Model of dengue haemorrhagic fever controlling policy in Indramayu Regency
BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN INDRAMAYU
HENRI PERANGINANGIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
(2)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Indramayu adalah karya saya dengan arahan dari Komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2010
Henri Peranginangin
(3)
ABSTRACT
HENRI PERANGINANGIN. Model of Dengue Haemorrhagic Fever Controlling Policy in Indramayu Regency. Under the Direction of HASIM, BAMBANG PRAMUDYA N., and SRI BUDIARTI.
Dengue haemorrhagic fever (DHF) still becomes a problem in Indramayu regency. The occurance of DHF is linked to a number of factors, including the environment, population, health service, and vector of DHF (Aedes aegypti). The objective of this research is to establish a model of DHF controlling policy in Indramayu regency used quantitative and qualitative analysis, observational, cross sectional, Analytical Hierarchy Process, Interpretative Structural Modelling, and system approach. The location of this research is in six districts: Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, and Tukdana. Respondents were 721 persons, consisted of 671 head of families (with random sampling), and 35 officials from government institution and 15 as experts (with purposive sampling). The results of study show that the occurance of DHF is statistically have significant relationship with (1) the health condition of household, (2) the household’s water income, (3) the household’s garbage handling, (4) the respondent’s knowledge of DHF, (5) the healthy behavior of the member of the family, (6) the household’s money income/expenditure per capita, (7) the respondent’s formal education, (8) the schedule to cleaning out the water container, and (9) the rainfall index. The main strategy to control the occurance of DHF, based on Analytical Hierarchy Process, such as the increase of healthy living environment. The key factors to control the occurance of DHF, based on prospective analysis of the Interpretative Structural Modelling outputs, id est: interprogrammer and interinstitutional cooperation at all of government administration level and supporting of environment health education.
The model simulation result can give a description of the real system behavior. Of the three formulated scenarios (optimistic, moderate, and pesimistic), application of optimistic scenario is assumed as the most effective. The DHF controlling policy that need to be implementated is focused to the four factors, id est: (1) the health environment: household garbage handling, waste water, water supplies, space and building sanitation, and mosquito repellent house plant, (2) the demography: population growth; and the community knowledge, attitude, and practice; (3) the health service: cure and health education program; and (4) the vector of DHF: management of the water storage containers, Aedes aegypti eggs, larvaes, pupa, and preventive measure of the Aedes aegypti mosquitos bite.
In order to implement the DHF controlling policy effectively, Indramayu government need to increase (1) the good management of the interprogrammer and interinstitutional cooperation and good management of the controlling DHF team sistematically from the regency to the district administration, (2) the supporting of technologies, funds, facilities, and standard operating procedure of health education, and (3) the service quality of the Public Health Centre.
(4)
ABSTRAK
HENRI PERANGINANGIN. Model Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Indramayu. Dibimbing oleh HASIM, BAMBANG PRAMUDYA N., dan SRI BUDIARTI.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah di Kabupaten Indramayu. Kejadian penyakit DBD berkaitan dengan sejumlah faktor, di antaranya lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor (nyamuk penular). Tujuan penelitian ini ialah membangun model kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dengan rancangan analisis kuantitatif dan kualitatif, observasional, Cross Sectional, Analytical Hierarchy Process, Interpretative Structural Modelling, dan pendekatan sistem. Lokasi penelitian ialah di enam kecamatan: Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana. Responden sebanyak 721 orang terdiri dari 671 Kepala keluarga (random sampling), dan 35 pejabat Dinas/ Instansi serta 15 pakar (purposive sampling).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik kejadian penyakit DBD berhubungan signifikan dengan (1) kesehatan rumah tangga, (2) perolehan air bersih/minum keluarga, (3) pengelolaan sampah rumah tangga, (4)pengetahuan Kepala keluarga tentang penyakit DBD, (5) perilaku sehat anggota keluarga, (6)pendapatan/pengeluaran belanja per kapita keluarga, (7) pendidikan formal Kepala keluarga, (8) keteraturan jadwal pembersihan tempat penampungan air, dan (9)curah hujan. Strategi utama pengendalian DBD berdasarkan Analytical Hierarchy Process ialah peningkatan kesehatan lingkungan permukiman. Faktor kunci utama pengendalian DBD menurut analisis prospektif hasil Interpretative Structural Modelling ialah: (1) kerjasama lintas program dan sektoral di semua tingkat administrasi pemerintahan, dan (2) dukungan teknologi dan dana penyuluhan kesehatan lingkungan.
Hasil simulasi model dapat memberi gambaran perilaku sistem nyata. Dari tiga skenario yang dirumuskan (pesimistik, moderat, dan optimistik); skenario optimistik diasumsikan paling mungkin diterapkan pada situasi dan kondisi daerah saat ini. Kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu yang perlu dikembangkan ialah berfokus pada empat faktor yaitu: (1) kesehatan lingkungan: pengelolaan sampah, air limbah, penyediaan air minum, sanitasi ruang dan bangunan, tanaman anti nyamuk; (2) kependudukan: pengendalian pertumbuhan penduduk dan peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat; (3) layanan kesehatan: program pengobatan penderita dan penyuluhan kesehatan; dan (4) vektor penyakit DBD: pengendalian tempat penampungan air, telur, jentik, dan mencegah gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Dalam rangka implementasi kebijakan pengendalian penyakit DBD secara efektif, Pemerintah Kabupaten Indramayu seyogyanya meningkatkan: (1)pembinaan kerjasama lintas program dan sektoral serta pengembangan tim pengendalian penyakit DBD secara berjenjang dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat Desa/Kelurahan, (2) dukungan teknologi, dana, sarana, standard operating procedure penyuluhan kesehatan, (3) mutu layanan Pusat Kesehatan Masyarakat. Kata kunci: Model, kebijakan, pengendalian, DBD, kesehatan, lingkungan
(5)
HENRI PERANGINANGIN. Model Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Indramayu. Dibimbing oleh HASIM, BAMBANG PRAMUDYA N., dan SRI BUDIARTI.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah di Kabupaten Indramayu. Incidence rate (IR) DBD (jumlah penderita per 100.000 penduduk) di Kabupaten Indramayu tahun 2004, 2005, 2006, 2007, dan 2008 adalah berturut-turut 49,74; 26,09; 35,92; 60,26; dan 50,01 mendekati IR DBD nasional sebesar 37,01; 52,10; 52,43; 71,78; dan 60,06. Case fatality rate DBD (jumlah meninggal per 100 penderita) dalam periode yang sama adalah berturut-turut sebesar 2,76; 3,41; 5,74; 5,15; dan 4,89 lebih tinggi dari Case fatality rate
DBD nasional berturut-turut sebesar 1,20; 1,36; 1,04; 1,01; dan 0,86. Untuk menyelesaikan masalah ini Pemerintah Kabupaten Indramayu, beserta seluruh dinas/instansi dan komponen masyarakat, terus melakukan program pengendalian di seluruh kecamatan, namun masih bersifat parsial atau reduksionisme. Hal ini perlu disempurnakan dengan penerapan pendekatan sistem: berorientasi pada tujuan, secara holistik dan efektif.
Penelitian ini bertujuan membangun model kebijakan pengendalian DBD di Kabupaten Indramayu dengan rancangan analisis kuantitatif dan kualitatif, observasional, Cross Sectional, Analytical Hierarchy Process, Interpretative Structural Modelling, dan pendekatan sistem. Untuk mencapai tujuan itu dilakukan kegiatan: (1) menganalisis peranan faktor lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor penyakit DBD, serta kebutuhan stakeholder dalam pengendalian penyakit DBD, dan (2) membangun model pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dan merumuskan alternatif kebijakan yang tepat.
Penelitian dilakukan selama 6 bulan (dari Mei sampai dengan Oktober 2009) di Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang (“tiga besar” IR DBD periode 2004-2008) dan di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, Tukdana (“tiga kecil” IR DBD periode 2004-2008). Responden 721 orang terdiri dari 671 kepala keluarga (random sampling) 35 pejabat dinas/ instansi dan 15 pakar (purposive sampling). Data dikumpulkan menggunakan kuesioner kemudian diolah serta dianalisis dengan uji korelasi dan Chi-square.
Nilai kebaruan dari penelitian ini ialah (1) lebih berfokus pada pentingnya frekuensi dan mutu penyuluhan kesehatan lingkungan dalam pengendalian DBD; (2) lebih berfokus pada pentingnya pendekatan sistem dengan melibatkan
stakeholder dalam perumusan strategi pengendalian penyakit DBD Kabupaten Indramayu; (3) menghasilkan model kebijakan pengendalian yang memadukan faktor lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor penyakit DBD.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari uji statistik terdapat beberapa perbedaan/persamaan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD ( p-Value ≤ Alpha 0,05) antara gabungan tiga kecamatan pertama (Indramayu, Sindang, dan Jatibarang) dengan gabungan tiga kecamatan kedua (Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana). Perbedaan itu ialah (a) jika di gabungan tiga kecamatan pertama hubungan antara kesehatan rumah hunian dengan kejadian DBD tidak signifikan, maka di tiga gabungan tiga kecamatan kedua hubungan keduanya signifikan; (b) jika di gabungan tiga kecamatan pertama hubungan
(6)
pekerjaan/mata pencaharian kepala keluarga dengan kejadian DBD signifikan maka di gabungan tiga kecamatan kedua hubungan keduanya tidak signifikan; dan (c) jika di gabungan tiga kecamatan pertama hubungan pendidikan formal kepala keluarga dengan kejadian DBD signifikan maka di gabungan tiga kecamatan kedua hubungan keduanya tidak signifikan. Persamaannya baik di gabungan tiga kecamatan pertama maupun tiga kecamatan kedua ialah faktor-faktor yang berhubungan signifikan dengan kejadian DBD yaitu (a) pengelolaan sampah rumah tangga, (b) pengetahuan kepala keluarga tentang DBD, (c) perilaku sehat penghuni rumah tangga, (d) pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga, dan (d) keteraturan pembersihan tempat penampungan air di dalam dan di luar rumah.
