Universitas Sumatera Utara
sangat membantunya. Walaupun jarak antara Papua dengan Medan sangat jauh, namun ketika dia bertemu dengan teman-teman Papuanya dia merasakan seperti
merasakan ada di Papua. Para seniornya di IMP sangat sering mengadakan pertemuan untuk sekedar berbagi pengalaman dan juga keakraban dengan mereka.
Seniornya di IMP juga sering mengingatkan dan mengajari mereka tentang kebudayaan Medan. Tidak hanya hubungan dengan mahasiswa Papua saja yang
akrab, Yusuf dengan pribadi yang terbuka juga akrab berteman dengan penghuni asrama putera yang bukan etnis Papua. Yusuf dan teman asramanya sering saling
menitipkan cucian laundry bersama, bermain futsal bersama, jalan-jalan keliling kota Medan dan banyak hal lain yang dilakukan bersama.
“Kalau di sini juga aktif untuk IMP Sumut kak. Kalau di dalam IMP Sumut sendiri kami kompak juga kak, karena sama-sama
jadi perantau juga kan kak, sepenanggungan. Kakak dan abang kami juga baik-baik kok kak, mereka anggap kami seperti adek
kandung sendiri. Teman-teman di asrama juga sering ajak kami main futsal bersama kak, cuci laundry bersama, jalan-jalan
bersama, tidak adalah perbedaan kak dengan teman-teman lain
yang beda etnis di asrama.” Kerinduan untuk kembali pulang ke kampung halaman juga dirasakan
oleh Yusuf. Perasaan rindu untuk kembali pulang itu diatasi dengan menelpon orang tuanya di Papua. Komunikasi lewat telepon yang sering dilakukannya itu
untuk menanyakan kabar kedua orang tuanya di Papua sekaligus juga menceritakan keadaanya di Medan. Sebagai perantau di daerah orang meskipun di
Medan dia sudah merasa nyaman bukan berarti bahwa dia sepenuhnya ingin tinggal di Medan. Setelah lulus kuliah Yusuf berniat untuk kembali ke Papua dan
membangun daerahnya. “Rindu pastilah kak, tapi kalau saya rindu saya juga belum ingin
kembali, saya belum jadi apa-apa sekarang kak, kalau rindu sama keluarga cukup telpon saja kak. Kalau mau pulang juga,
ongkosnya mahal sekali kak yang murah saja cukup telpon kak.”
4.2 Pembahasan
1. Proses Komunikasi Antarbudaya
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi antarbudaya dilakukan oleh para peserta komunikasi yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Pesan dikomunikasikan baik dalam
bentuk verbal dan nonverbal melalui budaya sehingga terjalin suatu komunikasi yang efektif. Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi dan bertanggung
jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki oleh setiap orang Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19.
Proses komunikasi yang terjadi antara mahasiswa Papua dan mahasiswa USU serta dosen adalah komunikasi antarbudaya yang membawa dua label
budaya yang berbeda dan kemudian saling berinteraksi. Interaksi dan pergaulan yang terjadi diantara kedua pihak yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda tersebut tidak hanya membantu mahasiswa asal Papua memahami budaya lingkungannya tetapi juga membantu mereka memahami budayanya sendiri.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa semua mahasiswa asal Papua berinteraksi dengan mahasiswa USU di luar etnis mereka dengan baik ini
ditunjukkan dari pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti kepada delapan informan mahasiswa asal Papua, ketujuh informan kecuali informan 3
memilki teman dekat diluar etnis mereka, antara lain informan 1 yang memilki teman baik suku Nias dan Batak, informan 4 yang justru sudah diberikan marga
oleh teman-teman Batak di sekitarnya, informan 5 yang di kampus memiliki kelompok yang di dalamnya ada suku Batak, Karo, Nias, Jawa bahkan Bali,
informan 6 yang juga memiliki satu orang teman dekat suku Batak, informan 7 dan informan 8 yang berteman dengan satu angkatannya yang terdiri dari berbagai
suku di kampus. Secara umum dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa
mahasiswa Papua berinteraksi dengan mahasiswa USU lainnya dengan sangat baik, ini diperoleh dari hasil wawancara dengan kedelapan informan penelitian
