konsumen jenis BBM tertentu pada titik serah yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, 2 subsidi jenis BBM tertentu
per liter merupakan pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang antara harga jual eceran per liter jenis BBM tertentu setelah dikurangi pajak
pertambahan nilai PPN dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor PBBKB, dengan harga patokan per liter jenis BBM tertentu, 3 harga jual
eceran per liter jenis BBM tertentu merupakan harga jual eceran per liter jenis BBM tertentu dalam negeri yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan 4 harga patokan per liter jenis BBM tertentu ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penghitungan besarnya subsidi dapat dirumuskan berdasarkan harga
patokan, yaitu:
Subsidi = Volume JBT {Harga Patokan – Harga Eceran tidak termasuk pajak}
Subsidi Jenis BBM Tertentu JBT per liter adalah pengeluaran negara
yang dihitung dari selisih kurang antara harga jual eceran per liter jenis BBM
tertentu setelah dikurangi pajak-pajak dengan harga patokan per liter jenis
BBM tertentu, sedangkan harga patokan adalah harga yang dihitung setiap bulan berdasarkan rata-rata harga menurut Mids Oil Platts of Singapore pada
periode satu bulan sebelumnya ditambah dengan biaya distribusi dan margin.
2.2. Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Disparitas harga BBM dalam negeri memberikan konsekuensi terhadap penyalahgunaan harga BBM sesuai peruntukannya, yaitu BBM bersubsidi
dialihkan ke sektor industri atau diselundupkan ke luar negeri. Kelemahan dari kebijakan tersebut memang telah diperhitungkan sebelumnya oleh para
ekonom. Namun, pemerintah harus konsisten bahwa skenario subsidi harga BBM yang ditentukannya mencerminkan asas keadilan. Hal tersebut
diwujudkan dengan memberikan subsidi harga BBM misalnya pada kerosene untuk melindungi masyarakat golongan bawah yang masih menggunakan
kerosene sebagai sumber energi untuk menopang kehidupan sehari-hari Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2001.
Penyesuaian harga BBM merupakan konsistensi dari strategi dasar pemerintah bersama DPR-RI yang dikukuhkan pada program pembangunan
nasional, yang menyatakan bahwa subsidi harga BBM dapat dilakukan penurunan secara bertahap namun pasti. Kebijakan penurunan tersebut
dimaksudkan untuk mendorong pemakaian BBM agar efisien, sebab jika dibiarkan secara terus-menerus akan mempercepat Indonesia menjadi negara
pengimpor minyak dan devisa dari minyak akan semakin berkurang. Selain hal tersebut, subsidi BBM dapat menimbulkan dampak negatif karena adanya
pengoplosan kerosene ke dalam solar. Pengoplosan BBM yang umum terjadi adalah pencampuran antara
kerosene yang harganya murah dengan BBM solar yang harganya lebih tinggi. Selanjutnya para penjual akan menjual minyak campuran tersebut dengan
harga BBM solar, sehingga memperoleh keuntungan yang besar. Dengan demikian, fenomena pengoplosan hanya menunjukkan tuntutan dari
masyarakat luas untuk terus melanjutkan subsidi harga BBM. Namun, pada gilirannya bukan membantu masyarakat yang berpendapatan rendah,
melainkan memberi ladang bisnis kotor kepada para pedagang curang.
Indonesia dikaruniai sumberdaya energi alternatif lainnya dalam jumlah yang cukup memadai seperti batubara, gas bumi, panas bumi, dan
energi terbarukan lainnya. Namun, akibat subsidi harga BBM yang besar, energi alternatif tidak dapat bersaing nilai ekonomisnya dan mengakibatkan
diversifikasi energi tidak berkembang, padahal potensi energi terbarukan jauh lebih besar dari energi berbasis fosil cair. Pada bagian lain para
penanam modal di bidang energi alternatif harus menunggu penurunan harga subsidi BBM supaya dapat berkompetisi dengan harga energi alternatif.
Di Bontang terdapat industri pengilangan gas alam dengan hasil kilang, yaitu: Liqufied Natural Gas LNG dan Liqufied Petroleum Gas LPG.
Winayoko 1997, menguraikan tentang hasil kilang dari kedua jenis gas alam tersebut. Menurutnya gas alam harus dipisahkan dari free kondesat dan air,
kemudian dilakukan pemurnian terhadap impuritiesnya seperti CO
2
dan N
2
. Di pabrik pengilangan diperoleh unsur kimia C
1
dan C
2
Methane dan Ethane saja yang mengalami proses pendinginan sampai pada temperatur minus
160 C Celcius setelah mencair lalu disebut LNG, sedangkan unsur kimia C
3
dan C
4
Propane dan Butane yang mengalami pendinginan pada temperatur minus 40
Badan Pusat Statistik 2005b, menyajikan data minyak dan gas bumi tentang berbagai hasil kilang, nilai total produk yang merupakan jumlah
penerimaan dari berbagai jenis produk, pajak tidak langsung, biaya total produksi, jumlah pekerja, serta upah dan gaji. Selanjutnya data tersebut
dapat digunakan untuk menghitung creating nilai tambah berbagai hasil kilang. Menurutnya, nilai tambah nominal merupakan hasil kurang dari nilai
C disebut sebagai LPG.
produk dan biaya produk, sedangkan nilai tambah menurut biaya faktor diperoleh setelah nilai tambah nominal dikurangi dengan pajak tidak langsung.