Kebutuhan stakeholder dalam rangka pengendalian DBD di antaranya ialah cakupan air bersih/minum meningkat; kesehatan rumah hunian meningkat; limbah padat dan cair domestik dikelola baik; frekuensi layanan penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan lingkungan meningkat; dan populasi nyamuk Aedes aegypti terkendali baik. Strategi utama pengendalian penyakit DBD Kabupaten Indramayu, berdasarkan Analytical Hierarchy Process, ialah peningkatan kesehatan lingkungan permukiman. Faktor kunci utama pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu, berdasarkan Interpretative Structural Modelling, yaitu keadaan rumah hunian masyarakat dan lingkungannya sehat, dukungan teknologi dan peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan kesehatan lingkungan.
Model kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dapat dikembangkan dengan dasar pemikiran bahwa tinggi rendahnya kejadian DBD ditentukan oleh keadaan faktor kesehatan lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor DBD. Dari tiga skenario yang dirumuskan: pesimistik, moderat, dan optimistik, penerapan skenario optimistik dinilai paling efektif. Hasil simulasi skenario optimistik menunjukkan: (1) penurunan IR DBD rata-rata 4,68 per tahun (2) cakupan sasaran penyuluhan kesehatan lingkungan rata-rata 223.803 orang per tahun; (3) kenaikan proporsi/ persentasi penduduk berperilaku hidup bersih dan sehat rata-rata 10% per tahun; dan (4) kenaikan tingkat mutu lingkungan rata-rata 1% per tahun. Hasil ini relatif lebih besar dari hasil simulasi skenario pesimistik dan moderat.
Dalam rangka penyempurnaan perumusan dan implementasi kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu, selaras dengan kebijakan Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat, dan Pemerintah Kabupaten Indramayu serta skenario model yang dibangun, maka prinsip pokok yang perlu dijadikan pedoman dalam perumusan kebijakan ialah bahwa: (1) pengendalian penyakit DBD adalah bagian integral dari program pembangunan kesehatan di Kabupaten Indramayu; oleh karena itu perlu ditangani secara lintas program dan lintas sektoral di semua tingkat administrasi pemerintahan dengan dukungan partisipasi aktif seluruh masyarakat; (2) pengendalian penyakit DBD diselenggarakan dalam kerangka desentralisasi untuk mewujudkan otonomi daerah bidang kesehatan; oleh karena itu pengendalian DBD perlu diarahkan kepada perwujudan kemampuan daerah dan masyarakat untuk mengelola dirinya sendiri dan pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat hingga tercapai tujuan: (a) Kabupaten Indramayu bebas penyakit DBD, (b) kenyamanan/ ketenteraman
masyarakat meningkat, dan (c) produktivitas masyarakat meningkat; (3) pengendalian penyakit DBD hendaknya berfokus pada faktor-faktor kesehatan
(7)
Dalam rangka implementasi kebijakan pengendalian DBD secara efektif maka perlu dikembangkan strategi yang tepat dan realistis yaitu (1) strategi peningkatan kesehatan lingkungan permukiman, (2) strategi peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat, (3) strategi peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat, dan (4) strategi pengendalian vektor penyakit DBD.
Program-program yang menjadi bagian integral dari strategi peningkatan kesehatan lingkungan permukiman ialah: (1) penyebarluasan informasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan bidang kesehatan dan lingkungan hidup; (2) peningkatan pengetahuan dan keterampilan penyelenggara program Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) dan Dinas/Instansi lain yang terkait; (3) peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan kesehatan lingkungan berdasarkan standard operating procedure (SOP); (4) pengembangan partisipasi aktif masyarakat dalam bentuk pengembangan desa binaan kesehatan lingkungan.
Program-program yang menjadi bagian integral dari strategi peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat ialah: (1) peningkatan pemberdayaan masyarakat (perempuan, pemuda, mahasiswa/siswa, dan organisasi masyarakat lainnya); (2) pengembangan/peningkatan reward system dan law enforcement.
Program-program yang menjadi bagian integral dari strategi peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat ialah: (1) peningkatan jumlah dan mutu sumberdaya manusia, sarana medis dan non medis di Rumah Sakit (RS) dan PUSKESMAS; (2) pengembangan manajemen penanganan penderita penyakit DBD; (3) pengobatan penderita penyakit DBD berdasarkan SOP; (4) penyuluhan
kesehatan lingkungan sesuai dengan frekuensi dan mutu berdasarkan SOP; (5) pengembangan SOP penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan lingkungan
sebagai penjabaran petunjuk pelaksanaan dari Pusat, Propinsi, dan Kabupaten, mencakup: kategori/kriteria sasaran, jumlah sasaran, materi, frekuensi, tempat, waktu, teknik/metode pelaksanaan, petugas dan pembimbing teknis, sarana, alat peraga, sumber dana dan indikator/ukuran keberhasilan termasuk instrumen penilaian penyuluhan; (6) peningkatan frekuensi bimbingan teknis kesehatan lingkungan oleh Dinas Kesehatan dan PUSKESMAS; dan (7) pertemuan berkala intern petugas RS dan PUSKESMAS untuk perencanaan dan evaluasi program.
Program yang menjadi bagian integral dari strategi pengendalian vektor penyakit DBD ialah (1) gerakan pembiasaan kebersihan atau kesehatan lingkungan perumahan termasuk TPA dan tempat perkembangbiakan nyamuk di semua tingkat administrasi pemerintahan, seperti gerakan “Jum’at bersih”, (2) gerakan pembiasaan pencegahan gigitan nyamuk Aedes aegypti, dengan pemanfaatan tanaman anti nyamuk dan/atau penggunaan kelambu pada saat tidur. Agar keseluruhan program berhasil dengan efektif (jangka pendek, menengah, dan panjang) maka Pemerintah Kabupaten Indramayu perlu meningkatkan pembinaan kerjasama lintas program dan lintas sektoral serta pengembangan/pembentukan Tim Koordinasi Pengendalian DBD tingkat kabupaten, kecamatan dan desa/ kelurahan dilengkapi dengan mekanisme kerja tim atau SOP serta uraian tugas, wewenang dan tanggung jawab seluruh anggota.
(8)
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(9)
BERDARAH DENGUE
DI KABUPATEN INDRAMAYU
HENRI PERANGINANGIN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Bidang Minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
(10)
Judul Disertasi : Model Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah
Dengue di Kabupaten Indramayu Nama : Henri Peranginangin
NRP : P062054694
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. drh. Hasim DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M Eng Dr. dr. Sri Budiarti
Anggota Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
(11)
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. 2. Dr. drh. Upik Kusumawati, M.S.
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. dr. Kusharisupeni, M.Sc.
(12)
PRAKATA
Alhamdulillaahirobbil’aalamiin berkat Rahmat dan Kurnia Allah Yang Maha Kuasa akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini yang berjudul Model Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Indramayu. Penulisan disertasi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas akhir program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Dengan selesainya penulisan disertasi ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. drh. Hasim DEA., selaku ketua Komisi Pembimbing; Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N. M. Eng., selaku anggota Komisi Pembimbing; dan Ibu Dr. dr. Sri Budiarti, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberi dorongan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro MS, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; Ibu Dr. drh. Upik Kusumawati, MS. dan Ibu Dr.Ir. Etty Riani MS. selaku Penguji Ujian Pra Kualifikasi; Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. dan Ibu Dr. drh. Upik Kusumawati, MS. selaku Penguji Ujian Tertutup; Ibu Prof. Dr. dr. Kusharisupeni, M.Sc. dan Ibu Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si., selaku Penguji Ujian Terbuka yang telah banyak membimbing dan memberi dorongan kepada penulis. Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada Bapak Rektor Universitas Al-Zaytun Indonesia, Bapak Bupati Indramayu beserta staf, Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu beserta staf, sahabat/rekan mahasiswa/i peserta Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; dan Yang Tercinta Istri, anak, dan cucuku serta seluruh kerabat keluarga serta semua pihak lainnya yang tidak diuraikan satu persatu yang telah banyak memberi dorongan, bantuan, dan semangat kepada penulis. Penulis mendo’akan semoga amal
(13)
perbuatan baik Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, dan Saudara/i mendapat balasan pahala yang berlipat dari Allah Yang Maha Kuasa.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini belum sempurna; oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Penulis mengharapkan disertasi ini bermanfaat, terutama bagi Pemerintah, peneliti, dan masyarakat Kabupaten Indramayu dalam rangka pengendalian penyakit demam berdarah dengue.
Akhirnya kepada Allah jualah kita menyerahkan seluruh hasil usaha kita untuk mendapat RidhoNya. Amin.
Bogor, Maret 2010
(14)
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Penampen, Kabupaten Karo, Sumatera Utara pada tanggal 20 Julli 1955, anak ke lima dari enam bersaudara dari pasangan Tapel Peranginangin Tanjung (alm) dan Rulut br. Karo (alm).
