Universitas Sumatera Utara
kecemasannya. Hasilnya informan 8 cenderung lebih bisa menempatkan diri ketika berkomunikasi dengan lawan bicaranya yang berbudaya Medan dan
gampang juga menempatkan diri jika berbicara dengan teman Papuanya.
2. Hambatan-hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat adanya hambatan yang dapat menjadi penghalang terjadinya komunikasi yang efektif. Proses komunikasi
antarbudaya yang terjadi antara mahasiswa asal Papua dan mahasiswa lainnya serta dosen juga tidak terlepas dari adanya hambatan-hambatan komunikasi
antarbudaya. Hambatan-hambatan ini terjadi karena ada beberapa perbedaan antara budaya Papua dan budaya Medan. Adanya hambatan-hambatan ini juga
dirasakan oleh para mahasiswa asal Papua yang melanjutkan kuliah mereka di USU.
Hasil penelitian yang melibatkan mahasiswa Papua, mahasiswa USU dan dosen menemukan bahwa hambatan komunikasi yang menjadi penghalang
komunikasi antarbudaya yang efektif dipengaruhi oleh persepsi antarbudaya. Para pakar komunikasi antarbudaya mengakui bahwa persepsi budaya adalah sesuatu
yang kompleks, abstrak, dan persevasif berubah sejalan waktu Lubis, 2012:61. Persepsi menurut Mulyana dalam Lubis, 2012: 61 muncul karena setiap
penilaian dan pemilihan seseorang terhadap orang lain diukur berdasarkan penyertaan budaya sendiri. Persepsi merupakan suatu cara untuk membuat dunia
fisik dan sosial kita menjadi masuk akal. Gamble dan Gamble dalam Lubis, 2012:63 persepsi merupakan proses seleksi, pengaturan dan penginterpretasian
cara sensor dengan cara yang memungkinkan kita untuk mengerti dunia kita. Dengan kata lain persepsi merupakan proses dimana orang-orang mengubah
kejadian dan pengalaman eksternal menjadi pengalaman yang berarti. Persepsi dapat dijelaskan dengan melihat 3 elemen penting dari persepsi guna
menghasilkan efek komunikasi yang diingkan bersama diantara orang-orang yang berbeda budaya. Ketiga elemen tersebut adalah : pandangan dunia, sistem
lambang dan organisasi sosial Samovar dan Porter dalam Lubis 2012:61.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Peneliti mencoba membuat pembahasan bagaimana ketiga elemen persepsi tersebut mempengaruhi hambatan antarbudaya. Pembahasan tersebut sebagai
berikut: 1.
Pandangan dunia Peserta komunikasi antarbudaya yang idel pasti berharap ada banyak
persamaan yang muncul dalam pengalaman dan persepsi budaya. Tetapi karakter budaya cenderung memperkenalkan kita kepada pengalaman-
pengalaman yang tidak sama atau berbeda berdasarkan pandangan dunia world view yang terbentuk semula. Kenyataan ini membuat peserta
komunikasi antarbudaya membawa persepsi yang berbeda-beda pada dunia di luar budaya sendiri. Adanya nilai-nilai budaya yang berbeda dan tidak dapat
dipahami oleh kelompok berbagai budaya dari manapun asalnya akan menyebabkan halangan dalam berkomunikasi antarbudaya. Penilaian
terhadap etnis sendiri yang terus dikembangkan akan menyebabkan stereotipe, jarak sosial dan diskriminasi. Wawancara dan obervasi yang
dilakukan oleh peneliti menemukan bahwa
adanya stereotipe yang muncul dikalangan orang Papua tentang orang Medan, diantaranya; semua informan
dalam penelitian ini pernah mendengar bahwa orang Medan sangat kasar dan suka marah-marah. Selain stereotipe negatif ada juga stereotipe positif tentang
orang Medan yang diketahui oleh orang Papua yaitu: informan 1, informan 2, informan 4 dan informan 5 mengatakan bahwa orang Medan setiap berbicara itu
selalu ada pengetahuan yang dibagikannya. Selain itu menurut informan 7 dan informan 8 orang Medan adalah tipe orang yang bertanggung jawab dan pekerja
keras. Berbeda dengan informan 3 yang mengatakan bahwa orang Medan cenderung sukses ditanah perantauan. Selain itu informan 1,informan 2,informan
4, informan 5, informan 7 juga merasakan kaku dan tidak bebas jika berkomunikasi dengan budaya Medan, hal ini dikarenakan kebiasaan orang
Papua yang dalam berbicara lebih banyak basa-basi dan bercanda sedangkan orang Medan cenderung lebih serius dan fokus dalam setiap pembicaraan.
