Kebijakan Turki menolak resolusi 1929 dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa terkait nuklir Iran 2010

(1)

   

Kebijakan Turki Menolak Resolusi 1929 Dewan

Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terkait

Nuklir Iran (2010)

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

             

Oleh:

Agus Salim (109083000066)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H/2015 M


(2)

(3)

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan

ini,

Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa: Nama

NIM

: Agus Salim : 109083000066

Program Studi : Hubungan Internasional

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

Kebijakan

Turki

Menolak

Resolusi

1929 Dewan

Keamanan

Perserikatan Bangsa-Bangsa Terkait

Nuklir

Iran (2010)

Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta,6 Juli 2015

Mengetahui,

Ketua Program Studi

/,_J

Badrus Sholeh, S.AG.

MA

NIP. 1 972021 I 1999031002

ilt

Menyetujui,

Pembimbi


(4)

PENGESAHAN

PANITIA

UJIAN

SKRIPSI

SKRIPSI

KEBIJAKAN TURKI MENOLAK

RESOLUSI 1929 DEWAN

KEAMANAN

PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERKAIT

NUKLIR IRAN (2010)

oleh

Agus Salim

1 09083000066

telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi

di

Fakultas

Ilmu

Sosial dan Ilmu

Politik

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal29 Juru 2015. Skrpsi ini.telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.

Ketua, Sekertaris,

/'\--L'

Badrus Sholeh" S.AG.

MA

NrP. 1 97202t I t99903 1002

NIP. 1 980 1 t292009122002

Ketua Program Studr Hubungan Internasional

/-*

/

Badrus Sholeh, S.AG.

MA

IV Penguji I,


(5)

 

ABSTRAKSI

Skripsi ini membahas tentang alasan yang menyebabkan Turki menolak Resolusi 1929 yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada tahun 2010 yang berisi penambahan sanksi terhadap Iran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan Turki mengambil keputusan tersebut. Metode yang digunakan dalam skripsi ini berupa metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan teknik telaah dokumen. Jadi data yang digunakan dalam skripsi ini berupa data yang berasal dari buku, dokumen, artikel, internet, berita, karya tulis ilmiah, serta jurnal ilmiah yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam skripsi ini.

Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori kepentingan nasional dan teori kebijakan luar negeri. Kepentingan nasional merupakan landasan utama setiap negara dalam mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu apabila ingin mengetahui alasan suatu negara mengambil suatu keputusan, kita bisa melihat kepentingan nasional yang ingin dicapai negara tersebut. Sementara analisa kebijakan luar negeri merupakan hal yang penting untuk diteliti ketika ingin mengetahui motif dari suatu tindakan serta keputusan yang diambil oleh suatu negara.

Dari hasil analisis yang dilakukan dalam skripsi ini ditemukan 4 faktor yang menyebabkan Turki menolak resolusi 1929 yang dikeluarkan oleh DK PBB

terkait nuklir Iran pada 2010. Pertama adalah kebijakan luar negeri zero problem

policy yang diterapkan oleh Turki sejak partai Adelet ve Kalkinma Partisi(AKP)

menjabat. Kedua karena adanya kerjasama nucluear fuel swap yang dilakukan

oleh Iran, Turki, dan Brazil sebagai salah satu solusi damai dalam upaya menyelesaikan permasalahan nuklir Iran. Ketiga karena kebutuhan energi Turki yang besar dan peran Iran yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan energi Turki tersebut. Sedangkan yang keempat adalah karena kedekatan hubungan bilateral antara Turki dan Iran. Keempat hal itulah yang menjadi penyebab Turki menolak resolusi 1929 yang dikeluarkan oleh DK PBB pada tahun 2010 yang berisi penambahan sanksi terhadap Iran.

Kata kunci: Turki, Iran, Kepentingan Nasional, Analisa Kebijakan Luar Negeri, Resolusi 1929


(6)

vi 

 

KATA PENGANTAR

Alhmadulillahirabbil’alamin merupakan kata pertama yang terucap setelah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tanpa nikmat sehat, nikmat kesempatan, serta berbagai nikmat yang telah diberikan-Nya penulis tidak mungkin bisa menyelesaikan skipsi ini. Maka ucapan segala puji dan syukur menjadi hal yang tak akan pernah berhenti penulis ucapkan kepada Allah SWT. Shalawat beserta salam juga semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis sadar skripsi ini tidak akan mungkin dapat terselesaikan. Bantuan tersebut berupa bantuan langsung seperti saran maupun arahan, serta bantuan tidak langsung berupa dukungan, maupun do’a yang senantiasa terucap. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Adian Firnas selaku Pembimbing Skripsi. Terimakasih atas waktu,

saran, nasehat, serta arahan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Hubungan Internasional yang telah

mengajarkan berbagai ilmu selama masa perkuliahan.

3. Kedua Orang Tua penulis yang tidak henti-hentinya memberikan do’a,

motivasi, dukungan, serta dorongan sejak penulis pertama memasuki jenjang perkuliahan hingga bisa menyelesaikan skripsi ini. Bahkan sejak penulis pertama dilahirkan hingga saat ini, kedua Orang Tua selalu berkorban untuk memberikan yang terbaik bagi penulis. Dengan usaha apapun penulis yakin tidak akan mampu membalasnya.

4. Kepada sahabat seperjuangan, Hafiz yang selalu mengajak dan mendorong

penulis dalam menyelesaikan skrispsi. Yudin yang telah memberikan masukan serta koreksinya yang sangat berharga. Robi, Deden, Helmi, Ardi, Wati, yang sesekali mengingatkan saat semangat mulai menurun. Serta teman-teman semua yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

5. Kepada Reza Hanafitri yang selalu memberikan semangat saat halangan

menghadang dan semangat mengendur. Yang selalu mengingatkan saat penulis terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan. Terimakasih juga karena telah memberikan bantuan dalam berbagai hal, mengoreksi, memberikan masukan, bantuan materi, serta berbagai bantuan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

6. Keluarga Mahasiswa Islam Karawang (KMIK) Jakarta yang telah menjadi

tempat penulis bernaung dan menghabiskan mayoritas waktu selama masa perkuliahan dan mengerjakan skripsi. Semoga ikatan kekeluargaan kita terus abadi.


(7)

vii 

 

7. Teman-teman jurusan Hubungan Internasional FISIP angkatan 2009 yang

telah menjadi bagian berharga dari kehidupan penulis. Terimakasih juga atas masukan serta infromasinya selama penulis mengerjakan skripsi.

8. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini

yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas bantuannya, sekecil apapun itu.

Semoga segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan mendapat imbalanyang berlipat ganda dari Allah SWT.

Terakhir, penulis mengaharapkan kritik serta saran yang konstruktif dari berbagai pihak terhadap skirpsi ini. Karena penulis menyadari, skripsi ini jauh dari kata sempurna. Meskipun begitu, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan sedikit sumbangsih terhadap khazanah ilmu pengetahuan baik sebagai bahan referensi maupun sebagai bahan bacaan.

Jakarta, 15 Juni 2015


(8)

viii 

 

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAKSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GRAFIK ... xii

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Tinjauan Pustaka ... 5

E. Kerangka Teori ... 9

1. Kepentingan Nasional ... 10

2. Analisa Kebijakan Luar Negeri………. 12

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penelitian ... 16

BAB II DINAMIKA HUBUNGAN LUAR NEGERI TURKI DAN IRAN A. Hubungan Turki – Iran Sebelum Masa Pemerintahan AKP . 18 1. Hubungan Turki – Iran Sebelum Revolusi Islam Iran 1979 ... 19

2. Hubungan Turki – Iran Setelah Revolusi Islam Iran 1979 19 a. Timbulnya Perbedaan Ideologi ... 20


(9)

ix 

 

BAB III PERKEMBANGAN NUKLIR IRAN DAN RESPON DUNIA

INTERNASIONAL

A. Perkembangan Nuklir Iran ... 28

1. Sebelum Revolusi Islam Iran 1979 ... 28

2. Setelah Revolusi Islam Iran 1979 ... 30

B. Respon Dunia Internasional Terhadap Perkembangan Nuklir Iran ... 32

1. Terbentuknya EU3 dan P5+1 ... 33

2. Respon PBB Terhadap Program Nuklir Iran ... 37

C. Penolakan Turki Terhadap Resolusi 1929 DK PBB ... 41

BAB IV ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TURKI MENOLAK RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB 1929 TERKAIT NUKLIR IRAN A. Kebijakan Luar Negeri Zero Problem PolicyPada Masa AKP ... 44

B. Kerjasama Nuclear Fuel Swap ... 48

C. Kebutuhan Energi Turki ... 50

D. Kedekatan Hubungan Turki-Iran ... 57

BAB V PENUTUP Kesimpulan ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... xv


(10)

 

DAFTAR TABEL


(11)

xi 

 

DAFTAR GRAFIK

Grafik IV.C.1 Produksi dan Konsumsi Energi Turki 2000-2010………… 51

Grafik IV.C.2 Negara Pengekspor Minyak Ke Turki1995-2010……….. 52


(12)

xii 

 

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

AEOI Atomic Energy Organization of Iran

AKP Adelet ve Kalkinma Partisi

Btu British thermal unit

CENTO Central Treaty Organization

DK PBB Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

EU European Union

EU3 Inggris, Prancis, dan Jerman

FP Fezilet Partisi

HEU High Enriched Uranium

IAEA International Atomic Energy Agency

INTC Isfahan Nuclear Technology Center

LEU Low Enriched Uranium

MIT Massachusetts Institute of Technology

NCRI National Council of Resistance of Iran

NIMS Newly Independent Muslim States

NPT Non Proliferation Treaty

P5+1 Amerika Serikat, Inggris, China, Rusia, Prancis, dan Jerman

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

PKK Partiya Karkerên Kurdistanê

RCD Regional Cooperation and Development

RP Refah Partisi

TICA Turkish International Cooperation Agency

TNRC Tehran Nuclear Research Center

UF6 Uranium Hexafluoride


(13)

xiii 

 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Resolusi 1929……… xxii


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengeluarkan Resolusi 1929 pada tanggal 9 Juni 2010.Resolusi tersebut merupakan resolusi keenam yang dikeluarkan PBB untuk menekan Iran agar menghentikan program nuklirnya.Sebelumnya, PBB telah mengeluarkan Resolusi 1969 (2006), Resolusi 1737 (2006), Resolusi 1747 (2007), Resolusi 1803 (2008), dan Resolusi 1835 (2008). Resolusi 1929 menegaskan kembali tuntutan Dewan Keamanan PBB dari resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya, bahwa Iran harus menghentikan semua kegiatan pengayaan uranium dan kegiatan lain yang berkaitan dengan pengembangan senjata nuklir (Davenpot 2012).

Selain menegaskan untuk diberlakukannya sanksi-sanksi yang telah disebut di resolusi-resolusi sebelumnya, di Resolusi 1929 ini juga PBB menerapkan sanksi baru. Setelah Resolusi 1929 ini dikeluarkan, secara umum, sanksi yang diberikan kepada Iran adalah sebagai berikut: Iran dilarang untuk melakukan investasi teknologi nuklir dan rudal di luar negeri, termasuk didalamnya investasi tambang uranium. Memberlakukan embargo senjata secara penuh terhadap Iran, termasuk di dalamnya larangan menjual tank tempur, kendaraan tempur lapis baja, sistem artileri berkaliber besar, pesawat tempur, helikopter serang, kapal perang, serta rudal atau sistem rudal terhadap Iran. Bukan hanya larangan untuk menjual senjata yang disebutkan di dalam resolusi, tapi Resolusi 1929 juga mengharuskan


(15)

2 semua negara untuk mencegah hal-hal yang dapat membantu Iran mengembangkan sistem persenjataan mereka, seperti memberikan pelatihan teknis, memberikan saran, ataupun memberikan bantuan keuangan serta layanan yang ditujukan untuk mengembangkan sistem persenjataan Iran yang disebutkan di Resolusi 1929 (Security Council 2010: 3-9).

