Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara Di Pengadilan Menurut Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101 PPU VII 2011

(1)

BERACARA DI PENGADILAN MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG

ADVOKAT PASCA PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 101/PPU-VII/2009

Skripsi diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Negeri Semarang

oleh Heigo Pebrianto

3450407073

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2011


(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009” yang disusun oleh Heigo Pebrianto telah disetujui pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi, pada :

Hari :

Tanggal :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

ALI MASYHAR, S.H., M.H ANIS WIDYAWATI, S.H.,M.H NIP. 19751118 200312 1 002 NIP. 19790602 200801 2 021

Mengetahui

Pembantu Dekan Bidang Akademik

Drs. SUHADI, S.H, M.Si NIP. 19671116 199309 1 001


(3)

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009” ini telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada :

Hari :

Tanggal :

Ketua Sekretaris

Drs. SARTONO SAHLAN, M.H Drs. SUHADI, S.H., M,SI NIP : 19530825 198203 1 003 NIP : 19671116 199309 1 001

Penguji Utama

Drs. Herry Subondo, M. Hum NIP : 19530406 198003 1 003

Penguji/Pembimbing I Penguji/Pembimbing II

ALI MASYHAR, S.H., M.H ANIS WIDYAWATI, S.H.,M.H NIP. 19751118 200312 1 002 NIP. 19790602 200801 2 021


(4)

PERNYATAAN

Penulis menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini adalah benar-benar hasil karya penulis sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 25 Agustus 2011 Pembuat pernyataan

Heigo Pebrianto NIM : 3450407073


(5)

MOTTO

Keberhasilan Orang Tua Dalam Mendidik Anak Bukan Dilihat Dari Kekayaan Yang Dimiliki Anaknya, Namun Dilihat Dari Bagaimana Anak Tersebut Menjaga Kehormatan Orang Tuanya Dikala Mereka Masih Hidup Dan Menjaga Nama Baiknya Dikala Mereka Telah Tiada (Penulis)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada :

1. Almarhum Papa (Sukadi), meskipun Allah hanya memberikan waktu 17 tahun kebersamaan, 17 tahun itu pula waktu terindah yang Engkau berikan kepada ku untuk merasakan cinta seorang ayah. semoga kita dapat berkumpul kembali di Surga Allah Swt

2. Almarhumah Ibu (Romenah) sampai kapanpun penulis tak akan menganggap ibu telah tiada

3. Kakak-kakakku tercinta

* Herry Efendi, S. H

* Herny Atikayani, S. H

* Anwar Hendra Ardiansyah, S. H 4. Almamaterku Universitas Negeri Semarang


(6)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara Di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009” ini tepat pada waktunya.

Mengingat keterbatasan kemampuan serta pengalaman penulis, juga keterbatasan sarana dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan-kesulitan, namun berkat bantuan serta bimbingan dari semua pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kebijaksanaan, sumbangsih, dukungan, serta bantuan dari berbagai pihak, maka ijinkanlah pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Allah SWT, pencipta dan penguasa alam semesta beserta mahlukNya.

2. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmojo, M.Si, Rektor Universitas Negeri Semarang. 3. Drs. Sartono Sahlan, M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri

Semarang.

4. Dr. Indah Sri Utari, S.H., M.Hum, Ketua Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.


(7)

memberikan petunjuk dan bimbingan hingga skripsi ini selesai.

7. Seluruh Dosen, Staf Pengajar dan Tata Usaha di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

8. Kepala Pengadilan Negeri Cirebon, Kepala Pengadilan Tinggi Bandung, Ketua DPC Peradi Cirebon, dan Ketua DPC KAI Cirebon beserta para stafnya yang telah memberikan data dan informasi kepada penulis.

9. Rekan-rekan Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang angkatan 2007 yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu serta dorongan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. 10. Rekan-rekan kos “Jogo Bonito” yang telah banyak membantu serta dorongan

untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis mengharapkan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya

Semarang, 25 Agustus 2011 Penulis,

Heigo Pebrianto 3450407073


(8)

ABSTRAK

Pebrianto Heigo. 2011, Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara Di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2011. Skripsi. Prodi Ilmu Hukum. Universitas Negeri Semarang, Ali Masyhar, S.H., M.H. Anis Widyawati, S.H.,M.H. 119 Halaman.

Kata Kunci : Sumpah, Advokat, Legalitas

Dalam Undang-Undang Advokat yang menjadi permasalah dalam penelitian ini terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1). Dalam Pasal 28 ayat (1) diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat. Namun kenyataannya terdapat banyak Organisasi Advokat. Kemudian dalam Pasal 4 ayat (1) diamanatkan untuk dilakukan sumpah terhadap advokat sebelum beracara di pengadilan. Namun dalam perkembangannya Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor 052/KMA/V/2009 memerintahkan agar Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk sementara waktu tidak mengambil sumpah advokat baru sebelum terbentuknya wadah tunggal advokat. Terkait berbagai permasalahan sumpah advokat tersebut, telah dilakukan upaya uji materiil terhadap Undang-Undang Advokat yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 101/PPU-VII/2009 ternyata bertentangan dengan SEMA Nomor 052/KMA/V/2009. Hal ini tentunya akan menciptakan dualisme pandangan di Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri apakah mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi atau Surat Ketua Mahkamah Agung dalam menentukan sikap tentang advokat yang legal untuk dapat beracara di pengadilan.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai : bagaimana sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?, dan bagaimana sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?. Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengetahui dan menganalisis sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, serta Mengetahui sejauh mana sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukkan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Kemudian dianalisis dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling, dengan jenis sampling yaitu purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi. Serta menggunakan teknik trianggulasi dalam validitas dan keabsahan data.

Adapun Hasil penelitian adalah sebagai berikut : (1) Pada Pengadilan Tinggi menunjukan bahwa Pengadilan Tinggi belum menjalankan sepenuhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 dan lebih memilih


(9)

menunjukkan bahwa sumpah advokat harus sesuai dengan Undang-Undang Advokat, dimana menyatakan seorang advokat yang tidak disumpah Pengadilan Tinggi adalah advokat yang tidak sah, sehingga secara hukum advokat yang tidak disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi tidak berhak beracara dalam persidangan di pengadilan. Namun dalam prakteknya advokat yang belum disumpah dalam di Pengadilan Tinggi diperbolehkan menjadi kuasa hukum, tetapi sifatnya mendampingi advokat lain yang sudah sah yang telah disumpah oleh Pengadilan Tinggi.

Dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Tinggi tidak menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, Pengadilan Tinggi lebih memilih untuk menjalankan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009. Sedangkan Sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukkan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 adalah tidak sah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Advokat. Dari simpulan tersebut dapat diberikan saran bahwaagar advokat memiliki legalitas seperti yang dikehendaki Undang-Undang Advokat, maka Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 seharusnya dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi dengan mengadakan sidang terbuka untuk melakukan penyumpahan terhadap para advokat tanpa memandang organisasinya, dan Sikap Pengadilan Negeri dalam menanggapi kasus sumpah advokat tersebut sebaiknya menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 karena mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi lebih berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tentunya hal ini dilakukan sambil menunggu organisasi advokat menyelesaikan permasalahan intern mereka dengan baik.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Pembatasan Masalah ... 9

1.4 Rumusan Masalah ... 10


(11)

1.7 Sistematika Skripsi ... 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 2.6 Pengertian dan Organisasi Advokat ... 14

2.3 Sumpah Advokat ... 16

2.3 Kewenangan dan Fungsi Lembaga Kehakiman ... 18

2.3.1 Kewenangan dan Fungsi Mahkamah Agung. ... 20

2.3.2 Kewenangan dan Makna Putusan Mahkamah Konstitusi ... 21

2.3.3 Kewenangan Hakim ... 23

2.4 Administrasi Peradilan Pidana ... 25

2.5 Kerangka Berpikir………… ... 26

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Dasar Penelitian ... 27

3.2 Metode Pendekatan ... 28

3.3 Lokasi Penelitian ... 29


(12)

