BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Obat
Secara umum obat dapat diartikan sebagai semua bahan tunggal atau campuran yang dipergunakan oleh semua mahluk hidup untuk bagian dalam maupun luar,
guna mencegah, meringankan ataupun menyembuhkan penyakit. Menurut undang-undang kesehatan, yang dimaksud dengan obat adalah suatu bahan atau
campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau
gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan,termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh Syamsuni, 2006.
Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga orang yang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu
penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Semakin cepat efek suatu obat muncul, semakin kuat pula racun yang
dikandungnya. Jika memilih obat, harap dilihat bahwa obat yang sangat efektif, yang menghilangkan rasa sakit dengan cepat, jauh lebih berbahaya bagi tubuh dari
pada banyak obat-obatan lain. Obat-obatan bisa berguna jika terasa sakit yang tak tertahankan atau terjadi pendarahan atau dalam keadaan darurat untuk menekan
Universitas Sumatera Utara
gejala-gejala yang harus diredakan. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan menimbulkan keracunan.
Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan memperoleh penyembuhan Anief, 1991.
2.2 Pengertian Kapsul 2.2.1 Kapsul secara umum
Kapsul merupakan suatu bentuk sediaan padat, dimana satu macam bahan obat atau lebih dan bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau
wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai Anief, 1991. Gelatin merupakan bahan yang sesuai untuk pembentukan cangkang kapsul
karena larut, membentuk cangkang yang kuat, lapis tipis dan berubah dari bentuk larutan menjadi bentuk gel sedikit diatas temperatur lingkungan. Gelatin segera
larut dalam air pada temperatur tubuh, dan tidak larut jika temperatur tu run
dibawah 30 ̊C Agoes, 2008.
2.2.2 Persyaratan Kapsul
Persyaratan kapsul adalah sebagai berikut: 1. Keseragaman Sediaan
Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua metode, yaitu keseragaman bobot dan keseragaman kandungan. Jika bahan aktif dari
sediaan tidak kurang dari 50 dari bobot sediaan atau kapsul dan lebih besar dari 50 mg persyaratannya dapat ditetapkan dengan keseragaman bobot. Jika
kandungan bahan aktifnya lebih kecil dapat digunakan persyaratan keseragaman kandungan Ditjen POM, 1995.
Universitas Sumatera Utara
2. Waktu Hancur Pengujian kehancuran adalah suatu pengujian untuk mengetahui seberapa
cepat tablet hancur menjadi agregat atau partikel lebih halus. Pengujian dilakukan berdasarkan asumsi bahwa jika produk hancur dalam periode waktu singkat, misal
dalam 5 menit, maka obat akan dilepas dan tidak ada antisipasi masalah dalam hal kualitas produk obat. Waktu hancur setiap tablet atau kapsul dicatat dan
memenuhi persyaratan spesifikasi waktu dalam 15 menit Syamsuni, 2007. 3. Disolusi
Disolusi adalah larutnya zat berkhasiat dalam suatu media disolusi. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa persentasi zat aktif dalam obat yang dapat
terlarut dan terabsorpsi dan masuk ke dalam peredaran darah untuk memberikan efek terapi pada tubuh Syamsuni, 2007.
4. Kadar Zat Berkhasiat Pengujian ini dilakukan dengan cara kuantitatif dari pengujian identifikasi.
10-20 kapsul isinya di gerus dan bahan aktif yang larut diekstraksi menggunakan pelarut yang sesuai menurut prosedur yang sudah ditetapkan. Umumnya rentang
kadar bahan aktif yang ditentukan berada diantara 90-110 dari pernyataan pada etiket. Ada tiga kegunaan uji disolusi, yaitu dapat menjamin keseragaman satu
batch, menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan juga uji disolusi diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat baru. Obat
yang telah memenuhi persyaratan keseragaman kandungan, waktu hancur dan penetapan kadar zat berkhasiat belum dapat menjamin bahwa suatu obat
memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi kapsul Agoes, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Antibiotik
Antibiotik berasal dari kata Yunani Anti = lawan, bios = hidup adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan
atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Kegiatan antibiotik untuk pertama kalinya ditemukan secara
kebetulan oleh dr.Alexander Fleming Inggris,1928. Turunan zat-zar ini dibuat secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula semula senyawa
sintesis dengan khasiat antibakteri Tjay dan Rahardja,2010 . Antibiotik digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat kuman
misalnya radang paru-paru, tifus, luka yang berat dan sebagainya. Pemakaian antibiotik harus di bawah pengawasan seorang dokter, karena obat ini dapat
menimbulkan kerja ikutan yang tidak dikehendaki dan dapat mendatangkan kerugian yang cukup besar bila pemakaiannya tidak dikontrol dengan betul
Widjajanti,1998.
