2 Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibu kota provinsi, dengan
daerah hukum meliputi wilayah provinsi Peradilan Umum inilah yang menjadi permasalahan utama dalam
penelitian ini baik pada tingkat Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi. Karena di Peradilan Umum inilah seorang advokat akan sangat
diperlukan, advokat dapat berperan sebagai Equity of Armest kesamaan kedudukan antara tersangka, jaksa, polisi dan hakim. Maka di Peradilan
Umum-lah banyak terjadi permasalahan mengenai sumpah advokat sebagai mana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101PPU-VII2009.
Meskipun tidak
menutup kemungkinan
permasalahan sumpah advokat juga dapat terjadi pada ranah peradilan lainnya.
4.1.2 Tugas Pokok dan Fungsi Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah Lembaga Tinggi Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yang merupakan
pemegang kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung dan bebas dari
pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan
diadopsinya ide Constitutional Court dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR pada tahun 2001
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat 2, Pasal 24C, dan
Pasal 7B UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah
satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah disahkannya amandemen ke-3 UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan
Mahkamah Agung menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945
hasil amandemen ke-4. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah
melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
4316. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147M Tahun 2003 ditunjuk hakim konstitusi
untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.
Lembaran perjalanan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15
Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut
ketentuan UUD 1945.
UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti
menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Hal ini dikarenakan UUD 1945 adalah hukum dasar yang
melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban
konstitusional menjaga
atau atau
menjamin terselenggaranya
konstitusionalitas hukum. Fungsi dan peran utama Mahkamah Konstitusi adalah adalah menjaga
konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan
Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi
dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan
supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah
menjadi negara demokrasi
.
Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak
akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal
konstitusionalitasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati
adalah judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan
terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk hukum harus
mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan
fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Sedangkan secara
umum kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu :
1 Menguji Undang-Undang Terhadap UUD 1945.
2 Memutus Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara Yang Kewenangannya
Diberikan Oleh UUD 1945. 3
Memutus Pembubaran Partai Politik. 4
Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilu. 5
Memberi keputusan atas pendapat pendapat dpr mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden danatau wakil presiden.
6 memutus sengketa antarlembaga Negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang bersifat final dan mengikat final and binding. Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 menyatakan
bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana
putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan
Kembali PK. Selain itu juga ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan
Mahkamah Konstitusi. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan “erga
omnes”. Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi harus patuh dan tunduk
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam perkara pengujian undang-undang misalnya, yang diuji adalah
norma undang-undang yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Meskipun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon
yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi.
Kedudukan pembentuk undang-undang, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang
dilakukan. Pembentuk undang-undang hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan
undang-undang yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau Mahkamah
Konstitusi saja, tetapi juga menurut pembentuk undang-undang, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan
konstitusi. Oleh karena itu, yang terikat dan harus melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk
undang-undang, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101PPU-VII2009 merupakan
hasil uji materiil dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dimana fungsi pokok dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 untuk memberikan perlindungan terhadap para advokat di Indonesia agar bebas dan mandiri serta bertanggung jawab dalam menjalankan
profesinya sesuai dengan kode etik maupun peraturan perundang-undangan Dilihat dari fungsinya tersebut, maka dengan segala kekurangan dan
kelemahan dari Undang-Undang Advokat yang ada sekarang ini yang juga merupakan undang-undang yang pertama mengatur secara menyeluruh
tentang advokat Indonesia sejak Indonesia merdeka. Materi pokok pertama yang diatur dalam Undang-Undang Advokat
adalah tentang pengakuan bahwa advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri serta dijamin oleh hukum dan perundang-undangan
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Kedua adalah untuk menjaga kemandiriannya, maka advokat mengatur dan mengurus sendiri profesinya dalam satu organisasi profesi
advokat self governing body, tanpa campur tangan atau control dan kekuasaan pemerintah. Hal ini tercermin dari ketentuan bahwa organisasi
advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan
maksud dan tujuan meningkatkan kualitas profesi advokat Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Advokat. Ketentuan mengenai organisasi advokat itu pun
ditetapkan oleh para advokat sendiri dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-
Undang Advokat. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, seorang
advokat dapat melakukan pendampingan terhadap kliennya didepan pengadilan seperti yang terdapat dalam KUHAP. Dengan hanya
menyerahkan bukti berupa kartu anggota advokat dari organisasi manapun advokat tersebut bernaung, maka advokat tersebut tidak dapat dihalangi
untuk dapat beracara di pengadilan mendampingi kliennya. Setelah adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, khususnya dalam Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 28 ayat 1. Pada Pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa: “sebelum menjalankan profesinya,
advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh- sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili
hukumnya”. Sedangkan pada Pasal 28 ayat 1 menyatakan bahwa : “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang
bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi
Advokat”. maka mulailah timbul permasalahan mengenai sumpah adokat. Pertikaian di kalangan advokat saat ini sepenuhnya berasal dari
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang dianggap
oleh sebagian kalangan sebagai produk hukum yang malah menambah masalah kriminogen Jurnal Konstitusi, volume 7, nomor 6, Desember
2010. Saat ini organisasi advokat yang ada tidak hanya Perhimpunan
Advokat Indonesia PERADI dan Kongres Advokat Indonesia KAI, namun masih banyak organisasi lain. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan
apa yang tertuang dalam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Selain permasalahan mengenai wadah tunggal advokat, permasalahan sumpah advokat sebagaimana yang ada dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-
Undang Advokat. Para advokat dari organisasi advokat manapun akan ditanyakan tentang telah atau belum disumpah di depan Pengadilan
Tinggi dengan pembuktian berupa Berita Acara Penyumpahan Pelantikan Advokat dari Pengadilan Tinggi domisili hukumnya. Jika tidak dapat
menunjukannya maka majelis hakim akan menolak advokat tersebut untuk beracara atau berpraktik baik sebagai Penasihat Hukum maupun sebagai
Kuasa Hukum di depan persidangan peradilan. Sebenarnya selain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101PPU-
VII2009, terdapat tiga Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyangkut permasalahan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat. Ketiga putusan terebut adalah : 1
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66PUU-VIII2010 2
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71PUU-VIII2010
3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79PUU-VIII2010.
Namun pada intinya ketiga putusan terbaru tersebut bersifat Ne bis in idem dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101PPU-VII2009.
Meskipun sebenarnya terdapat kondisi-kondisi baru yang sebenarnya krusial yang patut dipertimbangkan Mahkamah Agung demi kepeningan penegakan
dan kepastian hukum yang melibatkan para advokat. Pemohon uji materiil Undang-Undang Advokat terdiri dari tiga
kelompok. Pertama, pemohon uji materiil dengan Perkara Nomor 66PUU- VIII2010, Pemohon mendalilkan, hak konstitusionalnya terganggu oleh
adanya ketentuan pasal 28 ayat 1 yaitu keharusan satu-satunya wadah Organisasi Advokat. Pasal 30 ayat 2 kewajiban setiap advokat menjadi
anggota Organisasi Advokat dan Pasal 32 ayat 4 UU Advokat yang member limit waktu paling lambat dua tahun sejak berlakunya UU Advokat
harus dibentuk. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Sedangkan pemohon kedua, dengan Perkara Nomor 71PUU- VIII2010. Pasal yang
dimohonkan
adalah pasal 28 ayat 1, Pasal 32 ayat 4, dan Pasal 30 ayat 2. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan tersebut
bertentangan dengan hak tiap-tiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pemohon juga mendalilkan bahwa hak pemohon
yang bernaung pada Kongres Advokat Indonesia KAI tidak terlindungi karena putusan Mahkamah Nomor 101PUU-VII2009, tanggal 30
Desember 2009 tidak ditaati oleh Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia yang menyebabkan kandidat Andvokat KAI tidak disumpah.
Pemohon ketiga, dengan Perkara Nomor 79PUU-VIII2010 diajukan Advokat KAI. Permohonan uji materiil ini berkaitan dengan Pasal 28 ayat
1 khusunya mengenai frase “satu-satunya” yang menurut pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat 1 UUD 1945.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan uji materiil dengan Perkara Nomor 66PUU-VIII2010 yang mendalilkan
Pasal 28 ayat 1, Pasal 32 ayat 4, bertentangan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan hak atas perkejaan dan penghidupan yang layak,
di tolak oleh mahkamah. ”Permohonan pemohon sepanjang mengenai pengujian Pasal 28 ayat 1 dan Pasal 32 ayat 4 UU tentang Advokat tak
dapat diterima”. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat, Pasal 28 ayat 1
dan Pasal 32 ayat 4 telah dimohonkan pengujian sebelumnya, dan telah diputus dalam Putusan Nomor 014PUU-IV2006, tanggal 30 November
2006. ”Sepanjang mengenai pasal-pasal yang telah diuji mutatis mutandis dengan batu uji yang sama menjadi pertimbangan pula dalam putusan a
quo.” Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Menurut Mahkamah Konstitusi, pada hakikatnya alasan pemohon dalam Pasal 28 ayat 1 sama dengan alasan permohonan dalam perkara
Nomor 014PUU-IV2006. Sehingga Mahkamah berpendapat bahwa
permohonan pemohon dinyatakan ne bis in idem sedangkan alasan lainnya tidak terbukti. Ne bis in idem adalah asas hukum yang menyatakan bahwa
perkara yang sama telah diputus dan berkekuatan hukum tetap tidak dapat diperkarakan kembali.
