Kejutan Eksternal Harga Minyak Mentah terhadap Pendapatan Nasional

IV. KERANGKA TEORITIS KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK

4.1. Kejutan Eksternal Harga Minyak Mentah terhadap Pendapatan Nasional

Indonesia sebagai negara penghasil energi berupa energi yang berasal dari fosil cair dan non-fosil. Apabila pemerintah meniadakan subsidi harga harga BBM, maka permintaan dan penggunaan BBM akan menurun. Penurunan permintaan tersebut berarti akan mengurangi penggunaan bahan baku minyak mentah. Pada sisi lain dengan meniadakan subsidi harga BBM akan meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi energi non-fosil sebagai energi alternatif pada masa mendatang. Sektor energi dan sumberdaya mineral merupakan sektor basis untuk meningkatkan pendapatan nasional. Dengan demikian, sumber pendapatan dari perdagangan komoditi minyak bumi menjadi andalan utama perekonomian Indonesia. 4.1.1. Kejutan Eksternal Harga Minyak Tinggi terhadap Tabungan, Investasi, dan Neraca Pembayaran Kejutan eksternal yang dimaksudkan adalah suatu keadaan dimana harga minyak tinggi ataupun rendah terjadi di pasar internasional tanpa perkiraan sebelumnya oleh negara-negara pengekspor minyak. Kejutan eksternal lebih ditentukan oleh kekuatan pasar, selain juga dipengaruhi oleh perkembangan politik di Timur Tengah, perang, psikologis, dan ulah spekulan Yusgiantoro, 2000. Menurutnya perubahan harga minyak yang drastis di pasar internasional sebenarnya menimbulkan kejutan, yaitu untuk harga minyak tinggi memberikan keuntungan mendadak windfall profit, sedangkan harga minyak rendah memberikan kerugian mendadak collapse. K K A B C D Ys 1 Y K1 Cs 1 Cs 2 Z Z 1 C K1 Cs, Ys C K , Y K U 2 U 1 P P Masa Depan Sekarang K 1 K 1 Sumber: Warr dalam Booth 1992 Gambar 4. Kejutan Eksternal Harga Minyak terhadap Tabungan, Investasi, dan Neraca Pembayaran Keterangan: Ck 1 = Tingkat konsumsi masa depan Cs 2 - Z = Akumulasi modal investasi dari pinjaman luar negeri Cs 1 = Tingkat konsumsi sebelum pinjaman modal Cs 2 = Tingkat konsumsi setelah pinjaman modal KK = Kurva pinjaman modal dari luar negeri PP = Kurva kemungkinan produksi U = Kurva kesejahteraan Yk 1 = Pendapatan nasional yang dicapai masa depan Ys 1 = Pendapatan nasional yang dicapai sekarang Ys 1 - Cs 2 = Akumulasi modal melalui tabungan domestik Ys 1 - Z = Akumulasi modal yang diperlukan sekarang tanpa tabungan domestik Z 1 Gambar 4 menunjukkan bahwa pada periode sekarang diperkirakan harga minyak tinggi di pasar internasional yang mengakibatkan kenaikan pendapatan nasional sebesar Ys = Pendapatan nasional masa depan 1, sedangkan pada masa depan diperkirakan harga minyak rendah di pasar internasional yang mengakibatkan pendapatan nasional hanya dapat dicapai sebesar Yk 1 . Keseimbangan pendapatan nasional untuk kedua periode tersebut berada di titik A pada kurva kemungkinan produksi PP. Pada tingkat pendapatan sebesar Ys 1 , tingkat konsumsi yang dicapai sebesar Cs 1 , dan tabungan sebesar Ys 1 - Cs 1 . Titik B menunjukkan bahwa pada periode sekarang tingkat konsumsi sebesar Cs 1 , sedangkan pada periode masa depan tingkat konsumsi dicapai sebesar Ck 1 berada diatas tingkat pendapatan Yk 1 . Oleh karena itu untuk menaikkan pendapatan nasional sebesar Z 1 supaya berada diatas tingkat konsumsi Ck 1 pada masa