3.4 Fokus Penelitian ... 29

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian... 30

3.3.2 Populasi……… .. 30

3.5.2 Sampel Penelitian………. .. 30

3.6 Sumber Data Penelitian ... 31

3.6.1 Sumber data primer……….. 31

3.6.2 Sumber data sekunder………. 32

3.7 Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.7.1 Wawancara……….. ... 33

3.7.2 Dokumen ... 34

3.1 Validitas dan Keabsahan Data ... 34

3.9 Metode Analisis Data ... 37

3.10 Prosedur penelitian ... 40

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Sikap Pengadilan Tinggi Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 ... 42

4.1.1 Tugas dan Fungsi Mahkamah Agung ... 46

4.1.2 Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi ... 53 xii


(13)

4.1.3.2 Pendapat Pengadilan Tinggi Jogjakarta

Sebagai Data Pembanding ... 88 4.2 Sikap Pengadilan Negeri Terhadap Advokat Yang

Tidak Menunjukan Berita Acara Sumpah Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 101/PPU-VII/2009 ... 92 4.2.1 Pendapat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Sebagai Data Pembanding ... 101

BAB 5 PENUTUP

5.2 Simpulan ... 114

5.2 Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117

LAMPIRAN


(14)

DAFTAR BAGAN

1. Bagan 1 Peran dan Fungsi Lembaga Kehakiman ... 20

2. Bagan 2 Kerangka Berpikir... 26

3. Bagan 3 Skema Trianggulasi ... 36

4. Bagan 4 Gambaran Kekuasaan Kehakiman ... 45

5. Bagan 5 Cara Hakim Mengetahui Sumpah Advokat ... 99

6. Bagan 6 Tanggapan Hakim Terhadap Putusan MK... 101


(15)

1. Surat Keputusan Pembimbing Skripsi ... 120

2. Formulir Pembimbingan Penulisan Skripsi ... 122

3. SEMA Nomor 052/KMA/V/2009 perihal sikap Mahkamah Agung Terhadap Organisasi Advokat ... 126

4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 ... 128

5. Pedoman wawancara di Pengadilan Negeri ... 167

6. Pedoman wawancara di Pengadilan Tinggi ... 169

7. Pedoman wawancara di DPC PERADI Cirebon ... 171

8. Pedoman wawancara di DPC KAI Cirebon ... 173

9. Artikel Koran dari Radar Cirebon tertanggal 12 Mei 2010 ... 175

10. Penetapan Pengadilan Negeri Cirebon Nomor 32/Pid.B/2010/PN.CN ... 177

11. Penetapan Pengadilan Negeri Cirebon Nomor 31/Pid.B/2010/PN.CN ... 183

12. Surat ijin Penelitian dari Fakultas untuk Pengadilan Negeri Cirebon ... 188 13. Surat Jawaban Ijin Penelitian dari Pihak


(16)

Pengadilan Negeri Cirebon ... 189

14. Surat ijin Penelitian dari Fakultas untuk Pengadilan Tinggi Bandung ... 190

15. Surat Jawaban Ijin Penelitian dari Pihak Pengadilan Tinggi Bandung ... 191

16. Surat ijin Penelitian dari Fakultas untuk DPC PERADI Cirebon ... 192

17. Surat Jawaban Ijin Penelitian dari Pihak DPC PERADI Cirebon ... 193

18. Surat ijin Penelitian dari Fakultas untuk DPC KAI Cirebon ... 195

19. Surat Jawaban Ijin Penelitian dari Pihak DPC KAI Cirebon ... 196


(17)

1.1

Latar Belakang

Advokat dalam penggunaan Bahasa Indonesia sehari-hari lebih sering disebut sebagai Pengacara atau Konsultan Hukum. Namun, setelah disahkannya Undang-Undang Advokat istilah yang dipergunakan hanya advokat, tidak lagi mengenal istilah Pengacara, Konsultan Hukum ataupun istilah lainnya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat merupakan undang-undang pertama yang lahir sejak Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang khusus mengatur tentang keberadaan advokat sebagai suatu organisasi hukum yang bebas dan mandiri dalam menegakkan hukum. Oleh karena itu keberadaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dirasakan sangat diperlukan demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum, karena dalam Undang-Undang Advokat tersebut kedudukan advokat disejajarkan dengan penegak hukum lainnya yaitu : polisi, jaksa dan hakim atau yang disebut dengan (catur wangsa).

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi beberapa peraturan lama produk Jaman Kolonial Belanda yang mengatur tentang keberadaan Advokat yaitu : Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Staatblad 1847 Nomor 23 jo. Staatblad 1848 Nomor 57) Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya, Bepalingen betreffende het kostuum der


(18)

2

Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders

(Staatblad 1848 Nomor 8), Bevoegdheid departemen thoofd in burgelijke zaken van land (Staatblad 1910 Nomor 446 jo. Staatblad 1922 Nomor 523) dan Vertegenwoordiging van de land inrechten (K.B.S 1922 Nomor 522).

Dalam perspektif sejarah, disadari bahwa perjalanan profesi advokat di Indonesia tidak bisa lepas dari keterkaitannya dengan perubahan sosial. Para advokat Indonesia terseret dalam arus perubahan tersebut. Pada masa pra kemerdekaan dan tahun-tahun berikutnya setelah Indonesia merdeka, secara individu banyak advokat terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, terutama perjuangan politik dan diplomasi. Kala itu kaum intelektual dan pemimpin politik Indonesia memang terbatas pada mereka yang berasal dari kalangan advokat, dokter, insinyur dan pamong peraja. Mereka terdidik dalam lingkungan liberal dan etika berpikir Eropa Barat termasuk Belanda. Karena kedudukan yang cukup terhormat itu, maka perannya cukup signifikan dalam menentukan sikap politik para pemimpin Indonesia pada masanya, seperti ikut merumuskan dasar-dasar konstitusi Indonesaia.

Lahirnya Undang-Undang Advokat, merupakan hasil perjuangan yang panjang sejak dulu, selama ini advokat selalu menjadi “anak bawang” dalam sistem hukum dan sistem peradilan. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat tentang peradilan tidak mengakui secara tegas fungsi advokat di dalamnya. Bahkan sebagian produk perundang-undangan tersebut justru mendatangkan intervensi eksternal atas advokat oleh pemerintah dan birokrasi peradilan. Penghargaan terhadap fungsi advokat dalam undang-undang


(19)

mengenai peradilan biasanya baru datang bersamaan dengan diperkenalkannya prinsip-prinsip peradilan yang baik, seperti ketika dibentuknya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Namun karena diatur secara simbolis, maka permasalahan tentang fungsi advokat tidak secara nyata diselesaikan, sebagaimana tidak nyatanya penyelesaian masalah-masalah yang menghambat terciptanya prinsip-prinsip peradilan yang baik. Oleh sebab itulah upaya mempertegas pengakuan negara terhadap fungsi advokat dalam sistem peradilan harus sejalan dengan upaya mengakomodasikan sebesar-besarnya kepentingan publik dalam pelaksanaan peradilan. Namun harapan untuk membentuk komunitas profesi advokat yang kuat dan mampu meletakkan fungsi profesi dalam kerangka sistem peradilan tidak pernah terwujud di Indonesia. Hingga akhirnya mereka mulai mencari bantuan pihak luar untuk ikut menyelesaikan persoalannya, dalam hal ini pilihan jatuh pada negara.

Berawal dari Kongres PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) tahun 1969, perjuangan advokat untuk mengupayakan undang-undang profesinya terangkat kembali ke permukaan pada Kongres Peradin tahun 1973. Rancangan Undang-Undang Pokok Advokat yang dibicarakan dalam Kongres tersebut merupakan hasil rumusan dari Peradin-Peradin di Jawa Tengah, dengan membandingkan undang-undang sejenis yang ada di negara-negara lain seperti India, Jepang, RRC, dan Muangthai, termasuk juga Belanda. Namun upaya ini terhenti sejalan dengan melemahnya Peradin di tahun-tahun berikutnya. Apalagi saat itu tidak sedikit pimpinan dan anggota Peradin yang menolak usulan tersebut.