2.3.1 Penggolongan Antibiotik Menurut Tjay Rahardja, 2007 yaitu :
a.Penggolongan antibiotik berdasarkan spektrum kerjanya : -
Antibiotika spektrum luas broad spectrum adalah antibiotik yang bersifat aktif bekerja terhadap banyak jenis mikroba yaitu bakteri gram positif dan gram
negatif. Contoh sulfonamid, ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin. Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati
penyakit infeksi yang menyerang belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.
Universitas Sumatera Utara
- Antibiotika spektrum sempit narrow spectrum golongan ini terutama efektif
untuk melawan satu jenis organisme. Contohnya penisilin dan eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif. Karena
antibiotik berspektrum sempit bersifat selektif, maka obat-obat ini lebih aktif dalam melawan organisme tunggal tersebut daripada antibiotik berspektrum luas
Sedangkan streptomisin, gentamisin, hanya bekerja terhadap kuman gram-negatif. b.Penggolongan Antibiotik berdasarkan toksiknya yaitu:
- Bakterisida: Antibiotika yang bakterisid secara aktif membunuh bakteri.
Termasuk dalam golongan ini adalah penisilin, sefalosporin, aminoglikosida dosis besar, kotrimoksazol , polipeptida, rifampisin dan isoniazid.
- Bakteriostatik: Antibiotika bakteriostatik bekerja dengan mencegah atau
menghambat pertumbuhan bakteri, tidak membunuhnya sehingga pembasmian kuman sangat tergantung pada daya tahan tubuh. Termasuk dalam golongan ini
adalah sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan trimetropim.
2.3.2 Efek Samping Antibiotik
Penggunaan antibiotik yang sembarangan dan tidak tepat dosis, dapat menggagalkan terapi pengobatan yang sedang dilakukan. Selain itu dapat
menimbulkan bahaya seperti : 1. Resistensi, ialah tidak terganggunya sel mikroba oleh antibiotik yang
merupakan suatu mekanisme alami untuk bertahan hidup. Ini dapat terjadi apabila antibiotik diberikan atau digunakan dengan dosis yang terlalu rendah atau masa
terapi yang tidak tepat.
Universitas Sumatera Utara
2. Super infeksi, yaitu infeksi sekunder yang timbul ketika pengobatan terhadap infeksi primer sedang berlangsung dimana jenis dan infeksi yang timbul berbeda
dengan infeksi primer Tjay Rahardja, 2010.
2.4 Kloramfenikol 2.4.1 Sejarah Kloramfenikol
Kloramfenikol digunakan sebagai antibiotik bersifat bakteriostatis dan mempunyai spektrum luas terhadap semua kuman gram-positif dan sejumlah
kuman gram-negatif. Merupakan obat pilihan untuk pengobatan demam tifoid akut yang disebabkan oleh Salmonella Sp. Kloramfenikol pada awalnya diisolasi
oleh Burkholder pada tahun 1947 dari contoh tanah yang diambil dari Venezuela, sekarang telah dapat dibuat melalui sintesis total, yang metodenya relatif lebih
sederhana dan biayanya lebih murah. Kloramfenikol efektif terhadap konjungtifitis bakterial yang disebabkan oleh mikoroorganisme, termasuk
Pseudomonas Sp. Senyawa ini juga efektif untuk pengobatan infeksi berat yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan gram negatif Siswandono dan
Soekardjo, 1995.
2.4.2 Struktur dan Sifat Kloramfenikol
OH CH
2
OH O O
2
N
C C N C CH
2
Cl
2
H H H
2.4 Gambar Struktur Kloramfenikol
Universitas Sumatera Utara
Menurut Dirjen POM 1995, kloramfenikol memiliki informasi yaitu: Rumus Molekul
: C
11
H
12
Cl
2
N
2
O
5
Nama Umum : Kloramfenikol
Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang;
putih hingga putih kelabu atau putih kekuningan; larutan praktis netral terhadap lakmus P; stabil dalam larutan netral
atau larutan agak asam. Kelarutan
: Sukar larut dalam air,mudah larut dalam etanol, dalam propilen glikol, dalam aseton dan dalam etil asetat.