Khusus mengenai Pasal 32 ayat 4 Undang-Undang Advokat, Mahkamah Konstitusi berpendapat, pasal ini juga telah pernah dimohonkan
pengujian dalam putusan yang sama. Dimana salah satu pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi menyatakan, pasal 32 ayat 3 dan ayat 4
Undang-Undang Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan
telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tak relevan lagi dipersoalkan
konstitusionalitasnya. Terhadap perkara Nomor 71PUU-VIII2010, yang mengujikan Pasal
28 ayat 1, Pasal 30 ayat 2 dan Pasal 32 ayat 4 Undang-Undang Advokat yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28D ayat 1,
Pasal 28E ayat 3, dan Pasal 28J ayat 1 UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa selain Pasal 28 UUD 1945, juga telah digunakan dan
diputus Mahkamah dalam putusan Nomor 014PUU-IV2006 dan Nomor 66PUUVIII2010.
Alasan pemohon yang mendalilkan tak disumpahnya kandidat Advokat KAI oleh Pengadilan Tinggi sehingga mengakibatkan tak
diperkenankannya mengikuti
acara di
pengadilan, Mahkamah
Konstitusimenilai, hal itu tak berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian. ”Ini masalah penerapan Pasal 4 ayat 1 UU
Advokat yang telah dipertimbangkan dan diputus dalam putusan Mahkamah No.101PUU-VII2009, tanggal 30 Desember 2009”.
Sedangkan perkara Nomor 79PUU-VII2010 soal konstitusionalitas frasa “satu-satunya” yang menurut para pemohon bertentangan dengan
Pasal 28C ayat 1 UUD 1945, Mahkamah Konstitudi berpendapat, wadah tunggal Organisasi Advokat pada intinya sama sekali tak menghalangi
setiap orang untuk mengembangkan diri memenuhi kebutuhan dasarnya. Frasa ’satu-satunya’ juga tidak menyebabkan perlakuan yang bersifat
diskriminatif, tidak menghalangi setiap orang untuk mengembangkan diri memenuhi kebutuhan dasarnya dan lain-lain.
Mahkamah Konstitusi juga mengatakan, frase ‘satu-satunya’ juga tidak menghalang-halangi setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin,
juga tidak menyebabkan perlakuan yang diskrimintif. ”Menjadi Advokat yang secara sadar dipilih para pemohon adalah pilihan menurut hati nurani,
sehingga secara sadar pula harus terikat dengan ketentuan yang bertalian dengan profesi pilihan tersebut yaitu menjadi anggota dari satu-satunya
Organisasi Advokat.” Pada dasarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan
bahwa sumpah advokat tidak boleh dihalangi oleh pengadian tinggi. Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam putusan 101PUU-VII2009
bertanggal 30 Desember 2009 bahwa keharusan bagi Advokat mengambil
sumpah sebelum menjalankan profesinya merupakan kelaziman dalam organisasi dan suatu jabatanpekerjaan profesi yang tidak ada kaitannya
dengan masalah konstitusionalitas suatu norma hukum yang dimohonkan pengujian, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa ketentuan pengambilan sumpah bagi Advokat harus di sidang terbuka Pengadilan
Tinggi di wilayah hukumnya merupakan pelanjutan dari ketentuan yang berlaku sebelum lahirnya Undang-Undang Advokat yang memang
pengangkatannya dilakukan oleh Pemerintah yang dalam hal ini dilakukan oleh Menteri KehakimanMenteri Hukum dan HAM. Setelah lahirnya
Undang-Undang Advokat yang menentukan bahwa pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang
Advokat, bukan lagi oleh Pemerintah, memang seolah-olah pengambilan sumpah yang harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di
wilayah domisili hukumnya tidak lagi ada rasionalitasnya. Akan tetapi, mengingat bahwa profesi Advokat telah diposisikan secara formal sebagai
penegak hukum Pasal 5 Undang-Undang Advokat dan dalam rangka melindungi para klien dari kemungkinan penyalahgunaan profesi Advokat,
maka ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Advokat tersebut juga konstitusional.
Menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan yang mewajibkan para Advokat sebelum menjalankan profesinya harus mengambil sumpah
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Advokat, tidak
boleh menimbulkan hambatan bagi para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang dijamin oleh UUD 1945. Lagi pula Pasal 3
ayat 2 Undang-Undang Advokat secara expressis verbis telah menyatakan bahwa Advokat yang telah diangkat berdasarkan syarat-syarat yang
ditentukan oleh Undang-Undang Advokat dapat menjalankan praktiknya sesuai dengan bidang-bidang yang dipilih.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa keharusan bagi advokat untuk mengambil sumpah sebelum menjalankan
profesinya tidak ada kaitannya dengan persoalan konstitusionalitas norma, demikian juga mengenai keharusan bahwa pengambilan sumpah itu harus
dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, sepanjang ketentuan dimaksud tidak menegasi hak warga negara
para calon Advokat untuk bekerja yang dijamin oleh UUD 1945. Terjadinya hambatan yang dialami oleh para Pemohon untuk bekerja dalam profesi
Advokat pada dasarnya bukan karena adanya norma hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Advokat, melainkan
disebabkan oleh penerapan norma dimaksud sebagai akibat adanya Surat Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah
para calon Advokat sebelum organisasi advokat bersatu. Mahkamah Konstitusi menilai, penyelenggaran sidang terbuka
Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 1
Undang-Undang Advokat
merupakan kewajiban
atributif yang
diperintahkan oleh undang-undang, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakannya. Namun demikian, Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang
Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasi-
organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu PERADI dan KAI, harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana
dimaksud Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Advokat. Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang
Advokat adalah konstitusional sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” harus dimaknai sebagai
kewajiban yang diperintahkan oleh Undang-Undang untuk dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkannya dengan adanya dua organisasi
Advokat yang secara de facto ada dan sama-sama mengklaim sebagai organisasi Advokat yang sah menurut Undang-Undang Advokat.
Untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana ditentukan dalam Pasal
28 ayat 1 Undang-Undang Advokat, bagi Mahkamah Konstitusi, maka kewajiban Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah terhadap para calon
Advokat tanpa memperhatikan Organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada yang hanya bersifat sementara untuk jangka waktu selama 2 dua
tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu- satunya wadah profesi Advokat melalui kongres para Advokat yang
diselenggarakan bersama oleh organisasi advokat yang secara de facto saat
ini ada. Mahkamah Konstitusi kemudian menyatakan, setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat 1 UU
Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentu saja tidak bermaksud memenangkan eksistensi KAI yang berseberangan dengan PERADI,
melainkan hanya bermaksud menunjukkan secara de facto terdapat dua organisasi advokat yang sama-sama mengklaim sebagai organisasi Advokat
yang sah menurut Undang-Undang Advokat dan itu tidak terkait langsung dengan adanya norma penyumpahan Pasal 4 ayat 1 UU Advokat
sebagaimana amar putusan yang menyatakan, “Pasal 4 ayat 1 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan
Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para
Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada,
dalam jangka waktu dua tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”
Dari penjelasan mengenai Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung diatas, dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
adalah dua lembaga yang terpisah. Pada hakikatnya keduanya memang berbeda,
Mahkamah Agung lebih merupakan pengadilan keadilan court of justice, sedangkan Mahkamah Konstitusi lebuh berkenaan dengan lembaga pengadilan
hukum court of law. Memang tidak dapat dibedakan sepenuhnya sebagai “court of justice” dan “court of law” Asshiddiqie : 2005 : 9
Pada awalnya rumusan yang diusulkan adalah seluruh kegiatan “judicial review” diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga mahkamah agung
dapat berkonsentarsi menangani perkara-perkara yang diharapkan dapat mewujudkan rasa adil bagi setiap warga Negara Huda : 2009 : 203. Namun
UUD 1945 memberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan dibawah undang-undang kepada Mahkamah Agung. Di lain pihak, Mahkamah Konstitusi
juga diberi tugas dan kewajiban memutus dan membuktikan unsur tanggung jawab pidana presiden danatau wakil presiden yang menurut DPR telah
melakukan pelangaran hukum terhadap undang-undang. Dengan kata lain Mahkamah Agung tetap diberikan kewenangan sebagai court of law disamping
fungsinya sebagai court of justice. Sementara itu Mahkamah Konstitusi tetap diberi tugas yangberkenaan sebagai court of justice disamping fungsi utamanaya
sebagai court of law Huda, 2009 : 202-203. Pembagian tugas di bidang pegujian peraturan judicial review atas
peraturan perundang-undangan antara Mahkmah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah sama sekali tidak ideal, karena dapat menimbulkan perbedan
atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ke depan, yang mana harus dipikirkan kemungkinan mengintegrasikan
seluruh sistem pengujian peraturan dibawah kewenangan Mahkamah Konstitusi Asshiddiqie, 2005 : 9.
4.1.3 Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Tinggi