Resolusi 1929 juga menetapkan larangan bepergian dan pembekuan aset terhadap individu-individu dan entitas yang diduga terkait dengan pengembangan nuklir Iran.Individu dan entitas yang diduga terkait dengan pengembangan nuklir Iran tersebut dilampirkan dalam Resolusi 1929.Dalam resolusi ini juga diberlakukan pembatasan-pembatasan dalam kegiatan bisnis, terutama yang terkait dengan kegiatan ekspor-impor yang berpotensi membantu Iran dalam melakukan pengembangan senjata nuklirnya. Sektor Keuangan juga menjadi sorotan PBB dalam rangka mencegah Iran mengembangkan senjata nuklirnya, diantaranya melarang semua negara untuk melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan, baik berupa asuransi, atau transfer dari dan ke Iran apabila ada informasi bahwa hal itu dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan nuklir Iran. Selain itu, negara-negara di dunia juga dilarang untuk memberikan izin kepada bank-bank Iran membuka cabang ataupun unit usaha baru di Negara mereka. Begitu juga sebaliknya, bank-bank di dunia juga dilarang untuk membuka kantor perwakilan ataupun anak perusahaan di Iran (Security Council 2011:1-5). Secara keseluruhan di dalam Resolusi 1929 terdapat 38 paragraf yang harus dikenakan terhadap Iran.


(16)

3 Resolusi 1929 yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB tersebut disetujui oleh 12 negara anggota tetap dan tidak tetap DK PBB, satu negara abstain, dan dua negara menentang. Negara yang menyetujui resolusi tersebut antara lain Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Inggris, Prancis, Austria, Bosnia dan Herzegovina, Jepang, Gabon, Nigeria, Uganda, serta Meksiko. Lebanon selaku anggota tidak tetap DK PBB memilih untuk abstain. Sedangkan Brazil dan Turki, yang juga sama-sama anggota Dewan Tidak Tetap DK PBB lebih memilih untuk menolak resolusi Tersebut (Security Council 2010).

Ini merupakan rekor terbaru sejak Resolusi DK PBB terkait nuklir Iran dikeluarkan pada tahun 2006.Sebelumnya tidak pernah ada sekaligus dua negara yang menentang dalam sebuah resolusi yang dikeluarkan PBB terkait nuklir Iran. Qatar pernah menentang Resolusi 1696, yang merupakan resolusi pertama DK PBB terkait nuklir Iran pada Juli 2006 (Security Council 2006). Setelahnya tidak pernah lagi ada negara yang menentang. Barulah pada Resolusi 1929 yang dikeluarkan DK PBB pada 9 Juni 2010 terjadi penentangan oleh dua negara sekaligus, yaitu Turki dan Brazil.

Penolakan yang dilakukan oleh Turki dan Brazil ini sebenarnya tidak berpengaruh terhadap diberlakukannya resolusi tersebut, karena jumlah yang mendukung jauh lebih banyak dari yang menolak, 12 negara yang mendukung, dan hanya dua negara yang menolak. Sementara sistem pengambilan keputusan di DK PBB mengharuskan setidaknya minimal sembilan negara yang setuju, dan di dalam sembilan negara tersebut harus termasuk semua negara anggota tetap DK PBB (Security Council).


(17)

4 Resolusi sebelumnya selalu diberlakukan dengan kemenangan mutlak oleh negara-negara yang mendukungnya. Penolakan baru terjadi sekali pada resolusi pertama tahun 2006 oleh Qatar, sementara resolusi-resolusi setelahnya tidak pernah ada yang menolak, hanya pada tahun 2008 saja Indonesia berada pada posisi Abstain(Security Council 2008).

Apabila penyebab utamanya agar resolusi tersebut tidak diberlakukan, seharusnya Turki sudah bisa menyimpulkan kalau hal itu tidak mungkin terjadi.Pasti ada suatu dorongan yang lebih besar hingga menyebabkan Turki mengambil keputusan untuk menolak resolusi tersebut.Di sisilain, keputusan Turki ini juga berseberangan dengan Amerika Serikat yang merupakan sekutu dekatnya.

Dari penjelasan di atas maka timbul pertanyaan apa sebenarnya faktor-faktor yang mendorong Turki mengambil keputusan tersebut?

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka pertanyaan penelitian (research question) yang akan penulis ajukan adalah:

Mengapa Turki menolak resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1929 terkait nuklir Iran?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


(18)

5 1. Menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi Turki mengambil

keputusan menolak terhadap Resolusi DK PBB 1929 terkait nuklir Iran. 2. Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan

teori-teori yang telah dipelajari kedalam sebuah tulisan karya ilmiah. Manfaat dari Penelitian ini adalah:

1. Dapat memberikan pengetahuan tentang bagaimana hubungan antara Turki dan Iran hingga menyebabkan Turki menolak resolusi DK PBB terkait sanksi yang akan diberikan terhadap Iran.

2. Dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan Turki mengambil keputusan menolak terhadap Resolusi DK PBB 1929 terkait nuklir Iran.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai sanksi terbaru terhadap Iran yang dikeluarkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) sebetulnya sudah cukup banyak, tapi penulis belum menemukan yang membahas secara spesifik dari sudut pandang Turki, atau bahkan yang membahas secara spesifik alasan kenapa Turki menolak sanksi yang diberkan terhadap Iran.

Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Reagan Thompson yangditerbitkan oleh Staford Journal Of International Relations dengan judulThe Effectiveness Of The Forth Round Of Sanction Against Iran. (Thompson, 2011), sanksi yang diberikan oleh dewan keamanan PBB melalui Resolusi 1929 memang mengekang perekonomianIran, tapi hal itu tidak menyebabkan Iran menghentikan program nuklirnya sampai Russia, German, dan Tiongkok


(19)

6 membatasiperdagangannya dengan Iran, atau sampai negara-negara yang melakukan perdagangan minyak dengan Iran menghentikan kerjasamanya.

Dalam artikel tersebut disebutkan secara sekilas bahwa alasan Turki menolak Resolusi 1929 DK PBB adalah karena Turki menganggap bahwa pendekatan lewatkerjasama dan damai merupakan pendekatan yang harus dilakukan dalam menyelesakan permasalahan nuklir Iran, karena pendekatan tersebut dinilai lebih efektif, bukan dengan pemberian sanksi yang dilakukan oleh dunia Internasional. (Thompson 2011:7-8)

Sementara menurut Thompson (Thompson2011:11-13) pilihan langkah yang realistis dalam menyelesaikan permasalahan di Iran adalah memberikan sanksi terhadap negara tersebut, tapi sanksi yang telah berjalan dinilai kurang efefktif karena masih ada celah yang bisa dimanfaatkan.Sementara itu sanksi terhadap sektor minyak merupakan sanksi yang sangat efektif untuk membuat Iran lemah, tapi menurutnya sanksi tersebut tidak pantas untuk diterapkan.

Sementara penelitian yang akan dilakukan oleh penulis lebih menekankan kepada sudut pandang Turki dalam menyikapi sanksi yang diberikan terhadap Iran, khususnya alasan Turki menolak sanksi yang diberikan terhadap Iran melalui Resolusi 1929 Dewan Keamanan Perserkatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Seperti sudah disebutkan di atas bahwa Turki berpendapat penyelesaian dengan jalan kerjasama dan melakukan kesepakatan dengan Iran merupakan cara terbaik dalam menyelesaikan permasalahan nuklir Iran, bukan dengan jalan memberi sanksi. Pembahasan ini nantinya akan diperdalam oleh penulis guna mengetahui alasan


(20)

7 rasional Turki serta langkah-langkah yang Turki ambil untuk merealisasikan hal tersebut, hingga pada akhirnya penulis dapat menarik kesimpulan alasan serta faktor-faktor kuat yang melatarbelakangi Turki menolak Resolusi 1929 DK PBB terkait pemberian sanksi Terhadap Iran.

Penelitian lain yang pernah dilakukan yang terkait dengan tema yang akan ditulis adalah penelitian yang dilakukan oleh Philip C.Bleek dan Aaron Stein yang berjudul Turkey and America Face Iranyang diterbitkan oleh jurnal Survival vol 54, no. 2 edisi April-Mei 2012 (Bleek dan Stein 2012). Dalam penelitian tersebut Bleek dan Stein membahas mengenai cara serta sudut pandang kedua negara, yaitu Turki dan Amerika Serikat dalam menyikapi permasalahan nuklir Iran. Menururut Bleek dan Stein (2012:27-28) kedua negara memiliki pandangan yang berbeda tentang persoalan nuklir Iran. Amerika Serikat berpendapat bahwa Iran sedang mencoba untuk mengembangkan senjata nuklir, walaupun beberapa analis Amerika berpendapat belum ada bukti yang jelas kalau memang para pemimpin Iran sedang melakukan uji coba senjata nuklir, ataupun memiliki kemampuan untuk melakukan uji ledakan senjata nuklir bawah tanah. Sementara para pembuat kebijakan dan para analis Turki memiliki pendapat yang berbeda dengan Amerika Serikat, mereka berpendapat bahwa belum ada bukti serta alasan yang kuat kalau Iran akan memiliki kemampuan membangun senjata nuklir dalam waktu dekat.

Dari perbedaan pandangan ini akhirnya sikap kedua negara memiliki pendapat yang berbeda tentang cara penyelesaian persoalan nuklir iran. Amerika Serikat berpendapat bahwa dengan memberikan sanki dan memperberat sanki yang telah ada sebelumnya dapat menyelesaikan persoalan ini. Pendapat berbeda


(21)

8 diberikan para pemimpin Turki, menurut mereka cara menyelesaikan persoalan nuklir Iran yang paling efektif adalah dengan membangun lingkungan yang kooperatif dan diplomatis dengan Iran, serta mempererat hubungan dan kerjasama ekonomi. Hal ini akan membuat Iran tertarik untuk bekerjasama dengan dunia internasional dalam penyelesaian persoalan nuklir di negaranya. (Bleek dan Stein, 2012:28)

Sikap berbeda yang ditunjukan oleh Turki ini disebabkan oleh kepentingan Turki terhadap energi nuklir.Turki berusaha untuk menjaga dan mempertahankan akses terhadap teknologi nuklir sipil untuk memenuhi suplai kebutuhan energi negaranya yang terus mengalami peningkatan, serta untuk mengurangi ketergantungan Turki terhadap energi dari Asing. Turki khawatir dan waspada terhadap upaya Amerika Serikat untuk mempererat kontrol derhadap ekspor teknologi nuklir, dan sikap Amerika Serikat terhadap persoalan nuklir Iran yang terlalu berlebihan dikhawatirkan ke depannya dapat mengganggu akses Turki terhadap teknologi nuklir sipil (Bleek dan Stein, 2012:28)

Karena adanya perbedaan tersebut maka Bleek dan Stein (2012:34) berpendapat bahwa kedua negara, yaitu Amerika Serikat dan Turki sangat butuh dialog yang dilakukan secara intens untuk menyatukan pendapat tentang apa yang sedang terjadi di Iran serta apa yang sedang Iran lakukan dengan pengembangan nuklirnya, serta langkah apa yang seharusnya mereka ambil. Hal ini diperlukan untuk memperkecil dan menghilangkan perbedaan pandangan kedua negara terkait isu nuklir Iran.


(22)

9 Penelitian yang telah dilakukan Bleek dan Stein memang menjelaskan tentang perbedaan pandangan kedua negara, yaitu Amerika Serikat dan Turki terkait isu nuklir Iran. Tapi dalam penelitian itu tidak menyebutkan secara spesifik penyebab serta alasan Turki menolak Resolusi 1929 DK PBB, dan itulah yang akan dilaukan dalam penelitian ini, menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan Turki menolak Resolusi 1929 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).

E. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan elemen yang sangat penting dalam sebuah penelitian, karena lewat kerangka teori inilah kerangka berpikir bisa dibentuk.Kerangka berpikir ini terdiri dari teori dan konsep yang menjadi acuan serta panduan untuk menganalisis permasalahan yang terjadi.Kerangka teori ini merupakan syarat agar penelitian yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Penelitian ini akan menggunakan konsep kepentingan nasional, serta teori analisa kebijakan luar negeri.

Perspektif utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif realisme. Relisme memandang struktur internasional yang ada merupakan struktur yang anarki, dimana tidak ada kekuasaan tertinggi di atas negara, sehingga hal ini memunculkan perasaan ketidakamanan bersama antar negara karena tidak ada otoritas politik yang lebih tinggi yang dapat mengatur negara.Kondisi ini membuat prioritas politik luar negeri negara-negara adalah memenuhi kepentingan nasionalnya (Hara 2011:35-37).


(23)

10 Realisme juga memandang negara sebagai aktor yang rasional, jadi apapun tindakan yang dilakukan, apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu negara, merupakan hasil dari pertimbangan dan kalkulasi kekuatan, kelemahan, serta untung rugi yang akan didapatkan demi memenuhi kepentingan nasionalnya. (Mingst2008:64). Oleh karena itu, sebagai aktor yang rasional negara akan melakukan segala tindakan agar bisa survive dalam tatanan dunia internasional yang anarki. Selain itu, dalam struktur yang anarki setiap negara harus bisa menolong dirinya sendiri dan tidak terlalu bergantung ke negara lain.

1. Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional merupakan landasan dalam setiap keputusan yang diambil oleh negara.Keputusan apapun yang diambil oleh negara, selalu memikirkan kepentingan nasional bagi negaranya.Oleh karena itu, apabila ingin mengetahui dasar dari pengambilan keputusan yang dilakukan oleh suatu negara, maka kita dapat mengetahuinya dengan menganalisis kepentingan nasional yang ingin mereka capai.Kepentingan nasional sangat penting untuk dianalisis ketika ingin mengetahui motif di balik suatu kebijakan yang diambil oleh suatu negara, karena kepentingan nasional merupakan dasar dari setiap keputusan yang diambil oleh seuatu negara, termasuk keputusan penentuan kebijakan luar negeri (Pearson dan Rochester1992:177).

Ada tiga kepentingan dasar yang dimiliki oleh setiap negara, dan kepentingan ini menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan dalam setiap keputusan yang mereka ambil:


(24)

11 (1) Memastikan keamanan negaranya, termasuk didalamnya memastikan perlindungan terhadap kelangsungan hidup warga negara serta mempertahankan teritorial dan integritas wilayah yang dimiliki. (2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga negara. (3) Melestarikan dan menjaga ketahanan nasional yang merupakan dasar dari sistem pemerintahan suatu negara dan perilakunya di lingkungan internasional (Pearson dan Rochester 1992:177-178).

Menurut Paul Seaubry seperti yang dikutip oleh Holsti (1987:176) konsep kepentingan nasional mengacu pada sejumlah perangkat ideal dari tujuan nasional suatu bangsa sebagai dasar dari pelaksanaan hubungan luar negeri yang dilakukan oleh negara tersebut. Lebih lanjut Paul Seaubry juga berpendapat bahwa kepentingan nasional merupakan tujuan nasional suatu bangsa yang akan diraih dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu kerjasama apapun yang terbentuk antar negara memiliki dasar untuk mencapai kepentingan nasionalnya, dengan tanpa mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

Istilah atau konsep kepentingan nasional sering digunakan untuk menunjukan serta menganalisa tujuan nasional suatu negara (Holsti 1987:176).Kepentingan nasional suatu negara bisa digambarkan menurut tujuan nasionalnya dalam jangka pendek, tujuan jangka menenengah, serta tujuan jangka panjang (Holsti 1987:177-195).Tujuan jangka pendek merupakan usaha untuk melakukan perlindungan diri.Definisi dari usaha melakukan perlindungan diri ini sangat luas, tapi secara umum tujuannya adalah untuk meningkatkan pertahanan di wilayah negara sendiri serta menjaga kestabilan wilayah sekitar negaranya.


(25)

12 Selain meningkatkan pertahanan, juga untuk mempertahankan keadaan politik, ekonomi, serta keadaan sosial di wilayah teritorialnya (Holsti 1987:183-184)

Tujuan jangka menengah menurut Holsti terbagi dalam 3 kategori.Kategori pertama adalah usaha untuk meningkatkan kesejahteraan sosial serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negaranya.Kategori kedua adalah usaha untuk meningkatkan prestise negaranya. Hal ini bisa dilakukan dengan menginkatkan kemampuan militer, kemajuan ekonomi, serta perkembangan ilmu pengetahuan. Kategori ketiga adalah perluasan pengaruh. Perluasan pengaruh ini dilakukan terhadap negara-negara yang ada di sekitar kawasan ataupun yang ada di kawasan lain, seperti dengan cara menguasai sumber daya alam suatu negara, yang menyebabkan terjadinya perluasan pengaruh, ataupun perluasan pengaruh ideologi. Sementara kategori ketiga adalah kategori jangka panjang.Tujuan jangka panjang ini merupakan pembentukan sistem politik yang bersifat internasional dan universal, melalui suatu perencanaan yang matang, seperti contohnya konsep "Tata Dunia Baru" yang diusung Hitler untuk menggambarkan tujuan jangka panjang Jerman pada masanya.Ataupun contoh lainnya konsep demokrasi yang menjadi tujuan jangka panjang negara-negara barat seperti Amerika Serikat.(Holsti 1987:187-195).

2. Analisa Kebijakan Luar Negeri

Analisa kebijakan luar negeri merupakan hal yang penting untuk diteliti ketika ingin mengetahui motif dari suatu tindakan yang dilakukan oleh negara terhadap negara lain. Holsti mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai berikut:


(26)

13 Kebijakan luar negeri merupakan tindakan atau ide yang dirancang oleh para pembuat kebijakan untuk memecah suatu masalah atau melancarkan perubahan dalam lingkungan, yaitu dalam kebijakan, sikap, atau tindakan negara atau negara-negara lain. (Holsti 1987:135)

Sementara Menurut Pearson dan Rochester kebijakan luar negeri adalah:

Kebijakan luar negeri merupakan sekumpulan prioritas dan kebijakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan di suatu negara sebagai panduan dalam menyikpai berbagai persoalan dalam situasi yang spesifik yang mereka perjuangkan untuk mencapai tujuannya. (Pearson dan Rochester 1992: 127)

Jadi dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan kalau kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain ataupun unit politik internasional lainnya untuk mencapai suatu tujuan, dan tujuan mendasar yang ingin dicapai oleh suatu negara adalah kepentingan nasional.

Menurut Coplin ada empat faktor penentu dalam kebijakan luar negeri yang diambil suatu negara: Faktor Internasional, para pembuat kebijakan, kondisi politik dalam negeri, serta kondisi ekonomi dan militer dalam negeri (Coplin 1971:140-150).

Pertama, faktor internasional merupakan kondisi alamiah dari sistem

internasional serta hubungan suatu negara dengan aktor-aktor internasional yang pada akhirnya dapat menentukan keputusan pengambilan kebijakan luar negeri


(27)

14 suatu negara. Faktor internasional ini terbagi kedalam tiga komponen: Geografis, hubungan ekonomi, serta hubungan politik suatu negara dengan negara lain.

Kedua, para pembuat kebijakan merupakan orang-orang yang berperan

dalam merumuskan dan memutuskan suatu kebijakan, yang didalamnya terdapat proses diplomasi politik internal suatu negara, serta proses sosial juga berpengaruh dalam terbentuknya suatu kebijakan luar negeri.

Ketiga,kondisi politik dalam negeri juga menjadi salah satu faktor yang

menentukan kebijakan luar negeri suatu negara.Akan terjadi perbedaan dalam kebijakan luar negeri antara negara yang menerapkan sistem sosialis dan demokratis, antara negara yang kondisi politiknya stabil dan negara yang kondisi politiknya tidak stabil.

Keempat, kondisi militer dan ekonomi suatu negara memainkan peranan

penting dalam penetuan kebijakan politik luar negeri. Semakin kondisi ekonomi dan militer suatu negara kuat, maka posisi tawarnya dengan negara lain akan semakin tinggi

F. Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan teknik telaah dokumen. Penelitian ini akan berusaha menggambarkan, menjelaskan, mencatat, menganalisa, serta menginterpretasikan kondisi serta peristiwa dari permasalahan yang diajukan berdasarkan dokumen yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti.


(28)

15 Karena penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berusaha untuk memahami suatu fenomena dalam keadaan alamiahnya, artinya penelitian yang dilakukan langsung menggunakan telaah dokumen sebagai representasi dari kejadian nyata dari peristiwa yang sedang diteliti, tanpa perlu ada proses penelitian di dalam laboratorium, dan peneliti memaparkan hasil penelitian apa adanya tanpa memanipulasi fenomena serta kejadian yang sedang diteliti. (Sarosa 2012: 7)

Menurut Esterberg, dokumen merupakan segala bentuk materi yang tertuang dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh manusia (Ertesbeg dikutip Sarosa 2012: 61). Jadi dari definisi dokumen itu maka telaah dokumen serta tinjauan pustaka yang akan dilakukan oleh penulis adalah dengan menggunakan segala bentuk catatan yang terpercaya baik berbentuk hardcopy maupun softcopy. Dokumen itu bisa berbentuk buku yang terkait dengan permasalahan yang sedang dibahas, berita analisis, karya tulis ilmiah, artikel, jurnal-jurnal ilmiah yang membahas permasalahan terkait, undang-undang, media cetak, ataupun media online.


(29)

16

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A.Pernyataan Masalah B. Pertanyaan Penelitian

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Pustaka

E. Kerangka Teoretis 1. Kepentingan Nasional

2. Analisa Kebijakan Luar Negeri F. Metode Penelitian

G. Sistematika Penelitian

BAB II DINAMIKA HUBUNGAN LUAR NEGERI TURKIDAN

IRAN

A. Hubungan Turki – Iran Sebelum Masa Pemerintahan AKP 1. Hubungan Turki – Iran Sebelum Revolusi Islam Iran 1979 2. Hubungan Turki – Iran Setelah Revolusi Islam Iran 1979

a. Timbulnya Perbedaan Ideologi

C. Hubungan Turki – Iran Pada Masa Pemerintahan AKP

BAB III PERKEMBANGAN NUKLIR IRAN DAN RESPON DUNIA

INTERNASIONAL

A. Perkembangan Nuklir Iran

1. Sebelum Revolusi Islam Iran 1979 2. Setelah Revolusi Islam Iran 1979

B. Respon Dunia Internasional Terhadap Perkembangan Nuklir Iran


(30)

17 1. Terbentuknya EU3 dan P5+1

2. Respon PBB Terhadap Program Nuklir Iran C. Penolakan Turki Terhadap Resolusi 1929 DK PBB

BAB IV ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN

TURKIMENOLAK RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB 1929 TERKAIT NUKLIR IRAN

A. Kebijakan Luar Negeri Zero Problem PolicyPada Masa AKP B. Kerjasama Nuclear Fuel Swap

C. Kebutuhuan Energi Turki D. Kedekatan Hubungan Turki-Iran


(31)

18

BAB II

DINAMIKA HUBUNGAN LUAR NEGERI TURKI DAN IRAN

Hubungan Turki dan Iran memiliki akar sejarah yang sangat panjang, jauh sebelum kedua negara ini berdiri menjadi negara modern seperti sekarang. Turki dan Iran sudah memiliki hubungan sejak ratusan tahun lalu, tepatnya saat kedua negara masih berupa kerajaan yang dipimpin oleh Kaisar. Dalam sejarah hubungannya, keduanya mengalami periode pasang surut, mengalami periode konflik dan kerjasama, hingga sampai terbentuk hubungan Turki-Iran seperti yang kita ketahui sekarang. Pada bab ini akan fokus membahas tentang hubungan Turki-Iran sebelum dan setelah pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Hal ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan mendasar dari pola hubungan yang terjadi.