Nilai tambah sub-sektor industri pengilangan minyak solar diperoleh dari hasil kurang penerimaan dan biaya produksi untuk memproduksikan BBM
solar. Penerimaan diperoleh dari hasil kali jumlah produk BBM solar dan harga BBM solar menurut harga pasar. Biaya produksi BBM solar oleh sub-
sektor industri pengilangan minyak solar diperoleh dari hasil bagi dari hasil kilang BBM solar dan total hasil kilang setelah dikalikan dengan total biaya.
Demikian pula seterusnya untuk menentukan nilai tambah sub-sektor industri pengilangan kerosene setiap tahun.
Kenaikan jumlah konsumsi BBM yang diikuti melonjaknya harga minyak dunia, dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing yang
cenderung melemah menyebabkan besar subsidi harga BBM semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kontribusi terbesar untuk subsidi harga BBM
adalah pada solar dan kerosene. BBM solar digunakan untuk transportasi dan industri yang peningkatannya cukup tajam karena jumlah kendaraan bermotor
diesel semakin meningkat, sedangkan kerosene banyak digunakan oleh rumahtangga dan industri. Kerosene impor masih sebagai double purpose
kerosene yang selanjutnya dikilang menjadi jenis bahan bakar berkualitas
tinggi yang digunakan sebagai bahan bakar mesin jet pesawat terbang serta jenis kerosene lain yang umumnya digunakan oleh rumahtangga.
BBM terdiri dari avtur, avgas, bensin premium, solar, kerosene, diesel, dan minyak bakar. Sejak 16 Juni 2001 pengertian BBM yang masuk
dalam kategori BBM untuk masyarakat umum adalah bensin, kerosene, dan BBM solar. BBM khususnya solar selain dipakai pada sektor industri,
transportasi, rumahtangga, dan komersial, juga dipakai untuk pembangkit listrik captive power oleh PLN. Avtur dan avgas dipakai sebagai bahan
bakar pesawat udara Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2003b. Brahmantio 2006, melaporkan hasil kajiannya mengenai kebijakan
subsidi BBM yang ditempuh pemerintah yang hanya menimbulkan 5 bentuk dampak negatif, yaitu: 1 terjadi target error dalam pemberian subsidi BBM
sebesar 25, 40, 35.2, 92, dan 93 masing-masing untuk jenis premium, solar, kerosene, minyak bakar, dan minyak diesel; 2 terjadi
inefisiensi dalam penggunaan dan penyelundupan BBM; 3 beban APBN semakin berat; 4 terjadi distorsi harga pada barang dan jasa yang
menggunakan BBM sebagai input produksi; dan 5 Pertamina terhambat untuk melakukan ekspansi usaha.
Menurut Brahmantio 2006, bahwa secara umum penurunan subsidi BBM masih memiliki dampak positif hingga tingkat penurunan 20 . Apabila
penurunan subsidi BBM lebih besar daripada 20 , maka kenaikan harga BBM sebagai implikasi dari penurunan tersebut akan menimbulkan berbagai
dampak negatif yang cukup besar terhadap makroekonomi, kesejahteraan rumahtangga maupun aktivitas produksi dalam perekonomian sektoral.
Dengan demikian, penyesuaian yang dilakukan konsumen karena adanya penurunan subsidi BBM akan menghasilkan dampak yang lebih positif
dibandingkan dengan tidak dilakukan penyesuaian. Dilihat dari dampak kenaikan harga BBM, Oktaviani dan Sahara
2008 melaporkan hasil penelitiannya bahwa kebijakan kenaikan harga BBM telah menyebabkan turunnya konsumsi BBM baik di setiap sektor industri
maupun kelompok rumahtangga, sehingga sebagian sektor industri mengurangi produksinya maupun tenaga kerja.
Shikha Jha, et al. 2009, dalam penelitian tentang subsidi energi di beberapa negara Asia terkait dengan ketidakpastian kondisi makroekonomi dan
fiskal yang berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional sangat mempengaruhi terhadap
anggaran belanja negara yang menerapkan subsidi energi dan pengenaan pajak untuk konsumsi BBM dalam negeri.
Kurtubi 1998, menganalisis dampak kebijakan harga dan permintaan BBM terhadap pertumbuhan ekonomi. Analisisnya menggunakan metode
CECM Cointegration and Error Correction Modeling dan diperoleh hasil estimasi bahwa elastisitas harga permintaan BBM jangka pendek 0.116 dan
jangka panjang 0.549, sedangkan elastisitas harga pendapatan jangka pendek 0.723 dan jangka panjang 1.351.
Borenstein, et al. 1997, mengatakan bahwa kenaikan harga BBM bensin lebih cepat ketika harga dunia minyak mentah meningkat, sedangkan
penurunan harga BBM bensin lebih lambat daripada penurunan harga dunia minyak mentah. Hal tersebut disebabkan para pedagang BBM bensin kurang
merespon atas perubahan harga dunia minyak mentah. Pada bagian lain Raymond dan Rich 1997, mengatakan bahwa kenaikan harga dunia
minyak mentah menurunkan pertumbuhan ekonomi Amerika, walaupun bukan sebagai penentu dominan.
Penurunan subsidi harga BBM mendorong kenaikan harga BBM dan laju inflasi. Menurut Khan 1994, kenaikan laju inflasi selain menurunkan
nilai riil tabungan dan investasi juga menghambat pertumbuhan ekonomi dan
penurunan standar hidup, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah. Hal tersebut mengakibatkan jumlah kemiskinan meningkat.
2.3. Pengadaan Bahan Bakar Minyak