Persyaratan :Pada
sediaan kapsul
kloramfenikol mengandung
kloramfenikol, C
11
H
12
Cl
2
N
2
O
5
, tidak kurang dari 90,0 dan tidak lebih dari 120,0 dari jumlah yang tertera pada etiket.
PH : Antara 4,5 dan 7,5
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan tahan cahaya.
Indikasi : Sebagai antibiotik
Bentuk sediaan : Kapsul 250 mg
Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik broad spectrum yang aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Antibiotik ini dihasilkan oleh
Streptomyces Venezuela dan antibiotik yang digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme. Berbagai turunan
kloramfenikol berhasil disintesis akan tetapi tidak ada senyawa yang khasiatnya melampaui khasiat kloramfenikol Widjajanti,1998.
Kloramfenikol akan terasa pahit apabila diberikan secara oral tanpa dimasukkan ke dalam kapsul. Sebaliknya, ester palmitat dari antibiotik ini relatif
Universitas Sumatera Utara
tidak berasa pahit, jadi dapat digunakan untuk anak-anak dan untuk pasien yang tidak dapat menelan kapsul kloramfenikol diabsorpsi cepat dan hampir sempurna
dari saluran cerna, karena obat ini mengalami penetrasi membran sel secara cepat. Setelah absorpsi, kloramfenikol didistribusikan secara luas ke seluruh jaringan
dan cairan tubuh. Metabolit utama kloramfenikol adalah glukuronida –nya yang
bekerja antibiotik, yang dibuat di hati dan diekskresikan melalui ginjal. Katzung, B. G., 2004.
Kloramfenikol bekerja menghambat pertumbuhan bakteri, mekanisme kerja antibiotik ini ialah menghambat sintesis protein yang dibutuhkan untuk
pembentukan sel-sel bakteri sehingga kloramfenikol menghambat fungsi RNA dari bakteri Widjajanti,1998.
2.4.3 Farmakokinetika
Penyerapan obat melalui saluran cerna cukup baik 75-90, kadar plasma tertinggi dicapai dalam 2-3 jam. Waktu paruh kloramfenikol pada orang dewasa ±
3 jam, sedang pada bayi di bawah 1 bulan 12-24 jam Siswandono dan Soekardjo, 1995.
2.4.4 Kontraindikasi
Kloramfenikol tidak diberikan pada penderita alergi, penyakit hati yang berat, adanya penyakit darah, dalam kombinasi dengan obat hematotoksik lain
seperti sitostatik, pada pasien insufisiensi ginjal pada minggu terakhir kehamilan, setelah melahirkan, pada bayi prematur dan bayi baru lahir Wattimena,1991.
Universitas Sumatera Utara
2.4.5 Efek Samping dan Toksikologi
Efek samping yang ditimbulkan kloramfenikol antara lain gangguan lambung-usus, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang sangat berbahaya
yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada sumsum tulang belakang sehingga produksi sel-sel darah merah menjadi terganggu Tjay, 20010.
Sumsum tulang belakang, yang menimbulkan kelainan darah yang serius, seperti anemia aplastik, granulositopenia, trombositopenia. Selain itu, obat ini
juga dapat menyebabkan gangguan saluran cerna dan reaksi hipersensitivitas. Oleh karena itu kloramfenikol tidak boleh digunakan untuk pengobatan infeksi
yang bukan indikasinya seperti influenza, infeksi kerongkongan atau untuk pencegahan infeksi Siswandono dan Soekardjo, 1995 .
Efek samping yang berupa depresi sumsum tulang dapat tampak dalam dua bentuk anemia yakni sebagai berikut:
a.Penghambat pembentukan sel-sel darah eritrosit,trombosis,dan granulosit yang timbul dalam waktu lima hari sesudah dimulainya terapi. Gangguan bersifat
reversible. b.Anemia aplastis, yang dapat timbul sesudah beberapa minggu sampai
kerusakan sumsum tulang ini disebabkan oleh metabolit kloramfenikol toksik yang dibentuk oleh kuman usus. Telah dipastikan bahwa obat
diuraikan oleh sinar UV menjadi senyawa nitro yang toksis bagi sel-sel sumsum Tjay dan Rahardja,2010.