depan, perhatian sekarang adalah menaikkan akumulasi modal untuk investasi yang diperoleh dari pinjaman luar negeri garis KK supaya tingkat produksi optimum dicapai pada titik C. Pada periode sekarang penggunaan investasi yang diperoleh dari pinjaman luar negeri akan memberikan kontribusi pada pendapatan nasional sebesar Z . Padahal pada periode sekarang pendapatan nasional yang optimal dapat dicapai hanya sebesar Ys 1 . Kenaikan investasi tersebut selain menaikkan pendapatan nasional juga menaikkan menggeser konsumsi rumahtangga dari titik B ke titik D. Pada sisi lain pergeseran konsumsi tersebut menunjukkan peningkatan kesejahteraan dari U 1 ke U 2 Besarnya perbedaan antar pendapatan nasional dan konsumsi rumahtangga sebesar Ys . 1 - Cs 2 menunjukkan akumulasi tabungan domestik yang dicapai. Dengan demikian, akumulasi modal yang diperlukan untuk pendapatan nasional sebesar Ys 1 - Z . Besaran tersebut diperolehan dari pinjaman luar negeri sebesar Cs 2 - Z dan akumulasi tabungan domestik sebesar Ys 1 - Cs 2 . Jumlah akumulasi pinjaman modal dari luar negeri sama dengan defisit transaksi berjalan M – X dan surplus pada arus masuk modal I – S pada neraca pembayaran. Dimana M, X, I, dan S masing-masing adalah impor, ekspor, investasi, dan tabungan domestik. Pada Gambar 4, KK menunjukkan kurva kemungkinan untuk melakukan pinjaman, dimana posisi neraca modal ditentukan oleh tingkat bunga domestik dan tingkat bunga internasional negara asing. Berarti neraca modal juga ditentukan oleh selisih kedua tingkat bunga tersebut. Arus modal keluar neto net capital outflow terjadi apabila tingkat bunga negara asing lebih tinggi dari tingkat bunga domestik, sedangkan arus modal masuk net capital inflow terjadi apabila tingkat bunga domestik lebih tinggi dari tingkat bunga negara asing Dornbusch et al., 1998. Mankiw 1997, mengatakan bahwa nilai tukar riil merupakan perkalian nilai tukar nominal dengan nilai perdagangan. Nilai perdagangan ditunjukkan oleh rasio indeks harga barang negara asing dan domestik. Partowidagdo 1998, mengatakan bahwa penguatan nilai tukar rupiah dan peningkatan cadangan devisa dapat dicapai dengan mengurangi impor minyak dan subsidi melalui peningkatan ekspor migas atau mendapatkan dana bantuan luar negeri, modal atau saham. Menurutnya usaha peningkatan ekspor migas dan pengurangan impor minyak mentah dan BBM bersubsidi dapat dilakukan apabila program mengenai intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi energi berhasil. Program intensifikasi berkaitan dengan penyediaan teknologi eksplorasi migas dengan biaya yang murah, sedangkan program diversifikasi berkaitan dengan pengembangan pemakaian gas, batubara, serta energi terbarukan lainnya. Program konservasi berkaitan dengan pengembangan sarana angkutan, mesin, dan peralatan rumahtangga hemat energi. Yusgiantoro 2000, mengatakan bahwa pada periode sekarang kejutan harga minyak tinggi, selain akan menaikkan pendapatan nasional juga menimbulkan opportunity cost. Kenaikan pendapatan dapat dialokasikan pada berbagai pilihan untuk periode sekarang atau masa depan, misalnya dialokasikan antara subsidi BBM periode sekarang dan akumulasi modal untuk periode masa depan. Jika pilihan ditetapkan pada akumulasi modal, maka opportunity cost adalah alokasi sebagian pendapatan untuk subsidi BBM.