Penulis menamatkan Sarjana di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Maulana Yusuf (STIA) di Serang tahun 1986, dan Sarjana (S2) di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia tahun 2004. Pekerjaan penulis saat ini ialah dosen pada Universitas Al-Zaytun Indonesia dalam mata kuliah Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Artikel ilmiah penulis berjudul ”Pengendalian Penyakit Demam Berdarah
Dengue di Kabupaten Indramayu” sedang dalam proses penerbitan dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume 4 Nomor 4 bulan Februari 2010. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
(15)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
I. PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Kerangka Pemikiran ... 2
Perumusan Masalah ... 5
Manfaat Penelitian ... 7
Kebaruan (Novelty) Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
Pembangunan Berkelanjutan ... 8
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 11
Penyebab Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 12
Tanda atau Gejala Klinis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 12
Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 13
Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 13
Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Lingkungan ... 16
Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Partisipasi Masyarakat ... 20
Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Kependudukan ... 21
Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Pelayanan Kesehatan ... 22
Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Pendidikan Kesehatan Lingkungan dan Perilaku Hi- dup Bersih dan Sehat (PHBS) ... 23
Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Ekonomi dan Kemiskinan Penduduk ... 24
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 26
Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman ... 31
Pendidikan Kesehatan ... 34
Pendekatan Sistem ... 37
Analisis Kebutuhan ... 38
Formulasi Permasalahan ... 39
Identifikasi Sistem ... 39
Pemodelan Sistem ... 41
Validitas dan Sensitivitas Model ... 43
Teori Keputusan dan Model serta Teknik Analisis ... 45
(16)
xiii
Analisis Kebijakan ... 51
Stakeholder dan Provider ... 52
Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara Mendalam ... 54
III. METODE PENELITIAN ... 56
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 56
3.2. Rancangan Penelitian ... 56
3.3. Responden Penelitian ... 56
3.4. Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data ... 58
3.5. Pelaksanaan dan Evaluasi Pengumpulan Data ... 64
3.6. Pengolahan Data ... 65
3.7. Analisis Data ... 66
3.8. Pendekatan Sistem dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 67
3.9. Penyusunan Skenario ... 70
3.10.Perumusan kebijakan ... 70
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 71
4.1. Kabupaten Indramayu ... 71
4.2. Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang,Terisi, Sukagumiwang dan Tukdana ... 78
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 79
5.1. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Demam Berda- rah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu ... 79
5.1.1. Analisis Data Hasil Wawancara dengan Responden Masyara- kat Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang ... 79
5.1.1.1. Jenis kelamin dan umur responden ... 79
5.1.1.2. Responden/anggota keluarganya yang menderita penya- kit berdarah dengue pada tahun 2007/2008/2009 ... 79
5.1.1.3. Rumah tangga responden ... 80
5.1.1.4. Air bersih/minum ... 81
5.1.1.5. Sampah rumah tangga ... 81
5.1.1.6. Air limbah rumah tangga ... 82
5.1.1.7. Tanaman anti nyamuk Aedes aegypti ... 82
5.1.1.8. Pengetahuan responden tentang demam berdarah dengue ... 82
5.1.1.9. Sikap responden tentang demam berdarah dengue 83
5.1.1.10.Perilaku sehat responden ... 83
5.1.1.11.Pekerjaan/mata pencaharian responden ... 84
5.1.1.12.Pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga responden 84
5.1.1.13.Pendidikan formal responden ... 84
5.1.1.14.Layanan penderita demam berdarah dengue ... 85
5.1.1.15.Layanan penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan 85
5.1.1.16.Pengelolaan tempat penampungan air (TPA) ... 85
5.1.2. Analisis Data Hasil Wawancara dengan Responden Masyara- kat Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana ... 85
5.1.2.1. Jenis kelamin dan umur responden ... 86
5.1.2.2. Responden/anggota keluarganya yang menderita penya- kit berdarah dengue pada tahun 2007/2008/2009 ... 86
(17)
xiv
5.1.2.3. Rumah tangga responden ... 87
5.1.2.4. Air bersih/minum ... 88
5.1.2.5. Sampah rumah tangga ... 88
5.1.2.6. Air limbah rumah tangga ... 89
5.1.2.7. Tanaman anti nyamuk Aedes aegypti ... 89
5.1.2.8. Pengetahuan responden tentang demam berdarah dengue ... 89
5.1.2.9. Sikap responden tentang demam berdarah dengue 90
5.1.2.10.Perilaku sehat responden ... 90
5.1.2.11.Pekerjaan/mata pencaharian responden ... 91
5.1.2.12.Pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga responden 91
5.1.2.13.Pendidikan formal responden ... 91
5.1.2.14.Layanan penderita demam berdarah dengue ... 92
5.1.2.15.Layanan penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan 92
5.1.2.16.Pengelolaan tempat penampungan air (TPA) ... 92
5.1.3. Hubungan Curah Hujan, Suhu Udara dan Kelembaban Udara dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 95
5.1.3.1. Hubungan antara curah hujan dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) ... 95
5.1.3.2. Hubungan antara suhu udara dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) ... 97
5.1.3.3. Hubungan antar kelembaban udara dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) ... 98
5.1.4. Analisis Data Hasil Wawancara dengan Responden Dinas/ Instansi ... 99
5.1.4.1. Umur dan Pendidikan Responden ... 99
5.1.4.2. Pendapat dan Kebutuhan Responden dalam Pengendali- an Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabu- paten Indramayu ... 99
5.2. Analisis Elemen Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu dengan Pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 102
5.2.1. Urutan Prioritas Aktor Berdasarkan Fokus ... 102
5.2.2. Urutan Prioritas Faktor Berdasarkan Aktor ... 103
5.2.3. Urutan Prioritas Tujuan Berdasarkan Aktor ... 104
5.2.4. Urutan Prioritas Kriteria Berdasarkan Aktor ... 105
5.2.5. Urutan Prioritas Strategi Berdasarkan Aktor ... 106
5.2.6. Urutan Prioritas Tujuan Berdasarkan Faktor ... 107
5.2.7. Urutan Prioritas Kriteria Berdasarkan Faktor ... 107
5.2.8. Urutan Prioritas Strategi Berdasarkan Faktor ... 108
5.2.9. Urutan Prioritas Kriteria Berdasarkan Tujuan ... 109
5.2.10.Urutan Prioritas Strategi Berdasarkan Tujuan ... 110
5.2.11.Urutan Prioritas Strategi Berdasarkan Kriteria ... 110
5.3. Analisis Pendapat Pakar tentang Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu dengan Pendekatan Interpretative Structural Modelling (ISM) ... 112
5.3.1. Pendapat Pakar tentang “Sub Elemen Tujuan” ... 112
(18)
xv
5.3.3. Pendapat Pakar tentang “Sub Elemen Strategi” ... 118
5.4. Pendekatan Sistem dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue ... 121
5.4.1. Analisis Kebutuhan ... 121
5.4.2. Formulasi Permasalahan ... 121
5.4.3. Identifikasi Sistem ... 122
5.4.3.1. Diagram lingkar sebab akibat ... 122
5.4.3.2. Diagram input-output ... 123
5.4.3.3. Diagram alir model kebijakan pengendalian DBD di Kabupaten Indramayu ... 124
5.4.3.3.1. Diagram alir model umum ... 124
5.4.3.3.2. Diagram alir sub model kesehatan lingkungan ... 125
5.4.3.3.3. Diagram alir sub model kependudukan ... 126
5.4.3.3.4. Diagram alir sub model layanan kesehatan ... 127
5.4.3.3.5. Diagram alir sub model vektor penyakit DBD ... 128
5.4.4. Pemodelan sistem ... 129
5.4.5. Validasi Model ... 130
5.4.6. Implementasi ... 131
5.4.6.1. Skenario Pesimistik ... 140
5.4.6.2. Skenario Moderat ... 142
5.4.6.3. Skenario Optimistik ... 144
5.4.6.4. Analisis Perbandingan Penerapan Antar Skenario ... 145
5.5. Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu ... 147
5.5.1. Kebijakan ... 147
5.5.2. Strategi ... 148
5.5.2.1. Strategi peningkatan kesehatan lingkungan permukim- an ... 149
5.5.2.2. Strategi peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat 149 5.5.2.3. Strategi peningkatan layanan kesehatan kepada masya- rakat ... 150
5.5.2.4. Strategi pengendalian vektor penyakit DBD ... 151
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 153
6.1. Kesimpulan ... 153
6.2. Saran ... 154
DAFTAR PUSTAKA ... 156
(19)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan menurut
Saaty (1983) ... 46 2. Daftar responden penelitian model kebijakan pengendalian penyakit
DBD di Kabupaten Indramayu ... 58 3. Faktor-faktor dan aspek yang dianalisis dalam membangun model
kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 59 4. Perincian data primer yang diperlukan untuk membangun model
pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 60 5. Elemen dan sub elemen “Tujuan” pengendalian penyakit DBD di Ka-
bupaten Indramayu ... 61 6. Elemen dan sub elemen “Kriteria” pengendalian penyakit DBD di Ka-
bupaten Indramayu ... 62 7. Elemen dan sub elemen “Strategi” pengendalian penyakit DBD di Ka-
paten Indramayu ... 63 8. Penderita penyakit yang dilayani dengan rawat jalan di Puskesmas
dan RS Kabupaten Indramayu dalam tahun 2005-2007 ... 76 9. Incidence rate (IR) penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dalam ta-
hun 2004-2008 ... 77
10.Case fatality rate (CFR) penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dalam
tahun 2004-2008 ... 78 11.Deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Indra-
Indramayu, Sindang, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana .. 93 12.Faktor-faktor yang berhubungan secara statistik dengan penyakit DBD
di Kecamatan Indramayu, Sindang, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana ... 94 13.Matriks perbandingan antar elemen Aktor berdasarkan Fokus pengen-
dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 102 14.Matriks perbandingan antar elemen Faktor berdasarkan Aktor pengen-
dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 103 15.Matriks perbandingan antar elemen Tujuan berdasarkan Aktor pengen-
dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 104 16.Matriks perbandingan antar elemen Kriteria berdasarkan Aktor pengen-
dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 105 17.Matriks perbandingan antar elemen Strategi berdasarkan Aktor pengen-
dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 106 18.Matriks perbandingan antar elemen Tujuan berdasarkan Faktor pengen-
(20)
xvii
dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 107 19.Matriks perbandingan antar elemen Kriteria berdasarkan Faktor pengen-
dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 108 20.Matriks perbandingan antar elemen Strategi berdasarkan Faktor pengen-
dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 109 21.Matriks perbandingan antar elemen Kriteria berdasarkan Tujuan pe-
ngendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 109 22.Matriks perbandingan antar elemen Strategi berdasarkan Tujuan
pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 110 23.Matriks perbandingan antar elemen Strategi berdasarkan Kriteria
pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 110 24.Rekapitulasi nilai driver power dan nilai dependence “sub elemen
tujuan” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 112 25.Rekapitulasi nilai driver power dan nilai dependence “sub elemen
kriteria” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 115 26.Rekapitulasi nilai driver power dan nilai dependence “sub elemen
strategi” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 118 27.Kebutuhan stakeholder dalam pengendalian penyakit DBD di Kabupa-
ten Indramayu ... 121 28.Prediksi perkembangan jumlah penduduk, rumah tangga, TPA,TPN,
vektor, kejadian DBD, penyuluhan kesehatan lingkungan, PHBS ma- syarakat, dan mutu lingkungan di Kabupaten Indramayu tahun 2008-
2018 ... 131 29.Rekapitulasi nilai pengaruh dan ketergantungan faktor kunci berdasar-
analisis prospektif ... 133 30.Keterkaitan antar faktor dan kondisi untuk analisis prospektif ... 139 31.Skenario dan kombinasi keadaan faktor ... 139 32.Perbandingan hasil simulasi skenario pesimistik, moderat, dan opti-
mistik dalam rangka pengendalian penyakit DBD di Kabupaten In- Indramayu ... 146
(21)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian ... . 4
2. Keterkaitan sosial, ekonomi, dan ekologis dalam pembangunan ber- kelanjutan ... 8
3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan ... 10
4. Tahapan kerja dalam pendekatan sistem ... 38
5. Diagram alir metoda AHP ... 47
6. Diagram teknik ISM ... 50
7. Matriks penilaian pengaruh langsung antar faktor dalam analisis pros- pektif ... 69
8. Grafik deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang ... 79
9. Grafik deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang (lanjutan) ... 80
10.Grafik deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana ... 86
11.Grafik deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana (lanjutan) ... 87
12.Grafik persamaan regresi linier angka kejadian DBD dengan angka curah hujan di Kabupaten Indramayu tahun 2007 ... 96
13.Grafik hubungan antara kejadian DBD dengan angka curah hujan di Kabupaten Indramayu tahun 2007 ... 97
14.Grafik persamaan regresi linier antara kejadian DBD dengan suhu udara di Kabupaten Indramayu tahun 2007 ... 97
15.Grafik hubungan kejadian DBD dengan suhu udara di Kabupaten In- dramayu tahun 2007 ... 98
16.Grafik hubungan kejadian DBD dengan kelembaban udara di Kabu- bupaten Indramayu tahun 2007 ... 98
17.Grafik persamaan regresi linier antara kelembaban udara dengan keja- dian DBD di Kabupaten Indramayu tahun 2007 ... 99
18.Struktur hierarki antar elemen pengendalian penyakit DBD di Ka- bupaten Indramayu ... 111
19.Grafik nilai dan skor keputusan prioritas Strategi kebijakan pengenda- lian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 112
20.Matriks driver power-dependence “sub elemen tujuan” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 113
(22)
xix
21.Diagram hierarki peringkat nilai “sub elemen tujuan” pengendalian
penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 114 22.Matriks driver power-dependence “sub elemen kriteria” pengenda-
lian DBD ... 116 23.Diagram hierarki peringkat nilai “sub elemen kriteria” pengendalian
penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 117
24.Matriks driver power-dependence “sub elemen strategi” pengendalian
DBD di Kabupaten Indramayu ... 119 25.Diagram hierarki peringkat nilai “sub elemen strategi” pengendalian
DBD di Kabupaten Indramayu ... 120 26.Diagram sebab akibat pengendalian penyakit DBD di Kabupaten
Indramayu ... 122 27.Diagram input-output model kebijakan pengendalian penyakit DBD
di Kabupaten Indramayu ... 123 28.Diagram alir model pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indra-
mayu ... 124 29.Diagram alir sub model kesehatan lingkungan ... 125 30.Diagram alir sub model kependudukan ... 126 31.Diagram alir sub model layanan kesehatan ... 127 32.Diagram alir sub model vektor penyakit DBD ... 128 33.Hasil simulasi IR DBD, mutu kesehatan lingkungan,tingkat PHBS dan
cakupan penyuluhan kesehatan lingkungan di Kabupaten Indramayu
pada periode 2008-2018 ... 130 34.Matriks tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh dalam
rangka penyusunan kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupa-
ten Indramayu ... 135 35.Prediksi IR DBD, tingkat PHBS, dan cakupan penyuluhan kesehatan
lingkungan dalam skenario pesimistik tahun 2008-2018 ... 141 36.Prediksi IR DBD, tingkat PHBS, dan cakupan penyuluhan kesehatan
lingkungan dalam skenario moderat tahun 2008-2018 ... 143 37.Prediksi IR DBD, tingkat PHBS, dan cakupan penyuluhan kesehatan
(23)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Rekapitulasi deskripsi hasil penelitian dalam rangka penyusunan mo- del kebijakan pengendalian penyakit demam berdarah dengue (DBD)
di Kabupaten Indramayu ... 164 2. Hasil perhitungan Kalman Filter (KF) dan tingkat kecocokan model
dari data empirik dan simulasi perkembangan penduduk dan kejadian
DBD di Kabupaten Indramayu ... 170 3. Rekapitulasi hasil analisis bivariat dalam rangka penelitian pengem-
bangan model kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten In-
dramayu ... 171 4. Profil Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi,
Sukagumi-wang dan Tukdana Kabupaten Indramayu tahun 2007 ... 174 5. Persamaan powersim model kebijakan pengendalian penyakit DBD di
Kabupaten Indramayu ... 178 6. Form pengumpulan data untuk Analytical Hierarchy Process (AHP) .. 181 7. Form matriks penilaian hubungan kontekstual/perbandingan berpasang-
an antar sub elemen variabel untuk Interpretative Structural Modelling 182
(24)
1.1.Latar Belakang
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah di Kabupaten Indramayu. Berdasarkan data dalam Profil Kesehatan Kabupaten Indramayu, Incidence rate (IR) DBD (jumlah penderita per 100.000 penduduk) di Kabupaten Indramayu tahun 2004, 2005, 2006, 2007, dan 2008 adalah berturut-turut 49,74; 26,09; 35,92; 60,26; dan 50,01 mendekati IR DBD nasional sebesar 37,01; 52,10; 52,43; 71,78; dan 60,06. Case fatality rate (CFR) DBD (jumlah meninggal per 100 penderita) dalam periode yang sama adalah berturut-turut sebesar 2,76; 3,41; 5,74; 5,15; dan 4,89 lebih tinggi dari CFR DBD nasional berturut-turut sebesar 1,20; 1,36; 1,04; 1,01; dan 0,86. Lima besar kecamatan dengan IR DBD “tinggi” (tahun 2004 sampai 2008) ialah Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang, Pasekan, dan Kedokanbunder berturut-turut sebesar 135,57; 103,21; 82,64; 74,10; dan 70,56; sedangkan lima besar kecamatan dengan IR DBD “rendah” ialah Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, Tukdana, Gantar, dan Sukra berturut-turut sebesar 7,66; 12,28; 16,84; 15,03; dan 22,00 (Dinkeskab. Indramayu 2008).
Penyakit DBD ialah penyakit menular, dapat menimbulkan kematian dengan cepat serta menyerang penduduk semua usia (WHO 2003, Soedarmo 1988; Siahaan 2004). Penyakit ini disebabkan oleh Virus dengue (WHO 2003; Sriprom et al. 2003; Fakeeh et al. 2003; dan Liu et al. 2003) dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus (WHO 2003; Lee dan Rohani 2005). Dari beberapa hasil kajian para ahli diketahui bahwa penyakit DBD berdampak negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan ekologis; di antaranya ialah terhadap penurunan indeks umur harapan hidup (UHH) rata-rata penduduk karena kematian akibat DBD, terhadap peningkatan pengeluaran biaya Pemerintah dan masyarakat untuk pengobatan penderita dan pemberantasan vektor (nyamuk penular penyakit DBD), terhadap penurunan produktivitas kerja penduduk, dan terhadap pencemaran lingkungan atau rusaknya keanekaragaman hayati akibat penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan aturan (WHO 2003, Pratt et al. 1977, Munaf 1997, Harahap 2000).
(25)
Masalah penyakit DBD di Kabupaten Indramayu perlu diselesaikan oleh Pemerintah dan masyarakat dengan dukungan para pakar atau ilmuwan bidang kesehatan lingkungan dalam kerjasama secara terpadu. Mengingat masalah yang dihadapi bersifat kompleks dan mencakup multi dimensional maka pendekatan yang perlu digunakan ialah pendekatan sistem (sibernetika, holistik, dan efektif): bukan dengan pendekatan yang bersifat parsial dan reduksionisme. Selaras dengan itu perlu dibangun model kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dengan pendekatan sistem berdasarkan pada data/informasi yang relevan dari hasil penelitian.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah terbangunnya model kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu. Kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan itu ialah: (1) menganalisis peranan faktor lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor penyakit DBD dalam pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu; (2) menganalisis kebutuhan stakeholder
dalam pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu; dan (3) membangun model dan merumuskan alternatif kebijakan dan strategi yang tepat untuk pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu.
1.3. Kerangka Pemikiran
Sejalan dengan kebijakan dan strategi desentralisasi bidang kesehatan (Depkes. R.I. 2003), dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD di Kabupaten Indramayu, Bupati Indramayu menetapkan Surat Keputusan Nomor 443.1.05/KEO.184a-DINKES/ 2007 tentang Penetapan Status Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD disertai dengan Surat Keputusan Nomor: 443.1.05/KEP.184A-DINKES/2007 tentang Pembentukan Satuan Tugas (SATGAS) Penanggulangan KLB DBD di Kabupaten Indramayu Tahun 2007. Menurut pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu, keputusan-keputusan tersebut pada umumnya telah dan sedang diimplementasikan di seluruh kecamatan, namun demikian hasil yang diperoleh belum sepenuhnya sampai pada taraf yang diinginkan karena masih banyak masalah yang dihadapi dan belum terselesaikan. Masalah-masalah itu diduga ada kaitannya dengan faktor-faktor penentu timbul dan berkembangnya
(26)
penyakit DBD yaitu: pertama, faktor lingkungan (WHO 2003; Blum 1981; Gordon dan Le Richt 1950, diacu dalam Azwar 1999; Gubler 1997; Bohra 2001; Mustafa 2003; Fikri 2005; Sintorini 2006; Sumantri 2008); kedua, faktor kependudukan (WHO 2003; Widyana 1997; Maha et al. 1998; Bohra 2001; Hidajat 2001; Fikri 2005; Fathi et al. 2005; Bhattacharya et al. 2008); ketiga, faktor layanan kesehatan (WHO 2003); keempat, faktor nyamuk penular (vektor) penyakit DBD (WHO 2003; Soedarmo 1988); dan kelima, faktor mutu implementasi kebijakan termasuk law enforcement bidang kesehatan dan lingkungan hidup (Sumantri 2008).