(20)

4

Mereka percaya bahwa keberadaan Undang-Undang Advokat akan semakin membahayakan kemandirian advokat sendiri.

Perjuangan selanjutnya untuk mengupayakan terbentuknya Undang-Undang Advokat adalah setelah terbentuknya IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia) pada tahun 1985, upaya mengusung Rancangan Undang-Undang Advokat kembali dilakukan. Namun kala itu political will pemerintah tidak cukup memadai untuk membawa gagasan tersebut secara resmi dalam proses legislasi. Rancangan Undang-Undang Advokat bahkan sempat beberapa kali berubah, baik nama maupun konsep pengaturannya. Hingga akhirnya pada Tahun 2000, pemerintah Republik Indonesia menyerukan perlunya diajukan Rancangan Undang-Undang tentang Profesi Advokat ke DPR-RI, dengan harapan agar seluruh advokat yang berpraktek di Pengadilan disyaratkan untuk memiliki izin praktek, dan mentaati ketentuan kode etik profesi yang seragam.

Dalam rangka melaksanakan klausul tersebut, pemerintah akhirnya membentuk tim perumus Rancangan Undang-Undang tentang Profesi Advokat yang dipimpin oleh HAS Natabaya (mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional) sebagai ketua dan Adnan Buyung Nasution sebagai wakil ketua, dengan merangkul perwakilan dari beberapa organisasi advokat yang ada, seperti : Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), dan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI). Tim tersebut berhasil menyelesaikan tugasnya pada bulan September 2000, dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang yang dibuat kepada pimpinan DPR RI melalui surat Nomor. R.19/PU/9/2000. Kemudian Rancangan


(21)

Undang-Undang tersebut disahkan menjadi undang-undang pada tahun 2003 dalam bentuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

Namun setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, ternyata dianggap oleh sebagian besar advokat sebagai produk hukum yang malah menambah masalah (kriminogen). Sebenarnya sampai saat ini belum pernah dicapai kesepakatan bulat dan tuntas di antara para advokat mengenai perlu tidaknya profesi diatur dalam undang-undang tersendiri, sehingga selalu terdapat dua pandangan yang saling berseberangan.

Pandangan pertama, sebagian pandangan mayoritas di kalangan advokat, menyatakan bahwa Undang-Undang Advokat mutlak diperlukan untuk menyetarakan status antara profesi advokat dengan unsur-unsur peradilan lainnya (seperti polisi, jaksa, dan hakim). Tanpa status yang setara, advokat akan terus menjadi "anak bawang" dalam proses peradilan, dan selalu dipandang sama swastanya dengan klien yang diwakili. Akibatnya, advokat tidak dapat menjalankan perannya secara optimal karena rentan terhadap tindak diskriminasi, intervensi, dan represi baik dari polisi, jaksa, maupun hakim.

Pandangan kedua, menyatakan bahwa Undang-Undang Profesi Advokat memang diperlukan untuk menyetarakan status antara profesi advokat dengan unsur-unsur peradilan lainnya (polisi, jaksa, dan hakim). Namun isi yang terkandung didalamnya terdapat banyak kerancuan yang justru dapat membuat posisi advokat menjadi organisasi profesi yang diakui secara undang-undang namun tidak diakui sepenuhnya dalam praktek di pengadilan.


(22)

6

Salah satu isi dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang dapat menjadi permasalah besar adalah melalui Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Pasal 28 ayat (1) diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat, yang kemudian lahir PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), namun dalam perkembangannya di internal organisasi advokat itu sendiri malah terjadi perpecahan, sehingga muncul lagi organisasi advokat lain yaitu KAI (Konggres Advokat Indonesia) dan (AAI) Asosiasi Advokat Indonesia.

Kemudian dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan : “sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Namun dalam perkembangannya Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009 Tanggal 01 Mei 2009 memerintahkan agar semua Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk sementara waktu tidak mengambil sumpah advokat baru yang dimintakan penyumpahannya, sebelum terbentuknya wadah tunggal advokat seperti yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat.

Terkait berbagai permasalahan tersebut, telah dilakukan upaya uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi atas usulan dari beberapa advokat senior. Uji meteriil tersebul ditujukan khususnya pada Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1). Namun putusan dari Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


(23)

101/PPU-VII/2009 ternyata cenderung mengambang dan tidak tegas dalam memutuskan mencabut atau tidak dari pasal yang dilakukan uji Materiil tersebut.

Hal ini tentunya akan menciptakan dualisme pandangan di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri apakah mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi atau Surat Ketua Mahkamah Agung dalam menentukan sikap tentang advokat yang legal untuk dapat beracara di pengadilan. Bahkan mungkin akan terjadi perbedaan pandangan di setiap Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dimana seorang advokat dinyatakan legal di Pengadilan Negeri A namun dinyatakan tidak legal oleh Pengadilan Negeri B.

Salah satu contoh dari permasalahan tersebut adalah yang terjadi di Pengadilan Negeri Kota Cirebon dimana pada sidang perkara pidana No.32/Pid.B/2010/PN.CN Jaksa Penuntut Umum menanyakan perihal berita acara penyumpahan advokat dari Pengadilan Tinggi terhadap tim advokat tersebut sebagaiman yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Namun tim advokat tersebut tidak dapat menunjukan berita acara penyumpahan advokat terhadap dirinya (Radar Cirebon, 12 Mei 2010). Advokat tersebut beralasan bahwa keharusan seorang advokat untuk disumpah oleh Pengadilan Tinggi sebelum dapat beracara di pengadilan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 telah dicabut/dibatalkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Alasan tersebut tidak dapat diterima oleh Jaksa Penuntut Umum karena menurutnya Putusan Mahkamah Konstitusi


(24)

8

Nomor 101/PPU-VII/2009 tersebut tidaklah mencabut atau membatalkan isi dari pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Maka majelis hakim pada persidangan tersebut dengan mengacu pada pertimbangan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 mengeluarkan penetapan No.32/Pid.B/2010/PN.CN yang berisikan bahwa : “Tim Advokat/Penasehat hukum yang mendampingi para terdakwa tidak mempunyai kewenangan untuk mendampingi para terdakwa dalam perkara pidana No. 32/Pid.B/2010/PN.CN”.

Kasus di atas merupakan satu dari banyak kasus yang mungkin akan terjadi, hal ini dapat dilihat dari semakin maraknya Uji Materiil Undang-Undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi yang belakangan ini terjadi. Menurut Ketua Mahkama Konstitusi saat itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Advokat bermasalah, baik itu dari segi isi maupun proses pembentukannya (hukumonline.com, 1 Desember 2006).

Dengan melihat permasalahan yang terjadi dan menurut penjelasan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan mengambil judul : ”LEGALITAS SUMPAH ADVOKAT UNTUK BERACARA DI PENGADILAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 101/PPU-VII/2009”.


(25)

1.2

Identifikasi masalah

Melihat dari latar belakang permasalahan yang ada, maka penulis mengklasifikasikan masalah yang mungkin muncul, yakni :

1) Sumpah advokat bisa menjadi masalah di pengadilan.

2) Saling klaim sebagai organisasi advokat yang sah menurut undang-undang. 3) Sikap yang berbeda-beda dari masing-masing Pengadilan Tinggi yang ada di

Indonesia dalam menanggapi permasalahan sumpah advokat.

4) Sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009.

5) Sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009.

6) Sah tidaknya berpraktek di sidang pengadilan tanpa adanya sumpah. 7) Akibat hukum dari batalnya sumpah.

1.3

Pembatasan Masalah

Agar dalam melakukan penelitian tidak menyimpang dari judul yang dibuat, maka penulis perlu melakukan pembatasan masalah untuk mempermudah permasalahan dan mempersempit ruang lingkup, yang dalam hal ini adalah : 1) Sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita

acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009


(26)

10

2) Sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009.

1.4

Rumusan Masalah

1) Bagaimana sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?

2) Bagaimana sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?

1.5

Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan yang hendak dincapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Mengetahui dan menganalisis sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009.