walaupun terdapat satu informan yaitu Piter yang mengaku jarang untuk berkomunikasi dengan mahasiswa lainnya di kampus dan cenderung diam di
dalam kelas apabila tidak ada temannya yang mengajaknya berbicara. Ia mengaku teman-temannya di kampus susah menjalin komunikasi untuk urusan materi
kuliah seperti tugas meskipun pernah beberapa kali dia dibantu oleh teman- temannya kampus lainnya tetapi secara keseluruhan Piter sedikit merasa asing di
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
kampus tempat dia belajar menurutnya teman-teman kampusnya kurang bisa menerimanya hal ini dikarenakan logatnya yang berbeda dari kebanyakan teman-
temannya yang lain serta lingkungan tempat dia kuliah di fakultasnya mahasiswanya terkesan sombong. Piter menambahkan bahwa dia cenderung untuk
membatasi dirinya untuk bergaul dengan teman-teman di kampusnya karena respon yang diterimanya tidak terlalu baik. Pengalaman yang pernah dirasakan
oleh Piter sendiri adalah ketika dirinya berbicara teman-temannya cenderung menertawakannya. Hal inilah yang kemudian membuat dirinya lebih banyak diam
dan menarik diri dalam interaksi dengan temannya di kampus meskipun informan 3 sangat ingin untuk berbaur dengan lingkungannya. Pertimbangan diterima atau
tidak dirinya dalam interaksi di kampus membuatnya lebih banyak menarik diri. Perbedaan budaya menjadi salah satu penyebab seseorang tidak dapat
menghindari kecemasan dan ketidakpastian dalam interaksi antarbudaya. Situasi ketidakpastian yang muncul disebabkan ketika memasuki lingkungan dengan
budaya yang baru, tidak mampu untuk memprediksi atau menjelaskan perasaan, sikap dan perilaku orang asing. Sedangkan kecemasan merupakan perasaan
gelisah, tegang atau khawatir yang muncul disebabkan ketakutan dari konsekuensi negatif yang potensial muncul saat interaksi dengan orang asing Gudykunst,
2003: 329. Semua informan dalam penelitian ini juga mengalami kecemasan dan ketidakpastian dalam interaksi antarbudaya. Mereka mempunyai kekhawatiran
pesan yang disampaikan saat berinteraksi dengan teman dan dosen di kampus akan sulit diterima atau dipahami. Hal ini terjadi karena sebagian besar mahasiswa
Papua memang tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa Medan dan aksen berbicara Medan yang memang berbeda dengan aksen Papua.
Mengacu pada teori AUM aksioma ke-41 dari Gudykunst menyebutkan jika seseorang menyadari latar belakang budaya orang asing, dia tidak akan
mudah terintimidasi. Melalui proses self disclosure membuka diri dalam konteks antarbudaya ini dapat membuat seseorang memilih cara yang tepat dalam
berkomunikasi. Membuka diri terhadap orang asing adalah salah satu cara yang dapat dilakukan seseorang untuk memberi kemudahan bagi orang lain untuk
mendapatkan informasi tentang dirinya Masril, 2014: 81. Membuka diri
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
terhadap orang di luar budayanya adalah cara untuk dirinya dalam melakukan adaptasi. Penelitian yang sudah dikerjakan oleh peneliti dengan 8 informan
menunjukkan bahwa informan 1, informan 2, informan 4, informan 5, informan 6, informan 7, dan informan 8 sudah terbuka dengan lingkungannya sehingga
memudahkan mereka dalam proses adaptasi. Informan 8 khususnya sangat menyadari bahwa membuka diri sangat penting bagi dirinya sehingga
memudahkan dia dalam mempelajari lingkungan baru yang berbeda latar belakang dengan budayanya. Hasil yang berbanding terbalik dengan informan 3 yang
cenderung lebih menutup dirinya sehingga informasi tentang dirinya sulit untuk diketahui oleh lawan bicaranya. Hal ini juga yang membuat dirinya tidak memiliki
strategi yang tepat untuk meningkatkan kemampuannya untuk mempelajari budaya Medan dibandingkan dengan beberapa temannya yang memilih untuk
berteman dengan teman yang berbeda etnis di kampus dan ikut terlibat dalam kegiatan kepanitiaan dan organisasi kampus.