Penyakit DBD adalah penyakit menular berbasis lingkungan; artinya timbul dan mewabahnya penyakit ini pada hakekatnya dapat dicegah dengan metode perbaikan kesehatan lingkungan (WHO 2003; Chakravarti et al. 2005; Renganathan et al. 2003). Perwujudan keadaan lingkungan yang bersih dan sehat sangat tergantung pada tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku sehat masyarakat serta ketersediaan fasilitas dan sarana pendukung yang dibutuhkan. Untuk mencapai tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku sehat masyarakat seperti yang diharapkan diperlukan peningkatan frekuensi dan mutu layanan penyuluhan serta bimbingan teknis kepada masyarakat. penyuluhan yang memadai diperlukan untuk memelihara sistem nilai dan norma sesuai dengan kaidah-kaidah kesehatan dan untuk mengubah sistem nilai dan norma yang tidak sesuai melalui perubahan perilaku individu-individu anggota masyarakat, termasuk upaya pengembangan sarana dan potensi di daerah. Hasil penelitian Kyu et al. (2005) dan Tram et al. (2003) menunjukkan bahwa dampak positif pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD adalah besar. Dalam rangkaian pendidikan kesehatan, sejak beberapa tahun yang lalu di beberapa negara dikembangkan program Communications for behavioral impact (COMBI) yaitu rangkaian kegiatan untuk mengatasi penyakit, termasuk DBD, dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat (Rozhan et al. 2006).
Mengingat kompleksnya keadaan dan masalah serta tantangan yang dihadapi maka untuk penyelesaiannya diperlukan analisis kebijakan dengan pendekatan sistem atau metode sistem dinamis, dengan tahapan teratur mulai dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan
(27)
sistem, validasi model, implementasi, dan tahapan evaluasi (Pramudya 1989). Secara skematis kerangka pemikiran penelitian ini seperti tampak pada Gambar 1.
Kebijakan Pembangunan Nasional Republik Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 581/Menkes/SK/VII/1992 tentang
Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 004/MENKES/SK/I/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Penyakit DBD Air bersih/ minum Sanitasi ruang dan bangunan Angka curah hujan Air limbah / kakus rumah Suhu dan kelembaban udara Sampah rumah tangga Kependudukan Layanan kesehatan Vektor penyakit DBD
Lingkungan
Tempat penampungan air rumah tangga / tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti
Kesehatan Ekonomi
Umur harap
an
hidup
Angka kematian ibu melah
irkan Angka kematian bayi Sumberdaya manusia Anggaran/ dana Metode kerja Sarana Pendidikan Peningkatan layanan kesehatan masyarakat Peningkatan kesiapan
hidup sehat masyarakat Peningkatan kesehatan
lingkungan permukiman Pengendalian vektor DBD
Model Kebijakan Pengendalian Penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Keadaan, potensi, dan masalah yang dihadapi
Angka melek
hu
ruf
Angka rata-rata lama sekolah Pekerjaan/mata pencah
ari
an
(28)
1.4. Perumusan Masalah
Dari data dan informasi di atas diperoleh gambaran bahwa Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Indramayu masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks berkaitan dengan penyakit DBD yang perlu segera diselesaikan.
Permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan fisik di antaranya ialah kesehatan rumah tangga penduduk, ketersediaan air bersih/minum, keadaan curah hujan, keadaan suhu dan kelembaban udara. Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit. Di Kabupaten Indramayu, pada tahun 2006, dari 177.028 rumah yang diperiksa, proporsi rumah yang memenuhi syarat kesehatan baru mencapai 56%. Jumlah dan mutu air bersih/ air minum yang diperoleh masyarakat belum seluruhnya memadai. Hasil Riset Kesehatan Dasar Jawa Barat (RISKESDAS JABAR) (2007) menunjukkan proporsi penduduk Kabupaten Indramayu pengguna air bersih lebih dari 100 liter per orang per hari sebesar 48,2%; dan antara 20 hingga 99,9 liter sebesar 47,4%; selebihnya menggunakan di bawah 20 liter sebesar 4,4%. Proporsi kualitas fisik air 6,9% keruh; 3,8% berwarna; 9,8% berrasa; 1,4% berbusa; dan 5,6% berbau.
Permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan biologik di antaranya ialah masih kurangnya pengembangan budi daya tanaman anti nyamuk Aedes aegypti oleh masyarakat di daerah permukiman.
Permasalahan berkaitan dengan faktor kependudukan yang utama ialah berkenaan dengan tingkat pertumbuhan dan mobilitas penduduk, perilaku penduduk, tingkat pendidikan penduduk, dan tingkat pendapatan/ kemiskinan penduduk. Tingkat perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat di beberapa kecamatan pada umumnya belum sampai pada taraf yang diharapkan. Dari 10.290 rumah tangga sampel pada tahun 2006 baru 5,04% yang berstatus PHBS strata IV, padahal target yang diharapkan pada tahun itu ialah sebesar 65%. Kesadaran masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN) masih relatif kurang; hal ini ditunjukkan dari angka bebas jentik (ABJ) pada daerah yang diperiksa masih belum mencapai 100% (Dinkeskab. Indramayu 2008). Permasalahan yang berkaitan dengan tingkat pendidikan masyarakat adalah bahwa proporsi melek huruf penduduk usia di atas 10 tahun tingkat kabupaten
(29)
pada tahun 2006 baru mencapai 87,2% dengan penyebaran yang tidak merata di tiap kecamatan. Permasalahan lainnya yang dihadapi ialah jumlah keluarga miskin tahun 2005, 2006, dan 2007 masih relatif tinggi. Pada tahun 2005 jumlah keluarga miskin 232.046 atau 50,48% dari jumlah semua keluarga, tahun 2006 adalah 158.646 atau 32,10%, dari jumlah semua keluarga dan tahun 2007 adalah 312.854 atau 61,91% dari jumlah semua keluarga (BPS. Kab. Indramayu 2008). Masih besarnya angka buta huruf dan kemiskinan ini sedikit banyak menjadi hambatan dalam hal penerimaan hal-hal baru atau inovasi baru berkenaan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Masalah layanan kesehatan yang belum terselesaikan di antaranya ialah masalah berkenaan dengan layanan penanganan penderita penyakit DBD, layanan penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh penyelenggara program. Frekuensi penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan lingkungan dari Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) diduga belum memadai akibat keterbatasan sarana, tenaga kesehatan, dan lainnya.
Masalah vektor penyakit DBD yang belum terselesaikan di antaranya ialah berkenaan dengan masih banyaknya tempat penampungan air (TPA) di masyarakat yang tidak bersih atau sehat kemudian menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk (TPN) nyamuk Aedes aegypti.
Permasalahan lain yang penting pula diselesaikan segera ialah permasalahan kebijakan pengendalian penyakit DBD dan implementasinya yang belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan.
Berdasarkan tujuan, keadaan serta permasalahan yang dihadapi tersebut, penulis mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran peranan faktor lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor penyakit DBD serta gambaran kebutuhan stakeholder dalam rangka pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu?
2. Model kebijakan seperti apa yang perlu dibangun dalam rangka pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu?
3. Bagaimana skenario kebijakan atau strategi pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu yang efektif dan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah?
(30)
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini penulis harapkan bermanfaat pada masa kini dan masa yang akan datang :
1. Sebagai bahan masukan untuk Pemerintah Kabupaten Indramayu dan masyarakat dalam pengambilan keputusan pengendalian penyakit DBD.
2. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, atau sebagai bahan referensi dan kajian lebih lanjut tentang pengendalian penyakit DBD.
1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian
Adapun kebaruan atau novelty yang terkandung dalam penelitian ini: 1. Fokus penelitian terutama pada kebijakan pengendalian penyakit DBD di
Kabupaten Indramayu berbasis penyuluhan kesehatan lingkungan.
2. Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem dengan melibatkan stakeholder
dalam perumusan strategi pengendalian penyakit DBD Kabupaten Indramayu. 3. Hasil penelitian berupa model kebijakan dengan mempertimbangkan segi
(31)
Ecological
Sustainability
Social
Economic
2.1. Pembangunan BerkelanjutanPembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common Future yang disiapkan oleh World Commission onEnvironment and Development
(WCED) atau Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan atau dikenal pula dengan nama Komisi Bruntland (1987) (Mitchell et al. 2003).
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs) (WCED 1987). The term sustainability expresses the human desire for an environment that can provide for our needs now and for future generations. Our collective journey to find a way to live harmoniously with each other and within our social, economic, and ecological environments is a quest for sustainability. Ilustrasi keterkaitan antara sub sistem sosial, ekonomi, dan ekologis satu sama lain dalam sistem pembangunan berkelanjutan adalah seperti tampak pada Gambar 2.
Gambar 2. Keterkaitan sosial, ekonomi, dan ekologis dalam pembangunan berkelanjutan
(32)
Di dalam definisi pembangunan berkelanjutan terkandung dua gagasan penting: (1) gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin se dunia, yang harus diberi prioritas utama; dan (2) gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.
Pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia adalah tujuan utama pembangunan. Kebutuhan esensial sejumlah besar penduduk di negara-negara berkembang: pangan, sandang, rumah, pekerjaan, belum terpenuhi dan di luar kebutuhan dasar itu orang-orang tersebut mempunyai cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Dunia yang di dalamnya kemiskinan dan kepincangan sudah endemik akan selalu mudah terserang krisis ekologi dan krisis-krisis lainnya. Pembangunan berkelanjutan mengharuskan dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar bagi semuanya dan diberinya kesempatan kepada semua untuk mengejar cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi selalu membawa risiko kerusakan lingkungan, karena hal itu meningkatkan tekanan pada sumberdaya–sumberdaya lingkungan (WCED 1987).
Menurut Munasinghe (1992), tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dicapai secara simultan dengan kombinasi ketiganya sesuai dengan kondisi dan tingkat kemajuan masyarakat yaitu (1) tujuan ekonomi: pertumbuhan ekonomi, peningkatan output, pembentukan modal dan peningkatan daya saing; (2) tujuan sosial: kesejahteraan sosial, pemerataan, kenyamanan dan ketenteraman; (3) tujuan ekologis: pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan, mengurangi dampak eksternalitas negatif dan mendorong dampak ekternalitas positif dalam proses kegiatan pembangunan.