Universitas Sumatera Utara
2.4.6 Metode Penetapan Kadar Kloramfenikol
2.4.6.1 Secara Kualitatatif
Menurut Rohman, 2008 adalah :
1. Metode Titrasi Bebas Air TBA
Titrasi bebas air adalah titrasi yang dilakukan untuk larutan yang tidak dapat larut dalam air tetapi dapat larut dalam pelarut-pelarut organik lainnya seperti
asam salisilat. Titrasi bebas air sering digunakan untuk prosedur titrimetri yang paling umum untuk uji-uji dalam farmakope. Prosedur yang paling umum
digunakan untuk titrasi basa dengan menggunakan titran asam perklorat dalam asam asetat.
Klormfenikol dalam suasana asam akan terurai menjadi senyawa amina primer melalui gugus amida. Senyawa amina primer hasil penguraian
kloramfenikol dalam suasana asam cukup basa untuk titrasi secara bebas air. Penambahan raksa II asetat diperlukan untuk mengikat adanya klorida bebas
yang mungkin terjadi penguraian. Indikator yang digunakan adalah indikator larutan kristal violet. Titik akhir titrasi ditandai dengan tepat berubahnya warna
larutan dari ungu menjadi hijau.
2. Metode Nitrimetri
Titrasi nitrimetri ini sangat sederhana dan sangat berguna untuk menetapkan kadar-kadar senyawa antibiotik sulfonamide dan juga senyawa-
senyawa golongan asam amina benzoat. Metode titrasi nitrimetri yaitu metode penetapan kadar secara kualitatif dengan menggunakan larutan baku NaNO
2 -
. Metode ini didasarkan pada reaksi antara amina aromatik primer dengan asam
nitrit dalam suasana asam membentuk garam. Titik akhir titrasi nitrimetri tercapai
Universitas Sumatera Utara
apabila pada penggoresan larutan yang dititrasi pada pasta kanji iodide atau kertas kanji iodide akan terbentuk warna hijau tosca atau biru Rohman,2008.
3. Metode Bromometri
Gugus nitro aromatis pada kloramfenikol setelah diubah menjadi amin aromatis primer dapat ditetapkan secara bromometri seperti pada sulfonamida.
Bromometri suatu metode oksidimetri yang didasarkan pada reaksi oksidasi ion bromat, dalam reaksi ini bromat direduksi menjadi bromida. Adanya
bromida menyebabkan larutan berwarna kuning pucat. Warna tersebut tidak terlalu jelas sehingga kesulitan untuk menetapkan titik ekivalen. Namun pewarna
organik tertentu terurai oleh brom bebas dan menyebabkan larutan menjadi tidak berwarna. Zat warna yang paling bannyak digunkan dalam titrasi bromometri
adalah metil jingga dan metil merah. Zat warna tersebut tidak dikelompokan dalam indikator redoks karena reaksinya tidak reversibel, sedang indikator redoks
reversibel. Pada analisa kualitatif digunakan sebagai identifikasi organoleptik.
4. Metode Argentometri
Argentometri merupakan metode umum untuk menetapkan kadar halogenida dan senyawa-senyawa lain yang membentuk endapan dengan perak
nitrat AgNO
3
pada suasana tertentu. Metode ini disebut juga metode pengendapan karena pada argentometri menghasilkan pembentukan senyawa yang
relatif tidak larut atau endapan Gandjar, 2007. Kalium kromat dapat digunakan sebagai suatu indikator yang akan
menghasilkan warna merah dengan kelebihan ion Ag
+
. Titrasi yang lebih banyak digunakan adalah metode titrasi balik. Kelebihan AgNO
3
ditambahkan ke dalam sampel yang mengandung ion klorida atau bromida. Kelebihan AgNO
3
kemudian
Universitas Sumatera Utara
dititrasi dengan ammonium tiosianat dan ammonium fero sulfat digunakan sebagai indikator .
2.4.6.2 Secara Kuantitatif
1. Metode Spektrofotometri
a. Spektrofotometri UV
Kloramfenikol dalam larutan air menunjukan spektrum absorbansi yang lebar pada panjang gelombang maksimal 278 nm. Absorbansi ini disebabkan oleh
gugus p-nitrofenil, karenanya hasil peruraiannya juga memberikan spektrum yang serupa sehingga karena alasan ini metode spektrofotometri banyak digunakan
terhadap senyawa murni atau digunakan untuk menetapkan kadar hasil pemisahan secara kromatografi. Kloramfenikol dalam air pada 278 nm adalah sebesar 298.