4.1.2. Kejutan Eksternal Harga Minyak Rendah terhadap Tabungan,

Investasi, dan Neraca Pembayaran Pada periode sekarang terjadi kejutan harga minyak rendah di pasar internasional dan mengakibatkan penurunan pendapatan nasional sebagaimana diperkirakan pada Gambar 4. Sebaliknya pada periode masa depan harga minyak diperkirakan meningkat, sehingga kontribusi minyak pada pendapatan nasional meningkat. Pada periode masa depan diperkirakan bahwa pendapatan nasional yang dicapai pada tingkat Z 1 dan ditunjukkan oleh tingkat produksi di titik C. Pada periode tersebut pendapatan nasional diperkirakan sebesar Z 1 dengan tingkat konsumsi sebesar Ck 1 . Dengan demikian, pendapatan nasional lebih besar daripada konsumsi. Pada periode sekarang kontribusi minyak bumi pada pendapatan nasional diperkirakan hanya sebesar Z . Selanjutnya perhatian sekarang adalah bagaimana menaikkan pendapatan nasional supaya mencapai sebesar Ys 1 . Tahap awal yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan akumulasi modal yang diperoleh dari pinjaman luar negeri pada titik B. Pada titik tersebut menunjukkan bahwa pendapatan sama dengan konsumsi sebesar Cs 1 . Pengalaman Indonesia dalam menghadapi penurunan harga minyak di pasar internasional adalah dengan melakukan devaluasi mata uang rupiah terhadap dolar Amerika. Kebijakan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan volume ekspor yang berasal dari sektor-sektor non-minyak bumi. Peningkatan tersebut sekaligus mendorong sektor-sektor non-minyak bumi mampu mengimbangi peranan dari sektor minyak bumi ketika harga di pasar internasional menurun. Pada sisi lain semakin besar peranan sektor non- minyak akan menaikkan kesempatan kerja yang lebih besar. Berarti pada saat sekarang untuk menaikkan pendapatan nasional sebesar Ys 1 perhatian utama adalah meningkatkan volume ekspor non-minyak bumi. Dengan demikian, saat sekarang akumulasi tabungan domestik dicapai sebesar Ys 1 - Cs 1 , sedangkan pinjaman luar negeri yang diperlukan sebesar Cs 1 - Z

