah tabel yang berasal dari shapefiles berbentuk .dbf. Tabel ini merupakan satu kesatuan dengan data spasial tak terpisahkan pembentuk

shapefiles.

III.3.5 Analisis Data

Analisis diperlukan untuk melakukan pengujian terhadap data yang dipergunakan pada sistem, dengan maksud untuk mengetahui keselarasannya dengan sistem yang dimaksudkan sebagai alat yang memudahkan dalam menganalisis pola penyebab DHF.

Statistika Sleuth digunakan untuk mencari jawaban dan menggali data yang tersedia serta mengkomunikasikan kepada khalayak. Statistika Sleuth sendiri didefinisikan oleh Ramsey dan Schafer (2002) sebagai process of using statstical

Poly_id kabupaten_id kabupaten_id tahun Kepadatan_penduduk

Relational Join


(50)

tools to answer question of interest. Hal-hal yang termasuk didalamnya adalah

menguak kenyataan yang tersembunyi, menjawab permasalahan secara efisien, dan mencari tahu lebih lanjut apakah ada sesuatu yang lain yang dapat dipelajari.


(51)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Manfaat utama pengembangan Sistem Informasi Geografis dalam penelitian ini adalah untuk mambantu analisis pola penyebab serta penyebaran DHF akibat pengaruh hujan dan kepadatan penduduk di suatu wilayah. Pengembangan tahap awal model diharapkan dapat membantu para pengambil keputusan untuk menganalisis secara cepat melalui bantuan sebuah peta tematik secara mudah, terinci, sistematis dan akurat. Akurasi data keluaran informasi telah dilakukan dengan dukungan uji statistik.

Model SIG yang dikembangkan dapat dipergunakan sebagai alat untuk mempermudah analisis pola penyebab DHF, dengan melihat penyebarannya sesuai dengan faktor kepadatan penduduk dan curah hujan.

IV.1 View

View merupakan bagian utama dari sistem ini, yaitu fasilitas yang memberikan

keluaran berbentuk peta tematik. Peta tematik yang disajikan berupa tampilan kasus DHF yang di gabungkan dengan data kepadatan penduduk serta data curah hujan rata-rata dalam bentuk lapisan-lapisan.


(52)

diklasifikasikan, dengan klasifikasi tema yang digunakan adalah: a. Tema Bulanan per tahun (Gambar IV.4 – IV.15) dan

b. Tema Mingguan per tahun (Gambar IV.16 – IV.27).

Masing-masing peta tematik tersebut mempunyai komponen berupa theme, yaitu shapefiles yang disisipkan dan disusun dalam bentuk lapisan-lapisan (layer). Jenis lapisan-lapisan yang disisipkan berdasarkan variabel penelitian ini, yaitu: DHF, kepadatan penduduk, dan curah hujan rata-rata.

Pada peta tematik Bulanan per tahun, terdapat lapisan-lapisan sebagai berikut (dimulai dari lapisan teratas):

a. Sungai, berupa aliran sungai yang melintas Kota Yogyakarta.

b. Batas Kecamatan, merupakan batas kecamatan yang berada dalam Kota Yogyakarta.

c. DHF, merupakan lapisan peta yang mempunyai atribut data DHF dengan area desa/kelurahan

d. Hujan, merupakan lapisan peta yang mempunyai atribut data curah hujan rata-rata per bulan dengan area kabupaten (Dati II).

e. Penduduk, merupakan lapisan peta yang mempunyai atribut data kepadatan penduduk per tahun yang mempunyai area kecamatan.

Pada peta tematik Mingguan per tahun, terdapat lapisan-lapisan sebagai berikut (dimulai dari lapisan teratas):


(53)

b. Batas Kecamatan, merupakan batas kecamatan yang berada dalam Kota Yogyakarta.

c. DHF, merupakan lapisan peta yang mempunyai atribut data DHF dengan area desa/kelurahan

d. Penduduk, merupakan lapisan peta yang mempunyai atribut data kepadatan penduduk per tahun yang mempunyai area kecamatan.

Pada peta tematik mingguan tidak terdapat lapisan hujan seperti pada peta tematik bulanan, karena ketidaktersediaan data hujan dalam bentuk mingguan, sehingga pada tema mingguan diperbandingkan kasus dhf dengan kepadatan penduduk.

Lapisan-lapisan yang terdapat pada peta tematik berasal dari shapefiles yang teridiri dari satu kesatuan utuh data spasial dan data atribut. Data spasial dan atribut masing-masing dapat di olah secara terpisah, namun keduanya tidak dapat dipisahkan dalam penggunaannya.