Kloramfenikol dalam etil asetat 15 dan dalam Kloroform menunjukan absorbansi maksimum di 272 nm. Pada senyawa yang telah tersimpan lama,
sebaiknya diuji terlebih dulu dengan KLT untuk melihat apakah ada peruraian atau tidak. Bila setelah diujidengan KLT terdapat 1 bercak maka kloramfenikol
belum mengalami peruraian, jika lebih satu bercak berarti telah terjadi peruraian. Jika kloramfenikol telah terurai maa metode penetapan kadarnya yang sesuai
adalah metode kromatografi. Cara penetapan kadar kloramfenikol secar spektrofotometri : lebih kurang
30 mg kloramfenikol yang ditimbang seksama dilarutkan dalam etanol mutlak secukupnya lalu diencerkan dengan air hingga 100 ml. Larutan ini diukur
absorbansinya menggunakan kuvet 1 cm pada panjang gelombang 278 nm.
Universitas Sumatera Utara
b. Spektrofotometri Sinar Tampak Visible atau Kolorimetri
Kloramfenikol juga dapat ditetapkan secara kolorimetri setelah gugus nitronya direduksi menjadi amin primer aromatis kemudian dilanjutkan dengan
diazotasi dan direaksikan dengan N-1-naftil-etilendiamin seperti telah dijelaskan pada sulfonamida.
2. Kromatografi
a. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Metode spektrofotometri tidak dapat membedakan antar kloramfenikol dan produk degradasinya. Metode KCKT telah dikembangkan untuk mentapkan
kadar kloramfenikol. Fase gerak digunakan adalah campuran buffer Kalium Monobasik fosfat 0,01 Metanol dengan perbandingan 58: 42 dan dihantarkan
secara isokraktik dengan kecepatan alir fase gerak.1,5 mlmenit. Semua larutan diinjeksikan dengan 5 volume µL. Larutan baku kloramfenikol yang mengandung
standart internal dari larutan stok dalam labu takar dan dibuat sampai volume dengan metanol. Waktu retensi tergantung pada pH fase gerak. Pemisahan
optimum dari kloramfenikol dan bahan-bahan tambahan lain diperoleh pada pH fase gerak.
b. Kromatografi Gas
Kloramfenikol dalam produk farmasi dapat ditetapkan dengan kromatografi gas-cair dengan asetamid membentuk eter sebelum diinjeksikan ke
kromatografi gas dengan standar internal m-fenilen dibenzoat. Metode ini sukses baik untuk kloramfenikol murni atau kloramfenikol dalam sediaan farmasi.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Lambung
2.5.1 Pengertian Lambung
Lambung adalah tabung elastis, yang lebar dan lunak dengan isi kosong volumenya 1-1,5 liter, sesudah makan lambung dapat membesar sampai 30 cm
dan panjangnya dengan volume 3-4 liter, dindingnya terdiri dari 3 lapisan otot yang dari selaput-lendir dan dari luar oleh selaput-perut. Otot-otot ini berfungsi
menggerakkan peristaltik yang meremes makanan menjadi bubur. Fungsi lambung adalah sebagai penampung makanan dan ditempat inilah
makanan diaduk secara intensif dengan getah lambung dan terjadi absorpsi dari bahan makanan tertentu, mencerna makanan secara kimiawi yaitu dimana pertama
kali protein dirubah menjadi polipeptida Thay dan Rahardja, 2010. Adapun 3 bagian utama lambung adalah:
1.Cardia bagian atas pintu masuk makanan yang berasal dari kerongkongan. 2.Fundus bagian tengah untuk mengakomodasi makanan tanpa banyak
meningkatkan tekanan dalam lambung dan membentuk kantong udara gas-gas teakumulasi dan berbentuk bulat. Di dalam fundus pula makanan yang tidak
dicerna disimpan selama kurang lebih satu jam. 3.Pylorus bagian bawah pintu pembuka lewatnya isi lambung kedalam organ
berikutnya yaitu duodenum. Di bagian pilorus inilah proses pencernaan secara kimia terjadi. Apabila pH makanan asam, maka otot-otot pilorus mengendor
sehingga menyebabkan pintu pilorus terbuka dan sebaliknya jika makanan basa, maka otot-otot pilorus akan berkontraksi yang menyebabkan pintu pilorus
menutup devissaguet,1993.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Gambar Bagian Lambung
2.5.2 Gerakan Lambung dan Waktu Lewat
Menurut devissaguet,1993 adalah Gerakan lambung dimulai dari fundus bagian tengah dan bepindah menuju pylorus. Gerakan dimulai 5-10 menit.