4.1.3. Kejutan Eksternal Harga Minyak Tinggi terhadap Alokasi

. Produksi, Konsumsi, dan Neraca Pembayaran Gambar 5 menunjukkan tentang penyerapan barang yang dapat diperdagangkan dan yang tidak dapat diperdagangkan karena memperoleh keuntungan mendadak yang dicapai oleh negara pengekspor minyak bumi sebagai barang atau komoditas andalan. Ketika harga minyak bumi tinggi dipasar internasional akan mendorong kenaikan pendapatan nasional, sehingga menyerap lebih banyak barang yang tidak dapat diperdagangkan dan harus disediakan sebagai produk domestik. Warr dalam Booth 1992, mendefinisikan tentang barang yang tidak dapat diperdagangkan sebagai barang yang tidak diperoleh dari impor ataupun ekspor, sehingga penyerapan domestik terhadap barang yang tidak dapat diperdagangkan tidak mungkin melebihi hasil barang yang diproduksinya. T T2 T1 T0 Q Q P P A B C P2 P0 P1 U0 U1 N0 N1 N Barang yang tidak dapat Diperdagangkan Barang yang dapat Diperdagangkan Sumber: Warr dalam Booth 1992 Gambar 5. Barang yang tidak dapat Diperdagangkan dan yang dapat Diperdagangkan serta Neraca Pembayaran Keterangan : A = Keseimbangan awal alokasi produksi yang sama dengan konsumsi sebelum kejutan harga minyak naik di pasar internasional N = Nilai agregat dari barang yang tidak dapat diperdagangkan P = Harga relatif antar harga barang yang tidak dapat diperdagangkan dan harga barang yang dapat diperdagangkan PP = Kurva kemungkinan produksi yang dicapai QQ = Kurva kemungkinan produksi setelah penyerapan barang yang tidak dapat diperdagangkan dan yang dapat diperdagangkan T = Nilai agregat dari barang yang dapat diperdagangkan U = Kurva kesejahteraan Harga barang yang tidak dapat diperdagangkan ditentukan oleh pasar domestik karena tanpa ekspor ataupun impor, sedangkan untuk harga barang yang diperdagangkan ditentukan oleh nilai tukar dan tarif. Sebagian besar barang primer dan manufaktur dikelompokkan sebagai barang yang dapat diperdagangkan, sedangkan sebagian besar jasa dicontohkan sebagai yang tidak dapat diperdagangkan. Jika komoditi energi minyak bumi yang dapat diperdagangkan banyak diserap untuk kepentingan domestik, maka volume ekspor energi menurun dan mengakibatkan neraca perdagangan energi menurun. Bahkan berakibat pada net impor energi. Sebaliknya, jika komoditi minyak bumi yang dapat diperdagangkan kurang diserap untuk kepentingan domestik, maka volume ekspor energi meningkat dan mengakibatkan neraca perdagangan energi meningkat sehingga mengalami net ekspor. Yusgiantoro 2000, mengatakan tentang perdagangan energi minyak sebagai bagian dari keseluruhan perdagangan nasional. Energi sekunder seperti BBM dan LNG juga dapat diekspor untuk menghasilkan devisa. Investasi asing langsung foreign direct investment khususnya untuk minyak dan gas bumi dilakukan oleh perusahaan multinasional. Besarnya investasi swasta private capital inflow pada energi sekunder tersebut hingga kini masih relatif kecil dibandingkan dengan pihak pemerintah. Gambar 5, titik A pada kurva kemungkinan produksi Production Possibility Curve PPC PP menunjukkan keseimbangan awal suatu perekonomian, yaitu keseimbangan yang ditunjukan oleh nilai barang yang dapat diperdagangkan dan yang tidak dapat diperdagangkan pada nilai tukar riil stabil. Garis P sebagai harga relatif dari kedua barang komoditi tersebut, sedangkan kurva kemungkinan produksi QQ sebagai Absorption Possibility Curve APC Warr dalam Booth, 1992. Apabila penyerapan lebih banyak pada barang yang tidak dapat diperdagangkan, maka alokasi produksi bergerak dari titik A ke titik B dengan harga relatif antar harga barang yang tidak dapat diperdagangkan dan harga barang yang dapat diperdagangkan bergeser dari P ke P 1 . Titik B pada Gambar 5 menunjukkan bahwa penyerapan untuk barang yang tidak dapat diperdagangkan meningkat sebesar N 1 – N , tetapi penyerapan untuk barang yang dapat diperdagangkan menurun sebesar T – T 1 atau net ekspor mengalami peningkatan sebesar T – T 1 Titik C pada Gambar 5 juga menunjukkan keseimbangan optimum konsumsi dan produksi dari barang yang tidak dapat diperdagangkan sebesar N . Penyerapan untuk barang yang tidak dapat diperdagangan meningkat, juga disebabkan oleh kebijakan moneter yang ekspansif dalam negeri. Keadaan tersebut juga mengakibatkan kenaikan harga barang pada umumnya inflasi, sehingga penyerapan barang yang dapat diperdagangkan meningkat sebagaimana ditunjukkan oleh titik C pada Gambar 5. Dengan demikian, kejutan harga minyak bumi tinggi sebagai barang andalan komoditas ekspor Indonesia yang dapat diperdagangkan, selain akan menyerap lebih banyak barang yang tidak dapat diperdagangkan, juga mendorong alokasi produksi termasuk arus masuk modal untuk menghasilkan barang yang dapat diperdagangkan seiring dengan peningkatan penyerapan barang yang tidak dapat diperdagangkan. 1 dan barang yang dapat diperdagangkan sebesar T 2 . Keseimbangan tersebut juga menunjukkan kestabilan nilai tukar riil P 2 yang sejajar dengan P 1 . Titik T 2 menunjukkan bahwa penyerapan barang yang dapat diperdagangkan melampaui kapasitas produksi domestik T , akibatnya defisit neraca perdagangan minyak bumi atau net impor sebesar T 2 – T . Partowidagdo 1992, mengemukakan perbedaan tentang penentuan harga efisiensi energi. Menurutnya harga efisiensi untuk energi yang dapat diperdagangkan seperti minyak menggunakan border price, sedangkan untuk energi yang tidak dapat diperdagangkan seperti panas bumi, ukuran ekonominya dinyatakan dengan biaya marginal jangka panjang Long-run Marginal Cost LRMC. Menurutnya ada empat faktor pertimbangan untuk biaya marginal energi, yaitu: 1 depletion premium untuk sumberdaya alam yang terbarukan sebagai komponen biaya user cost untuk mengukur pertambahan biaya produksi sumberdaya energi yang tak terbarukan karena sumberdaya tersebut dianggap tidak tersedia berkurang lagi pada masa mendatang, 2 risk premium sebagai biaya pada investasi eksplorasi dengan risiko geologi, 3 biaya eksternalitas sebagai biaya yang berhubungan dengan mengontrol dampak lingkungan, karena produksi dan konsumsi, dan 4 biaya transportasi yang ditimbulkan karena jarak antara sumber energi dengan konsumen pasar.