Pembangunan yang berkelanjutan mempunyai 5 ciri yaitu: (a) menjaga kelangsungan hidup manusia dengan cara melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya, baik secara langsung maupun tidak langsung; (b) memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dalam arti memanfaatkan sumber daya alam sebanyak alam dan teknologi pengelolaan mampu menghasilkannya secara lestari; (c) memberi kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya di daerah untuk berkembang bersama-sama baik dalam kurun waktu yang sama maupun dalam kurun waktu yang berbeda secara sambung
(33)
menyambung; (d) meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok sumber daya alam, melindungi serta mendukung perikehidupan secara terus menerus (Darsono 1995).
World Bank menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti tampak pada Gambar 3.
Dalam kerangka segitiga tersebut ditunjukkan bahwa suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Seregeldin, 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut dapat memepertahankan intergitas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Sedangkan berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemeratan hasil-hasil pembangunan,
EKONOMI
• Efisiensi
• Pertumbuhan
SOSIAL EKOLOGI
• Sumberdaya alam
• Pertumbuhan
• Keadilan
• Pemerataan
• Penanggulangan
kemiskinan
• Pemerataan
• Kelestrarian
• Kesempatan kerja
• Redistribusi pandapatan
• Resolusi konflik
• Assessmen lingkungan
• Valuasi lingkungan
• Internalisasi
• Nilai-nilai budaya
• Partisipasi
• Konsultasi
(34)
mobilitas sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.
Bagi Indonesia, kebijakan berbasis pembangunan berkelanjutan terus ditingkatkan. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dikembangkan sebagai upaya sadar dan berencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU No. 23/1997).
2.2. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit DBD atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah salah satu penyakit menular berbasis lingkungan (Sukowati 2007), yang menyerang manusia semua umur, yang dapat menimbulkan wabah dan kematian dengan cepat (Depkes. R.I. 2005a; Nerseri et al. 1998). Hasil penelitian Muchlastriningsih et al. (1998) di Jakarta menunjukkan bahwa tiga golongan umur yang paling banyak terserang penyakit DBD pada tahun 1990-1994 ialah golongan umur 1-5 tahun, diikuti golongan umur > 5-10 tahun, kemudian golongan umur > 10-15 tahun. Penyakit DBD tidak hanya terutama menyerang anak yang secara antropometrik mempunyai status gizi baik, tetapi bisa juga menyerang anak yang mempunyai status gizi kurang dan buruk (Bachtiar 1990). Masalah penyakit DBD adalah masalah kesehatan global, upaya-upaya pencegahan dan pengendalian penyakit DBD yang telah dilakukan hingga saat ini belum efektif, aktivitas-aktivitas pengendalian vektor penyakit DBD belum dapat mencegah penularan penyakit (Sopontammarak 2003; Figueiredo 2003).
Di Indonesia penyakit DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968 (Soedarmo 1988) tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Dari tahun 1968 sampai tahun 1972 wabah hanya dilaporkan di pulau Jawa. Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul pada tahun 1973 oleh epidemi di Riau, Sulawesi Utara, dan Bali. Pada tahun 1974, epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1975, dua puluh Provinsi telah melaporkan berjangkitnya epidemi DHF. Provinsi-provinsi yang sampai dengan tahun 1979 belum pernah melaporkan terdapatnya penyakit demam berdarah ialah Bengkulu,
(35)
Sulawesi Tenggara, dan Timor Timur. Sampai dengan tahun 1981, ProvinsiTimor Timur merupakan satu-satunya Provinsi yang belum melaporkan terdapatnya kejadian DHF.
Selama 39 tahun dalam periode tahun 1968 sampai dengan akhir tahun 2007, menurut catatan Depkes R.I., jumlah penderita penyakit DBD di Indonesia adalah 1.112.828 orang atau rata-rata 28.534 orang per tahun. Dari jumlah itu penderita yang meninggal adalah 22.905 orang (2,058 %) atau rata-rata 588 orang per tahun.
2.2.1. Penyebab Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue anggota genus flavivirus
dan famili flaviviridae. Virus ini berukuran kecil (50 nm) (WHO 2003). Dengue fever is caused by the dengue virus which belongs to the genus Flavivirus, in the flaviviridae family There are four serotypes of this virus known as 1, DEN-2, DEN-3, and DEN-4 (Sriprom et al. 2003).
Dengue fever (DF), and its more severe form known as dengue haemorrhagic fever (DHF) is the most important arthropod-transmitted viral disease of humans in the world to day with one third of the world’s population at risk (Fakeeh et al. 2003). Dengue virus (DEN) is a mosquito-borne flavivirus and the most prevalent arbovirus in tropical and subtropical regions of the globe
(Liu et al. 2003).
2.2.2. Tanda atau Gejala Klinis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Tanda atau gejala klinis penyakit DBD adalah: pertama, demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2 sampai 7 hari; kedua, manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, ekimosis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (rumple leede) positif; ketiga, trombositopeni (trombosit ≤ 100.000/μl); keempat, hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥20%); dan kelima, disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes. R.I. 2005a).
WHO (1986) menyatakan bahwa dengue fever (DF) is an acute febrile viral disease frequently presenting with headaches, bone or joint and muscular pains, rash and leukopenia as symptons. dengue haemorrhagic fever (DHF) is
(36)
characterized by four major clinical manifestations, high fever, haemorrhagic phenomena, often with hepatomegaly and, in severe cases, signs of circulatory failure. Such patients may develop hypovolaemic shock resulting from plasma leakage. This is called dengue shock syndrome (DSS) and can be fatal.
2.2.3. Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue(DBD)
Di negara-negara Asia Tenggara, virus dengue ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti dan Albopictus (WHO 2003; Lee dan Rohani 2005). Penularan antar manusia melalui tusukan nyamuk Aedes aegypti pada siang hari. Nyamuk yang berperan sebagai agen virus dengue menusuk manusia, mentransfer virus
dengue, mengisap darah manusia yang sebenarnya untuk mematangkan telurnya yang dibuahi oleh sperma nyamuk Aedes aegypti jantan (Soedarmo 1988).
Nyamuk Aedes (stegomyia) yang betina biasanya terinfeksi virus dengue
pada saat dia menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut (viraemial). Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari kelenjar ludah nyamuk yang bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 3 sampai 14 hari (rata-rata 4 sampai 6 hari) timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai dengan demam, pusing, myalgia (nyeri otot), hilangnya nafsu makan, dan berbagai tanda atau gejala nonspesifik seperti
nausea (mual-mual), muntah dan rash (ruam) pada kulit. Viraemia biasanya muncul pada saat atau persis sebelum gejala awal penyakit tampak dan berlangsung selama kurang lima hari setelah dimulainya penyakit. Saat-saat tersebut merupakan masa kritis di mana penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk yang berperan dalam siklus penularan jika penderita tidak terlindung terhadap kemungkinan digigit nyamuk. Itulah bukti pola penularan virus secara vertikal dengue dari nyamuk-nyamuk betina yang terinfeksi ke generasi berikutnya (WHO 2003).
2.2.4. Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Di Indonesia nyamuk penular (vektor) penyakit DBD yang penting adalah
Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes scutellaris, tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti (Depkes. R.I.
(37)
2002a). Karakteristik nyamuk Aedes aegypti, yaitu pertama, seperti umumnya nyamuk lainnya, namun morfologi tubuhnya dengan bintik-bintik putih dengan pigmen dasar coklat-kehitaman; kedua, habitatnya di sekitar rumah dan bertelur pada air jernih di bak mandi, tempayan yang terbuka, tempat minum hewan peliharaan, dan vas bunga; ketiga, menusuk mangsanya pada siang hari; keempat, nyamuk ini bersembunyi di pakaian yang digantung di ruang rumah (Soedarmo 1988). Aedes aegypti is one of the most efficient mosquito vectors for arboviruses, because it is highly anthropophilic and thrives in close proximity to humans and often lives indoors (WHO 1997).
Tempat perindukan (breeding habit) nyamuk Aedes aegypti berupa genangan-genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer dan bukan pada genangan-genangan air di tanah. Kebiasaan menggigit
Aedes aegypti ialah pada pagi dan sore hari, yaitu pada pukul 08.00 sampai pukul 12.00 dan pukul 15.00 sampai pukul 17.00. Nyamuk ini lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada di luar rumah. Kebiasaan hinggap istirahat, lebih banyak di dalam rumah, yaitu pada benda-benda yang bergantungan, berwarna gelap dan tempat-tempat lain yang terlindung; juga di dalam sepatu. Jarak terbang diperkirakan 50 sampai 100 meter (Depkes. R.I. 2002a).
Soedarmo (1988) mengemukakan habitat, morfologi dan lingkaran hidup nyamuk Aedes aegypti bahwa nyamuk Aedes aegypti betina suka bertelur di atas permukaan air pada dinding vertikal bagian dalam tempat-tempat yang berisi sedikit air. Air harus jernih dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Tempat air yang dipilih ialah tempat air di dalam dan dekat rumah. Larva Aedes aegypti
umumnya ditemukan di drum, tempayan, gentong atau bak mandi di rumah keluarga Indonesia yang kurang diperhatikan kebersihannya. Di daerah yang sumurnya berair asin atau persediaan air minumnya tidak terdapat secara teratur, seperti di daerah pantai, penduduk biasanya menyimpan air hujan dalam drum berkapasitas 200 liter. Tempat air yang tertutup longgar lebih disukai oleh nyamuk betina sebagai tempat bertelur, dibandingkan dengan tempat air yang terbuka. Karena tutupnya jarang dipasang secara baik dan sering dibuka mengakibatkan ruang di dalamnya relatif lebih gelap dibandingkan dengan tempat air yang terbuka. Aedes aegypti dewasa berukuran kecil dengan warna dasar
(38)
hitam. Probosis bersisik hitam, palpi pendek dengan ujung hitam bersisik putih perak. Oksiput bersisik lebar, berwarna putih terletak memanjang. Femur bersisik putih pada permukaan posterior dan setengah basal, anterior dan tengah bersisik putih memanjang, tibia semuanya hitam. Tarsi belakang berlingkaran putih pada segmen basal kesatu sampai keempat dan segmen kelima berwarna putih. Sayap berukuran 2,5–3,0 mm bersisik hitam.