Setiap peta tematik yang tersedia dapat diaktifkan didalam menu view satu demi satu atau pun secara bersamaan. Dalam mendukung tujuan utama sebagai analisis pola penyebab DHF, maka terdapat button yang berfungsi untuk mengaktifkan sebuah Dialog. Dialog ini berbentuk kotak kontrol yang berisi button yang berfungsi menjalankan script untuk menjalankan fungsi tertentu dalam peta tematik yang sedang aktif. Kotak dialog ini mempunyai kontrol berupa:


(54)

a. Tombol Play/Stop, yang berfungsi untuk menjalankan fungsi slide show secara otomatis, dengan cara merubah data atribut lapisan data tertentu mulai dari bulan/minggu ke-1 sampai terakhir. Tombol ini sekaligus mempunyai fungsi untuk menghentikan slide show yang sedang berjalan.

b. Tombol Next, mempunyai fungsi untuk berpindah dengan mengaktifkan data atribut setelah data atribut yang sedang aktif.

c. Tombil Back, mempunyai fungsi untuk berpindah dengan mengaktifkan data atribut sebelum data atribut yang sedang aktif.

d. Tombol Reset, mempunyai fungsi untuk mengembalikan data atribut ke urutan bulan/minggu ke-1.

e. Area informasi, yang menunjukkan bulan/minggu keberapa dalam data atribut yang sedang aktif dalam peta tematik. Dengan kata lain menunjukkan

bulan/minggu pada kasus DHF yang sedang terjadi.

IV.2 Tables

Tables merupakan tempat peletakan data dalam bentuk tabel-tabel. Tabel inilah

yang kemudian digunakan dan ditampilkan oleh theme pada peta tematik sebagai atribut dari data spasial (shapefiles).

Tabel berisi data yang telah dipersiapkan lebih dahulu dari luar sistem disebut data eksternal (existing), sedangkan shapefiles sendiri mempunyai tabel terintegrasi yang jika di aktifkan akan tersimpan pula didalam tables ini. Fungsi tabel yang


(55)

melekat pada shapefiles ini adalah sebagai data atribut dari data spasial yang ada (Gambar IV.1). Dalam tables inilah data eksternal dimasukkan ke dalam sistem.

Data DHF, kepadatan penduduk, serta data curah hujan rata-rata termasuk dalam kategori data eksternal (Gambar IV.2). Data eksternal ini dipersiapkan di luar sistem menggunakan program spreadsheet, dan simpan dalam format .dbf ataupun .txt. Data-data eksternal ini kemudian disatukan dengan data atribut dari shapefiles, dengan operasi join, untuk mendapatkan atribut baru bagi data spasial tersebut (Gambar IV.3). Operasi join ini dipilih agar data atribut yang baru ini dapat diakses dengan lebih efisien dibandingkan jika harus melakukan tambahan field baru pada data atribut yang asli dari shapefiles.

Gambar IV.1 Tabel data atribut dari shapefiles.


(56)

Gambar IV.3 Join tabel atribut asli dengan tabel data eksternal

IV.3 SIG DHF dengan Tema Bulanan

Penggunaan peta tematik ini adalah dengan melakukan pengamatan visual pada kasus DHF yang terjadi setiap bulannya dengan berpindah-pindah dari satu bulan ke bulan berikutnya. Pada Gambar IV.4 – IV.15 merupakan contoh peta tematik DHF bulanan tahun 2001.

Pengamatan pada peta tematik DHF bulanan 2001-2004, menunjukkan bahwa selalu terdapat kasus DHF setiap bulan. Kasus DHF terjadi di kelurahan/desa silih berganti dari bulan ke bulan. Sedangkan bulan Januari-Mei terjadi kasus DHF di banyak kelurahan/desa dan setelah itu terlihat penurunan mulai bulan Juni/Juli sedangkan bulan November-Desember terlihat nyata bahwa sedikit kelurahan/desa yang mempunyai kasus DHF.

Menurut Suroso (1985) yang dikutip oleh Sutaryo (2004) mengatakan bahwa peningkatan kepadatan penduduk akan memudahkan terjadinya infeksi Dengue. Kenyataan kasus DHF tidak terlihat bergantung pada kepadatan penduduk dengan


(57)

berpindahnya kejadian DHF di kelurahan/desa dengan kepadatan penduduk rendah maupun lebih tinggi.

Juga Sutaryo (2004) DHF dihubungkan dengan musim hujan, terlihat secara samar dalam pengamatan bahwa kejadian DHF banyak terjadi di banyak kelurahan/desa di awal tahun dan mulai berkurang di bulan Juni dan sangat sedikit pada bulan November-Desember. Kejadian DHF di keluaran/desa terlihat tersebar di sebagian besar wilayah terjadi 2 bulan setelah puncak hujan. Juga menjadi catatan penting bahwa walaupun tidak terjadi hujan, kasus DHF tetap muncul di beberapa kelurahan/desa.


(58)

Gambar IV.6 Tahun 2001 bulan 3 Gambar IV.7 Tahun 2001 bulan 4

Gambar IV.8 Tahun 2001 bulan 5 Gambar IV.9 Tahun 2001 bulan 6


(59)

Gambar IV.12 Tahun 2001 bulan 9 Gambar IV.13 Tahun 2001 bulan 10

Gambar IV.14 Tahun 2001 bulan 11 Gambar IV.15 Tahun 2001 bulan 12

IV.4 SIG DHF dengan Tema Mingguan

Dilakukan pula pengamatan visual terhadap peta tematik DHF mingguan tahun 2003-2004. Gambar IV.16 – IV.27 merupakan cuplikan kejadian DHF pada beberapa minggu tahun 2003.