2) Mengetahui sejauh mana sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukkan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009.

1.6

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 merupakan putusan yang menarik untuk dikaji, karena isi dari putusan tersebut cenderung mengambang dan dapat


(27)

menimbulkan banyak tafsir dalam mengartikannya terutama dikalangan aparat penegak hukum yang berkepentingan di dalam pengadilan pada umumnya dan dikalangan organisasi-organisasi advokat pada khususnya. Sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu prinsip penegakan hukum yang baik di Indonesia.

1.6.1 Manfaat Teoritis

1) Diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu hukum dan khususnya Hukum Acara Pidana.

2) Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk dijadikan arah penelitian yang lebih lanjut pada masa yang akan datang.

3) Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan agar dalam pembuatan keputusan tidaklah mengambang dan menimbulkan tafsir yang beragam.

1.6.2 Manfaat Praktis 1) Bagi Mahasiswa

Memberikan suatu gambaran mengenai suatau permasalahan yang timbul dalam tata cara beracara di pengadilan sehingga dapat memotifasi mahasiswa agar daat labih jauh lagi mendalami ilmu hukum tidak terbatas hanya pada hukum formil dan Materiil saja tetapi dari permasalahan hukum yang kompleks yang mungkin dapat timbul dalam penerepan hukum itu sendiri


(28)

12

2) Bagi Pengajar

Penelitian ini dapat memberikan suatu gambaran bahwa permasalahan hukum dapat timbul tidak hanya dari materi hukum pidana yang senantiasa diajarkan pada mahasiswa tapi dapat timbul dari aspek Hukum Tata Negara maupun Hukum Administrasi Negara. Sehingga dalam pembelajarannya perlu menggunakan pendekatan yang lebih kompleks agar dapat menghasilkan lulusan-lulusan ilmu hukum yang berkualitas.

1.7

Sistematika Skripsi

Penulisan skripsi ini disusun dengan sistemtika pembahasan sebagai berikut : 1.7.1 Bagian awal skripsi yang memuat:

Halaman judul, pengesahan, sari, motto dan persembahan, prakata, daftar isi dan daftar lampiran.

1.7.2 Bagian pokok skripsi yang memuat:

BAB 1 PENDAHULUAN, Bab ini menguraikan tentang : latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, Bab ini berisi tentang : pengertian advokat, sumpah advokat, kewenangan dan fungsi lembaga kehakiman, administasi peradilan pidana, dan kerangka berfikir dari penelitian.


(29)

BAB 3 METODE PENELITIAN, bab ini menguraikan tentang: dasar penelitian, metode pendekatan, lokasi penelitian, fokus penelitian, populasi dan sampel penelitian, sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, validasi dan keabsahan data, metode analisis data, dan prosedur penelitian.

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, bab ini menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai :

a. Sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009,

b. Sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukkan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009; dan BAB 5 PENUTUP, bab ini menguraikan tentang simpulan dan saran. 1.7.3 Bagian akhir skripsi yang memuat : daftar pustaka dan lampiran.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

2.1

Pengertian dan Organisasi Advokat

Sebelum menjelaskan tentang legalitas sumpah advokat untuk beracara di pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, terlebih dahulu akan diuraikan tentang pengertian advokat.

Advokat berasal dari kata “advocaat”, dalam bahasa latin yaitu “advocatus” yang berarti pembela ahli hukum dalam perkara baik di dalam atau di luar pengadilan. Advokat merupakan salah satu organ hukum yang sangat penting kedudukannya dalam beracara di sidang pengadilan baik pada perkara Pidana, Perdata maupun Tata Usaha Negara. Hal ini menjadi sangat penting karena dalam penegakan supremasi hukum di Indonesia Undang-Undang Advokat memberikan kedudukan advokat tersebut setara penegak hukum lainnya yaitu : polisi, jaksa dan hakim atau yang disebut dengan catur wangsa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian advokat adalah ahli hukum yang berwenang bertindak sebagai penasihat atau pembela perkara di pengadilan. Selain itu dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : “advokat merupakan seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum”. Kemudian dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, disebutkan bahwa: “advokat


(31)

adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang- undang ini.”

Terhadap permasalahan sumpah advokat yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, kemudian dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat yang menyatakan : “sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.

Isi Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat tersebut merupakan syarat yang diamanatkan oleh Undang-Undang Advokat dan harus dimiliki oleh seorang advokat sebelum dinyatakan legal untuk beracara di pengadilan dengan tanpa melihat dari organisasi advokat mana advokat itu berasal.

Sumpah atau janji pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan juga diatur dalam Pasal 76 ayat (1) dan (2) KUHAP

1) dalam hal berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai tata caranya.

2) apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah atau janji tersebut batal menurut hukum.

Berdasarkan isi dari Pasal 76 ayat (1) dan (2) KUHAP sangat jelas dikatakan bahwa para pihak yang terlibat dalam persidangan diaruskan diambil sumpahnya baik berdasarkan KUHAP maupun berdasarkan undang-undang lain (Undang-Undang Advokat) yang mengatur secara khusus mengatur, jika tidak terpenuhi maka sumpah tersebut batal demi hukum.


(32)

16

Dalam Kamus Hukum karangan Marwan dan Jimmy dikatakan bawa Organisasi Advokat adalah “organisasi profesi pengacara atau advokat yang didirikan berdasarkan undang-undang”. Dalam Undang-Undang Advokat dinyatakan bahwa hanya ada satu organisasi advokat dalam suatu yurisdiksi. Organisasi lain tetap mungkin ada, tetapi hanya satu yang diakui negara dan para advokat wajib bergabung di dalamnya. Namun pada kenyataannya, sampai dengan saat ini belum juga terbentuk wadah tunggal advokat seperti yang diinginkan di dalam Undang-Undang Advokat.

Permasalahan yang mengakibatkan Organisasi Advokat sulit bersatu menurut Daniel S Lev adalah :

“Profesi advokat tidak lagi merupakan perkumpulan yang dekat, melainkan lebih memuat kelompok-kelompok yang berbeda bedasarkan asal, pengalaman, dan orientasi professional. Jika pada masa lampau perbedaan utama hanya antara advokat professional dan pokrol bambu, maka saat ini terlalu banyak garis perbedaan yang memisahkan advokat yang satu dari yang lain” (Daniel, 2001 : 51)

2.2

Sumpah Advokat

Sumpah advokat yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini merupakan syarat yang diamanatkan oleh Undang-Undang Advokat dan harus dimiliki oleh seorang advokat sebelum dinyatakan legal untuk beracara di pengadilan dengan tanpa melihat dari organisasi advokat mana advokat itu bersasal.

Selain itu, dalam Pasal 4 ayat (1) yang merupakan inti permasalahan dari penelitian ini, dikatakan pula bahwa dalam menjalankan profesinya, seorang advokat harus memegang teguh sumpah advokatnya dalam rangka menegakkan


(33)

hukum Rambe, 2001 : 33). Ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Advokat telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah dari sumpah advokat yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dimana sumpah tersebut dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yaitu:

“demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :

1) bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

2) bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga 3) bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan

4) bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan saya tangani

5) bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat

6) bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.

Sumpah advokat tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Menurut Jimly Asshiddiqie (2005 : 9)

“Seandainya setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi, meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa meningkat lebih baik.


(34)

18

Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan hukum dan keadilan”.

2.3

Kewenangan dan Fungsi Lembaga Kehakiman

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke-4, disebutkan bahwa :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Namun dalam penelitian ini hanya kewenangan Mahkamah Agung dan kewenangan Mahkamah Konstitusi serta sedikit penjelasan mengenai kewenangan Hakim yang akan dijelaskan.

Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah adalah dua lembaga yang terpisah. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam (Mahkamamah Konstitusi dan Pengujian


(35)

Undang-Undang), karena pada hakikatnya keduanya memang berbeda. Mahkamah Agung lebih merupakan pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan Mahkamah Konstitusi lebuh berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum (court of law). Memang tidak dapat dibedakan sepenuhnya sebagai “court of justice” versus “court of law”.