Aedes aegypti bersifat antropofilik (senang sekali kepada manusia) dan hanya nyamuk betina yang menggigit. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters), yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Hal ini karena nyamuk Aedes aegypti sangat sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini sangat membantu Aedes aegypti dalam memindahkan virus dengue atau DHF di satu rumah. Telur Aedes aegypti
berwarna hitam seperti sarang tawon, diletakkan satu demi satu di permukaan atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak ± 2,5 cm dari dinding tempat perindukan. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan pada suhu –2 (minus dua) sampai 43 derajat Celcius. Namun bila kelembaban terlalu rendah, maka telur akan menetas dalam waktu 4 hari. Dalam keadaan optimal, perkembangan telur sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama sekirang-kurangnya 9 hari. Nyamuk betina yang mulai menghisap darah manusia, 3 hari sesudahnya sanggup bertelur sebanyak 100 butir. Dua puluh empat jam kemudian nyamuk itu menghisap darah lagi, selanjutnya kembali bertelur. Walaupun nyamuk betina berumur kira-kira 10 hari, waktu itu cukup bagi nyamuk untuk makan, bagi virus cukup untuk berkembang biak dan selanjutnya menyebarkan virus ke manusia lain. Pada saat nyamuk menghisap darah manusia, yang kebetulan menderita DBD, virus dengue masuk ke saluran pencernaan, kemudian sampai di
haemocoelom dan kelenjar ludah (Soedarmo 1988).
Nyamuk Aedes aegypti tidak ditemukan di tempat dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Nyamuk akan menjadi vektor apabila: pertama, ada virus dengue pada orang yang dihisap darahnya, yaitu orang sakit DBD, 1 sampai 2 hari sebelum demam atau 4 sampai 7 hari selama demam; kedua, nyamuk hanya akan bisa menularkan penyakit apabila umurnya lebih dari 10 hari, oleh karena masa inkubasi ekstrinsik virus di dalam tubuh nyamuk
(39)
8 sampai 10 hari. Untuk nyamuk bisa mencapai umur lebih dari 10 hari perlu tempat hinggap istirahat yang cocok dengan kelembaban tinggi. Karena nyamuk bernafas dengan spiracle dengan demikian permukaan tubuhnya luas dan menyebabkan penguapan tinggi. Bila kelembaban rendah nyamuk akan mati kering; ketiga, untuk dapat menularkan penyakit dari orang ke orang nyamuk harus menggigit orang/manusia, dengan demikian nyamuk dimusuhi oleh manusia; keempat, untuk bisa bertahan hidup maka jumlah nyamuk harus banyak karena musuhnya banyak, dimusuhi manusia dan sebagai makanan hewan lain; kelima, nyamuk juga harus tahan terhadap virus, karena virus akan memperbanyak diri di dalam tubuh nyamuk dan bergerak dari lambung, menembus dinding lambung dan kelenjar ludah nyamuk. Dari suatu populasi nyamuk yang ada, pada musim penularan hanya beberapa persen saja yang menjadi vektor, mungkin kurang dari lima persen (Depkes. R.I. 2002a).
2.2.5. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU 23/1997). Lingkungan alam dapat dibagi menjadi (a) lingkungan fisik dan kimia,(b) lingkungan biologi, dan (c) lingkungan manusia yang meliputi bentuk sosial-ekonomi, sosial-budaya (Suratmo 1991). Lingkungan alam ini dapat pula diartikan sebagai lingkungan fisik dan lingkungan biologik bagi virus dengue, nyamuk Aedes aegypti, dan manusia.
Hasil penelitian para ahli kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara lingkungan hidup dengan kesehatan individu atau masyarakat. Baik buruknya keadaan atau kondisi lingkungan hidup akan turut mempengaruhi terhadap tinggi rendahnya angka kesakitan dan angka kematian penduduk yang disebabkan oleh penyakit menular melalui air (water-borne disease), melalui tanah (soil-borne disease), melalui udara (air-borne disease), dan melalui serangga (arthropod-borne disease).
Blum (1981) mengemukakan : ….Clearly, the largest aggregate of forces resides in the person’s environment.One’s own behavior, in great part derived
(40)
from one’s experience with one’s environment, is seen as the next largest force affecting health. Medical care services have been segregated out from the environment because our great interest and investment in them. They make a modest contribution to health status. The contribution of heredity to health are harder to judge, but there is no doubt that we are templated at conception as to our basic weaknesses and strengths. Bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat kesehatan individu atau masyarakat adalah lingkungan. Faktor besar kedua ialah perilaku, diikuti oleh faktor pelayanan kesehatan dan hereditas.
Gordon dan Le Richt (1950) mengemukakan bahwa timbul atau tidaknya penyakit pada manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yakni: pertama, faktor penjamu (host); kedua, faktor bibit penyakit (agent); dan ketiga, faktor lingkungan (environment). Faktor penjamu ialah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi timbulnya serta perjalanan suatu penyakit, antara lain: faktor keturunan, mekanisme pertahanan tubuh, umur, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pekerjaan, dan kebiasaan hidup. Bibit penyakit (agent) ialah suatu substansi atau elemen tertentu yang kehadiran atau tidak kehadirannya dapat menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan suatu penyakit, meliputi: golongan nutrien, golongan kimia, golongan fisik, golongan mekanik, dan golongan biologik. Lingkungan ialah agregat dari seluruh kondisi dan pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruh-pengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organisasi, meliputi lingkungan fisik, lingkungan nonfisik. Peranan lingkungan dalam menyebabkan timbul atau tidaknya penyakit dapat bermacam-macam. Salah satu di antaranya ialah sebagai reservoir bibit penyakit. Hubungan antara penjamu, bibit penyakit dan lingkungan dalam menimbulkan suatu penyakit amat kompleks dan majemuk. Disebutkan bahwa ketiga faktor ini saling mempengaruhi di mana penjamu dan bibit penyakit saling berlomba untuk menarik keuntungan dari lingkungan. Hubungan antara penjamu, bibit penyakit dan lingkungan ini diibaratkan seperti timbangan. Disini penjamu dan bibit penyakit berada di ujung masing-masing tuas, sedangkan lingkungan sebagai penumpunya. Seseorang disebut berada dalam keadaan sehat, jika tuas penjamu berada dalam keadaan seimbang dengan tuas bibit penyakit. Sebaliknya bila bibit penyakit lebih berhasil
(41)
menarik keuntungan dari lingkungan, maka orang tersebut berada dalam keadaan sakit (Gordon dan Le Richt 1950, diacu dalam Azwar 1987).
Slamet (1996) mengemukakan bahwasanya lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit sudah sejak lama diperkirakan orang. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam lingkungan terdapat faktor-faktor yang dapat menguntungkan manusia (eugenik), ada pula yang merugikan manusia (disgenik). Dalam hubungannya dengan perkembangan kejadian penyakit DBD banyak sekali tempat-tempat di lingkungan kehidupan manusia yang dapat menjadi sarang nyamuk Aedes aegypti, mulai dari jambangan keluarga, kaleng ataupun potongan bambu yang terisi air hujan, sampai pada reservoir air bersih yang tidak tertutup.
Mustafa (2003) mengemukakan bahwa setiap peralihan musim, terutama dari musim kemarau ke musim penghujan, kita menyaksikan berbagai masalah kesehatan melanda tanah air kita, termasuk yang paling sering terjadi adalah wabah demam berdarah (dengue fever). Sebagian masalah ini langsung atau tidak langsung terkait dengan perubahan lingkungan global.
Hasil penelitian Bohra (2001), di wilayah Jalor, India, terdapat delapan variabel yang efektif berkontribusi terhadap kejadian penyakit DBD, yaitu frekuensi membersihkan wadah penampung air, pola permukiman, penggunaan pendingin air, frekuensi membersihkan pendingin air, wadah air yang tidak tertutup, penggunaan pelindung nyamuk baik berupa kawat nyamuk, penyemprotan insektisida dan penggunaan obat oles penolak nyamuk, frekuensi pengisian persediaan air dan frekuensi pembuangan sampah. Membersihkan wadah penampungan air mempunyai hubungan positif dengan kejadian penyakit DBD. Penelitian Bohra (2001) tersebut menyebutkan jika membersihkan wadah air lebih dari delapan hari maka positif berkontribusi pada kejadian penyakit DBD, dan mengganti air satu atau dua kali satu minggu mengurangi resiko tersebut. Demikian pula dengan wadah air yang tidak tertutup berhubungan positif dengan kejadian penyakit DBD. Dalam laporan tersebut juga dikatakan infrastruktur buruk termasuk salah satu penyebab mudahnya transmisi kejadian
(1)
Lampiran 4 (Lanjutan) No. Data/Variabel Kecamatan Sindang Indra-mayu Jati-barang Terisi Suka- gumi-wang Tukda-na KESEHATAN 19 Keluarga memperoleh air bersih/keluarga yang diperiksa (%) 5.959/ 10.132. (58,8%) 15.036/ 21.476 (70,0%) 7.983/ 79.046 (10,1%) 9.108/ 13.735 (66,3%) 901/ 901 (100%) 7.712/ 13.337 (57,8%) 20
Keluarga yang memiliki jamban sehat/ keluarga diperiksa (%) 7.683/ 10.132 (75,8 %) 13.834 / 21.476 (64,4%) 11.429 / 79.046 (14,5%) 8.852/ 13.735 (64,5%) 3.313/ 9.012 (36,8%) 6.449/ 13.337 (48,4%) 21 Jumlah POSYANDU 55 127 90 75 42 71 22 Rasio POSYANDU per
desa 1 : 4,1 1 : 7,5 1 : 6,0 1 : 8,3 1: 7.0 1 : 5,5 23 Proporsi POSYANDU
Pratama (%) 24 39.4 40 100 23.8 51
24 Proporsi POSYANDU
Madya (%) 19 57.5 47 0 76.2 16
25 POSYANDU Purnama
(%) 10 1,6 2 0 0 4
26 POSYANDU Mandiri
(%) 2 1.6 1 0 0 0
27 Kader POSYANDU
aktif 275 635 450 375 210 355
28 Rasio Kader aktif per
POSYANDU 1 : 5 1 : 5 1 : 5 1 : 5 1 : 5 1 : 5
29 Jumlah Polindes 0 - 1 1 1 1
30 Jumlah Pos Kesehatan
Pesantren 4 7 6 3 3 0
31
Keluarga memiliki tempat sampah/ keluarga diperiksa (%)
302/ 1.383 (9,0%) 1.929/ 9.059 (21,3%) 3.948/ 15.853 (24,9%) 413/ 413 (100%) 349/ 756 (46,2%) 4.195/ 12.048 (34,8%) 32 Keluarga memiliki SPAL / keluarga diperiksa (%) 196/ 2.246 (8,7%) 2.833/ 10.718 (26,4%) 11.448/ 17.512 (65,4%) 5.162/ 13.735 (37,6%) 462 / 809 (57,1%) 1.363/ 3.039 (44,8%)
33 Jumlah rumah sehat/ rumah diperiksa (%)
1.272/ 2.246 (56,6%) 2.083/ 10.712 (19,5%) 11.519/ 17.640 (65,3%) 5.162/ 13.735 (37,6%) 531/ 809 (65,6%) 1.171/ 3.027 (38,7%)
Sumber: BPS dan Dinkeskab. Indramayu, 2008.