A. Hubungan Turki – Iran Sebelum Masa Pemerintahan AKP

Secara garis besar hubungan antara Turki dan Iran sebelum masa pemerintahan AKP bisa dibagi dalam dua periode yang cukup penting, yaitu periode sebelum terjadi revolusi islam Iran 1979 dan periode setelah revolusi islam Iran 1979. Sebelum terjadi revolusi islam Iran 1979 Turki dan Iran sama-sama memiliki arah politik yang sejalan tentang kecondongan mereka terhadap barat, dan hal ini berubah setelah terjadi revolusi islam Iran 1979. Pasca revolusi, arah kebijakan luar negeri Iran berubah drastis, dan hal ini berpengaruh terhadap hubungannya dengan Turki.


(32)

19

1. Hubungan Turki – Iran Sebelum Revolusi Islam Iran 1979

Sebelum terjadi revolusi islam Iran 1979, Turki dan Iran memiliki persepsi yang sama dalam menyikapi perang dingin yang sedang terjadi. Turki dan Iran lebih memilih pro Barat dan menganggap Uni Soviet sebagai ancaman. Oleh karena itu, pada 1955 kedua negara bergabung dalam Baghdad Pact. Baghdad Pact kemudian dikenal dengan Central Treaty Organization (CENTO). Tujuan utama dari CENTO untuk mencegah pengaruh Uni Soviet di Timur Tengah. Karena kesamaan persepsi saat perang dingin inilah akhirnya Turki dan Iran menjadi aliansi regional melalui CENTO (Calabrese 1998:76-77).

Kerjasama kedua negara juga semakin berkembang dengan dibentuknya

Regional Cooperation and Development (RCD) pada tahun 1964, dengan negara anggota Turki, Iran, dan Pakistan. Tujuan utama dari dibentuknya RCD adalah untuk mengingkatkan kerjasama di berbagai bidang, terutama dalam bidang sosial ekonomi. Kerjasama yang dilakukan diantara anggota RCD ini cukup luas, seperti mencakup kerjasama peningkatan layanan transportasi, kerjasama dalam pengiriman barang, meningkatkan perdagangan, menjaga keamanan dan stabilitas kawasan, mengurangi tarif pengiriman surat serta komunikasi, hingga promosi wisata (Ahmad 1969:22-23).

2. Hubungan Turki – Iran Setelah Revolusi Islam Iran 1979

Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 menjadi tantangan yang cukup besar bagi hubungan Turki-Iran. Revolusi yang dicetuskan oleh Ayatullah Khomaeni itu menimbulkan perubahan yang sangat signifikan dalam politik dalam negeri serta


(33)

20

politik luar negeri Iran. Setelah revoulusi 1979 hubungan diplomatik Iran dan Amerika Serikat terputus menyusul kasus penyanderaan terhadap staf Kedutaan Besar Amerika Serikat di Iran. Iran yang menjadi aliansi kunci Barat di Timur Tengah berubah menjadi tantangan bagi hegemoni Amerika Serikat (Ozcan dan Ozgur 2010:3).

Hal ini juga menjadi tantangan dalam hubungan Turki-Iran. Karena sebelum terjadinya revolusi 1979, baik Turki maupun Iran memiliki sikap yang sama tentang kecondongan mereka terhadap Barat. Persamaan persepsi ini juga lah yang menjadi salah satu faktor yang mempererat hubungan Turki-Iran pada masa tersebut. Dengan adanya perubahan orientasi politik luar negeri Iran, otomatis salah satu faktor yang menjadi dasar hubungan mereka telah berkurang (Sinkaya 2004:3-4)

Revolusi Islam Iran 1979 juga telah membuat 2 organisasi regional yang menaungi serta mempererat hubungan Turki-Iran bubar, yaitu Regional Cooperation and Development (RCD) yang bubar pada tahun 1979, serta Central Treaty Organization (CENTO) yang juga bubar pada tahun 1979 setelah dua negara anggotanya yaitu Iran dan Pakistan memutuskan untuk keluar. (Taghian 2012:375-376)

a. Timbulnya Perbedaan Ideologi

Revolusi islam Iran yang tejadi tahun 1979 secara tidak langsung menjadi ancaman bagi negara Turki yang menganut paham sekuler. Turki khawatir Iran yang berbatasan langsung dengan Turki tersebut menyebarkan paham islam yang


(34)

21

mereka anut pasca revolusi ke negara Turki, dan paham itu bertentangan dengan sekularisme yang dianut oleh Turki (Ozcan dan Ozgur 2010:1-2).

Sebaliknya, paham sekuler Turki juga dianggap sebagai ancaman oleh Iran yang menganut paham islam pasca revolusi. Meskipun terdapat perbedaan ideologi, strategi politik, serta munculnya ketidakpercayaan diantara kedua negara, tapi kedua negara tetap menahan diri untuk tidak memutuskan secara total hubungan diplomatik ataupun sampai pada tahap konfrontasi militer. Ditengah hubungan yang kurang harmonis pasca revolusi tersebut, baik Turki maupun Iran ternyata sama-sama memandang pentingnya kerjasama ekonomi diantara mereka. Iran melihat Turki sebagai partner yang cukup menjanjikan dalam hal ekonomi. Begitu juga dengan Turki, Turki melihat Iran sebagai partner yang cukup potensial (Calabrese 1998:77-78).

Hal ini terlihat dari kerjasama ekonomi yang mereka lakukan ketika perang Iraq-Iran terjadi pada tahun 1980 sampai tahun 1988. Volume perdagangan mereka meningkat tajam. Ekspor Turki ke Iran meningkat dari 45 juta USD di tahun 1978 menjadi 1,088 miliar USD pada tahun 1983. Begitu juga dengan impor Turki dari Iran, meningkat dari 189 juta USD di tahun 1978 menjadi 1,548 miliar USD pada tahun 1984 (Sinkaya 2004:105-106). Peningkatan Kerjasama ini terjadi karena Turki melihat peluang untuk melakukan kerjasama dalam bidang ekonomi. Iran yang sedang dalam kondisi perang membutuhkan suplai produk-produk jadi untuk kebutuhan dalam negaranya. Sebaliknya, Turki juga membutuhkan suplai minyak dan gas dari Iran.


(35)

22

Hubungan ekonomi ini lebih kepada hubungan saling menguntungkan dan mengesampingkan perbedaan ideologi serta arah politik mereka. Pada saat itu Iran yang sedang dalam keadaan perang membutuhkan suplai barang-barang kebutuhan warganya, sementara Turki membutuhkan impor minyak dari Iran. Selama perang Iran-Iraq tersebut Iran sangat bergantung pada impor Turki, dan sebagai gantinya Iran mengekspor minyak ke Turki (Ozcan dan Ozgur 2010 2010:2).

Setelah perang Iran-Iraq berakhir, terjadi situasi yang memanas antara Turki dan Iran yang diakibatkan oleh perbedaan ideologi. Gesekan ini dimulai pada tahun 1989 saat Iran mengkritik kebijakan Turki yang melarang penggunaan hijab di sekolah. Situasi ini semakin memanas hingga duta besar Iran untuk Turki Manochehr Mottaki mengatakan bahwa Iran akan mempertimbangkan untuk mengimplementasikan sanksi ekonomi terhadap Turki. Bahkan, situasi ini membuat kedua negara masing-masing menarik duta besarnya (Sinkaya 2004:55).

Pada juni 1989 Khomeini wafat, dan posisi kepemimpinan yang sebelumnya disandang Khomeini sebagai Supreme Leader digantikan oleh Ali Khamenei. Selain Supreme Leader yang berubah, posisi presiden juga berubah. Posisi Presiden yang tadinya dijabat oleh Ali Khamenei digantikan oleh Rafsanjani. Perubahan di pucuk kepemimpinan Iran ini memberikan sedikit perubahan dalam hubungan Turki dan Iran. Hubungan Turki-Iran yang cukup memanas pada tahun 1989 akibat beberapa insiden mulai dari kritik keras atas kebijakan Turki yang melarang penggunaan Hijab di Universitas dan sekolah hingga insiden penarikan


(36)

23

duta besar masing-masing negara akhirnya sedikit mereda. (Hen-Tov 2011:122-134).

Ketika Uni Soviet runtuh, banyak negara yang tadinya bergabung dengan Uni Soviet melai mendapatkan kemerdekaannya. Termasuk diantaranya enam negara dengan mayoritas penduduknya muslim, yaitu Azerbaijan, Kzakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, Turkmenistan, serta Tajikistan. Negara-negara yang baru merdeka ini disebut dengan Newly Independent Muslim States (NIMS). Turki dan Iran pun bersaing untuk bisa berperan dan memberikan pengaruh di NIMS (Sinkaya 2004:82-83).

Selain persaingan kedua negara di NIMS pada periode awal 1990an, kedua negara juga mengalami ketegangan terkait kerjasama militer yang dilakukan oleh Turki dengan Israel pada April 1997. Turki berpendapat bahwa kerjasama tersebut tidak lain hanya untuk memuluskan kepentingan Israel di timur tengah, dan ingin menciptakan permasalahan diantara Turki dan Iran. Selain itu Iran juga khawatir Israel akan menggunakan wilayah Turki sebagai basis untuk melakukan pengawasan terhadap wilayah dan juga perbatasan Iran (Dogan 2004:22). Kekhawatiran Iran ini cukup beralasan karena Turki memang berbatasan langsung dengan Iran, dan Iran juga sedang bermusuhan dengan Israel.

Meskipun kedua negara sering terlibat ketegangan yang diakibatkan oleh perbedaan ideologi dan juga pandangan politik, tapi mereka sama-sama melihat pentingnya kerjasama yang saling menguntungkan diantara kedua negara, terutama kerjasama dalam bidang ekonomi.


(37)

24

Contohnya, seperti perjanjian pembelian gas yang dilakukan oleh Turki dengan Iran pada tahun 1996. Kontrak pembelian gas ini merupakan kontrak jangka panjang selama 20 tahun dengan nilai kontrak sebesar USD 23 milar, termasuk di dalamnya pembangunan jalur pipa gas antara Tabriz dan Ankara. Kerjasama yang dilakukan ini merupakan salah satu langkah penting Turki untuk mengatasi kebutuhan energi negaranya, dan juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap Rusia yang menyuplai 75% kebutuhan Turki (Calabrese 1998:83-84). Jadi meskipun terjadi perbedaan pandangan politik dan ideologi diantara kedua negara, tapi Turki dan Iran sama-sama melihat pentingnya kerjasama yang saling menguntungkan diantara kedua negara yang saling berbatasan ini.

B. Hubungan Turki – Iran Pada Masa Pemerintahan AKP

Partai Keadilan dan Pembangungan (Adalet ve Kalkinma Partisi) atau yang biasa disingkat AKP merupakan partai yang beridiri pada Agustus 2001. Partai ini merupakan pecahan partai yang digagas kalangan islamis sebelumnya, yaitu Partai Kebajikan (Fezilet Partisi) yang dibubarkan oleh mahkamah konstitusi pada tahun 2001. Pembubaran ini dilakukan dengan alasan bahwa Partai Kebajikan (FP) merupakan kepanjangan kepentingan politik Partai Refah (RP), partai yang sebelumnya telah dibubarkan pada Januari 1998 dengan alasan adanya ancaman politik islam dari RP atas sekularisme yang dianut oleh Turki (Dzakirin 2012:20-23).