Pada awalnya rumusan yang diusulkan adalah seluruh kegiatan “judicial review” diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga mahkamah agung dapat berkonsentarsi menangani perkara-perkara yang diharapkan dapat mewujudkan rasa adil bagi setiap warga Negara (Huda, 2009 : 2003). Namun UUD 1945 memberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan dibawah undang-undang kepada Mahkamah Agung. Di lain pihak, Mahkamah Konstitusi juga diberi tugas dan kewajiban memutus dan membuktikan unsure tanggung jawab pidana presiden dan/atau wakil presiden yang menurut DPR telah melakukan pelangaran hukum terhadap UUD. Dengan kata lain Mahkamah Agung tetap diberikan kewenangan sebagai court of law disamping fungsinya sebagai court of justice. Sementara itu Mahkamah Konstitusi tetap diberi tugas yangberkenaan sebagai court of justice disamping fungsi utamanaya sebagai court of law (Huda, 2009 : 202-203).

Pembagian tugas di bidang pegujian peraturan (judicial review) atas peraturan perundang-undangan antara Mahkmah Agung dan Mahkamah Konstitusi menurut Jimly Asshiddiqie dalam (Mahkamamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang) sama sekali tidak ideal karena dapat menimbulkan perbedan atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkmah Agung dan


(36)

20

Mahkamah Konstitusi ke depan, yang mana hrus dipikirkan kemungkinan mengintegrasikan seluruh system pengujian peraturan dibawah kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Peran dan fungsi dari masing-masing lembaga kehakiman berdasarkan UUD 1945 amandemen ke-4 tergambar dalam bagan berikut ini :

Bagan 1

Peran dan fungsi Lembaga Kehakiman

2.3.1 Kewenangan dan Fungsi Mahkamah Agung

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman : “Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,”

Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi negara dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan sebagaimana


(37)

dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman :

“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”

Kewenangan dari Mahkamah Agung sebagai mana disebutkan dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman adalah :

1) mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain.

2) menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang-undang-undang.

3) kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

2.3.2 Kewenangan dan Makna Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi : “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Landasan Konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 24C UUD 45, yang menyebutkan :

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untukmenguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partaipolitik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.


(38)

22

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Hal ini sesuai dengan kewenangan dari Mahkamah Konstitsi yang tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi :

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

3) memutus pembubaran partai politik

4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

5) Memberikan putusan atas pendapat DPR tentang dugaan Presiden/Wakil Presiden melanggar hukum, berupa : mengkhianati negara, korupsi, suap, t indakpidana berat lainnya, atau perbuatan tercela lainnya.

Dalam memutuskan perkara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan sebagimana yang terdapat dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi :

1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


(39)

4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Salah satu asas yang dimiliki Mahkamah Konstitusi terdapat asas “erga omnes” yaitu bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat setiap orang. Sehingga setiap orang harus patuh terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi.

2.3.3 Kewenangan Hakim

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memuat pengertian hakim adalah : “orang yang mengadili perkara di pengadilan atau mahkamah”. Kewenangan hakim diatur dalam Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam penelitian ini kewenangan hakim dalam memutus suatu perkara menjadi sangat penting kedudukannya, mengingat dari adanya dua keputusan dari dua lembaga kehakiman Negara yang salaing bertentangan satu sama lain. Keputusan pertama datang dari Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, keputusan kedua datang dari Mahkamah Agung dengan SEMA Nomor 052/KMA/V/2009.


(40)

24

Kedua keputusan tersebut memutus mengenai obyek yang sama yaitu masalah sumpah advokat. Hal ini tentunya akan membuat hakim bimbang baik pada hakim Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi dengan mengikuti pada keputusan siapa yang harus diikuti.

Dalam mengambil sebuah keputusan seorang hakim haruslah mandiri, dalam arti tidak dibolehkan ada interfensi dari pihak mana pun. Hal ini berdasarkan atas Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman :

1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pandangan Hakim adalah pandangan obyektif dari posisi yang obyektif. Menurut Kamus Hukum karangan Marwan dan Jimmy, objectief diartikan sebagai “berpendirian jujur berpandangan yang benar, berpandangan sesuai keadaan yang sebenarnya”. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), objektivitas diartikan sebagai “sikap jujur tidak dipengaruhi pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dalam mengambil keputusan atau tindakan. Dengan demikian ukuran untuk menentukan apakah seorang Hakim telah melaksanakan tugasnya secara objektif adalah apabila ia bersikap jujur, tidak dipengaruhi pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan, berpandangan dan bertindak benar (sesuai hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku) sesuai


(41)

dengan keadaan yang sebenarnya dalam mengambil keputusan atau tindakan dalam setiap pemeriksaan.

2.4

Administrasi Peradilan Pidana

Administrasi pengadilan diantaranya meliputi pengawasan terhadap anggaran, penunjukan hakim dalam suatu perkara, menciptakan jadwal persidangan dan mengawasi pekerjaan yang bersifat non-perkara.

Dalam administrasi peradilan diatur mengenai kegiatan yang dilakukan oleh pengadilan untuk menciptakan efisiensi, akurasi dan konsistensi dalam sistim peradilan. Suatu struktur administrasi pengadilan dilakukan dalam rangka menunjang kerja hakim dan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan (Adisoeryo, 2002 : 80)

Administrasi peradilan digunakan untuk menegakkan prinsip kekuasaan kehakimian yang merdeka, maka atas dasar amanat TAP MPR RI No. X/MPR/1998 yang mengamanatkan Pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif dengan mengalihkan organisasi, administrasi dan finansial badan-badan peradilan yang semula berada di bawah departemen-departemen menjadi berada di bawah Mahkamah Agung, maka diundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No.1 Juli 2004).

Cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu satuan sistem yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu cabang kekasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juda dapat


(42)

26

dipahami mempunyai dua pintu, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (Asshiddiqie, 2004 : 82-83)

2.5 Kerangka Berpikir

Dalam penulisan skripsi, kerangka berfikir penting untuk menjelaskan penelitian dalam mencapai tujuan atas sebuah penelitian yang dilakukannya. Dengan kerangka berfikir diharapkan para pembaca dapat lebih memahami isi dan makna dari penulisan skripsi ini.

Bagan 2 Kerangka berpikir


(43)

3.1

Dasar Penelitian

Metode adalah salah satu cara yang dipergunakan untuk mendapatkan data dan menguji kebenaran yang valid. Pada penelitian hukum ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif.

Metode kualitatif adalah metode yang dipergunakan sebagai prosedur dalam melakukan penelitian yang dapat menghasilkan data-data yang valid dan deskriptif, yang di dalamnya dapat secara lisan ataupun tulisan dari para pelaku yang peneliti amati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu yang diterangkan secara utuh. Maka dalam hal ini tidak mengisolasi individu atau organisasi kedalam variable atau hipotesis akan tetapi perlu melihatnya sebagai satu kesatuan yang utuh (Moleong, 2007: 4).

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan strategi penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Bodgan dan Taylor adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan pelaku yang diamati” (Moleong 2007 : 4). Sedangkan menurut Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental tergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan peristilahannya” (Moleong, 2007 : 4).


(44)

28

Strategi penelitian kualitatif digunakan karena beberapa alasan,yaitu :

1) Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apa bila berhadapan dengan kenyataan yang ada,

2) Kedua,metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan peneliti dengan pemberi informasi,

3) Ketiga,metode ini lebih peka dan lebih dapat menyasuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2007 : 9-10)

3.2

Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis (juridical sociological). Metode pendekatan yuridis sosiologis adalah suatu penelitian yang menitik beratkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dalam hukum (Marzuki, 2007 : 87). Hal ini dikarenakan permasalahan yang akan diteliti adalah didasarkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, yang berkaitan dengan pandangan hakim dalam menetapkan legalitas dari advokat untuk beracara di pengadilan. Kemudian akan ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Segi sosiologisnya adalah sikap hakim terkait sumpah advokat dalam memutuskan kelegalan advokat untuk beracara di pengadilan. Metode pendekatan dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan cara pengamatan, wawancara, dan penelaahan dokumen.


(45)

3.3

Lokasi Penelitian

Penetapan lokasi penelitian sangat penting dalam rangka mempertanggung jawabkan data yang diperoleh. Dengan demikian maka lokasi penelitian perlu ditetapkan terlebih dahulu. Lokasi Penelitian atau tempat dimana penelitian ini dilakukan adalah mengacu dimana permasalahan obyek itu berasal yaitu di Pengadilan Negeri Cirebon. Namun demikian lokasi lain seperti: Pengadilan Tinggi Bandung, DPC PERADI Cirebon serta DPC KAI Cirebon juga digunakan.

3.4

Fokus Penelitian

Fokus pada dasarnya adalah masalah yang bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui pengetahuan yang diperolehnya melalui kepustakaan ilmiah ataupun kepustakaan lainnya (Moleong, 2007 : 97). Penetapan fokus ini sangat penting sekali, karena dengan adanya fokus maka seorang peneliti dapat membatasi studi. Selain itu dengan penetapan fokus yang jelas dan mantap, maka peneliti dapat membuat keputusan yang tepat dalam mencari data.

Fokus dalam penelitian kualitatif sebenarnya adalah masalah itu sendiri. Yang menjadi fokus dari penelitian ini dibatasi pada Penetapan Pengadilan yang mempertanyakan kelegalan dari tim advokat yang belum diambil sumpahnya oleh Pengadilan Tinggi domisili hukumnya untuk mendampingi dan beracara di Pengadilan Negeri Cirebon.


(46)

30

3.5

Populasi dan Sampel Penelitian

3.5.1 Populasi

Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti (Soemitro, 1988 : 44). Populasi dalam penelitian ini adalah hakim di Pengadilan Negeri Cirebon, hakim di Pengadilan Tinggi Bandung, serta advokat dari KAI dan PERADI

3.5.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2008: 81). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalahadalah teknik random sampling, yaitu suatu teknik pengambilan sampel secara sembarangan atau tanpa pilih atau secara rambang, tetapi dimana setiap objek atau individu atau gejala yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel (Soemitro, 1988: 47). Jenis sampel yang dipakai adalah purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. (Sugiyono, 2008: 85).

Keterbatasan waktu dan biaya, maka tidak dapat mengambil sampel yang besar jumlahnya dan jauh letaknya sehingga untuk memenuhi sampel tertentu yang diinginkan, maka subyek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi. Dalam penelitian ini sampel hakim yang digunakan sebagai sampel penelitian adalah Majelis Hakim yang


(47)

mengelurakan Penetapan Pengadilan Nomor 31/Pid.B/2010/PN.CN dan 32/Pid.B/2010/PN.CN

3.6

Sumber Data Penelitian

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah “kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain” (Moleong, 2007 : 157). Sumber data menyatakan berasal dari mana data penelitian dapat diperoleh. Di dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data:

3.6.1 Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan data pokok yang di perlukan dalam penelitian yang berasal dari responden dan informan dan merupakan sumber data utama, yang diperoleh peneliti dari:

3.6.1.1 Responden

Responden merupakan sumber data yang berupa orang, dalam penelitian ini yang dijadikan responden adalah hakim dan advokat. Hakim yang dimaksud disini adalah hakim Pengadilan Negeri Cirebon yang menangani perkara yang disidangkan dalam kasus ini, sedangkan advokat yang dimaksud disini adalah advokat yang terlibat dalam kasus ini atau advokat lain yang tidak terlibat terlibat dalam kasus initetapi mengetahui permasalahan yang terjadi dalam proses persidangan tersebut. Dari beberapa responden tersebut diharapkan terungkap kata-kataatau tindakan yang dari orang yang diamati atau diwawancarai dapat dijadikan sebagai sumber data utama


(48)

32

3.6.1.2 Informan

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong, 2006:132). Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah Ketua Pengadilan Negeri Negeri Cirebon dan Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Cirebon yang menangani kasus tersebut.

3.6.2 Sumber Data Skunder

Data sekunder adalah data yang menunjang data primer dan merupakan pelengkap bagi data primer. Sumber data sekunder yang digunakan :

Sumber data sekunder atau data tertulis yang digunakan dalam penelitian ini dapat berupa:

1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung 6) SEMA Nomor 052/KMA/V/2009 tentang Sikap Mahkamah Agung RI

Terhadap Organisasi Advokat 7) SEMA Nomor 113/KMA/IX/2009

8) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 9) Penetapan Pengadilan Nomor 32/Pid.B/2010/PN.CN


(49)

10) Artikel berita yang berasal dari koran Radar Cirebon tertanggal 12 Mei 2010.

11) Dokumen dan hasil-hasil penelitian yang ada kaitannya dengan legalitas advokat.

3.7

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah :

3.7.1 Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memeberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2006:186).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat pengumpulan data dengan berupa pedoman wawancara yaitu instrumen yang berbentuk pertanyaan- pertanyaan yang ditujukan Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakum serta Tim Pengacara yang langsung terlibat dalam persidangan kasus tersebut.

Untuk memperoleh informasi yang sedekat-dekatnya dan seobjektif-objektifnya, peneliti dalam melakukan wawancara harus saling bekerjasama, saling menghargai, saling mempercayai, saling memberi serta saling menerima.


(50)

34

3.7.2 Dokumen

Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan “contentanalysis” (Soekanto, 1986: 21). Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari dokumen sebagai sarana pengumpulan data peneliti dengan pengumpulan data pengecekan berkas-berkas yang ada di Pengadilan Negeri Cirebon, mengenai berita acara persidangan.data yang didapatkan tersebut dapat pula untuk memperkuat apa yang terdapat di lapangan pada saat wawancara.

3.8

Validitas dan Keabsahan Data

Moleong memandang bahwa data merupakan konsep paling penting bagi penelitian kualitatif yang di perbaharui dari konsep kesatuan validitasi dan kendala atau reabilitas versi positifisme dan disesuaikan dengan tuntutan pengetahuan, kriteria dan paradigma sendiri (Moleong, 2007: 171).

Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik untuk memeriksa keabsahan data.Teknik pemeriksaan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan tehnik trianggulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding dalam data itu. Dengan kata lain digunakan juga pendapat JPU selain dari pendapat hakim dan advokat. Dalam pemeriksaannya dibedakan empat macam bentuk pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori (Moleong, 2007: 178).


(51)

Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton, 1987 : 331 dalam Moleong, 2006 : 330-331). Hal dicapai dengan jalan:

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara;

b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi;

c. Membandingkan apa yang orang katakan tentang situasi penelitian saat ini dengan apa yang orang katakan di lain waktu;

d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, dan orang pemerintahan; dan

e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (Moleong, 2007 :331).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan trianggulasi dengan sumber derajat dicapai dengan jalan:

a. Membandingkan data di lapangan dengan hasil wawancara;

b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; dan

c. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Triangulasi tergambar dalam gambar sebagai berikut:


(52)

36

Bagan 3 Skema trianggulasi

Keterangan :

1. Masalah yang sama dicek silang melalui sumber/informan yang berbeda, misalnya antara hakim dengan advokat.

2. Masalahnya yang sama dicek silang melalui teknik yang berbeda, misalnya wawancara dengan observasi.

3. Sumber yang sama dicek silang melalui teknik waktu yang berbeda, misalnya pada hari minggu pertama dan minggu kedua.

4. Sumber yang sama dicek silang melalui teknik yang berbeda, misalnya wawancara dengan observasi.

Dalam penelitian ini, nara sumber yang dipilih adalah berasal dari Pengadilan Negeri Cirebon. Penelitian terfokus pada pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan penetapan Pengadilan Nomor 31/Pid.B/2010/PN.CN dan

Sumber yang sama

Waktu yang berbeda

Teknik yang berbeda Masalah yang sama

Sumber yang sama


(53)

32/Pid.B/2010/PN.CN yang ada setelah adanya usulan dari JPU mengenai sumpah advokat. Penelitian juga dilakukan terhadap organisasi advokat yang terlibat dalam perkara tersebut.

3.9

Metode Analisis Data

Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Moleong, 2007: 103).

Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang di pelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2007: 248).

Secara etimologis “hipotesis” berarti dugaan sementara atau jawaban sementara (Alex, 2004: 152).

Proses analisis data sebenarnya merupakan pekerjaan untuk menemukan tema-tema dan merumuskan hipotesis-hipotesis, meskipun sebenarnya tidak ada formula yang pasi dapat digunakan untuk merumuskan hipotesis. Hanya saja pada analisis data, tema, dan hipotesis lebih diperkaya dan diperdalam dengan cara menggabungkannya dengan sumber-sumber data yang ada (Ashshofa, 2004 : 66).

Analisis data penelitian menggunakan data kualitatif model interaktif yang berlangsung terus-menerus dan berkelanjutan (Miles dan Huberman dalam Bungin, 2007: 144), analisis model interaktif melalui berbagai alur kegiatan melalui langkah-langkah sebagai berikut:


(54)

38

1) Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan yang dilakukan terhadap berbagai jenis dan bentuk apa yang ada di lapangan kemudian data tersebut dicatat (Moleong, 2002: 106). Pengumpulan data ini dilakukan berkaitan dengan data penelitian yang ada di lapangan yaitu peneliti melakukan wawancara kepada majelis hakim yang bertugas dalam perkara tersebut. Adapun langkah-langkahnya yaitu: mengurus surat ijin penelitian, mendapat surat jawaban dari pihak pengadilan, melakukan penelitian, penelitian dilapangan, mendapatkan dokumen dan hasil wawancara. 2) Reduksi Data

Reduksi data adalah proses pemilihan pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dan menggolongkan, menyatukan dan membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulannya dapat ditarik dan diverifikasi (Milles, 1992: 15).

Reduksi data yang peneliti lakukan antara lain dengan menajamkan hasil penelitian mengenai legalitas sumpah advokat di Pengadilan Negeri Cirebon berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dengan cara mengarahkan hasil penelitian sesuai dengan permasalahn peneliti dan membuang data yang tidak perlu. Pada tahap ini penulis memilih data yang paling tepat yang disederhanakan dan diklasifikasikan atau dasar tema, memadukan data yang tersebar, menelusuri tema untuk data tambahan, dan membuat simpulan menjadi uraian singkat.


(55)

3) Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Milles, 1992: 17).Penyajian data ini membantu peneliti untuk melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari hasil penelitian. Data yang diperoleh dari obyek penelitian baik dari data primer maupun sekunder akan disusun secara sistematis dan disajikan dalam bentuk laporan penelitian secara kualitatif yaitu berdasarkan konsep teori, peraturan perundang-undangan tentang legalitas advokat dalam persidangan di Pengadilan Negeri Cirebon. 4) Menarik Kesimpulan (verifikasi)

Kesimpulan adalah suatu tinjauan ulang pada catatan lapangan atau kesimpulan dapat ditinjau sebagaimana yang muncul dari data yang harus diuji kebenarannya, kekokohan, dan kecocokannya yaitu mencapai validitasnya (Milles, 1992: 19).Pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan menarik simpulan sebagai suatu yang berkaitan pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data berlangsung.Dalam hal ini peneliti mengoreksi kembali hasil penelitian dengan catatan yang terdapat di lapangan selama penelitian.Setelah data tersebut sesuai, maka dapat ditarik simpulan dari setiap item yang ada. Tahapan analisis data kualitatif diatas melibatkan beberapa komponen data interaktif yang merupakan suatu proses siklus dalam melakukan analisis data.


(56)

40

3.10

Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini membagi empat tahap yaitu: tahap sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data, dan penulisan laporan. Pada tahap sebelum ke lapangan, peneliti mempersiapkan segala macam yang diperlukan sebelum peneliti terjun ke dalam kegiatan penelitian yaitu:

1) Menyusun rancangan penelitian.

2) Mempertimbangkan Secara konseptual teknis serta praktis terhadap tempat yang akan digunakan dalam penelitian.

3) Membuat surat ijin penelitian.

4) Menentukan responden yang akan membeantu peneliti. 5) Mempersiapkan perlengkapan penelitian.

6) Dalam penelitian, peneliti harus bertindak sesuai etika yang berkaitan Dengan tata cara peneletian yaitu di Pengadilan Negeri Cirebon

Adapun pelaksanaannya yaitu:

1) Mengambil data-data, yaitu berupa berkas penetapan persidangan dimana kasus itu terjadi, serta melihat data-data mengenai pertimbangan hukum apa saja yang digunakan majelis hakim dalam mengelurakan Penetapan Pengadilan Nomor 31/Pid.B/2010/PN.CN dan 32/Pid.B/2010/PN.CN

2) Melakukan wawancara dengan informan di Pengadilan Negeri Cirebon 3) Melakukan wawancara dengan informan di DPC Peradi Cirebon 4) Melakukan wawancara dengan informan di DPC KAI Cirebon


(57)

6) Setelah semua data yang ada di lapangan terkumpul, maka peneliti mereduksi, menyajikan data serta menarik kesimpulan.


(58)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1

Sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009

Sebelum menjelaskan tentang sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai peran dari masing-masing lembaga peradilan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila serta demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Amandemen ke-4 UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh : “Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Selain itu terdapat pula Peradilan Syariah Islam yang berkedudukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang merupakan pengadilan khusus dalam Lingkungan Peradilan Agama (sepanjang kewenangannya menyangkut


(59)

kewenangan peradilan agama) dan Lingkungan Peradilan Umum (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum).

Di samping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, amandemen ke-4 UUD 1945 juga memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial (KY). Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim

Pada dasarnya amandemen ke-4 UUD 1945 telah membawa perubahan mendasar mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, membuat perlunya dilakukan perubahan secara komprehensif mengenai Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan.

Konsekuensi dari adanya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah kendali Mahkamah Agung. Sebelumnya, pembinaan badan-badan peradilan berada di bawah eksekutif (Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Agama, Departemen Keuangan) dan TNI, namun saat ini seluruh badan peradilan berada di bawah kendali Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Berikut adalah peralihan badan peradilan ke Mahkamah Agung :


(60)

44

1) Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Tata Usaha Negara, terhitung sejak tanggal 31 Maret 2004 dialihkan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Agung

2) Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariah Provinsi, dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. 3) Organisasi, administrasi, dan finansial pada Pengadilan Militer, Pengadilan

Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama, terhitung sejak tanggal 1 September 2004 dialihkan dari TNI ke Mahkamah Agung. Akibat perlaihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan beralih menjadi personel organik Mahkamah Agung, meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI.

Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian, aset, keuangan, arsip/dokumen dan anggaran menjadi berada di bawah Mahkamah Agung. Maka jika digambarkan, perubahan yang terjadi setelah adanya amandemen ke-4 UUD 1945 dan lahirnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah sebagai berikut :


(61)

BAGAN 4

Gambaran Kekuasaan Kehakiman

Keterangan :

MA : Mahkamah Agung

MK : Mahkamah Konstitusi

KY : Komisi Yudisial

PER. UMUM : Peradilan Umum PER. AGAMA : Peradilan Agama

PER. TUN : Peradilan Tata Usaha Negara PER. MILITER : Peradilan Militer

PN : Pengadilan Negeri

PA : Pengadilan Agama

PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara PTTUN PTA

PT

PTUN P. MILITER

PA

PT. MILITER

P. UTAMA MILITER KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

MA

KY MK

PER. UMUM PER. AGAMA PER. TUN PER. MILITER


(62)

46

P. MILITER : Pengadilan Militer

PT : Pengadilan Tinggi

PTA : Pengadilan Tinggi Agama

PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara PT. MILITER : Pengadilan Tinggi Militer

P. UTAMA MILITER : Pengadilan Utama Militer

Berdasarkan obyek penelitian yang dilakukan yaitu menyangkut mengenai ”Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara di Pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009”, dari uraian-uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya dimana mengenai proses sumpah advokat itu sendiri melibatkan kewenangan dari dua lembaga penyelanggara kekuasaan kehakiman di Indonesia yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, maka pada sub bab sikap pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 ini, akan coba dijelaskan mengenai Tugas pokok dan Fungsi dari Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi selaku pihak yang mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, serta Pengadilan Tinggi yang merupakan salah satu dari badan pelaksana kekuasaan peradilan dibawah Mahkamah Agung.

