Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

perairan tertentu merupakan kebijakan mutlak yang patut dilakukan pemerintah. Hanya dengan cara ini, nelayan Indonesia bisa ditingkatkan pendapatannya. Widodo dan Nurhakim 2002 mengemukakan bahwa secara umum, tujuan utama pemanfaatan sumberdaya ikan adalah untuk : 1. Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan enhancement. 2. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan. 3. Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut.

2.3 Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

Pemanfaatan sumberdaya ikan umumnya didasarkan pada konsep “hasil maksimum yang lestari” Maximum Sustainable Yield atau juga disebut dengan “MSY”. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli biologi bernama Schaefer pada tahun 1957. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya resource oriented yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan “Maximum Sustainable Yield” mempunyai kelemahan antara lain : i tidak bersifat stabil, karena perkiraan stock yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok, ii tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen, dan iii sulit diterapkan pada kondisi di mana perikanan memiliki ciri ragam jenis Fauzy, 2004. Di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya menggunakan konsep-konsep biologis dalam pendugaan stok sumberdaya ikannya yaitu dengan menggunakan pendekatan MSY. Kelebihan dari pendekatan ini adalah diperlukan data yang terbatas, sederhana dalam analisis, murah serta hasilnya mudah dimengerti oleh siapa saja termasuk para penentu kebijakan Ghofar., 2003. Pada perairan dimana tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mengalami overfishing perlu segera diatasi untuk mencegah kerusakan sumberdaya ikan yang semakin parah. Upaya untuk mengatasi terjadinya overfishing dapat ditempuh dengan menetapkan jumlah ikan yang diperbolehkan ditangkap atau biasa dikenal dengan istilah Total Allowable Catch TAC. Besarnya TAC di Indonesia secara nasional adalah 80 dari MSY atau sekitar 5 juta ton ikan yang dapat diproduksi per tahun agar kelestarian sumberdaya ikannya tetap terjaga baik. Menurut Nikijuluw 2002, ada tiga cara mengimplementasikan pendekatan TAC. Pertama, paling mudah dan langsung dilakukan adalah menentukan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atas jenis ikan tertentu atau perairan terentu. TAC tersebut kemudian diumumkan kepada setiap nelayan. Selanjutnya pemerintah sebagai pemegang otoritas menetapkan aturan pemanfaatan sumberdaya ikan melakukan pemantauan jumlah ikan yang ditangkap serta memberhentikan penambahan alat tangkap ikan apabila TAC telah tercapai. Kedua, membagi TAC kepada setiap nelayan, kapal atau armada. Untuk itu pemerintah sebagai manajer dapat menentukan keberpihakan kepadanelayan atau jenis kapal ikan tertentu. Sebagai contoh di Norwegia, pemerintah menetapkan persentase TAC tertentu kepada perikanan skala kecil. Sisa TAC yang belum dibagi kemudian dialokasikan kepada nelayan pukat cincin skala besar. Dengan cara ini perbedaan pendapatan antar nelayan dapat diperkecil. Cara ketiga adalah membatasi kegiatan atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sedemikian rupa sehingga TAC tidak terlampaui. Cara ini secara ekonomis tidak efisien dan juga sering tidak akurat dilaksanakan karena kesulitan dalam mengatur penangkapan ikan serta memprediksi jumlah ikan yang mungkin ditangkap setiap kapal. Akibatnya cara ini seringkali membuat TAC terlampaui. Nikijuluw 2005 mengemukakan pentingnya mengelola perikanan secara empiris dapat ditunjukkan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia pada saat ini. Yang dimaksudkan tingkat pemanfaatan adalah nisbi antara jumlah yang ditangkap dengan estimasi potensi sumberdaya. Sederhananya apabila tingkat pemanfaatan terlalu tinggi, lebih dari 50 dan mendekati 100, maka sering dikatakan bahwa sumberdaya sudah tinggi tingkat pemanfaatannya. Tingkat pemanfaatan penuh atau sumberdaya telah jenuh pemanfaatannya bila prosentase pemanfaatan sudah mendekati atau pada tingkat 100. Lebih dari 100 dinamakan dengan tingkat pemanfaatan lebih, sementara kurang dari 50 disebut dengan tingkat pemanfaatan yang rendah. Secara nasional, potensi lestari Maximum Sustainable Yield sumberdaya perikanan diperkirakan 6,4 juta ton per tahun. Potensi ini sebetulnya aman untuk dieksploitasi. Akan tetapi dengan prinsip kehati-hatian terhadap kelangsungan sumberdaya, maka potensi itu direduksi menjadi sekitar 5,12 juta ton atau 80 dari potensi lestari. Angka 5,12 juta ton disebut dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB. Bila yang menjadi rujukan itu JTB maka sebetulnya pemanfaatan sumberdaya telah mencapai sekitar 90. Namun bila yang menjadi rujukan itu adalah potensi lestari 6,4 juta ton maka tingkat pemanfaatan telah mencapai sekitar 72. Dari kedua angka tersebut, tingkat pemanfaatan ini dapat dikatakan bahwa sumberdaya perikanan laut Indonesia secara nasional, yang berarti pada seluruh perairan, mencakup semua jenis ikan, dan berada baik di laut pedalaman, laut wilayah dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI telah mengalami kondisi pemanfaatan yang tinggi, hampir jenuh. Posisi ini sebetulnya adalah posisi kritis yang berarti bahwa pengelolaan sumberdaya ikan sudah sangat diperlukan. Selanjutnya Nikijuluw 2005 menuliskan bahwa menurut Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF, pengelolaan perikanan adalah suatu kebutuhan besar, kebutuhan dunia. Hal ini karena banyak manusia di muka bumi ini yang bergantung pada perikanan sebagai mata pencahariannya. Namun pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia yang begitu penting itu mengalami beberapa kejadian berikut ini yang menjadi dasar atau alasan untuk dikelola pemanfaatannya : 1 Sebagian besar sumberdaya perikanan dunia telah mengalami tangkap penuh, tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi di mana sumberdaya itu harus diselamatkan. Selain karena penangkapan, sumberdaya ikan mengalami degradasi karena kerusakan ekologi dan polusi lingkungan. 