(38)

25

Setelah FP dibubarkan, kalangan islamis yang berada di partai itu terpecah menjadi dua golongan dan akhirnya mendirikan dua partai yang berbeda, yaitu Partai Kebahagiaan (Saadet Partisi) dan Partai Keadilan dan Pembangunan (Adelet ve Kalkinma Partisi). Kedua partai yang baru berdiri ini kemudian mengikuti pemilu yang diadakan pada 3 November 2002 dan bersaing dengan 16 partai lainnya. Secara mengejutkan AKP memperoleh 10 juta suara lebih dengan presetase 34% dari total suara yang ada, sekaligus menjadi pemenang pemilu. Sementara RP hanya mendapatkan 700 ribu lebih suara dengan presentase 2.48% dari seluruh suara yang ada (Dzakirin 2012:32-36).

Dengan hasil pemilu tersebut maka Turki resmi dipimpin oleh pemerintahan dari partai AKP pada November 2002. Sejak saat itu kebijakan luar negeri Turki mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perubahan arah kebijakan luar negeri ini juga sangat berpengaruh terhadap pola hubungan luar negeri antara Turki dengan Iran. Gesekan yang diakibatkan oleh perbedaan pandangan politik dan ideologi perlahan mulai diatasi.

Permasalahan serta gesekan yang terjadi diantara kedua negara, yang selama ini menghambat peningkatan kerjasama, perlahan mulai dicari jalan keluarnya. Permasalahan yang terjadi antara Turki dan Iran sering muncul akibat adanya perbedaan ideologi diantara kedua negara. Turki menganut ideologi sekular, dan Iran menganut ideologi revolusi islam. Turki khawatir ideologi serta revolusi islam yang dianut Iran berusaha untuk disebarkan ke negara-negara tetangganya, termasuk juga Turki. Kekhawatiran Turki ini terlihat dari pernyataan beberapa pejabat tinggi Turki yang mengatakan bahwa PKK mendapat dukungan dari Iran.


(39)

26

Seperti pernyataan dari Turhan Tayan mantan menteri pertahanan Turki, dia menyatakan bahwa Iran memberikan dukungan terhadap PKK dan hal itu sudah dikonfirmasi oleh pihak yang berwenang dalam banyak kesempatan (Aras 2001:109). Dukungan yang dilakukan oleh Iran ini berupa membiarkan berdirinya markas-markas PKK di wilayahnya, seperti markas PKK di Dar Khala, Haj Umar, Benchul, Mandali, maupun Sirabad.

Bahkan seorang ahli, Ali Koknar menyatakan bahwa pada tahun 1995 PKK mengakomodir sekitar 1200 anggotanya di wilayah yang termasuk dalam teritori Iran, tersebar dalam 50 tempat yang berbeda (Cagaptay dan Yegenoglu 2006). Turki berpendapat bahwa salah satu cara yang digunakan Iran untuk menyebarkan revolusi islamnya ke Turki adalah dengan memberikan dukungan terhadap PKK, hal ini dilakukan Iran untuk menimbulkan kekisruhan dan juga untuk melemahkan keamanan Turki.

Setelah AKP menjabat dan melakukan berbagai pendekatan terkait permasalahan PKK, akhirnya permasalahan ini menemukan titik terang setelah Iran mengakui dan menyamakan persepsi dengan Turki yang menganggap bahwa PKK merupakan organisasi terorisme pada tahun 2004. Sebelumnya Iran tidak pernah mau menyebut dan mengakui bahwa PKK merupakan kelompok teroris (Ehteshami dan Suleyman 2011:653-654).

Hubungan ekonomi diantara kedua negara juga mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini terlihat dari volume perdagangan yang meningkat cukup tajam setelah AKP menjabat. Pada tahun 2000 volume perdagangan antara Turki


(40)

27

dan Iran mencapai USD 1 miliar, dan pada tahun 2005 menyetuh angka USD 4 miliar. Pada tahun 2008 Turki menjadi mitra dagang Iran terbesar kelima dengan volume perdagangan mencapai USD 10 miliar (Ehteshami & Suleyman 2011:653-654).

Dengan terus meningkatnya volume perdagangan diantara kedua negara pasca AKP menjabat, akhirnya Iran menjadi partner dagang terbesar Turki di wilayah timur tengah. Pada tahun 2001, volume perdagangan Turki dengan Iran sebesar 19% dari total volume perdagangan Turki dengan seluruh negara di timur tengah, dan meningkat menjadi 34% pada tahun 2006 (Demiryol 2013: 118). Kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh Turki pada masa kepemimpinan AKP ini membuat hubungan kedua negara semakin erat.


(41)

28

BAB III

PERKEMBANGAN NUKLIR IRAN DAN RESPON DUNIA

INTERNASIONAL

A. Perkembangan Nuklir Iran

Apabila dilihat dari sejarah perkembangannya, nuklir Iran memang sudah berjalan cukup lama.Perkembangan Nuklir Iran mengalami kondisi pasang surut, yang diakibatkan oleh perubahan situasi politik dalam negeri serta perubahan peta geopolitik di kawasan tersebut.

1. Sebelum Revolusi Islam Iran 1979

Pada masa awal perkembangannya, teknologi nuklir Iran mendapat dukungan dari Amerika serikat.Pada waktu itu Amerika Serikat masih memiliki hubungan bilateral yang sangat baik dengan Iran.Bahkan langkah awal perkembangan teknologi nuklir di Iran merupakan hasil dari penandatanganan perjanjian kerjasama dengan Amerika Serikat pada tahun 1957 (Cordesman dan Al-Rodhan 2006:20-21). Dari hasil kerjasama dengan Amerika Serikat tersebut, berdiri Tehran Nuclear Research Center (TNRC) pada tahun 1967, dengan 5 megawatt disuplai dari Amerika Serikat (Sahimi 2003).

Ketika Non Proliferation Treaty (NPT) digulirkan pada 1 Juli 1968, Iran merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian tersebut. Perjanjian


(42)

29

NPT mulai efektif diberlakukan pada tanggal 5 maret 1970 secara serentak bagi negara-negara yang telah menandatangani dan meratifikasinya, dan Iran termasuk diantara negara-negara tersebut (Cordesman dan Al-Rodhan 2006: 21). Dengan diberlakukannya perjanjian NPT ini, maka Iran sebagai negara yang tidak memiliki senjata nuklir memiliki hak penuh untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai, salah satunya adalah untuk tujuan sipil sebagai pembangkit energi listrik.

Untuk melakukan pengembangan teknologi nuklir ini Iran kemudian mendirikan Atomic Energy Organization of Iran (AEOI) pada tahun 1974.Untuk meningkatkan kemampuan teknologi nuklirnya, Iran melakukan serangkaian kerjasama dengan negara-negara yang sudah memiliki kemampuan energi nuklir yang memadai. Diantaranya, pada tahun 1974 Iran bergabung dengan empat negara lain yaitu Prancis, Italia, Spanyol, dan Beliga membuat sebuah fasilitas pengayaan uranium di Prancis yang bernama Eurodif (Meier 2006).

Pada tahun 1974, Iran juga bekerjasama dengan Jerman untuk membangun 1.200 megawatt reaktor nuklir di Bushehr (Sahimi 2003).Kemudian, bekerjasama dengan Prancis untuk pengadaan 900 megawatt reaktor nuklir di Bandar-e Abbas. Bekerjasama dengan India senilai USD 1 Miliar pada tahun 1975, maupun melakukan pembelian yellowcakes dari Afrika Selatan senilai USD 700 juta (Cordesman dan Al-Rodhan.2006: 21-22).

Selain kerjasama dalam membangun fasilitas dan pengembangan teknologi nuklir, Iran juga melakukan kerjasama pelatihan tenaga ahli nuklir.


(43)

30

Diantaranya,kerjasama dengan Prancis dalam pelatihan 350 ahli nuklir Iran pada tahun 1975, serta kerjasama dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT) (Cordesman dan Al-Rodhan.2006: 23). Pada masa sebelum revolusi islam Iran terjadi, perkembangan teknologi nuklir yang terjadi di Iran banyak dibantu oleh negara yang sudah memiliki teknologi nuklir, bahkan dibantu oleh negara-negara yang sudah memiliki senjata nuklir, seperti Jerman, Prancis, bahkan Amerika Serikat.

2. Setelah Revolusi Islam Iran 1979

Setelah revolusi islam Iran pada tahun 1979, terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam arah kebijakan politik dalam negeri dan juga politik luar negeri Iran. Perubahan kebijakan ini juga berpengaruh terhadap proses perkembangan nukir Iran. Iran yang tadinya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Amerika Serikat, justru menjadi bermusuhan.Setelah revolusi ini, Amerika Serikat menghentikan seluruh kerjasamanya dengan Iran, termasuk juga kerjasama pengembangan teknologi nuklir.

Pada masa awal setelah revolusi islam Iran 1979 terjadi, Iran menghentikan proyek pengembangan teknologi nuklirnya. AEOI yang merupakan lembaga penanggung jawab pengembangan teknologi nuklir Iran menghentikan sementara aktifitasnya (Cordesman dan Al-Rodhan 2006:24).Kesepakatan dengan Prancis untuk pembangunan fasilitas nuklir di Darkhovin dibatalkan.Jerman juga membatalkan kerjasamanya dengan Iran dalam pembangunan fasilitas nuklir Bushehr (Nikou 2014).


(44)

31

Pada tahun 1984 Iran kembali melanjutkan proyek pengembangan teknologi nuklirnya. Karena tidak lagi bisa bekerjasama dengan Amerika Serikat, Jerman, maupun Prancis, maka Iran mencari alternatif negara lain. China dan Rusia menjadi negara pilihan Iran untukbekerjasama dalam melanjutkan proyek pengembangan teknologi nuklirnya yang sempat terhenti (Cordesman dan Al-Rodhan 2006:25).

Selain Rusia dan China, Pakistan juga merupakan pihak yang sangat berperan dalam proses pengembangan teknologi nuklir Iran. Melalui jaringan Mr. Khan, ahli nuklir asal Pakistan, Iran mendapatkan desain mesin centrifuge P-1 dan P-2 yang merupakan mesin utama yang digunakan untuk proses pengayaan uranium (Smith dan Warrick 2010).

Setelah terus berusaha untuk mengembangkan kemampuan teknologi nuklirnya, akhirnya Iran mulai memiliki kemampuan yang sangat mumpuni, bahkan banyak pihak seperti Amerika Serikat dan Israel menyebut bahwa Iran sedang mengembangkan senjata nuklir. Pada masa-masa awal pengembangannya, Iran hanya memiliki teknologi pembangkit listrik nuklir, dan bahan bakar yang dibutuhkan untuk menjalankan pembangkit listrik itu, yang berupa uranium yang sudah diperkaya (U-235) antara 3%-5%, di datangkan dari luar terutama dari China dan Rusia (IAEA 2003).

Seiring dengan perkembangan teknologi nuklir yang dicapai Iran, akhirnya Iran mulai mampu untuk memproduksi sendiri seluruh proses yang diperlukan. Mulai dari proses tambang uranium mentah, hingga proses akhir berupa proses


(45)

32

pengayaan uranium sampai bisa digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir. Negara-negara barat khawatir dengan kemampuan nukir Iran yang terus berkembang, bahkan Iran sudah mampu dan mulai memproduksi uranium yang diperkaya sampai level 20% pada Februari 2010 (Kerr 2012:17).