Kebiasaan ini masih sangat sulit mereka hilangkan saat berbicara dengan orang Medan walaupun begitu mereka tetap belajar beradaptasi.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Nilai- nilai budaya Medan yang disadari menjadi penghambat dalam komunikasi antarbudaya adalah sikap individualistis masyarakatnya. Semua
informan dalam penelitian ini mengganggap bahwa sikap individualistis ini terlihat dari ketidakpedulian masyarakat Medan terhadap lingkungan
sekitarnya. Sikap ini sangat berbeda dengan kebiasaan sapa menyapa yang menjadi budaya bagi orang Papua. Di Papua, masyarakat terbiasa dengan
budaya sapa menyapa walupun dengan orang yang tidak dikenal. Budaya ini dapat memudahkan mereka untuk saling bertukar informasi yang tidak
mereka ketahui. Budaya inilah yang tidak mereka temukan di Medan.
2. Sistem Lambang
Budaya membingkai
komunikasi dengan
secara langsung
mempengaruhi isi dan susunannya. Simbollambang dalam interaksi komunikasi dipertukarkan melalui bahasa verbal dan non verbal. Bahasa
verbal adalah bahasa yang menggunakan kata-kata sedangkan bahasa non verbal lebih menekankan pada bahasa tubuh atau bahasa isyarat. Bahasa
adalah kunci keberhasilan dalam interaksi antarbudaya. Dalam penelitian ini bahasa dan aksen masih menjadi penghambat terbesar dalam komunikasi
antarbudaya. a.
Bahasa verbal Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menemukan bahwa bahasa
verbal yang paling sering menjadi penghambat dan membuat kerancuan dalam berkomunikasi yaitu pemilihan kata yang sering membuat binggung
para informan. Semua informan dalam penelitian ini merasa berbeda makna dalam memahami setiap kata dalam bahasa Medan seperti “Pajak” yang
adalah “pasar”, “kereta” yang adalah “sepeda motor”, “motor” yang adalah “mobil”, “semalam” yang adalah “kemarin” dll.
Menurut semua informan mereka merasa asing dengan beberapa kata bahasa Medan seperti : begado, cak, cok cem, beselemak, keteter, kreak
dll. Semua informan merasakan kebingungan dengan apa yang dikatakan oleh lawan bicara mereka saat berkomunikasi. Sampai saat ini informan senantiasa
belajar bahasa Medan untuk mengurangi hambatan dalam komunikasi mereka
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
meskipun terasa sulit bagi informan karena ada juga beberapa kebiasaan dalam bahasa Papua yang masih melekat di dalam mereka seperti “ko” yang
adalah “kamu”, “sa” yang adalah “saya”.
Kebiasaan para informan yang sering berbahasa Papua ketika berinteraksi dengan mahasiswa di luat etnis Papua juga dianggap oleh
mahasiswa USU sebagai hambatan. Beberapa pengucapan bahasa yang diucapkan oleh para informan seperti terbalik padahal memang seperti itu
pengucapannya. Gudykunst 2002:40 penggunaan bahasa tuan rumah dapat menumbuhkan kemampuan untuk mengatasi ketidakpastian dalam budaya
tuan rumah dan pengetahuan mengenai bahasa tuan rumah dapat membantu seseorang
untuk mengelolah
kecemasan. Informan
penelitian ini
mengungkapkan bahwa ketika mereka tahu tentang hambatan tersebut mereka tidak mempertahankan kebiasaan tersebut dan mencoba untuk tetap
menggunakan bahasa tuan rumah meskipun harus terbata-bata. b.
