I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Kebijakan subsidi harga Bahan Bakar Minyak BBM dalam negeri telah dilakukan pemerintah selama lebih dari tiga puluh tahun. Kebijakan
tersebut diterapkan sejak Tahun Anggaran TA 1975 1976 dengan sasaran untuk peningkatan perekonomian masyarakat yang kurang mampu. Namun,
subsidi harga BBM kenyataannya tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang kurang mampu, tetapi dinikmati juga oleh masyarakat yang mampu kaya
baik secara individu maupun sebagai kelompok dalam rumahtangga konsumen, perusahaan-perusahaan fasilitas ekspor, serta warga negara asing
yang berdomisili di dalam negeri yang seharusnya tidak layak untuk menerima subsidi harga BBM. Kenaikan anggaran subsidi untuk BBM mendorong
kenaikan pengeluaran negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN yang mengakibatkan defisit kesenjangan fiskal meningkat.
Subsidi harga BBM juga telah memicu terjadinya intensitas permintaan dan pemakaian BBM dalam negeri. Padahal kapasitas produksi minyak
mentah, produk kilang PERTAMINA, dan jumlah penyimpanan minyak mentah dan BBM belum mampu mengimbangi kenaikan permintaan tersebut.
Dengan demikian, diperlukan kebijakan yang mampu mengatasi kenaikan permintaan BBM dan anggaran subsidi untuk BBM tanpa mengabaikan
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tersebut juga dimaksudkan sebagai usaha untuk meningkatkan diversifikasi dan konversi energi, karena Indonesia
memiliki kekayaan sumberdaya energi alternatif berlimpah. Badan Pusat
Statistik 2005a, menyajikan data energi alternatif selain batubara juga gas alam, panas bumi, dan energi terbarukan lainnya.
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral 2001, menyatakan bahwa selama BBM dijual pada tingkat harga yang rendah menyebabkan
nilai ekonomi harga dari energi alternatif tersebut tidak mampu bersaing secara sehat dengan BBM bersubsidi, akibatnya hingga kini dan bahkan pada
masa mendatang investasi di bidang energi alternatif kurang diminati investor, sehingga mengakibatkan tidak berkembang.
10000 20000
30000 40000
50000 60000
70000 80000
90000 100000
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun H
asi l K
il an
g 000 b
ar rel
Solar Bensin
Kerosene
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2005b Gambar 1. Hasil Kilang Minyak Solar, Bensin, dan Kerosene Dalam
Negeri Tahun 1990 – 2005
Gambar 1 menunjukkan perkembangan hasil produk kilang dari tiga jenis BBM dalam negeri masing-masing, yaitu: BBM solar, bensin, dan
kerosene. Badan Pusat Statistik 2005b, menyajikan data tentang hasil kilang minyak dalam negeri bahwa rata-rata untuk jenis BBM solar meningkat 40 ,
bensin meningkat 31 , dan kerosene meningkat 29 selama tahun 1990 -
2005. Produksi BBM solar merupakan proporsi terbesar diantara berbagai jenis hasil kilang BBM lainnya. Namun, pasokannya belum mampu
mengimbangi permintaan dan pemakaian dalam negeri dan untuk memenuhi kebutuhannya harus mengimpor minyak mentah sebagai bahan bakunya dan
BBM solar. Hampir seluruh sub-sektor atau sektor ekonomi dalam negeri memakai BBM solar sebagai bahan bakar utama, termasuk industri
pengilangan BBM solar. Badan Pusat Statistik 2005b, menyajikan data pemakaian BBM solar
oleh sub-sektor industri pengilangan BBM solar, sub-sektor industri pengilangan gas alam, dan sub-sektor industri pengilangan kerosene. Badan
Pusat Statistik 2005c, menyajikan data pemakaian BBM solar oleh sub- sektor perusahaan penangkapan ikan. Badan Pusat Statistik 2005d,
menyajikan data pemakaian BBM solar oleh sub-sektor sarana transportasi angkutan jalan raya. Demikian juga disajikan pemakaian BBM solar oleh sub-
sektor Perusahaan Listrik Negara Badan Pusat Statistik, 2005e. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap sektor ekonomi sangat memerlukan BBM solar.