B. Respon Dunia Internasional Terhadap Program Nuklir Iran

Program pengembangan nuklir Iran mulai menjadi perhatian dunia internasional secara luas sejak tahun 2002 ketika National Council of Resistance of Iran (NCRI), sebuah kelompok oposisi di Iran, mengungkapkan kepada publik internasional dalam sebuah konferensi pers di Washington DC tentang 2 fasilitas nuklir rahasia Iran yang selama ini tidak diketahui oleh publik. Fasilitas tersebut yaitu fasilitas nuklir di Natanz yang dibangun untuk fasilitas pengayaan uranium, dan Heavy Water Research Reactor di Arak (Nuclear Control Institut 2006).

Selain mengungkapkan fasilitas Natanz dan Arak, pada 20 Februari 2003 NRCI juga mengungkapkan proyek rahasia Iran di Kayale Electric Company, sebuah perusahaan yang terdaftar sebagai perusahaan pembuat jam. Berita itu di muat di media-media besar internasional seperti Washington Post dan Reuters (Nuclear Control Institut 2006).Menanggapi hal ini, IAEA kemudian melakukan kunjungan ke Iran untuk melakukan inspeksi tentang laporan tersebut.

Dari hasil inspeksi tersebut IAEA menemukan 2 tipe uranium yang sudah diperkaya saat melakukan penelitian dari sampel lingkungan yang diambil di fasilitas Natanz.Menanggapi hasil temuan ini, IAEA kemudian menerbitkan sebuah resolusi pada tanggal 12 September 2003.IAEA juga menekan Iran agar


(46)

33

melaporkan semua aktifitas pengayaan uraniumnya, baik itu berupa pembangunan fasilitas, pengadaan bahan yang berhubungan dengan aktifitas tersebut, hingga berbagai aktifitas terkait yang belum dilaporkan ke IAEA.Dalam resolusi ini juga IAEA menekan Iran agar menangguhkan semua aktifitas yang berhubungan dengan pengayaan uranium.IAEA memberikan waktu kepada Iran hingga 31 Oktober 2003 untuk melaksanakan resolusi tersebut (IAEA 2003:2-3).

Menanggapi resolusi tersebut, Iran menyatakan bahwa langkah yang diambil oleh IAEA tersebut merupakan langkah unilateral yang berbungkus multilateralisme.Secara resmi Iran menolak resolusi yang dikeluarkan oleh IAEA tersebut (Aghazadeh 2003: 1-2).

1. Terbentuknya EU3 dan P5+1

EU3 merupakan kelompok negara yang terlibat dalam perundingan dengan Iran terkait dengan program nuklirnya.Terdiri dari tiga negara, yaitu Jerman, Prancis, dan Inggris.EU3 terbentuk pada September 2003, saat para pembuat kebijakan di negara tersebut menilai Iran tidak kooperatif dengan inspeksi serta perundiangan dengan IAEA (Cordesman & Al-Rodhan 2006:35).Ketiga negara tersebut berinisiatif untuk bergabung dalam upaya melakukan negosiasi untuk mencari jalan keluar dari persoalan nuklir Iran.Walaupun pada awalnya Iran menolak keberadaan EU3 sebagai negosiator penyelesaian masalah nuklirnya, namun pada akhirnya Iran mau untuk untuk melakukan perundingan dengan menteri luar negeri ke 3 negara tersebut (Cordesman dan Al-Rodhan


(47)

34

2006:35).Perundingan tersebut dilaksanakan pada 21 Oktober 2003 atas undangan dari pemerintah Iran.

Dari hasil perundingan yang dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober 2003 terjadi kesepakatan antara Pemerintah Iran dan EU3.Kesepakatan itu dikenal dengan Tehran Declaration. Dalam kesepakatan tersebut ada 3 hal penting yang Iran sepakati, yaitu kesediaan Iran untuk bekerjasama secara penuh dengan IAEA, menandatangani dan melaksanakan protokol tambahan IAEA, serta secara sukarela menghentikan sementara proses pengayaan uranium yang dilakukannya (nuclearenergy.ir). Setelah terjadinya kesepakatan dalam Tehran Declaration, kemudian Iran dan EU3 melakukan berbagai perundingan dan juga kesepakatan sepanjang tahun 2004-2005.

Kesepakatan tersebut antara lainBrussel Agreement pada Februari 2004. Dalam Brussel Agreement, Iran setuju untuk menghentikan produksi mesin

centrifuge, mesin yang digunakan untuk memperkaya uranium. Kemudian,Paris Agreement pada November 2004. Iran juga sepakat untuk tidak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan proses pemisahan uranium, termasuk juga pembangunan fasilitasnya (IAEA 2004:3-4). Kesepakatan yang berhasil dicapai oleh EU3 ini dapat menghentikan sementara permasalahan nuklir Iran. Iran sepakat untuk menghentikan proses pengayaan uranium yang sedang dilakukannya.

Pada tahun 2005, terjadi pergantian Presiden dari yang sebelumnya Mohammad Khatami menjadi Mahmoud Ahmadinejad, setelah Ia berhasil


(48)

35

memenangkan pemilu pada Juni 2005. Pergantian kepemimpinan ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan negosiasi yang sedang dilakukan antara Iran dan EU3.Sebab, ketika Ahmedinejad sudah menjabat, dia kembali melanjutkan pengayaan uranium yang sebelumnya dihentikan. Tepatnya pada 1 Agustus 2005 Iran mengirimkan surat pemberitahuan kepada IAEA bahwa Iran akan melanjutkan proses pengayaan uranium yang sebelumnya sempat dihentikan. Tercatat sejak tanggal 8 Agustus proses pengayaan uranium sudah kembali berjalan (IAEA 2005:1-2).

Untuk menanggapi hal ini, maka IAEA mengeluarkan resolusi pada tanggal 11 Agustus 2005 dan juga pada 24 September 2005.Kedua resolusi tersebut isinya meminta Iran untuk kembali menangguhkan seluruh aktifitas pengayaan uraniumnya secara sukarela, seperti yang telah disepakati dalam Paris Agreement

antara Iran dan EU3 (IAEA 2005:2). Otomatis dengan dilanjutkannya proses pengayaan uranium ini, Iran telah melanggar kesepakatan yang telah ditandatangani dalam Paris Agreement.

Bagi pihak IAEA dan EU3, terpilihnya Presiden Ahmedinejad memberikan efek yang negatif dalam perkembangan proses perundingan permasalahan nuklir Iran. Bahkan dengan kembali dilanjutkannya proses pengayaan uranium, maka proses negosiasi dan perundingan mengalami kemunduran.

Setelah Iran memutuskan untuk melanjutkan kembali proses pengayaan uranium yang sebelumnya sempat dihentikan, maka tiga negara lain memutuskan untuk bergabung dengan EU3 dalam proses negosiasi dengan Iran. Ketiga negara


(49)

36

tersebut adalah Amerika Serikat, China, dan Rusia. Keenam negara yang kemudian dikenal dengan P5+1 pertamakali mengadakan pertemuan pada 30 Januari 2006 untuk membahas perkembangan permasalahan nuklir Iran. Dalam pertemuan tersebut, mereka sepakat bahwa permasalahan nuklir Iran harus diserahkan ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) (Linzer 2006).

Peran nyata P5+1 dalam proses diplomasi dengan Iran dimulai pada juni 2006, ketika keenam negara yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, China, Rusia, Prancis, dan Jerman tersebut mengajukan proposal kepada Iran terkait permasalahan nuklirnya. Dalam proposal tersebut, P5+1 meminta Iran untuk menghentikan aktifitas pengayaan uraniumnya dengan tawaran beberapa insentif yang menguntungkan bagi Iran (Davenport 2014).Namun, Iran tidak memberikan jawaban yang pasti atas proposal yang diajukan tersebut.Iran tidak memberikan jawaban yang jelas apakah menerima atau menolak, hingga P5+1 menyimpulkan bahwa Iran menolak proposal tersebut.

Selanjutnya, P5+1 melaporkan permasalahan nuklir Iran tersebut ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada 12 Juli 2006.Meskipun begitu, upaya diplomasi yang dilakukan terus berlangsung. Diantaranya, pada 2008 P5+1 kembali mengajukan draft perjanjian yang merupakan revisi dari draft perjanjian yang pernah diajukan sebelumnya pada 2006. Namun, Iran memberikan balasan dengan draft perjanjian yang sama sekali tidak menyinggung perihal pengayaan uranium di negaranya (Sciolino 2008). Hingga akhirnya kedua belah pihak belum menemukan kata sepakat.


(50)

37

Proses diplomasi lain yang dilakukan P5+1 sebelum Resolusi DK PBB 1929 dikeluarkan adalah penawaran kerjasama fuel swap antara Iran, Rusia, dan Prancis. Dalam proposal yang diajukan, Iran diharuskan mengirimkan 1200 kg LEU (Low Enriched Uranium) atau uranium yang telah diperkaya antara 3,5%-5% yang dimilikinya ke Rusia untuk kemudian diproses hingga menjadi HEU (High Enriched Uranium) atau uranium yang diperkaya hingga 20%. Setelah itu HEU tersebut dikirim lagi ke Prancis untuk diproses hingga menjadi bahan bakar yang bisa digunakan untuk Tehran Research Reactor.Kemudian bahan bakar yang sudah jadi tersebut dikirim ke Iran sejumlah 120 kg (Rajiv 2010). Pada proposal perjanjian yang diajukan kali ini Iran menolak dan menyatakan bahwa mereka tidak mendapat jaminan seratus persen bahwa mereka akan mendapatkan bahan bakar yang mereka butuhkan setelah mengirimkan LEU yang mereka miliki keluar dari wilayah Iran.

2. Respon PBB Terhadap Program Nuklir Iran

Opsi untuk menyerahkan permasalahan nuklir Iran ke Dewan keamanan PBB sudah mencuat sejak tahun 2005, terutama setelah Iran melanjutkan pengayaan uranium dan melanggar kesepakatan Paris Agreement dengan EU3. Namun, realisasinya baru terjadi pada 12 Juli 2006, ketika menteri luar negeri dari P5+1 yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Rusia, China, Prancis, dan Jerman secara resmi menyerahkan permasalahan nuklir Iran ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).


(51)

38

Maka, pada 31 Juli 2006 DK PBB mengeluarkan Resolusi 1969 yang disetujui oleh 14 negara anggota tetap dan tidak tetap DK PBB, dan hanya satu negara yang menolak, yaitu Qatar. Dalam resolusi tersebut Iran diharuskan untuk menghentikan pengayaan Uraniumnya, serta bekerjasama secara kooperatif dengan IAEA terkait pengembangan teknologi nuklir yang sedang dilakukannya.DK PBB memberikan waktu hingga 31 Agustus 2006 kepada Iran untuk melaksanakan resolusi tersebut. Resolusi tersebut juga memperingatkan Iran kalau sampai batas waktu tersebut Iran tidak mematuhinya, maka DK PBB akan mengeluarkan sanksi seperti sanksi ekonomi (Security Council 2006). Menanggapi hal itu presiden Iran menyatakan bahwa Iran tidak akan tunduk dan patuh terhadap paksaan dan ancaman (BBC 2006).

Menanggapi Resolusi 1969 yang tidak dipatuhi oleh Iran, maka DK PBB pada 23 Desember 2006 mengeluarkan resolusi lanjutan, yaitu Resolusi 1737. Dalam Resolusi 1737 ini, DK PBB menekankan kepada Iran untuk mematuhi resolusi yang sebelumnya telah dikeluarkan yang mengharuskan Iran untuk menghentikan pengayaan uraniumnya. Selain itu, dalam Resolusi 1737 DK PBB juga menjatuhkan sanksi berupa larangan perdagangan dengan Iran untuk berbagai hal, baik itu barang, teknologi, pelatihan, serta hal lainnya yang berkaitan dengan pengayaan Uranium. DK PBB juga menjatuhkan sanksi kepada sejumlah individu dan kelompok yang berhubungan dengan pengayaan uranium Iran. Sanksi tersebut berupa pembekuan aset dan sumber ekonomi yang terlibat dengan proses pengayaan uranium (Security Council 2006). Lagi-lagi Iran tidak


(52)

39

mematuhi resolusi yang dikeluarkan oleh DK PBB dan tetap melanjutkan proyek pengayaan uraniumnya.