Ketika memasuki suatu dunia baru dengan segala sesuatu yang terasa asing, maka berbagai kecemasan dan ketidaknyamanan terjadi. Dampak dari
kecemasan dan ketidaknyamanan ini adalah stress pada individu-individu yang berinteraksi dengan pertemuan-pertemuan kultur tersebut. Fenomena ini
diistilahkan dengan kejutan budaya culture shock Lubis, 2012: 176. Nurhayati 2015: 86 mengatakan bahwa kecenderungan mahasiswa Papua
di USU mengalami gegar budaya seperti kurikulum pelajaran, konsep harga barang, makanan, kebiasaan dan beberapa sistem komunikasi seperti : penggunaan
bahasa, intonasi, aksen ketika berkomunikasi dengan teman di kampus. Gegar budaya yang ditemukan oleh peneliti dalam penelitian ini yang dihadapi oleh
informan juga diantaranya: tingkat kurikulum pelajaran yang berbeda dengan daerah asal yang dialami oleh semua informan dalam penelitian ini yang membuat
indeks prestasi mereka tidak memuaskan; konsep harga barang yang dirasakan oleh informan 1, informan 7 dan informan 8 yang mengatakan bahwa harga
barang di Medan cenderung jauh lebih murah dibandingkan Papua; Makanan, yang dirasakan oleh informan 6, informan 7, informan 8 berbeda jauh antara
Papua dan Medan dari segi bumbu dan kesegaran ikan; penggunaan bahasa yang dirasakan oleh semua informan diantaranya kata: “kereta” yang ternyata sepeda
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
mot or,”pajak” yang ternyata pasar dll; intonasi yang dirasakan oleh semua
informan menyatakan bahwa intonasi orang Medan lebih kasar dan kuat dibandingkan dengan Papua, aksen berbicara yang juga dirasakan berbeda oleh
semua informan dengan budaya Papua dikarenakan cenderung kasar. Wawancara dan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti memperoleh
hasil 8 orang informan mengaku interaksi yang baik dengan teman-teman satu asramanya meskipun mereka mengaku lebih dekat dengan teman-teman Papua
karena mereka satu kamar dengan mahasiswa Papua lainnya. Hal ini terlihat dari informan 8 yang sering menitipkan laundry baju ke teman asramanya, informan 5
dan informan 6 yang sering bertegur sapa dan bercanda dengan teman asramanya, informan 1, informan2, informan 3, informan 7 dan informan 8 yang setiap
minggu selalu bermain futsal dengan teman asrama serta informan 4 yang juga ketika sakit dikunjungi oleh teman satu asramanya.