Pengamatan pada peta tematik DHF mingguan mendapatkan pula bahwa penyebaran terjadinya kasus DHF tidak dipengaruhi oleh banyak sedikitnya kepadatan penduduk serta terjadinya kasus DHF yang nyaris terjadi setiap minggu sepanjang tahun.


(60)

Gambar IV.16 Tahun 2003 minggu 1 Gambar IV.17 Tahun 2003 minggu 2

Gambar IV.18 Tahun 2003 minggu 11 Gambar IV.19 Tahun 2003 minggu 12


(61)

Gambar IV.22 Tahun 2003 minggu 31 Gambar IV.23 Tahun 2003 minggu 32

Gambar IV.24 Tahun 2003 minggu 41 Gambar IV.25 Tahun 2003 minggu 42


(62)

IV.5 Sekilas tahun 2001-2004

IV.5.1 DHF

Terlihat pada Tabel IV.1 bahwa jumlah penderita DHF untuk sangat variatif jumlahnya namun angka tertinggi dicapai pada tahun 2004.

Tabel IV.1 Penderita DHF tahun 2001-2004

Tahun Jumlah

2001 607

2002 374

2003 503

2004 705

Sedangkan uraian informasi variasi jumlah penderita dalam setiap bulannya untuk masing-masing tahun kejadian terlihat pada Gambar IV.28 menunjukkan bahwa jumlah penderita DHF pada bulan Januari s/d Mei mempunyai kecenderungan tinggi, kemudian menurun pada bulan Juni s/d Desember. Jumlah penderita terendah terjadi pada bulan Desember dan sudah terbukti teramati selama 4 tahun.

Penderita DHF 2001-2004

0 50 100 150 200 250 300

2001 2002 2003 2004

2001 48 47 47 63 142 66 67 50 35 24 15 3

2002 0 43 32 59 52 32 21 18 24 16 15 4

2003 56 43 37 86 51 51 50 20 37 33 17 22

2004 151 160 261 36 13 4 12 10 20 11 9 18

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOV DES


(63)

IV.5.2 Hujan

Tren jumlah curah hujan rata-rata perbulan (jumlah curah hujan dalam satu bulan dibagi dengan jumlah hari hujan) menunjukkan tinggi di awal dan akhir tahun, dan terlihat rendah di pertengahan tahun. Awal musim hujan umumnya terjadi pada akhir bulan Oktober dan diakhiri pada bulan Mei. Puncak hujan terjadi pada bulan Januari – Februari.

Dari hasil analisis data hujan selama 4 tahun (2001 – 2004) menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan tertinggi dalam satu tahun terjadi pada tahun 2004 (Tabel IV.2 dan Gambar IV.29). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa curah hujan tertinggi untuk tahun 2001 dan 2002 terjadi pada bulan Januari, sedangkan untuk tahun 2003 – 2004 terjadi pada bulan Desember.

Tabel IV.2 Rata-rata Curah Hujan

Tahun rata-rata hujan

2001 6.32 2002 5.72 2003 4.62 2004 8.50


(64)

Hujan 2001-2004

0 5 10 15 20

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOV DES

Bulan

Cu

ra

h

Hu

ja

n

R

a

ta

-r

a

ta

(mm/

h

a

ri

)

2001 2002 2003 2004

Gambar IV.29 Curah hujan rata-rata tahun 2001-2004

IV.5.3 Jumlah Penduduk

Data registrasi kantor BPS DIY tahun 2001 – 2004 menyatakan bahwa populasi penduduk terendah terdapat pada Kecamatan Gondomanan, yaitu sekitar 14 ribu dan tertinggi di Kecamatan Gondokusuman sekitar 70 ribu (Tabel IV.3). Kecamatan yang memiliki wilayah terluas adalah Umbulharjo (8,26 km2) dan Kecamatan Pakualaman memiliki wilayah terkecil yaitu 0,65 km2.


(65)

Tabel IV.3 Luas Kecamatan dan Jumlah Penduduk

IV.5.4 Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk kota Yogyakarta terendah terdapat di Kec. Umbulharjo sekitar 8 ribu per kilometer persegi dan kecamatan Danurejan dan Ngampilan 27 ribu per kilometer persegi.

Kepadatan Penduduk 2001-2004

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 Ma ntrije ron Krat on Me rgan gsan Um bulh arjo Kota gede Gond okus uma n Danur ejan Paku alam an Gon dom anan Ngam pilan Wiro braj an Gedo ngte

ngen Jetis Tega lrejo kecamatan pe nduduk/ k m 2 2001 2002 2003 2004

Gambar IV.30 Kepadatan Penduduk per Kecamatan 2001-2004

kecamatan Luas_km2 2001 2002 2003 2004 Gondomanan 1.14 14790 14762 14826 14902 Jetis 1.72 20532 20625 17468 17215 Kraton 1.41 23052 23189 23196 23425 Gedongtengen 0.97 26448 26898 26823 26956 Wirobrajan 1.83 28408 28980 30644 31451 Pakualaman 0.65 30139 30533 30651 30917 Mergangsan 2.33 30462 30840 30936 31284 Kotagede 3.07 32072 32184 30596 29093 Danurejan 1.11 37959 38268 37376 37700 Ngampilan 0.83 39128 39726 40069 40981 Umbulharjo 8.26 39242 39693 39963 40582 Tegalrejo 2.90 41790 42193 42361 42018 Mantrijeron 2.59 66941 69193 69955 71112 Gondokusuman 4.08 72811 73730 73811 74919


(66)

IV.6 DHF dan Hujan

Hasil analisis hubungan antara curah hujan dengan jumlah penderita DHF menunjukkan bahwa tingkat curah hujan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penderita DHF pada bulan yang sama. Hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai R2 yang mendekati nol (Gambar IV.31). Curah hujan yang tinggi pada awal dan akhir tahun tidak selalu diikuti tingginya jumlah penderita di awal tahun dan akhir tahun (Gambar IV.32 - IV.35).