Gambar 2 menunjukkan perkembangan hasil kilang, penjualan dalam negeri, serta volume impor BBM Solar. Gambar tersebut juga memperlihatkan
perbedaan antara produk kilang BBM solar dengan penjualan BBM solar, sehingga diperlukan kebijakan impor. Hal tersebut sebagai usaha untuk
menjaga keseimbangan antara permintaan dan pasokan BBM solar dalam negeri. Pada bagian lain setiap kenaikan penjualan BBM solar dalam negeri
selalu diikuti oleh kenaikan impor, bahkan pada masa mendatang diperkirakan permintaan BBM solar akan terus meningkat sesuai dengan meningkatnya
20 40
60 80
100 120
140 160
180 200
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
B ah
an B
akar M
in yak S
o lar
000 b ar
rel
Penjualan Impor
Hasil Kilang
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2005f Gambar 2. Hasil Kilang, Penjualan, dan Volume Impor BBM Solar Tahun
1990 – 2005
pertumbuhan ekonomi nasional seperti yang ditargetkan pemerintah. Dengan demikian, konsumsi energi BBM solar pada tingkat yang efisien memiliki
hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi Yusgiantoro, 2000. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi 2005, menyajikan data
hasil kilang selama tahun 1990 – 2005. Menurutnya rata-rata hasil kilang BBM solar dan volume impor BBM solar meningkat, masing-masing 57
dan 43 . Selama peningkatan tersebut P.T. Pertamina, Tbk sub-sektor industri pengilangan BBM solar harus mengimpor bahan baku yaitu minyak
mentah dan hasil kilang BBM solar dari berbagai negara, diantaranya Arab Saudi, Iran, Australia, dan Malaysia.
Apabila kenaikan pemakaian BBM solar bersubsidi semakin besar, maka anggaran subsidi BBM untuk solar yang dialokasikan dari APBN
semakin besar dan akibatnya semakin besar pula defisit atau kesenjangan
fiskal. Padahal dalam keadaan defisit APBN, semakin besar alokasi anggaran subsidi untuk BBM akan mempengaruhi jumlah alokasi anggaran untuk
sektor-sektor atau bidang-bidang usaha lain yang sebenarnya mampu menyediakan lapangan kerja yang lebih banyak yang dapat memberikan
pendapatan untuk menunjang kesejahteraan ekonomi masyarakat. Kenaikan pemakaian BBM yang melampaui hasil kilang mendorong
kenaikan permintaan bahan baku minyak mentah dari produksi dalam negeri serta dari impor, sehingga menyebabkan penurunan penerimaan devisa yang
semestinya diperoleh dari minyak bumi. Bank Indonesia 2003, memaparkan tentang perkembangan nilai transaksi perdagangan ekspor dan impor minyak
bumi Indonesia dengan beberapa negara pengimpor masing-masing untuk tahun 1998 0.0 , tahun 1999 0.0 , tahun 2000 0.0 , tahun 2001
- 0.9 , dan tahun 2002 - 1.7 . Warr dalam Booth 1994, menjelaskan tentang biaya pilihan
opportunity cost penggunaan devisa, apakah digunakan untuk mengimpor minyak mentah dan BBM bersubsidi atau mengimpor barang-barang modal.
Menurutnya penggunaan devisa untuk mengimpor barang-barang modal lebih efisien, karena akan menunjang kegiatan di bidang-bidang produksi sektor
riil yang dapat memproduksikan komoditi ekspor komoditi barang yang dapat diperdagangkan yang selanjutnya mendatangkan devisa.
Terdepresiasinya nilai rupiah selain mempengaruhi kemampuan pemerintah mengembalikan cicilan hutang dan bunga pinjaman, juga
berdampak buruk terhadap usaha perminyakan di Indonesia yang menganut sistem kontrak bagi hasil production sharing contract. Hasil minyak mentah
pemerintah diperoleh dari hasil kontrak dan kenyataannnya hanya memberikan
keuntungan yang lebih besar kepada pihak investor asing melalui transaksi perdagangan. Alasannya jelas, karena ketika volume minyak mentah yang
diperoleh dari share kemudian diekspor, juga bersamaan dilakukan transaksi impor minyak mentah pada saat nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar
AS. Kenaikan volume impor minyak mentah diakibatkan oleh kenaikan permintaan bahan baku minyak mentah oleh industri pengilangan BBM serta
penurunan produksi minyak mentah dalam negeri.
1.2. Perumusan Masalah