Sesudah makanan masuk ke dalam lambung dan terjadi 4-6 gerakan setiap menit dan selanjutnya mencapai pylorus dalam waktu 20 detik. Dengan demikian
makanan tertimbun pada lapisan berikutnya tanpa energi pengadukan. Adanya pengadukan dipermukaan menjamin pencampuran yang lebih baik antara cairan
lambung dan bahan yang akan diserap kecuali pada daerah pylorus yang gelombang geraknya lebih kuat. Hanya campuran isi lambung yang cukup encer
yang dapat melewati pylorus secara bertahap. Obat yang diserap tercampur dengan masa makanan tanpa benar-benar
teraduk ia berada di pylorus. Pelepasan, pelarutan dan penyerapan di lambung terjadi dengan lambat bila obat digunakan bersamaan atau setelah makan.
Sebaliknya saat puasa dan disertai dengan segelas air, ketiga fase tahapan obat secara efektif. Tetapi cairan dengan cepat memasuki duodenum, terutama bila
Universitas Sumatera Utara
yang ditelan berbentuk cairan dan diminum bersama segelas air. Pada saat puasa pylorus akan terbuka atau terbuka sedikit dan pembukaan pertama menyebabkan
obat segera memasuki duodenum dan pylorus segera menutup kembali. Mekanisme pembukaan dan penutupan pylorus sesungguhnya masih
kabur. Proses tersebut merupakan fungsi pH cairan duodenum pylorus hanya bisa membuka bila pH diduodenum menjadi netral dan meutup kembali bila pH
nya kembali normal. Pylorus terbuka oleh gelombang peristaltik. Waktu tinggal lambung dan faktor yang berperan pada pengosongan lambung. Obat akan berada
dilambung selama 10 menit sampai 1,5 jam. Bila sejumlah cairan dan obat digunakan di luar jam makan tampaknya akan segera diteruskan ke duodenum,
makanan secara teratur berpindah dalam waktu relatif lama rata-rata 1-4 jam. Sesampai diusus halus, makanan yang telah melalui serangkaian proses
tadi akan bertemu dengan enzim dan zat lainnya berasal dari sel-sel usus, empedu, hati dan pankreas. Zat ini akan memecah karbohidrat, lemak dan protein menjadi
senyawa yang lebih sederhana sehingga dapat diserap oleh tubuh. Usus halus merupakan lanjutan dari lambung. Fungsi dari usus halus untuk mencerna dan
mengabsorbsi dari lambung. Usus halus terdiri atas 3 bagian adalah:
1.Duodenum usus dua belas jari bagian usus halus yang berhubungan langsung dengan lambung. Bentuknya melengkung dan panjangnya 30 cm adalah bagian
pertama tempat terjadinya percernaan. Duodenum terdiri dari 2 saluran muara yaitu saluran pankreas dan saluran empedu. Duodenum bersifat asam dengan pH
4-6.
Universitas Sumatera Utara
2.Jejunum usus kosong berfungsi memecah makanan menjadi lebih sederhana, di dalam jejunum makanan menjadi bubur yang lumat dan encer dan sebagai
tempat penyelesaian dari semua proses pencernaan makanan dan menghasilkan glukosa,asam amino, asam lemak dan gliserol. Di jejunum bersifat netral dengan
pH 6-7. 3.Ileum usus penyerapan adalah tempat penyerapan sari-sari makanan dan
diedarkan keseluruh pembuluh darah pada tubuh dan pHnya agak basa 7-8. Setelah itu sisa makanan yang tidak diserap diusus halus akan menuju usus
besar yang berakhir dianus pada Lampiran 2.
Pemberian obat saat makan menyebabkan perjalanan obat yang lambat dan teratur ketempat penyerapan, jadi memeungkinkan pengosongan usus terjadi lebih
lengkap karena adanya efek pengenceran oleh makanan. Waktu mencerna berbeda-beda untuk setiap makanan atau minuman.