DHF dan Hujan 2001-2004

R2 = 0.1504

R2 = 0.045

R2 = 0.068 R2 = 0.0581 0 50 100 150 200 250 300

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

curah hujan rata-rata (mm/hari)

dhf ( jum la h p e nde ri ta )

2001 2002 2003 2004 Linear (2004) Linear (2001) Linear (2002) Linear (2003)

Gambar IV.31 Regresi Linear Hujan dan DHF

Namun demikian dari data 4 tahun pengamatan (2001 – 2004) terlihat kecenderungan hubungan nyata antara tingginya curah hujan dan jumlah penderita DHF pada bulan Januari s/d Maret. Kenyataan pola kecenderungan tersebut makin


(67)

jelas terlihat apabila dibandingkan dengan jumlah penderita terendah terjadi pada puncak musim kemarau (Juli s/d Oktober) dan mulai meningkat lagi pada awal musim hujan (November s/d Desember). Pola kecenderungan ini mengikuti sifat siklus hidup virus Dengue yang membutuhkan sejumlah air bersih untuk perkembangbiakan vektornya, masa inkubasi virus didalam vektor, sampai dengan di diagnosa sebagai penderita DHF. Sedangkan puncak ledakan jumlah penderita yang selalu terjadi pada saat menurunnya musim hujan antara bulan Maret, April dan Mei (Gambar IV.32 – IV.35) diduga pada puncak musim hujan dengan curah hujan tinggi (Januari – Februari) justru banyak menghanyutkan larva nyamuk vektor penyakit. Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan data hujan yang terekam selama tahun 2004 (Gambar IV.35). Intensitas hujan tinggi yang terjadi pada musim kering tahun 2004 (Mei dan Juli), majunya awal musim hujan tahun 2004/2005 (bulan September 2004) yang langsung diikuti dengan tingginya curah hujan pada bulan Oktober s/d Desember menyebabkan terganggunya proses perkembangbiakan nyamuk. Dari data pengamatan hujan yang terkumpul selama tahun 2001 – 2004 (Gambar IV.32 – IV.35) menunjukkan bahwa kondisi optimum perkembangbiakan nyamuk adalah pada kisaran rata-rata curah hujan 5 – 15 mm/hari. Kondisi optimum rata-rata curah hujan terhadap perkembangbiakan nyamuk tersebut dikaitkan dengan banyaknya jumlah penderita yang tercatat seperti terlihat pada Gambar IV.32 – IV.35.


(68)

DHF dan Hujan 2001

48 47 47 63 142 66 67 50 35 24 15 3 0 50 100 150

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan dhf 0 5 10 15 20 c u ra h huj a n

dhf hujan tren hujan

Gambar IV.32 Penderita DHF dan Curah Hujan rata-rata tahun 2001

DHF dan Hujan 2002

0 43 32 59 52 32

21 18 24 16 15 4 0

50 100 150

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan dhf 0 5 10 15 20 cu ra h h u jan

dhf hujan tren hujan

Gambar IV.33 Penderita DHF dan Curah Hujan rata-rata tahun 2002

DHF dan Hujan 2003

56 43 37

86

51 51 50

20 37 33 17 22

0 50 100 150

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan dh f 0 5 10 15 20 c ur a h huj a n

dhf hujan tren hujan

Gambar IV.34 Penderita DHF dan Curah Hujan rata-rata tahun 2003

DHF dan Hujan 2004

151 160 261

36

13 4 12 10 20 11 9 18

0 100 200 300

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan dh f 0 5 10 15 20 cu rah h u jan

dhf hujan tren hujan

Gambar IV.35 Penderita DHF dan Curah Hujan rata-rata tahun 2004

Hasil diatas menimbulkan pemikiran lebih lanjut bahwa terdapat waktu tunda antara terjadinya waktu puncak hujan dengan waktu terdapatnya jumlah terbanyak penderita DHF. Gambar IV.36 – IV.39 menunjukkan adanya waktu tunda tersebut.