Selanjutnya DK PBB juga mengeluarkan Resolusi 1747 pada tanggal 24 Maret 2007 setelah Iran tidak melaksanakan resolusi sebelumnya sampai batas waktu yang ditentukan. Dalam Resolusi 1747 tersebut DK PBB menekankan kembali resolusi yang sudah dikeluarkan sebelumnya serta memperluas sanksi yang diberikan.

Diantaranya penambahan sejumlah 28 individu dan entitas yang diberikan sanski karena berhubungan dengan program pengayaan uranium Iran.Memperluas daftar item yang dilarang untuk diekspor maupun diimpor dari Iran, serta menghimbau agar seluruh negara waspada terhadap kemungkinan adanya pengiriman berbagai material senjata utama dan militer ke Iran. Selain itu menghimbau seluruh negara untuk tidak membuat komitmen baru dengan Iran dalam hal bantuan dana, maupun pinjaman lunak (Davenport 2012). Sama seperti resolusi-resolusi sebelumnya, dalam resolusi ini juga Iran tidak melaksanakan apa yang diperintahkan.

Setahun kemudian DK PBB kembali mengeluarkan resolusi untuk permasalahan nuklir Iran.Pada tanggal 3 Maret 2008 Resolusi 1803 resmi dikeluarkan.Dalam Resolusi 1803 DK PBB menekankan Iran untuk mematuhi 3 resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya.Selain itu dalam resolusi ini juga terdapat sanki baru berupa himbauan kepada seluruh negara untuk mencegah


(53)

40

masuk atau transitnya sejumlah individu yang telah disebutkan dalam resolusi terlibat dalam pengayaan uranium Iran kedalam wilayah negara mereka.

Selain itu, DK PBB juga mendorong seluruh negara untuk memeriksa kargo yang berasal dan akan ke Iran yang menggunakan berbagai moda transportasi baik udara, darat, maupun laut yang menggunakan persahaan transportasi milik Iran. Pemeriksaan tersebut boleh dilakukan apabila ada indikasi dan bukti bahwa kargo tersebut dicurigai berhubungan dengan program pengayaan uranium Iran.Selain itu dalam resolusi ini juga menambah daftar individu yang dikenakan sanksi pembekuan aset dan larangan perjalanan (Davenport 2012).

Masih di tahun yang sama, tepatnya pada 27 September 2008 DK PBB mengeluarkan Resolusi 1835. Tidak seperti tiga resolusi sebelumnya yang menerapkan sanksi baru terhadap Iran, pada Resolusi 1835 ini DK PBB hanya menegaskan kembali kepada Iran agar mematuhi semua resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya, yaitu Resolusi 1969, Resolusi 1737, Resolusi 1747, serta Resolusi 1803 (Security Council 2008:1).

Dari semua resolusi yang telah dikeluarkan tersebut, tidak ada satupun yang dipatuhi oleh Iran, hingga kemudian hal ini memicu DK PBB untuk mengeluarkan Resolusi 1929 pada 9 Juni 2010. Resolusi ini resmi dikeluarkan setelah melalui proses voting dengan 12 jumlah negara pendukung, 2 negara menolak, dan satu negara Abstain. Turki dan Brazil merupakan negara yang menolak, dan Lebanon sebagai negara yang Abstain.


(54)

41

Selain menegaskan kembali resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya, Resolusi 1929 juga menerapkan sanksi tambahan terhadap Iran. Sanksi tambahan tersebut berupa embargo senjatan secara penuh terhadap Iran, sanksi finansial berupa larangan untuk membuka cabang di negara Iran bagi perusahaan finansial seperti bank, serta sebaliknya dilarang untuk memberikan izin kepada bank-bank serta perusahaan Iran untuk membuka cabang di negara lain. Negara di dunia juga dilarang untuk melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan, baik itu berupa transfer, maupun asuransi dari dan ke Iran, apabila hal tersebut berkaitan dengan proyek pengayaan uranium Iran (Security Council 2010:4-7).

Dalam menyelesaikan permasalahan nuklir Iran, dunia internasional yang diwakili oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam P5+1 menerapkan dual-track approach.Dual-track approach tersebut berupa proses diplomasi yang dilakukan oleh EU3 dan kemudian P5+1 dengan berbagai tawaran insentif terhadap Iran dengan harapan Iran mau untuk bekerjasama dengan IAEA dan menghentikan proses pengayaan uraniumnya. Serta tekanan dunia internasional berupa sanksi yang dikenakan terhadap Iran melalui resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

C. Penolakan Turki Terhadap Resolusi 1929 DK PBB

Pada 9 Juni 2010, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) kembali mengeluarkan resolusi untuk permasalah nuklir Iran. Resolusi tersebut bernama Resolusi 1929, dan resmi dikeluarkan setelah melalui proses


(55)

42

Resolusi 1929 berisi penegasan kembali terhadap resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya serta penambahan sanksi baru berupa Embargo senjata secara penuh, pelarangan investasi dalam segala hal yang berkaitan dengan pengayaan uranium dan teknologi misil, serta sanksi finansial dan larangan perjalanan terhadap entitas serta individu yang diduga berkaitan dengan program nuklir Iran (Davenpot 2014).

Turki yang pada saat dikeluarkannya resolusi tersebut termasuk anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB memiliki hak untuk menerima ataupun menolak. Pada saat voting yang dilakukan oleh negara-negara anggota DK PBB dengan tegas Turki menolak Resolusi 1929 yang dikeluarkan DK PBB tersebut. Selain Turki, Brazil juga ikut menolak Resolusi 1929. Serta ada satu negara yang abstain, yaitu Lebanon. Dengan adanya penolakan dari Turki dan Brazil, maka Resolusi 1929 ini merupakan resolusi yang dikeluarkan DK PBB untuk Iran dengan dukungan terendah bila dibandingkan dengan 5 resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya.

Sikap Turki menolak Resolusi 1929 ini menunjukan pandangan yang berbeda antara Turki dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Eropa dalam menghadapi permasalahan nuklir Iran. Apabila AS dan Eropa lebih menekankan penerapan sanksi terhadap Iran untuk menekan Iran agar menghentikan pengayaan uraniumnya, Turki justru lebih mengutamakan penyelesaian melalui jalur perdamaian, terutama jalur perundingan dan kerjasama.Turki menganggap bahwa negaranya merupakan negara yang ideal


(56)

43

sebagai Channel bagi P5+1 dalam melobi Iran untuk lebih kooperatif dalam upaya menyelesaikan persoalan nuklirnya.

Sikap Turki yang menolak Resolusi 1929 ini bukan berarti Turki setuju dengan upaya Iran untuk mengembangkan senjata nuklir. Terkait pengembangan senjata nuklir, baik Turki maupun pihak Barat memiliki pandangan yang sama tentang ketidak setujuan mereka. Hanya saja Turki memiliki pandangan yang berbeda tentang upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut.


(57)

44

BAB IV

ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN

TURKI MENOLAK RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB

1929 TERKAIT NUKLIR IRAN

Ada empat faktor yang menjadi penyebab Turki menolak Resolusi 1929 yang dikeluarkan PBB terkait nuklir Iran pada tahun 2010. Keempat faktor tersebut adalah: Kebijakan luar negeri zero problem policy yang dianut Turki dalam masa pemerintahan AKP; Kerjasama Nuclear Fuel Swap yang dilakukan oleh Iran, Turki, dan Brazil tiga minggu sebelum Resolusi 1929 dikeluarkan; Kebutuhan energi Turki yang besar; Serta kedekatan hubungan bilateral antara Turki dan Iran.

A. Kebijakan Luar Negeri Zero Problem Policy Pada Masa AKP

Kebijakan luar negeri Turki pada masa kepemimpinan AKP merupakan buah pemikiran dari salah seorang akademisi Turki, Ahmet Davutoglu, yang kemudian diangkat menjadi Menteri Luar Negeri saat AKP mulai berkuasa. Konsep Strategic Depth yang kemudian dianut oleh pemerintahan AKP mengacu pada pemikiran Ahmet Davutoglu dalam karyanya yang berjudul Stratejik Derinlik, Türkiye’nin Uluslararasý Konumu (Strategic Depth, Turkey’s

International Position), yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Turki pada tahun 2001 (Dzakirin 2012: 154-159).


(58)

45

Ide utama dari konsep strategic depth ini menekankan kepada posisi geostrategis dan akar sejarah Turki sebagai nilai lebih Turki dalam kancah politik Internasional. Secara geostrategis, posisi Turki cukup potensial karena memiliki selat Bhosporus yang menghubungan Eropa dan Asia. Dari sisi sejarah, Turki dianugerahi warisan kekaisaran Ottoman yang sangat gemilang pada masanya dan pernah menyatukan dunia muslim. Sehingga Dvutoglu berpendapat bahwa Turki sangat potensial untuk menjadi muslim regional power (Walker 2007:33). Melalui konsep strategic depth, Turki yang selama ini dikenal sebagai jembatan serta halangan antara Timur Tengah dan Eropa, kini berubah menjadi katalis yang dapat menghubungkan kedua belah pihak (Walker 2007:37).

Konsep strategic depth menganjurkan untuk mencari penyeimbang dari ketergantungan Turki ke pihak Barat. Caranya adalah dengan memaksimalkan hubungan yang baik dengan negara-negara lain, sehinga bisa terbentuk aliansi yang akan menjadi penyeimbang kekuatan (Walker 2007:34). Yang menjadi dasar pemikiran dari pendapat ini adalah sebuah negara akan semakin tidak independen apabila negara tersebut hanya bergantung kepada satu pihak ataupun beberapa pihak saja. Oleh karena itu, semakin banyak hubungan baik dan relasi yang terbentuk dengan negara lain, sebuah negara akan semakin besar untuk mengoptimalkan independensinya, dan akan memiliki keuntungkan lebih dalam ranah politik Internasional.

Oleh karena itu, Turki tidak boleh hanya bergantung kepada satu atau segelintir negara saja, dan harus terus secara aktif mencari hubungan baik dengan sebanyak-banyaknya negara. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi penyeimbang


(59)

46

hubungan yang pada akhirnya Turki akan bisa mempertahankan independensinya secara maksimal (Walker 2007:34).

Untuk mendapatkan peran yang lebih besar dan strategis dalam dunia Internasional melalui prinsip strategic depth, Davutoglu berpendapat setidaknya ada 2 kondisi yang sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya tujuan tersebut tercapai. Pertama, kondisi politik domestik yang stabil. Kedua, Turki harus menyelesaikan semua persoalan dengan negara-negara tetangganya, oleh karena itu Davutoglu memperkenalkan zero problem policy atau kebijakan nol masalah dengan negara-negara tetangga Turki (Dzakirin 2012: 161-162). Oleh sebab itu, orientasi kebijakan luar negeri Turki terhadap negara-negara tetangganya pada masa pemerintahan AKP adalah membina hubungan baik, mempererat hubungan, dan menyelesaikan segala permasalahan yang ada.

Maka dari itu, hubungan Turki dengan Iran yang merupakan negara tetangga yang berbatasan langsung, menjadi salah satu perhatian utama pemerintahan AKP. Turki berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi serta berusaha untuk semakin mempererat hubungan bilateral keduanya. Turki juga terus memelihara hubungan baik yang senantiasa mengalami peningkatan sejak AKP menjabat.

Permasalahan nuklir Iran merupakan permasalahan yang sangat sensitif bagi Iran. Turki menyadari hal itu, oleh karena itu dengan basis zero problem policy


(60)

47

Serikat. Turki mengakui hak Iran selaku negara yang sudah menandatangani perjanjian NPT untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk keperluan damai.