Makanan yang padat akan membutuhkan waktu yang lebih lama daripada zat cair minuman sehingga menurut ilmu kesehatan dianjurkan mengunyah makanan 32
kali agar makanan menjadi lebih lembut, sehingga akan meringankan beban lambung untuk melumatkan makanan tersebut.Semakin lumat makanan yang
masuk lambung, maka semakin cepat melintasi lambung. Jenis makanan lemak dan sayuran hijau akan lebih lama berada di dalam lambung sehingga orang akan
merasa kenyang lebih lama. Makanan yang masuk pada lambung bertahan selama 2-5 jam. Makanan
dalam lambung mengalami serangkaian proses kimiawi oleh getah lambung, sekitar 1
– 2 liter yang dihasilkan oleh 35 juta kelenjar, antara lain HCl, enzim pepsin, enzim renin, lipase, mukus lendir, dan faktor intrinsik. Enzim pepsin
Universitas Sumatera Utara
akan memecah molekul protein menjadi peptida, enzim renin akan mencerna protein susu menjadi kasein, sedangkan enzim lipase akan mengemulsikan lemak
dalam makanan. Jadi, perlakuan kimiawi protein pertama kali dilakukan di dalam lambung Tjay dan Rahardja,2010.
Lambung mendapat aktivitas penekanan, sehingga bila ia kosong dindingnya melekat, meninggalkan kantong udara pada bagian atas, sedangkan
bila lambung terisi penekanan akan berkurang dan volume lambung bertambah . Dalam keadaan puasa, lambung merupakan kantong memiliki volume 50 ml dan
mengandung sejumlah kecil cairan lambung pH 1-3 maka penyerapan secara filtrasi atau difusi pasif terjadi lebih cepat untuk masuk keperedaran darah.
Sedangkan saat lambung berisi makanan maka senyawa yang lama berada dilambung akan berdifusi lebih lambat pH 3-5. Hal ini disebabkan oleh adanya
pengenceran zat aktif dalam lambung dan kontak dengan penyerapan terbatas akibatnya penembusan kedalam peredaran darah lebih sedikit Devissaguet,1993.
Waktu transit total makanan dan bentuk sediaan mulai dari lambung manusia kira-kira 3-6 jam dalam keadaan puasa dan 6-10 jam dalam keadaan
kenyang ini dimaksudkan pemberian zat aktif yang diabsorbsi didaerah usus halus memiliki batasan waktu 10 jam siregar,2010.
2.6 Disolusi
Disolusi didefenisikan proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan proses zat padat melarut dalam satuan waktu.
Kecepatan disolusi obat merupakan tahap sebelum obat berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat berada dalam saluran cerna, bahan berkhasiat harus
Universitas Sumatera Utara
terlarut, sesudah itu barulah obat tersebut dapat melewati membran saluran cerna. Obat yang larut baik dalam air akan melarut cepat dan berdifusi secara pasif.
Sebaliknya, obat yang kelarutannya kecil kecepatan disolusi tidak larut atau disintegrasi sediaan relatif karena pengaruhnya kecil terhadap disolusi zat aktif
Syukri, 2002. Ada tiga kegunaan disolusi :
1. Menjamin tablet kapsul seragam dalaam 1 batch
2. Menjamin obat bahwa memberikan efek terapi yang diiinginkan
3. Uji disolusi digunakan dalam rangka pengembangan obat baru
2.6.1 Alat Uji Disolusi
Menurut Dirjen POM 1995, ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi yaitu :
a. Alat 1 Metode Basket Alat terdiri atas wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak. Wadah tercelup sebagian dalam penangas sehingga dapat mempertahankan suhu
Tablet atau kapsul Granul atau agregat Partikel Halus Obat dalam larutan Obat dalam darah, cairan, dan dalam jaringan lain dalam wadah 37° ± 0,5° C selama
pengujian berlangsung. Bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran signifikan
yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm,
diameter dalam 98-106 mm, dengan volume sampai 1000 ml. Batang logam
Universitas Sumatera Utara
berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur
mempertahankan kecepatan alat. b. Alat 2 Metode Dayung
Sama seperti alat 1, tetapi pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas daun dan batang sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut sumbunya tidak
lebih dari 2 mm dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Jarak antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian
berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar
wadah sebelum dayung mulai berputar.
2.6 Gambar Bagian Alat Uji Disolusi
Tipe 1 keranjang dan Tipe 2 Dayung
2.6.2 Media Disolusi
Menurut Devissaguet 1993, media disolusi yang biasa digunakan adalah: 1. Air Suling PH 6
Pelarut air digunakan untuk uji penetapan pelarutan beberapa tablet. Pengujian menggunakan cairan air memberikan hasil yang sangat berbeda dengan cairan
fisiologik, terutama untuk senyawa ionik yang sangat dipengaruhi oleh pH.