(69)

Untuk melihat varian akibat dari waktu tunda tersebut, dilakukan analisa lebih lanjut untuk menghasilkan M= rata-rata jumlah penderita DHF akibat waktu tunda, dimana data diolah secara matematis menggunakan persamaan:

( ) (

)

; 0,1,...12

48 1 48 1 = − −

= m m n H n D mn dimana,

n= urutan bulan (jumlah bulan pengamatan) m= variabel waktu tunda

D(n)= jumlah penderita DHF pada bulan ke-n

H(n-m)= curah hujan rata-rata pada bulan ke-n dengan variabel waktu tunda m

Hujan terhadap DHF 2001

0 75 150

-2 3 8 13 18

curah hujan rata-rata (mm/hr)

d h f ( jum la h pender it a )

Gambar IV.36 Hujan terhadap DHF 2001

Hujan terhadap DHF 2002

0 50 100

-2 3 8 13 18

curah hujan rata-rata (mm/hr)

dhf (j um la h pe nde ri ta )

Gambar IV.37 Hujan terhadap DHF 2002

Hujan terhadap DHF 2003

0 50 100

-2 3 8 13 18

curah hujan rata-rata (mm/hr)

dh f ( ju m la h pe nde ri ta )

Gambar IV.38 Hujan terhadap DHF 2003

Hujan terhadap DHF 2004

0 150 300

-2 3 8 13 18

curah hujan rata-rata (mm/hr)

dh f (j um la h pend e ri ta )


(70)

Mean M

0 2 4 6 8 10

M 0 M 1 M 2 M 3 M 4 M 5 M 6 M 7 M 8 M 9 M 10 M 11 M 12

Gambar IV.40 Nilai rata-rata M dari nilai M masing-masing kecamatan

Gambar IV.40 menunjukkan nilai M tertinggi tercapai pada m=2. Lebih jauh lagi dapat diasumsikan bahwa puncak kasus DHF terjadi setelah 2 bulan waktu puncak curah hujan rata-rata.

IV.7 DHF dan Penduduk

Asumsi yang berlaku selama ini bahwa kepadatan penduduk akan meningkatkan jumlah kasus DHF. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asumsi tersebut tidak berlaku untuk wilayah Kota Yogyakarta. Hal ini dapat terlihat pada Gambar IV.41 dimana tingkat kejadian yang tinggi tidak selalu terjadi di wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.


(71)

kepadatan penduduk terhadap dhf

R2 = 0.1063

0 20 40 60 80 100 120

5000 10000 15000 20000 25000 30000

kepadatan (jumlah penduduk per km2)

dhf ( ju m la h pe nde ri ta )

Gambar IV.41 Kepadatan penduduk terhadap DHF tahun 2001-2204

Pada Gambar IV.42, nilai insiden DHF tahun 2001-2004 di Umbulharjo selalu tinggi. Nilai insiden DHF ini berlaku untuk tiap 1000 penduduk.

Kasus DHF per 1000 penduduk

0.0 1.5 3.0 G ondom anan Je ti s Kr a to n G edongt engen W ir obr aj an P ak ual am an M er gangs an K ot age de D anur ej an N gam pi lan U m bul har jo Tegal re jo M ant ri jer on G ondok us um an 2001 2002 2003 2004


(72)

Korelasi antara kepadatan penduduk terhadap insiden DHF (Gambar IV.43) menunjukkan pola yang sama dengan kepadatan penduduk terhadap jumlah penderita DHF.

Hasil yang diperoleh ini mendukung kesimpulan yang dapat ditarik dari pengamatan terhadap pola yang ditampilkan dalam SIG DHF subbab IV.3 dan IV.4.

insiden terhadap kepadatan penduduk

R2 = 0.1903

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50

5000 10000 15000 20000 25000 30000

kepadatan penduduk

ins

ide

n

dh

f

Gambar IV.43 Insiden per 1000 penduduk dan kepadatan penduduk

IV.8 Frekuensi DHF

Frekuensi DHF adalah jumlah kasus yang muncul (berapa kali bulan/minggu) dalam rentang tahun pengamatan.dimana pada frekuensi bulanan terdapat 48 bulan pada tahun 2001-2004 dan terdapat 104 minggu pada 2 tahun pengamatan 2003-2004.


(73)

Terlihat pada Gambar IV.44 bahwa kemunculan yang tinggi banyak terdapat di

perifer Kota Yogyakarta dimana Terban, Tegalrejo, dan Wirobrajan muncul sebanyak

30 kali. Kelurahan/desa tersebut berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten Sleman (sisi atas) dan kabupaten Bantul. Tidak jauh berbeda pada Gambar IV.45 menunjukkan pula bahwa di daerah perifer terdapat banyak kemunculan.

Hal tersebut diatas dapat diasumsikan bahwa terjadinya kasus di daerah tersebut terpengaruh oleh kondisi dan karakteristik dari daerah yang berbatasan langsung dengannya.


(74)

(75)

BAB V

KESIMPULAN

V.1 Kesimpulan

Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang bisa dijabarkan sebagai berikut. Penelitian ini menunjukkan bahwa Sistem Informasi Geografis yang dikembangkan dapat digunakan sebagai sistem untuk menganalisis pola penyebab DHF.

Hasil analisis SIG menghasilkan kesimpulan bahwa kejadian DHF di Kota Yogyakarta tersebar merata di semua kelurahan/desa dengan frekuensi kejadian yang bervariasi serta tidak terpengaruh oleh kepadatan penduduk di suatu wilayah. Wilayah persebaran kejadian DHF menjangkau sebagian besar kelurahan/desa ketika 2 atau 3 bulan setelah terjadinya curah hujan tertinggi. Angka kejadian DHF terjadi sepanjang tahun, baik ketika curah hujan rata-rata tinggi maupun rendah bahkan ketika curah hujan rata-rata nol. Meskipun demikian, kasus DHF banyak terjadi sekitar bulan Januari – April dimana curah hujan rata-rata sedang beralih dari nilai tinggi ke rendah.