Hubungan mahasiswa asal Papua dengan dosennya juga sejauh ini berlangsung dengan baik. Informan 2 mengatakan bahwa dosennya sering
mengajaknya makan dan berdiskusi terkait kondisi dan keadaan Papua. Tidak sebatas itu, menurut informan 1, informan 4, informan 5, informan 6 dan
informan 8 dosen mereka sangat memperhatikan dan mengkhususkan mereka. Informan 5 dan informan 8 mengatakan bahwa salah seorang dosennya sering
memerintahkannya duduk di depan agar dia lebih bisa mendengarkan penjelasan dosen dengan baik serta dosennya juga memberi nasihat kepada teman-temannya
yang lain di kampus untuk memperlakukan Magdalena dengan baik hal ini menurutnya dikarenakan dosen tersebut simpatik melihat dirinya merantau
menuntut ilmu dari Papua ke Medan. Perlakuan yang istimewa juga dari dosennya juga dirasakan oleh informan 1, informan 2, informan dosennya tersebut secara
khusus menyederhanakan makna dari kata-kata yang agar lebih mudah dipahami olehnya tidak hanya itu bahkan tempo berbicaranya juga dilambatkan sehingga
dirinya dapat memahami maksud dari perkataan dosen tersebut. Adanya organisasi IMP Sumut Ikatan Mahasiswa Papua Sumatera Utara
membantu memudahkan semua informan dalam penelitian ini dalam menghadapi kejutan budaya dan adaptasi budaya. Gudykunst 2003 menyebutkan kehadiran
in-group sangat membantu seseorang yang berada dalam lingkungan baru lebih
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
mudah menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Sejalan dengan hal tersebut pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada semua informan
menunjukkan bahwa hubungan yang terjalin antara sesama mahasiswa Papua sangat erat dan kompak seperti satu keluarga.
Semua informan mengakui bahwa dengan adanya pertemuan dengan orang Papua yang sudah lebih dahulu tinggal di
Medan menyebabkan proses penyesuaian budaya lebih cepat dilakukan. Pernyataan ini bukanlah tidak beralasan sebab melalui pertemuan dengan orang-orang Papua
yang sudah lebih dahulu tinggal di Medan membuat wawasan mereka tentang budaya Medan bertambah dimulai dari aksen berbicara, bahasa dan pengalaman mahasiswa
Papua pertama yang harus diatisipasi oleh mereka. Pertemuan dengan komunitas mahasiswa Papua tidak hanya mengajarkan mereka tentang budaya Medan tetapi
kedekatan personal antara mahasiswa Papua di Medan juga dapat dibangun hal ini dikarenakan di dalam pertemuan tersebut sering berbagi tentang kondisi dan keadaan
satu dengan yang lainnya, jika ada teman Papua yang mengalami kesulitan mereka saling membantu dan mereka saling memperhatikan satu dengan yang lain. Hal yang
juga sering dikerjakan dalam pertemuan komunitas mahasiswa Papua adalah mencerita tentang kondisi kampung halaman masing-masing yang pada akhirnya
mengobati kerinduan mereka dengan tanah Papua.
Meskipun jarak asrama putera dan putri cukup jauh tetapi komunikasi dan hubungan antara mahasiswa Papua
yang putri dan putra terjalin dengan baik. Hal ini berdasarkan bahwa ketika mengadakan rapat dengan mahasiswa Papua yang ada di USU mereka sering
menentukan tempat di halaman asrama puteri atau lobby asrama putera. Penelitian yang dilakukan oleh Indah Maulida 2014 menemukan bahwa
asal fakultas informan juga berpengaruh dalam proses penyesuaian diri. Mahasiswa asal Fakultas Teknik, seperti yang dialami oleh informan 2 cenderung
lebih kompak dibanding mahasiswa fakultas lainnya. Hal ini disebabkan di teknik diajarkan rasa solidaritas dan kekompakan, Mahasiswa asal Papua yang
mengambil fakultas teknik berbaur dengan mahasiswa lainnya karena dilatarbelakangi oleh kepentingan yang sama dan rasa sepenanggungan yang
dimana mereka bersama-sama membeli dan mencari alat-alat untuk kepentingan perkuliahan yang membuat ruang gerak yang lebih dekat dengan individu yang
berbeda budaya. Ini juga alasan yang memudahkan informan 7 dan informan 8 dapat cepat beradaptasi dengan budaya Medan dan mengatasi ketidakpastian dan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
kecemasannya. Hasilnya informan 8 cenderung lebih bisa menempatkan diri ketika berkomunikasi dengan lawan bicaranya yang berbudaya Medan dan
gampang juga menempatkan diri jika berbicara dengan teman Papuanya.
2. Hambatan-hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya