berasal dari transaksi minyak dan gas bumi. Faktor lain disebabkan oleh penarikan bantuan luar negeri.
Glahe 1977, mengatakan bahwa kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dalam usaha mengatasi defisit tabungan hanya akan menurunkan
pendapatan masyarakat. Selanjutnya Mankiw 1997, mengatakan bahwa akibat defisit anggaran pemerintah adalah selain kenaikan hutang
pemerintah juga kenaikan laju inflasi. Menurutnya dengan berkurangnya tabungan pemerintah akan mengurangi akumulasi modal untuk investasi,
sehingga akan meningkatkan defisit transaksi berjalan serta terdepresiasi nilai mata uang domestik.
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral 2001, menyatakan bahwa kebijakan subsidi harga BBM dilakukan bertujuan untuk menaikkan
harga BBM secara bertahap dan sebagai langkah awal menuju pada kebijakan penghapusan subsidi harga BBM dalam negeri. Penghapusan subsidi akan
mengurangi pengeluaran rutin, sehingga tabungan pemerintah meningkat dan investasi pemerintah juga meningkat. Menurutnya sejak tahun 2000,
pemerintah mulai menaikkan harga jual eceran BBM dalam negeri diatas harga Pemerintah Keppres sebanyak enam kali. Rata-rata kenaikan harga eceran
tersebut untuk bensin 13.0 , kerosene 32.0 , dan BBM solar 27.0 .
3.3. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Antar Sektor Pemakai
Bahan Bakar Minyak Solar
Bahan bakar minyak solar sebagai sumber energi dipakai oleh hampir seluruh sektor ekonomi untuk memproduksikan barang dan jasa.
Dengan demikian, sub-sektor Industri pengilangan BBM solar sebagai sub-
sektor yang memproduksikan BBM solar memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan sektor atau sub-sektor ekonomi lainnya.
Arief 1986, mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan keterkaitan langsung ditunjukkan oleh nilai tambah sub-sektor industri
pengilangan BBM solar yang dikontribusikan sebagai upah dan gaji untuk penerimaan rumahtangga, penerimaan pajak untuk pemerintah, dan
penerimaan bukan upah dan gaji untuk sub-sektor tersebut. Pada bagian lain yang dimaksudkan dengan keterkaitan tidak langsung ditunjukkan oleh
kontribusi nilai tambah sektor-sektor lain sebagai upah dan gaji untuk penerimaan rumahtangga, penerimaan pajak untuk pemerintah, dan
penerimaan bukan upah dan gaji untuk sektor-sektor atau sub-sektor lain atas pemakaian BBM solar yang dihasilkan oleh sub-sektor industri pengilangan
BBM solar. Warr dalam Booth 1994, mengatakan dampak kebergantungan
pendapatan nasional pada sektor industri pengolahan minyak bumi. Menurutnya kejutan harga minyak bumi tinggi di pasar internasional selain
meningkatkan surplus transaksi perdagangan minyak bumi, juga menyebabkan kenaikan laju karena hutang eksternal meningkat. Dalam kaitannya dengan
pengaruh harga BBM, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor 2002, model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan untuk menganalisis
pengaruh kenaikan harga minyak bumi terhadap sektor pertanian di negara eksportir dan importir minyak bumi. Hasil simulasi menunjukkan bahwa
kenaikan harga BBM mempengaruhi kegiatan produksi di sektor pertanian dan menyebabkan kenaikan inflasi.
Budiono 2009, menggunakan model INDORANI Equilibrium dan menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM berdampak terhadap makro
ekonomi dan dalam jangka pendek meningkatkan pengangguran. Menurutnya bahwa dengan kenaikan harga BBM sebesar 126 pada Oktober 2005 dan
29 pada Mei 2008 berdampak terhadap peningkatan pengangguran baik di perkotaan maupun di pedesaan. Peningkatan pengangguran tersebut terjadi
pada hampir semua bidang pekerjaan seperti pegawai negeri sipil, jasa, penjualan, dan pertanian. Dampaknya terhadap sektor industri ditunjukkan
oleh industri pengilangan minyak, listrik, perdagangan, dan transportasi. Budiono dan Susilo 2008, mengemukakan bahwa kenaikan harga
minyak mentah akan mendorong kenaikan harga BBM dalam negeri, sehingga menyebabkan kenaikan laju inflasi. Kenaikan harga BBM premium, solar,
dan minyak tanah sebesar 30 dapat menyebabkan kenaikan laju inflasi sebesar 0.5 - 1.5 dalam jangka pendek serta kenaikan jumlah penduduk
miskin sebesar 2 - 9 . Pangestu 1986 dalam disertasinya menggunakan model persamaan
ekonometrika untuk menganalisis negara pengekspor minyak bumi seperti Indonesia yang berpeluang terkena penyakit Belanda Dutch Disease. Pada
tahun 1982 terjadi booming oil, harga minyak bumi turun drastis di pasar internasional dan kontribusi sektor minyak bumi pada pendapatan nasional
Produk Domestik Bruto menurun, sedangkan kontribusi dari sektor-sektor ekonomi yang lain belum mampu mengimbangi peranan sektor minyak bumi
yang dianggap sebagai sektor utama. Arief 1986, mengatakan dalam studi tentang dampak industri
minyak bumi industri pengilangan BBM terhadap ekonomi Indonesia
dengan pendekatan ekonomi makro. Menurutnya bahwa pembayaran kepada rumahtangga dan pembayaran bersih kepada negara yang dilakukan oleh
sektor industri minyak bumi merupakan sumber sumbangan langsung sektor industri minyak bumi kepada tabungan rumahtangga dan tabungan pemerintah
yang dijadikan sebagai bagian dari investasi. Menurutnya nilai tambah bruto sektor-sektor lain sektor non-minyak bumi yang disebabkan oleh sektor
minyak bumi dalam keterkaitan intersektoral pembayaran kepada rumahtangga, negara, dan keuntungan bruto sektoral merupakan sumbangan
tidak langsung sektor minyak bumi kepada tabungan rumahtangga, tabungan pemerintah, dan tabungan usaha di sektor non-minyak bumi.
Ball 1978, mengatakan bahwa untuk menentukan GDP sisi produksi dapat diketahui setelah menjumlahkan nilai tambah dengan nilai neto pajak
tidak langsung. Nilai neto pajak tidak langsung diperoleh dari selisih penerimaan pajak tidak langsung dan subsidi. Glahe 1977, mengatakan
bahwa cara menghitung Produk Domestik Bruto menurut biaya faktor dapat dilakukan dengan menjumlahkan pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor
produksi dalam proses produksi. Faktor-faktor tersebut yaitu tenaga kerja, modal, tanah, dan ketrampilan wirausaha entrepreneurship. Dengan
demikian, pendapatan nasional menurut biaya faktor merupakan jumlah dari upah dan gaji, bunga, sewa, dan keuntungan.
3.4. Perdagangan Minyak Bumi