Beberapa fenomena menarik yang diperoleh dari hasil analisis menggunakan SIG sebagaimana telah diuraikan diatas, dikaji untuk diverifikasi lebih lanjut menggunakan metode statistik pada data yang sama. Kejadian DHF terbukti tidak


(76)

terpengaruh oleh kepadatan penduduk di suatu wilayah serta tingginya curah hujan rata-rata yang terjadi di wilayah tersebut. Namun ditemukan bahwa puncak kejadian DHF terjadi 2 bulan setelah puncak hujan. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa kondisi yang memungkinkan terjadinya DHF untuk wilayah Kota Yogyakarta tidak hanya dipengaruhi oleh kedua variabel diatas tetapi juga oleh faktor-faktor yang lain. Penulis dalam hal ini menarik hipotesa baru bahwa yang berpengaruh besar terhadap kejadian DHF di suatu wilayah adalah kondisi iklim mikro setempat wilayah itu sendiri diantaranya, genangan air (terjadi jika jumlah curah hujan tertentu terpenuhi), sanitasi (berkaitan erat dengan kepadatan penduduk dan pola permukiman), serta kelembaban dan suhu udara (sumber data untuk mengkaji variabel ini belum ditemukan).

Namun demikian, walupun sistem yang dikembangkan ini dapat memenuhi harapan yang diinginkan dalam peneltian tetaplah tidak luput dari kekurangan. Kekurangan-kekurangan itu adalah : ketiadaan fasilitas yang terintegrasi yang memungkinkan untuk melakukan analisis statistik dari data yang terdapat dalam sistem, serta belum adanya fasilitas dengan antar muka yang memudahkan administrator untuk memasukkan data individual pasien yang mempunyai data

georeference.

V.2 Saran


(77)

penelitian yang mengkaji lebih dalam lagi data-data sekunder wilayah tersebut terutama kondisi iklim mikro.

Pengembangan SIG yang akan digunakan di bidang kesehatan perlu didukung oleh data yang adequat. Misalnya data pasien di ruang lingkup wilayah yang lebih kecil daripada kelurahan/desa. Untuk data pendukung yang lain, semakin kecil ruang lingkupnya semakin memungkinkan untuk dikaji secara mendalam.

Pengembangan SIG sangat memerlukan dukungan penelitian-penelitian yang menyeluruh pada bidang yang akan diaplikasikan di SIG sehingga mampu dihasilkan SIG dapat mengkaji permasalahan atau hipotesa dengan tepat.


(78)

Daftar Pustaka

Bertinelli, L., Strobl E. 2005. Urbanization, Urban Concentration and

Economic Growth in Developing Countries [Online]. Available:

http://www.core.ucl.ac.be/services/psfiles/dp03/dp2003-76.pdf [2005,Juli 10]

Degallier, N., Vilarinhos PT., de Carvalhos PT., del Agel RM. 2000. People's

Knowledge and Practice about Dengue, Its Vectors, and Control Means in Brasilia (DF), Brazil:Its Relevance with Entomological Factors. J.Am.Mosq.Cont.Assoc. 16:114-123

Epstein, PR. 1999. Climate and Health [Online]. Science, 347 348. Available: http://chge.med.harvard.edu/publications/r>journals/documents/climate.pdf Filbert, KM. What is a Geographic Information System (GIS)?Basic concepts

and applications of GIS for criminal justice and policing [Online}. Available: http://www.ojp.usdoj.gov/nij/maps/boston2004/papers/Filbert.pdf [2005,Oktober 23]

Fowler, M. 2005. UML Distilled Edisi 3., Panduan Singkat Bahasa Pemodelan

Objek Standar. Edisi I. Penerbit Andi. Yogyakarta

Gielge, J. 2004. Urban Density, Quality of Life, and Sustainable Morbility [Online]. TRB. 2004 Annual Meeting. Available:

http://%20www.enhancements.org/trb/trb2004/TRB2004-000895.pdf Gubler, DJ. 2005. Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever as a public

health, social and economic problem in the 21st century [Online]. Available: http://www.pdvi.org/PDFs/articles/Epidemic%20dengue%20-%20Gubler.pdf [2005,Juni 17]

Haithcoat, T. GIS Introduction & Overview [Online]. Available:

http://msdisweb.missouri.edu/presentations/intro_to_gis/pdf/GIS_intro_over .pdf [2005,Oktober 23]

Harto, Sri. 2006. konsultasi pakar. 15 Januari 2006

Heymans, C., McCluney,F., Parkinson,J. 2005. Driving Policy Change for

Decentralized Wastewater Management (DWWM) [Online]. Available: http://wedc.lboro.ac.uk/conferences/pdfs/30/Heymans.pdf [2005,Juli 10] Hoffer, JA., Mary BS., Fred RM. 2002. Modern Database Management. Sixth

Edition. Prentice Hall. New Jersey.