Universitas Sumatera Utara
2. Larutan Ionik Larutan ionik banyak digunakan untuk menyesuaikan pH organ tubuh :
a. Larutan asam PH 1,2 dibuat dari asam klorida encer baik ditambah atau tidak ditambah dengan larutan natrium atau kalium klorida, sehingga pH cairan
mendekati komposisi cairan lambung. b. Larutan dapar alkali pH 7-8 paling sering digunakan untuk meniru pH usus
dalam pengujian sediaan dengan aksi diperpanjang atau aksi terjaga setelah melewati cairan yang asam.
2.6.3 Prosedur Pengujian Disolusi
Pada tiap pengujian, dimasukkan sejumlah volume media disolusi seperti yang tertera dalam masing-masing monografi kedalam wadah, pasang alat dan
dibiarkan media disolusi mencapai temperatur C. Satu kapsul dicelupkan dalam keranjang atau dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah, kemudian pengaduk
diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada interval waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada daerah pertengahan
antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk analisis
penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Kapsul harus memenuhi syarat seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi Dirjen POM,
1995.
Universitas Sumatera Utara
2.6.4 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi
Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap :
Pada tahap 1 S1, 6 kapsul diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 S2. Pada tahap ini 6
kapsul tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 S3. Pada tahap ini 12 kapsul tambahan diuji lagi.
Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan tabel dibawah ini.
Tabel 2.6 Tabel Penerimaan Hasil Uji Disolusi
Tahap Jumlah Sediaan
yang Diuji Kriteria Penerimaan
S
1
6 Tiap unit sediaan tidak kurang Q+5
S
2
6 Rata-rata dari 12 unit S
1
+S
2
adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan
yang lebih kecil dari Q-15
S
3
12 Rata-rata 24 unit S
1
+S
2
+S
3
adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit
sediaan yang lebih kecil dari Q-15 dan tidak satu unit pun yang lebih kecil dari Q-25
Keterangan: S1 : Tahap pertama
S2 : Tahap kedua
Universitas Sumatera Utara
S3 : Tahap ketiga Q : Jumlah zat aktif yang terlarut yang tertera dalam masing-masing monografi
Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5 dan 15 dalam tabel adalah persentase kadar
pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk
penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75 dalam waktu 45 menit dengan menggunakan alat 1 pada 100 rpm atau alat 2 pada 50 rpm Lachman, 1994.
2.6.5 Faktor yang Mempengaruhi Disolusi Zat Aktif
Menurut Syukri 2002, faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan, antara lain:
a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat Sifat-sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi :
kelarutan zat aktif, bentuk kristal, kompleksasi serta ukuran partikel. Sifat fisikokimia lain seperti kekentalan dapat menimbulkan masalah disolusi.
b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan tambahan dan
cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi tergantung kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung didalamnya. Penggunaan bahan
tambahan sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin dalam proses formulasi dapat menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung bahan
tambahan yang digunakan. Faktor formulasi yang mempengaruhi laju disolusi
Universitas Sumatera Utara
diantaranya: kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien bahan tambahan dan kekerasan.
c. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji Faktor ini dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan meliputi:
kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang digunakan. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal
lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Zat yang
kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro
penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat disaluran cerna. Metode penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi sama atau
berbeda, tergantung pada metode uji yang digunakan.
Setelah granul pecah,baru zat aktif terlepas, bila daya larutnya cukup besar
Desintegrasi Deagregasi Dipecah
Disolusi Disolusi Disolusi
Absorpsi
2.5 Illustrasi skema proses disolusi pada sediaan padat
Tablet atau kapsul
Granul atau agregat
Partikel halus
Obat dalam darah,cairan dan jaringan lain Obat dalam larutan
Universitas Sumatera Utara
Setelah granul pecah,baru zat aktif terlepas, bila daya larutnya cukup besar maka zat aktif tersebut larut dalam cairan lambung atau usus, tergantung dimana
obat berada pada saat itu. Hal ini ditentukan oleh penggosongan lambung yang berkisar antara 2-3 jam setelah makan. Baru setelah obat larut proses absorpsi
oleh usus dapat dimulai. Untuk jenis obat bentuk sirup atau cairan tidak mengalami proses desintegrasi menjadi granul dan fase melarut. Sedangkan pada
tablet menghasilkan kadar maksimal setelah 4 jam anief,1991
2.7 Penetapan Kadar