Dalam proses penyelesaian permasalahan nuklir Iran yang terus memanas, Turki memandang bahwa penyelesaian dengan kekerasan dan pemberian sanksi bukanlah solusi. Turki lebih mengutamakan penyelesaian dengan jalan diplomasi dan kerjasama. Oleh karena itu, dengan tensi yang terus memanas antara Iran dengan Amerika Serikat dan Eropa, Turki memposisikan diri sebagai negara yang menjadi penghubung dialog serta fasilitator antara Iran dan P5+1.

Ketika Resolusi 1929 dikeluarkan DK PBB pada 9 Juni 2010 yang berisi tambahan sanksi yang akan diberikan ke Iran, Turki yang saat itu sebagai anggota tidak tetap dewan keamanan PBB memiliki kesempatan untuk menunjukan sikapnya di hadapan dunia Internasional terkait permasalahan nuklir Iran. Secara resmi Iran menolak resolusi tersebut.

Penolakan Turki terhadap Resolusi 1929 DK PBB tersebut secara umum merupakan implikasi dari konsep strategic depth yang terletak pada keleluasaan dan independensi Turki dalam merealisasikan kepentingan dan kebijakan luar negerinya (Dzakirin 2012: 165). Karena kebijakan luar negeri Turki terkait nuklir Iran sudah jelas, yaitu mendukung pengembangan nuklir Iran untuk kepentingan damai, serta mengutamakan penyelesaian masalahnya dengan jalan diplomasi dan kerjasama. Oleh karena itu, Turki menunjukan sikapnya tersebut dengan menolak Resolusi 1929 yang dikeluarkan DK PBB untuk memberikan sanksi tambahan terhadap Iran.


(61)

48

Karena Resolusi 1929 DK PBB merupakan resolusi yang berkaitan dengan Iran selaku negara tetangga Turki, maka penolakan tersebut tidak akan terlepas dari kebijakan luar negeri Turki khususnya untuk negara-negara tetangganya, yaitu zero problem policy. Penolakan Turki terhadap Resolusi 1929 ini merupakan implementasi dari kebijakan nol masalah dengan negara tetangga. Karena seandainya Turki mendukung resolusi tersebut, bukan tidak mungkin akan terjadi ketegangan antara Turki dengan Iran, karena permasalahan nuklir merupakan isu yang sangat penting dan sensitif bagi Iran. Hal ini tentu akan mempengaruhi hubungan baik yang selama ini terus dijaganya. Selain itu, dengan penolakan tersebut Turki ingin menunjukan kepada Iran bahwa Turki merupakan negara tetangga sekaligus partner yang dapat diandalkan dan terlibat aktif dalam menyelesaikan suatu persoalan, dalam hal ini adalah persoalan nuklir Iran.

B. Kerjasama Nuclear Fuel Swap

Kerjasama nuclear fuel swap awalnya merupakan kerjasama yang dicetuskan oleh P5+1 dengan tujuan utama untuk mengurangi stok Low Enriched Uranium (LEU) yang dimiliki oleh Iran. Inti dari kerjasama tersebut adalah pertukaran LEU yang dimiliki Iran dengan High Enriched Uranium (HEU) yang tingkat pemurniannya sampai 20% dan siap untuk dijadikan bahan bakar di

Tehran Research Reactor (TRR) (Gurzel 2012:141).

Namun dalam perjalanannya, proses negosiasi untuk merealisasikan hal tersebut yang dilaksanakan di Vienna pada Oktober 2009 menemui jalan buntu.


(62)

49

Sehingga, akhirnya Nuclear Fuel Swap yang akan dilakukan antara Iran dan P5+1 tersebut batal dilakukan karena tidak menemui kata sepakat.

Melihat hal ini, maka Turki dan Brazil berinisiatif untuk melakukan kerjasama yang sejenis dengan Iran. Pada dasarnya, kerjasama nuclear fuel swap

yang dilakukan oleh Turki dan Brazil dengan Iran ini sama dengan kerjasama yang digagas oleh P5+1. Hanya saja, dalam kerjasama yang digagas oleh Turki dan Brazil ini Turki terlibat peran sebagai negara netral yang akan digunakan untuk menyimpan 1.200 kg stok LEU yang dimiliki oleh Iran sampai Iran menerima HEU yang bisa digunakan untuk bahan bakar TRR dari Vienna Group

(Amerika Serikat, Rusia, Prancis, dan IAEA) (Crail 2010:25).

Mesikipun Turki-Brazil dan Iran telah sepakat menandatangani kerjasama tersebut, namun Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang terlibat dalam negosiasi kesepakatan sejenis pada tahun 2009 yang disebut Vienna group, menolak kesepakatan yang telah dicapai antara Turki-Brazil dan Iran. Dengan ditolaknya kesepakatan yang telah dicapai tersebut, maka sesuai dengan salah satu poin dari perjanjian itu, yang mengharuskan diterimanya kesepakatan tersebut oleh Vienna group, maka kesepakatan itu tidak dapat dilaksanakan (Minister Of Foreign Affair of Turkey 2010).

Kurang lebih tiga minggu setelah perjanjian nuclear fuel swap antara Turki-Brazil dan Iran ditandantangani, PBB mengeluarkan Resolusi 1929, tepatnya pada tanggal 9 Juni 2010. Dalam resolusi tersebut terdapat dua negara yang menentang, yaitu Turki dan Brazil, serta satu negara yang abstain, Lebanon. Penolakan Turki


(63)

50

turki terhadap Resolusi 1929 tersebut tidak bisa terlepas dari perjanjian yang dilakukannya bersama dengan Brazil dan Iran tiga minggu sebelumnya, tepatnya pada tanggal 17 Mei 2010.

Hal ini terlihat dari pernyataan resmi Ertugul Apakan, perwakilan resmi Turki sebelum pengambilan suara untuk Resolusi 1929 dilakukan. Ertugul menyinggung secara langsung tentang perjanjian yang telah dilakukan antara Turki-Brazil dan Iran serta hubungannya dengan proses penyelesaian Permasalahan Nuklir Iran dengan jalur damai dan diplomasi (Security Council 2010).

Menurut Ertugul, Turki bersama dengan Brazil telah memberikan solusi alternatif untuk penyelesaian permasalahan nuklir Iran dengan Jalur kerjasama, yaitu dengan perjanjian nuclear fuel swap yang telah ditandatangani pada 17 Mei 2010. Dengan diberlakukannnya Resolusi 1929, maka akan memberikan efek yang sangat negatif terhadap momentum yang telah dibuat dalam perjanjian

nuclear fuel swap tersebut. Yaitu momentum proses diplomasi yang selama ini selalu menemui jalan buntu. Ertugul juga menyatakan bahwa Resolusi 1929 akan memberikan efek negatif terhadap seluruh proses diplomasi yang sedang dilakukan (Security Council 2010).

C. Kebutuhan Energi Turki

Turki merupakan negara yang memiliki pertumbuhan permintaan energi yang sangat besar, dan terus meningkat setiap tahunnya. Selama satu dekade terakhir, Turki merupakan negara kedua setelah China dengan peningkatan jumlah


(1)

16

Annex IV

Proposal to the Islamic Republic of Iran by China, France,

Germany, the Russian Federation, the United Kingdom of Great

Britain and Northern Ireland, the United States of America and

the European Union

Presented to the Iranian authorities on 14 June 2008 Teheran

Possible Areas of Cooperation with Iran

In order to seek a comprehensive, long-term and proper solution of the Iranian nuclear issue consistent with relevant UN Security Council resolutions and building further upon the proposal presented to Iran in June 2006, which remains on the table, the elements below are proposed as topics for negotiations between China, France, Germany, Iran, Russia, the United Kingdom, and the United States, joined by the High Representative of the European Union, as long as Iran verifiably suspends its enrichment-related and reprocessing activities, pursuant to OP 15 and OP 19(a) of UNSCR 1803. In the perspective of such negotiations, we also expect Iran to heed the requirements of the UNSC and the IAEA. For their part, China, France, Germany, Russia, the United Kingdom, the United States and the European Union High Representative state their readiness:

to recognize Iran’s right to develop research, production and use of nuclear energy for peaceful purposes in conformity with its NPT obligations;

to treat Iran’s nuclear programme in the same manner as that of any Non-nuclear Weapon State Party to the NPT once international confidence in the exclusively peaceful nature of Iran’s nuclear programme is restored.

Nuclear Energy

– Reaffirmation of Iran’s right to nuclear energy for exclusively peaceful purposes in conformity with its obligations under the NPT.

– Provision of technological and financial assistance necessary for Iran’s peaceful use of nuclear energy, support for the resumption of technical cooperation projects in Iran by the IAEA.

– Support for construction of LWR based on state-of-the-art technology.

– Support for R&D in nuclear energy as international confidence is gradually restored.

– Provision of legally binding nuclear fuel supply guarantees.

– Cooperation with regard to management of spent fuel and radioactive waste.

Political

– Improving the six countries’ and the EU’s relations with Iran and building up mutual trust.

– Encouragement of direct contact and dialogue with Iran.

– Support Iran in playing an important and constructive role in international affairs.


(2)

17

– Promotion of dialogue and cooperation on non-proliferation, regional security and stabilization issues.

– Work with Iran and others in the region to encourage confidence-building measures and regional security.

– Establishment of appropriate consultation and cooperation mechanisms. – Support for a conference on regional security issues.

– Reaffirmation that a solution to the Iranian nuclear issue would contribute to non-proliferation efforts and to realizing the objective of a Middle East free of weapons of mass destruction, including their means of delivery.

– Reaffirmation of the obligation under the UN Charter to refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any State or in any other manner inconsistent with the Charter of the United Nations.

– Cooperation on Afghanistan, including on intensified cooperation in the fight against drug trafficking, support for programmes on the return of Afghan refugees to Afghanistan; cooperation on reconstruction of Afghanistan; cooperation on guarding the Iran-Afghan border.

Economic

Steps towards the normalization of trade and economic relations, such as improving Iran’s access to the international economy, markets and capital through practical support for full integration into international structures, including the World Trade Organization, and to create the framework for increased direct investment in Iran and trade with Iran.

Energy Partnership

Steps towards the normalization of cooperation with Iran in the area of energy: establishment of a long-term and wide-ranging strategic energy partnership between Iran and the European Union and other willing partners, with concrete and practical applications/measures.

Agriculture

– Support for agricultural development in Iran.

Facilitation of Iran’s complete self-sufficiency in food through cooperation in modern technology.

Environment, Infrastructure

– Civilian Projects in the field of environmental protection, infrastructure, science and technology, and high-tech:

– Development of transport infrastructure, including international transport corridors.

– Support for modernization of Iran’s telecommunication infrastructure, including by possible removal of relevant export restrictions.


(3)

18

Civil Aviation

– Civil aviation cooperation, including the possible removal of restrictions on manufacturers exporting aircraft to Iran:

– Enabling Iran to renew its civil aviation fleet;

– Assisting Iran to ensure that Iranian aircraft meet international safety standards.

Economic, social and human development/humanitarian issues

– Provide, as necessary, assistance to Iran’s economic and social development and humanitarian need.

– Cooperation/technical support in education in areas of benefit to Iran:

– Supporting Iranians to take courses, placements or degrees in areas such as civil engineering, agriculture and environmental studies;

– Supporting partnerships between Higher Education Institutions e.g. public

health, rural livelihoods, joint scientific projects, public administration, history and philosophy.

– Cooperation in the field of development of effective emergency response capabilities (e.g. seismology, earthquake research, disaster control etc.).

– Cooperation within the framework of a “dialogue among civilizations”.

Implementation mechanism

– Constitution of joint monitoring groups for the implementation of a future agreement.


(4)

(5)

(6)