Itami, RM., Rauling RJ. 1993. What is Geographic Information System ? [Online]. Available:

http//www.soi.city.ac.uk/~dk708/res/sage_what_is_gis.pdf [2005,Oktober 24]

Johnson, RA., Gouri KB. 2001. Statistics: Principles and Methods. 4th edition. John Wiley & Sons. USA.


(79)

Maki, R. 2000. GIS Core Database Revision: Revised Core Database General

Architecture Design [Online] Available:

http://files.dnr.state.mn.us/aboutdnr/bureaus/mis/gis/gis_spec/revcoregensys design.pdf [2005, November 25]

Marble, DF. 1999. Geographic Information System Technology and Decision

Support Systems [Online]. 32nd HICSS. Hawai. Available:

http://csdl2.computer.org/comp/proceedings/hicss/1999/0001/06/00016010. PDF [2005,Oktober 3]

Mather, JR. 1974. Climatology : Fundamentals and Applications. McGraw-Hill. United States of America, 2, 262 292.

McMichael, AJ., Haines A., Kovats RS. 3 Methods to Assess The Effects of

Climate Change on Health [Online]. Available:

http://www.dh.gov.uk/assetRoot/04/06/88/43/04068843.pdf [2005, November 17]

Prahasta, E. 2005. Sistem Informasi Geografis:Tutorial ArcView. Cetakan ke-3. Informatika. Bandung

Prahasta, E. 2005. Sistem Informasi Geografis:Konsep-konsep dasar. Cetakan ke-2. Informatika. Bandung

Pressman, RS. 2005. Software Engineering: a Practtioner’s Approach. 6th Edition. McGraw-Hill. Singapore.

Pusposutardjo, Suprodjo. 2006. konsultasi pakar. 17 Januari 2006

Ramsey, FL., Daniel WS. 2002. The Stastical Sleuth : a Course in Methods of

Data Analysis. 2nd Ed. Duxbury. California.

Session, K., Alicia U. Climate Change and Ecological Health [Online].

Available: http://www.cgbd.org/visitor/publications/ClimateAndHealth.pdf [2005, November 13]

Subodro, R., Eram S., Jumali. 1977. Epidemiology dan Pemberantasan

Penyakit DHF di Derah Istimewa Yogyakarta. Diskusi panel DHF di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta, 16 April 1977

Surachmad, W. 1972. Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi

Ilmiah. Edisi ke-5. Cetakan ke-2. Tarsito. Bandung

Sutaryo. 2004. Dengue. Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Yogyakarta.

Shah, VP. 1989. Menyusun Laporan Penelitian. Cetakan ke-2. Gadjah Mada Univrsity Press. Yogyakarta.

Tatem, AJ., SI. Hay. 2004. Measuring Urbanization Pattern and Extend for

Malaria Research : a Review of Remote Sensing Approaches. Journal of Urban Health. Vol. 81. No. 3, 363 376.

WHO. 2005. Using Climate to Predict Infectious Disease Outbreaks : A

Review [Online]. Available:

http://www.who.int/globalchange/publications/en/oeh0401.pdf [2005,Juni 7]


(1)

Lampiran

Kontrol Tombol Next

aDialog = Self.GetDialog

aTLabel = aDialog.FindByName("tela01") aView = aDialog.GetServer

aPeriod = aDialog.GetObjectTag if (aPeriod = "Mingguan") then

aTheme = aView.FindTheme("DHF") aLegend = aTheme.GetLegend

currField = aLegend.GetFieldNames.Get(0) currWeek = currField.Right(2).AsNumber

if (currWeek<52) then nextWeek = currWeek+1 if (nextWeek<10) then

aLegend.SetFieldNames({"Kota0"+nextWeek.AsString}) else

aLegend.SetFieldNames({"Kota"+nextWeek.AsString}) end

aTheme.UpdateLegend

aTLabel.SetLabel("Minggu ke-"+nextWeek.AsString)

if (aTheme.GetGraphics.HasLabels) then aTheme.GetGraphics.SelectLabels aTheme.GetGraphics.Invalidate end

aView.GetGraphics.ClearSelected end

elseif (aPeriod = "Bulanan") then

aTheme1 = aView.FindTheme("DHF") aTheme2 = aView.FindTheme("Hujan")

aLegend1 = aTheme1.GetLegend aLegend2 = aTheme2.GetLegend

currField = aLegend1.GetFieldNames.Get(0) currMonth = currField.Right(2).AsNumber

if (currMonth<12) then nextMonth = currMonth+1

if (nextMonth<10) then


(2)

aLegend2.SetFieldNames({"Hujan0"+nextMonth.AsString}) else

aLegend1.SetFieldNames({"Kota"+nextMonth.AsString}) aLegend2.SetFieldNames({"Hujan"+nextMonth.AsString}) end

aTheme1.UpdateLegend aTheme2.UpdateLegend

aTLabel.SetLabel("Bulan ke-"+nextMonth.AsString)

if (aTheme1.GetGraphics.HasLabels) then aTheme1.GetGraphics.SelectLabels aTheme1.GetGraphics.Invalidate end