Bahasa Nonverbal Hambatan komunikasi antarbudaya yang dirasakan oleh semua
informan adalah dalam aksenlogat dan intonasi berbicara. Aksenlogat adalah identitas pribadi yang melekat pada setiap individu dan menjadi penanda saat
berinteraksi dengan orang dari budaya yang berbeda. Semua informan sepakat bahwa logat berbicara masyarakat Medan sedikit memiliki persamaan
dengan mereka di Papua. Hal yang membedakannya adalah logat Medan cenderung lebih kasar dibandingkan di Papua. Selain itu logat Papua lebih
cepat dibandingkan dengan logat Medan. Intonasi berbicara orang Medan yang tinggi dan kuat juga menjadi
penghambat komunikasi antarbudaya. Menurut semua informan pada awalnya mereka menganggap intonasi yang seperti itu identik dengan
keadaan marah. Informan 1 dan informan 2 pernah mengalami pengalaman buruk dengan intonasi orang Medan yang seperti ini. Informan 1 pernah
hampir berkelahi dengan temannya saat bermain futsal karena temannya tersebut seperti membentaknya. Lain halnya dengan informan 2 yang tidak
jadi membeli makanan karena penjualnya menawarkan makanan dengan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
intonasi yang tinggi dan kuat seperti marah, ini membuatnya takut dan membatalkan niatnya untuk membeli makanan tersebut.
3. Organisasi Sosial
Organisasi sosial adalah cara bagaimana suatu kebudayaan dikomunikasikan kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang
berperan dalam membentuk individu yaitu keluarga dan sekolah Samovar dan Porter dalam Lubis, 2012:76. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan
bahwa informan 1, informan 2, informan 4, informan 5, informan 6, informan 7, informan 8 banyak mengenal tentang budaya di luar dari budaya mereka
melalui lingkungan sekolah. Sekolah tempat mereka belajar mempertemukan mereka dengan teman-temannya yang berbeda etnis di Papua. Pertemuan
tersebut membuat mereka sudah mulai mengenal dan menerima budaya lain di luar dari budaya mereka. Interaksi dengan teman-teman seolah mereka
yang berasal dari etnis yang berbeda membawa pengalaman baru dan memberikan pengetahuan tentang budaya lain. Hasil interaksi tersebut
mampu membuka mata mereka memahami budaya lain dan membekali diri dengan informasi tentang budaya tersebut. Informan 1 juga memiliki keluarga
angkat yang berasal dari budaya Batak yang membuatnya lebih bisa untuk menerima dan tidak lama terkejut dengan budaya Batak dikarenakan
sebelumnya sudah memahami budaya Batak. Pengalaman yang semakin meluas membuat seseorang tidak terlalu
terikat dengan budayanya sendiri sehingga orang tersebut dapat netral dan tidak memandang budaya lain sebelah mata bahkan dapat dengan mudah
menjadi seseorang yang sukses dalam interaksi antarbudaya. Inilah yang dialami oleh informan 8 yang sudah terbiasa merantau dari semenjak SD yang
membuatnya tidak membatasi diri sama sekali dengan orang di luar budayanya karena sejak kecil sudah bebas berteman dengan siapa saja. Dalam
hal ini in group bukan lagi menjadi hambatan mereka untuk mengenal budaya luar. Melalui sekolah jarak budaya dapat dijembatani dengan adanya
pertemuan informal di dalam interaksi masing-masing orang dalam budaya lain di luar budayanya.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
3. Kompetensi Komunikasi Antarbudaya