(2)
Lampiran. 5
Persamaan Powersim Model Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu
init Kejadian_DBD = 832
flow Kejadian_DBD = -dt*Kurangan_kejadian +dt*Tambahan_kejadian
init Lolaairbersih = 1374234
flow Lolaairbersih = +dt*Tambah_lolaairbersih
doc Lolaairbersih = Pengelolaan air bersih/minum rumah tangga init Lolaairlimbah = 515338
flow Lolaairlimbah = +dt*Tambah_lolaairlimbah
doc Lolaairlimbah = Pengelolaan air limbah rumah tangga init Lolasampah = 1116565
flow Lolasampah = +dt*Tambah_lolasampah
doc Lolasampah = Pengelolaan sampah rumah tangga init Penduduk = 1672573
flow Penduduk = +dt*Lahir -dt*Mati +dt*Datang -dt*Pergi
Doc Datang = Penduduk datang pindah tempat ke Kabupaten Indramayu Doc Pergi = Penduduk pergi pindah tempat dari Kabupaten Indramayu init Sanruba = 575460
flow Sanruba = +dt*Tambah_sanruba
doc Sanruba = Sanitasi ruang dan bangunan rumah hunian/fasilitas umum/ industri
init Total_Masyarakat_PHBS = 75897
flow Total_Masyarakat_PHBS = +dt*Tambah_PHBS doc PHBS = Perilaku hidup bersih dan sehat
aux Datang = Penduduk*Fraksi_datang
aux Kurangan_kejadian = (Kejadian_DBD*Fraksi_sembuh_mati) aux Lahir = Penduduk*Fraksi_lahir
doc Lahir = penduduk yang lahir
aux Mati = (Penduduk*Fraksi_mati)+Kematian_DBD doc Mati = Penduduk yang meninggal
aux Pergi = Penduduk*Fraksi_pergi
aux Tambah_lolaairbersih = ((0.80*Penduduk)+((Persen_PHBS)*(Penduduk-(0.80*Penduduk)))-Lolaairbersih)*Fraksi_lolaairbersih
aux Tambah_lolaairlimbah = ((0.30*Penduduk)+((Persen_PHBS)*(Penduduk-(0.30*Penduduk)))-Lolaairlimbah)*Fraksi_lolaairlimbah
aux Tambah_lolasampah = ((0.65*Penduduk)+((Persen_PHBS)*(Penduduk-(0.65*Penduduk)))-Lolasampah)*Fraksi_lolasampah
(3)
aux Tambah_sanruba = ((0.335*Penduduk)+((Persen_PHBS)*(Penduduk-(0.80*Penduduk)))-Sanruba)*Fraksi_sanruba
aux Tambahan_kejadian = (Fraksi_kejadian*Penduduk_rentan) aux Biaya_pengobatan =
(Kejadian_DBD+Kematian_DBD)*Fraksi_biaya_rata_rata aux Cakupan_Dikkesling = Total_Dikkesling/1000
aux Curah_hujan =
GRAPH(Fraksi_CH,2004,1,[1501,1335,1239,1590,1800"Min:1239;Max:1 800"])
aux Dikkes_LS = Fraksi_Dikkes_LS*Total_PKM
aux Dikkes_PDBD = Fraksi_Dikkes_PDBD*Kejadian_DBD
dov Dikkes_PDBD = Pendidikan/penyuluhan kesehatan kepada penderita dan/atau keluarganya
doc Dikkes_LS = Pendidikan/penyuluhan kesehatan melalui kerjasama lintas sektoral
aux Dikkesyandu = Fraksi_Dikkesyandu*Total_PKM
doc Dikkesyandu = pendidikan kesehatan lingkungan bersamaan dengan Posyandu
aux Gigitan = Vektor*Fraksi_gigitan
aux IR_DBD = (Kejadian_DBD/Penduduk)*100000 aux Kelembaban_udara =
GRAPH(TIME,2004,1,[70,65,68,68,66"Min:65;Max:70"])*Fraksi_lembab aux Kematian_DBD = Kejadian_DBD*Fraksi_kematianDBD
aux Mutu_Kesling = Mutu_lingkungan*100 aux Mutu_lingkungan =
(((Lolaairbersih/Penduduk)+(Lolaairlimbah/Penduduk)+(Lolasampah/Pen duduk)+(Sanruba/Penduduk))/4)*0.5
aux Penduduk_rentan =
(Fraksi_Rentan*Gigitan)-(Mutu_lingkungan*(Fraksi_Rentan*Gigitan)) aux Persen_PHBS = Total_Masyarakat_PHBS/Penduduk
aux Populasi_nyamukAa = Fraksi_nyamukAa*Total_Jentik doc NyamukAa = Nyamuk Aedes aegypti
aux Suhu_udara =
GRAPH(Fraksi_suhu,2004,1,[29.1,29.3,26.2,30,26.7"Min:26.2;Max:30"]) aux Tingkat_PHBS = Persen_PHBS*100
aux Total_Dikkesling = Dikkesyandu+Dikkes_LS+Dikkes_PDBD doc Dikkesling = Pendidikan/penyuluhan kesehatan lingkungan aux Total_Jentik = Total_TPN*Fraksi_jentik
doc TPN = Tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti aux Total_PKM = Penduduk/Fraksi_PKM
doc PKM = Pusat Kesehatan Masyarakat aux Total_Rumah = Penduduk/Fraksi_hunian
doc Total_Rumah = Jumlah rumah hunian di Kabupaten Indramayu aux Total_TPA = Fraksi_TPA*Total_Rumah+(Curah_hujan/6.20) doc TPA = Tempat penampungan air
doc Total_TPA = Jumlah TPA yang ada di dalam rumah dan di luar sekitar rumah
(4)
aux Total_TPN =
(Fraksi_TPN*Total_TPA)+(Suhu_udara/31.89)+(Kelembaban_udara/66.7 0)-(Total_Masyarakat_PHBS/Penduduk*Fraksi_TPN*Total_TPA) doc Total_TPN = Jumlah tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti aux TPN_Aa = (Total_TPN/Total_TPA)*1000
aux Vektor = Populasi_nyamukAa*Fraksi_vektor doc Vektor = Nyamuk penular penyakit DBD const Fraksi_biaya_rata_rata = 1000000 const Fraksi_CH = 0.3
doc CH = Curah hujan const Fraksi_datang = 0.0080 const Fraksi_Dikkes_LS = 92 const Fraksi_Dikkes_PDBD = 2 const Fraksi_Dikkesyandu = 1104 const Fraksi_gigitan = 2
const Fraksi_hunian = 3.83
doc Fraksi_hunian = Fraksi penghuni per rumah hunian const Fraksi_jentik = 100
const Fraksi_kejadian = 0.925
const Fraksi_kematianDBD = 0.0276 const Fraksi_lahir = 0.0124
const Fraksi_lembab = 0.1
doc Lembab = Kelembaban udara const Fraksi_lolaairbersih = 1 const Fraksi_lolaairlimbah = 1 const Fraksi_lolasampah = 1 const Fraksi_mati = 0.006
const fraksi_mutu_dikkesling = 0.10 const Fraksi_nyamukAa = 0.50 const Fraksi_pergi = 0.0077 const Fraksi_PKM = 35057 const Fraksi_Rentan = 0.1 const Fraksi_sanruba = 1 const Fraksi_sembuh_mati = 1 const Fraksi_suhu = 0.1 const Fraksi_TPA = 1 const Fraksi_TPN = 0.01 const Fraksi_vektor = 0.05
(5)
Lampiran 6. Form pengumpulan data untuk Analytical Hierarchy Process (AHP)
No.
Kolom kiri (elemen/ variabel)
Diisi jika elemen/variabel di kolom sebelah kiri
lebih penting dibanding eleman/
variabel di kolom sebelah kanan
Diis i bila
sa-ma pen-ting
Diisi jika elemen/variabel di
kolom sebelah kanan lebih penting dibanding elemen/variabel di kolom sebelah kiri
Kolom kanan (elemen/ variabel)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1
2
3
dst.
Keterangan skor penilaian :
Nilai Skor Keterangan
1 Elemen yang satu dengan elemen yang lainnya sama penting
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding elemen yang lainnya
5 Elemen yang satu lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding elemen yang lainnya
7 Elemen yang satu sangat penting dibanding elemen yang lainnya 9 Elemen yang satu ekstrim pentingnya dibanding elemen yang lainnya 2,4,6,8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian di atas
(6)
Lampiran 7. Form matriks penilaian hubungan kontekstual/perbandingan berpasangan antar sub elemen variabel untuk Interpretative Structural Modelling
Sub elemen variabel ke-j yang akan dicapai Sub-elemen
variabel ke-i
A B C D E F G H I J dst. A
B
C D E F G H I J dst.
Keterangan:
Pengisian oleh pakar menggunakan simbol : V atau A atau X atau O dengan penjelasan sebagai berikut:
V : bilamana variabel (1) memberikan kontribusi tercapainya variabel (2), tetapi tidak sebaliknya Æ ( V: eij = 1; eij = 0 )
A : bilamana variabel (2) memberikan kontribusi tercapainya variabel (1), tetapi tidak sebaliknya Æ ( A: eij = 0; eij = 1 )
X : bilamana variabel (1) dan variabel (2) saling memberikan kontribusi Æ (X: eij = 1; eij = 1)
O : bilamana variabel (1) dan variabel (2) tidak saling memberikan kontribusi Æ ( O: eij = 0; eij = 0 )