aView.GetGraphics.ClearSelected end

end

Kontrol Tombol Back

aDialog = Self.GetDialog

aLabel = aDialog.FindByName("tela01")

aView = aDialog.GetServer aPeriod = aDialog.GetObjectTag

if (aPeriod = "Mingguan") then

aTheme = aView.FindTheme("DHF")

aLegend = aTheme.GetLegend

currField = aLegend.GetFieldNames.Get(0) currWeek = currField.Right(2).AsNumber

if (currWeek>1) then prevWeek = currWeek-1

if (prevWeek<10) then

aLegend.SetFieldNames({"Kota0"+prevWeek.AsString}) else

aLegend.SetFieldNames({"Kota"+prevWeek.AsString}) end

aTheme.UpdateLegend

aLabel.SetLabel("Minggu ke-"+prevWeek.AsString)


(3)

aTheme.GetGraphics.SelectLabels aTheme.GetGraphics.Invalidate end

aView.GetGraphics.ClearSelected end

elseif (aPeriod = "Bulanan") then

aTheme1 = aView.FindTheme("DHF") aTheme2 = aView.FindTheme("Hujan")

aLegend1 = aTheme1.GetLegend aLegend2 = aTheme2.GetLegend

currField = aLegend1.GetFieldNames.Get(0) currMonth = currField.Right(2).AsNumber

if (currMonth>1) then prevMonth = currMonth-1

if (prevMonth<10) then

aLegend1.SetFieldNames({"Kota0"+prevMonth.AsString}) aLegend2.SetFieldNames({"Hujan0"+prevMonth.AsString}) else

aLegend1.SetFieldNames({"Kota"+prevMonth.AsString}) aLegend2.SetFieldNames({"Hujan"+prevMonth.AsString}) end

aTheme1.UpdateLegend aTheme2.UpdateLegend

aLabel.SetLabel("Bulan ke-"+prevMonth.AsString)

if (aTheme1.GetGraphics.HasLabels) then aTheme1.GetGraphics.SelectLabels aTheme1.GetGraphics.Invalidate end

aView.GetGraphics.ClearSelected end

end

Kontrol Tombol Play/Stop

aDialog = av.FindDialog("D.SlideShow") aButton = aDialog.FindByName("labuPlayStop")

aDelay = 1


(4)

if (aStatus="Stop" and aDialog.IsOpen) then

aTLabel = aDialog.FindByName("tela01")

aView = aDialog.GetServer aPeriod = aDialog.GetObjectTag

if (aPeriod = "Mingguan") then

aTheme = aView.FindTheme("DHF")

aLegend = aTheme.GetLegend

currField = aLegend.GetFieldNames.Get(0) currWeek = currField.Right(2).AsNumber

if (currWeek<52) then nextWeek = currWeek+1

if (nextWeek<10) then

aLegend.SetFieldNames({"Kota0"+nextWeek.AsString}) else

aLegend.SetFieldNames({"Kota"+nextWeek.AsString}) end

aTheme.UpdateLegend

aTLabel.SetLabel("Minggu ke-"+nextWeek.AsString)

if (aTheme.GetGraphics.HasLabels) then aTheme.GetGraphics.SelectLabels aTheme.GetGraphics.Invalidate end

aView.GetGraphics.ClearSelected end

elseif (aPeriod = "Bulanan") then

aTheme1 = aView.FindTheme("DHF") aTheme2 = aView.FindTheme("Hujan")

aLegend1 = aTheme1.GetLegend aLegend2 = aTheme2.GetLegend

currField = aLegend1.GetFieldNames.Get(0) currMonth = currField.Right(2).AsNumber

if (currMonth<12) then nextMonth = currMonth+1


(5)

aLegend1.SetFieldNames({"Kota0"+nextMonth.AsString}) aLegend2.SetFieldNames({"Hujan0"+nextMonth.AsString}) else

aLegend1.SetFieldNames({"Kota"+nextMonth.AsString}) aLegend2.SetFieldNames({"Hujan"+nextMonth.AsString}) end

aTheme1.UpdateLegend aTheme2.UpdateLegend

aTLabel.SetLabel("Bulan ke-"+nextMonth.AsString)

if (aTheme1.GetGraphics.HasLabels) then aTheme1.GetGraphics.SelectLabels aTheme1.GetGraphics.Invalidate end

aView.GetGraphics.ClearSelected end

end

av.DelayedRun("000.SlShow.Running",nil,aDelay)

end

Make Null

aProject = av.GetProject

aTableGUI = aProject.FindGUI("Table")

theDocs = aProject.GetDocsWithGUI(aTableGUI)

aTable = MsgBox.Choice(theDocs,"Pilih Table","Daftar Table")

if (aTable<>Nil) then aVTab = aTable.GetVTab theField = aVTab.GetFields

listField = MsgBox.Multilist(theField,"Pilih Field","Daftar Field")

if (listField<>Nil) then

aVTab.SetEditable(True) for each aRec in aVTab

for each aField in listField

aValue = aVTab.ReturnValue(aField,aRec)

if (aValue=0) then

aVTab.SetValue(aField,aRec,"".AsNumber) end


(6)

end end

aVTab.SetEditable(False)

end end