BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
2.1 Pengertian dan Organisasi Advokat
Sebelum menjelaskan tentang legalitas sumpah advokat untuk beracara di
pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101PPU-VII2009, terlebih dahulu
akan diuraikan tentang pengertian advokat. Advokat berasal dari kata “advocaat”, dalam bahasa latin yaitu “advocatus”
yang berarti pembela ahli hukum dalam perkara baik di dalam atau di luar pengadilan. Advokat merupakan salah satu organ hukum yang sangat penting
kedudukannya dalam beracara di sidang pengadilan baik pada perkara Pidana, Perdata maupun Tata Usaha Negara. Hal ini menjadi sangat penting karena dalam
penegakan supremasi hukum di Indonesia Undang-Undang Advokat memberikan kedudukan advokat tersebut setara penegak hukum lainnya yaitu : polisi, jaksa
dan hakim atau yang disebut dengan catur wangsa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI pengertian advokat adalah
ahli hukum yang berwenang bertindak sebagai penasihat atau pembela perkara di pengadilan. Selain itu dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP : “advokat merupakan seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang
untuk memberi bantuan hukum”. Kemudian dalam Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, disebutkan bahwa: “advokat
14
adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang- undang
ini.” Terhadap permasalahan sumpah advokat yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini, kemudian dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat 1 Undang-
Undang Advokat yang menyatakan : “sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Isi Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Advokat tersebut merupakan syarat
yang diamanatkan oleh Undang-Undang Advokat dan harus dimiliki oleh seorang advokat sebelum dinyatakan legal untuk beracara di pengadilan dengan tanpa
melihat dari organisasi advokat mana advokat itu berasal. Sumpah atau janji pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan juga diatur
dalam Pasal 76 ayat 1 dan 2 KUHAP 1
dalam hal berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji, maka untuk
keperluan tersebut dipakai peraturan perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun
mengenai tata caranya.
2 apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak
dipenuhi, maka sumpah atau janji tersebut batal menurut hukum. Berdasarkan isi dari Pasal 76 ayat 1 dan 2 KUHAP sangat jelas dikatakan
bahwa para pihak yang terlibat dalam persidangan diaruskan diambil sumpahnya baik berdasarkan KUHAP maupun berdasarkan undang-undang lain Undang-
Undang Advokat yang mengatur secara khusus mengatur, jika tidak terpenuhi maka sumpah tersebut batal demi hukum.
Dalam Kamus Hukum karangan Marwan dan Jimmy dikatakan bawa Organisasi Advokat adalah “organisasi profesi pengacara atau advokat yang
didirikan berdasarkan undang-undang”. Dalam Undang-Undang Advokat dinyatakan bahwa hanya ada satu organisasi advokat dalam suatu yurisdiksi.
Organisasi lain tetap mungkin ada, tetapi hanya satu yang diakui negara dan para advokat wajib bergabung di dalamnya. Namun pada kenyataannya, sampai
dengan saat ini belum juga terbentuk wadah tunggal advokat seperti yang diinginkan di dalam Undang-Undang Advokat.
Permasalahan yang mengakibatkan Organisasi Advokat sulit bersatu menurut Daniel S Lev adalah :
“Profesi advokat tidak lagi merupakan perkumpulan yang dekat, melainkan lebih memuat kelompok-kelompok yang berbeda
bedasarkan asal, pengalaman, dan orientasi professional. Jika pada masa lampau perbedaan utama hanya antara advokat professional dan
pokrol bambu, maka saat ini terlalu banyak garis perbedaan yang memisahkan advokat yang satu dari yang lain” Daniel, 2001 : 51
2.2 Sumpah Advokat