4.1.1 Tugas pokok dan Fungsi Mahkamah Agung

Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang juga merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung


(63)

membawahi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Empat lingkungan peradilan tersebut sebenarnya terdiri dari lingkungan Peradilan Khusus dan lingkungan Peradilan Umum. Perbedaaanya terletak pada perkara-perkara dan golongan rakyat tertentu yang terlibat didalamnya. Peradilan Khusus menangani perkara-perkara golongan rakyat tertentu (Peradilan Agama dan Peradilan Militer). Sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya baik perkara pidana maupun perkara perdata (Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara)

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Tugas pokok Mahkamah Agung adalah :

1) Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

2) Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi.

3) Memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam hal memberikan grasi dan rehabilitasi.

Selain tugas pokok Mahkamah Agung yang telah dijelaskan diatas, terdapat pula fungsi lain dari Mahkamah Agung yaitu :


(1)

PANDUAN WAWANCARA

PENGADILAN TINGGI BANDUNG

JUDUL SKRIPSI : Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara Di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009

Dibuat oleh :

Heigo Pebrianto / 3450407073 FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

I. IDENTITAS INFORMAN

Nama : H. Sjam Amansyah, S. H., M. H

Usia : 502 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Jabatan : Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bandung

Alamat : -

II. PERTANYAAN

1) Berapa lamakah bapak/ibu menjabat sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Jawa Barat?

2) Bagaimana sikap Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?

3) Bagaimana sikap Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?

4) Bagaimana tanggapan bapak/ibu terkait dengan keluarnya Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009?

5) Sebagai hakim di Pengadilan Tinggi bapak/ibu akan lebih mengikuti Putusan MA atau Putusan MK dalam menilai kasus ini?


(2)

pengadilan terhadap pembelaan terdakwa?

7) Bagaimana akibat hukum yang terjadi apabila advokat tidak dapat menunjukan berita acara sumpah?

8) Menurut bapak/ibu apakah ada indikasi jika kasus ini tetap berlarut-larut maka akan dapat menular ke daerah-daerah lain?

9) Jika kasus ini menular ke daerah-daerah lain, menurut bapak/ibu apakah bisa mengganggu proses penegakan hukum di indonesia?

10) Apakah dalam menangani kasus di pengadilan bapak/ibu selalu menanyakan berita acara sumpah terlebih dahulu sebelumya?

11) Dengan cara apakah bapak/ibu mengecek apakah seorang advokat telah memiliki berit acara penyumpahan advokat?

12) Bagaimana tanggapan bapak/ibu atas saling klaim sebagai organisasi advokat yang sah menurut undang-undang?

13) Bagaimana pula tanggapan bapak/ibu atas sikap yang berbeda-beda dari masing-masing Pengadilan Tinggi yang ada di Indonesia dalam menanggapi permasalahan sumpah advokat?


(3)

PANDUAN WAWANCARA

DPC PERADI CIREBON

JUDUL SKRIPSI : Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara Di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009

Dibuatoleh :

HeigoPebrianto / 3450407073 FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

I. IDENTITAS INFORMAN

Nama : Yunasril Yuzar, S.H

Usia : 40 Tahun

Jabatan : Ketua DPC PERADI Cirebon

Alamat : Jl. Lawang Gada No.112, Kec. Kanoman, Kota Cirebon

II. PERTANYAAN

1) Berapa lamakah bapak menjabat sebagai Ketua DPC PERADI Cirebon? 2) Sudah Berapa lamakah bapak menjadi advokat?

3) Bagaimana sikap bapak selaku advokat terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?

4) Bagaimana tanggapan bapak terkait dengan keluarnya SEMA Nomor 052/KMA/V/2009?

5) Sebagai seorang advokat, bagaimana bapak menanggapi permasalahan semacam ini dimana ada dua putusan dari dua lembaga tinggi


(4)

saling bertentangan satu samanya?

6) Menurut bapak bagaimana pentingnya sumpah advokat di depan pengadilan terhadap pembelaan terdakwa?

7) Menurut bapak apakah ada indikasi jika kasus sumpah advokat ini tetap berlarut-larut maka akan dapat menular ke daerah-daerah lain?

8) Jika kasus ini menular ke daerah-daerah lain, menurut bapak apakah bias mengganggu proses penegakan hukum di indonesia?

9) Bagaimana tanggapan bapak atas saling klaim sebagai organisasi advokat yang sah menurut undang-undang?

10) Bagaimana tanggapan anda mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 yang tidak dilakukan oleh PT?

11) Kerugian apa yang anda rasakan dari tidak dilaksanakannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?


(5)

PANDUAN WAWANCARA

DPC KAI CIREBON

JUDUL SKRIPSI : Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara Di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009

Dibuatoleh :

HeigoPebrianto / 3450407073 FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

I. IDENTITAS INFORMAN

Nama : Winata, S.H

Usia : 40Tahun

Jabatan : Ketua DPC PERADI Cirebon

Alamat : Jl. Pangeran Drajat No.365, Kota Cirebon

II. PERTANYAAN

1) Berapa lamakah bapak menjabat sebagai Ketua DPC PERADI Cirebon? 2) Sudah Berapa lamakah bapak menjadi advokat?

3) Bagaimana sikap bapak selaku advokat terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?

4) Bagaimana tanggapan bapak terkait dengan keluarnya SEMA Nomor 052/KMA/V/2009?

5) Sebagai seorang advokat, bagaimana bapak menanggapi permasalahan semacam ini dimana ada dua putusan dari dua lembaga tinggi


(6)

saling bertentangan satu samanya?

6) Menurut bapak bagaimana pentingnya sumpah advokat di depan pengadilan terhadap pembelaan terdakwa?

7) Menurut bapak apakah ada indikasi jika kasus sumpah advokat ini tetap berlarut-larut maka akan dapat menular ke daerah-daerah lain?

8) Jika kasus ini menular ke daerah-daerah lain, menurut bapak apakah bias mengganggu proses penegakan hukum di indonesia?

9) Bagaimana tanggapan bapak atas saling klaim sebagai organisasi advokat yang sah menurut undang-undang?

10) Bagaimana tanggapan anda mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 yang tidak dilakukan oleh PT?

11) Kerugian apa yang anda rasakan dari tidak dilaksanakannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Hukum Advokat Terhadap Klien Ditinjau Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 (Tentang Advokat) Di Kota Medan

0 21 165

Bantuan Hukum untuk Tersangka Penyalahgunaan Narkotika dalam Proses Penyidikan dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

0 9 71

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI KENDALA ADVOKAT DALAM BERACARA TERKAIT DENGAN PENGANGKATAN SUMPAH PROFESI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003.

0 3 12

PENDAHULUAN KENDALA ADVOKAT DALAM BERACARA TERKAIT DENGAN PENGANGKATAN SUMPAH PROFESI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003.

0 3 16

PENUTUP KENDALA ADVOKAT DALAM BERACARA TERKAIT DENGAN PENGANGKATAN SUMPAH PROFESI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003.

0 2 5

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XI/2013 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI (KAJ.

0 1 1

UNDANG-UNDAN G REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG -UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

0 0 35

KEDUDUKAN ADVOKAT DALAM PASAL 5 UNDANG- UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT PERSPEKTIF HUKUM

0 0 13

I. PENDAHULUAN. - PERANAN ADVOKAT SEBAGAI PENEGAK HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DIKAJI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT

0 0 20

KEDUDUKAN DAN PERANAN PARALEGAL DALAM AKTIVITAS BANTUAN HUKUM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT jo UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP Jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM - repo unpas

0 0 9