4.1.4. Kejutan Eksternal Harga Minyak Rendah terhadap Alokasi

Produksi, Konsumsi, dan Neraca Pembayaran Apabila harga minyak bumi rendah di pasar internasional, maka untuk negara-negara seperti Indonesia yang mengandalkan penerimaan dari sektor industri minyak dan gas bumi akan mengalami penurunan mendadak collapse. Departemen Keuangan 2005a, menyatakan bahwa pada Pelita IV T.A.198485-198889 harga minyak bumi dan gas alam turun secara signifikan, karena terjadi resesi ekonomi dunia dan kelebihan produksi minyak bumi dan gas alam di pasar internasional. Hal tersebut mengakibatkan sumber penerimaan APBN yang berasal dari minyak dan gas bumi menurun secara tajam . Pangestu 1986, menjelaskan tentang windfall profit yang pernah terjadi pada perekonomian Indonesia ketika Booming oil yang mengalami collapse ketika harga minyak rendah. Menurutnya keadaan tersebut sebagai fenomena terjadinya penyakit Belanda Dutch disease di Indonesia, yaitu suatu perekonomian yang hanya bergantung pada suatu sektor ekonomi yang sementara mengalami booming, sedangkan pada bagian lain terhambatnya pertumbuhan di sektor ekonomi lainnya. Titik B pada Gambar 5 menunjukkan keseimbangan awal alokasi produksi sesuai dengan penyerapan barang yang tidak dapat diperdagangkan dengan barang yang dapat diperdagangkan. Apabila harga minyak bumi rendah di pasar internasional, maka akan menurunkan penerimaan dari minyak. Hal tersebut berarti akan menggeserkan penyerapan barang dari titik B ke titik A, yaitu penyerapan barang yang dapat diperdagangkan meningkat sebesar T 1 – T dan penyerapan untuk barang yang tidak dapat diperdagangkan menurun sebesar N 1 – N . Peningkatan penyerapan barang yang dapat diperdagangkan atau net impor tersebut menggeserkan harga relatif yaitu antar harga barang yang dapat diperdagangkan dan harga barang yang tidak dapat diperdagangkan dari P 1 ke P Kenaikan harga barang yang tidak dapat diperdagangkan mendorong dilakukannya kebijakan moneter yang kontraktif yaitu menaikkan suku bunga. Kebijakan tersebut mengakibatkan arus masuk modal neto net capital inflow meningkat. Terapresiasinya mata uang domestik terhadap dolar Amerika juga mengakibatkan penyerapan barang yang dapat diperdagangkan meningkat yang menunjukkan bahwa harga barang yang tidak dapat diperdagangkan lebih tinggi dibandingkan dengan harga barang yang dapat diperdagangkan. sebesar T – T 2 . Penyerapan barang yang dapat diperdagangkan seperti barang-barang modal juga mengakibatkan kenaikan penyerapan terhadap barang–barang yang tidak dapat diperdagangkan dari N ke N 1

4.2. Distorsi Pasar Bahan Bakar Minyak