2 Kelebihan pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia ikut ditentukan oleh perkembangan teknologi yang begitu cepat terutama pemanfaatan Geographical Positioning System GPS, radar, echosounders, mesin kapal yan lebih kuat dan besar serta berkembangnya teknologi pengolahan ikan. 3 Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini adalah suatu resultante dari kegagalan kepemerintahan perikanan fisheries governance yang mencakup di dalamnya kegagalan masyarakat, peneliti dan ahli perikanan serta pemerintah sebagai suatu lembaga. Di Indonesia, otoritas pengelolaan adalah pemerintah melalui Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang perikanan. Akan tetapi dalam kerangka otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan, otoritas dan wewenang tersebut didelegasikan desentralisasi ke daerah UU 322004. Selain itu, pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat pasal 6 UU 312004. Karena begitu pentingnya kedudukan manusia dalam memberi arti dan manfaat bagi sumberdaya ikan maka pengelolaan sumberdaya perikanan fisheries resource management pada hakekatnya bukanlah sekedar suatu upaya atau proses mengelola sumberdaya ikan managing of fish resources tetapi sesungguhnya adalah proses mengelola manusia managing of fishers sebagai pengguna, pemanfaat dan pengelola sumberdaya ikan. Karena mengelola manusia ternyata tidak lebih mudah dari pada mengelola sumberdaya ikan, maka pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi sulit. Lebih sulit lagi karena ternyata interaksi antara manusia dan sumberdaya ikan merupakan suatu kondisi yang komplikatif yang menyangkut aspek- aspek bioteknologi, teknologi, sosial dan ekonomi. Dengan demikian maka pendekatan sosial ekonomi mendapat tempat yang penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan, di samping pendekatan bioekologi dan teknologi. Dahuri 2000 yang diacu dalam Mulyadi 2005 menjelaskan bahwa kelemahan dalam pengelolaan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : 1 Permasalahan yang bersifat teknis Permasalahan pembangunan perikanan di Indonesia yang bersifat teknis meliputi hal-hal berikut. Pertama, kemampuan kita di dalam memproduksi komoditas perikanan yang berdaya saing tinggi secara lestari, baik melalui usaha penangakapan maupun budidaya masih rendah. Hasil tangkapan ikan per-satuan upaya di laut masih relatif rendah, bersifat fluktuatif atau tak menentu. Kedua, kemampuan kita memasarkan produk atau komoditas perikanan dengan harga yang menguntungkan nelayan baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor masih juga lemah. Harga jual produk-produk perikanan sangat cepat berubah dan sering kali mengalami market glut, yakni suatu kondisi pasar yang harga jual suatu komoditasnya menurun drastis ketika pasokan komoditas tersebut melimpah hasil tangkapan sedang baik dan harga jual membaik manakala sedang paceklik. Kondisi ini turut mengakibatkan nelayan terjebak dalam kemiskinan. Ketiga, harga faktor-faktor produksi relatif mahal dan bersifat fluktuatif. 2 Permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan Keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga subsistem utamanya, yaitu 1 produksi; 2 pascapanen penanganan dan pengolahan: dan 3 pemasaran, tetapi juga oleh subsistem penunjangnya yang meliputi prasarana dan sarana, keuangan, sumberdaya manusia dan iptek serta hukum dan kelembagaan. Kebijakan pemerintah di bidang agrobisnis perikanan belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan. Minimal ada tiga kelemahan kebijakan yang mendasar. Pertama, belum ada kebijakan yang membatasi jumlah tingkat atau kuota penangkapan stok ikan di suatu kawasan perairan. Semua nelayan secara bebas dapat menangkap ikan di suatu wilayah perairan. Akibatnya terjadi overfishing yang pada gilirannya merugikan usaha perikanan tangkap dan nelayan menjadi miskin. Kedua, belum ada tata ruang yang mengakomodasi lahan perikanan sebagai kawasan khusustertentu yang mendapat perlindungan dari konservasi dan bahaya pencemaran. Ketiga, belum ada kebijakan tentang kredit murah dan lunak, misalnya sekitar sepuluh persen seperti KUT, untuk mendukung usaha perikanan tangkap, budidaya, ataupun industri pengolahan. 3 Permasalahan yang berkaitan dengan aspek hukum dan kelembagaan Instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai diperlukan untuk menerapkan kebijakan pembangunan perikanan. Menurut para pengamat dan pakar pembangunan perikanan, implementasi dan penegakan hukum law enforcement di bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan belum cukup membuat perusak menjadi jera atau minimal berpikir berkali-kali untuk melakukan tindakan perusakan. Sebagai contoh, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun dan aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai dan kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung jwab dan sedimentasi akibat meningkatnya erosi dari lahan atas. 4 Permasalahan yang berkaitan dengan kondisi ekonomi politik Meskipun potensi pembangunan perikanan Indonesia sangat besar dan sumbangannya terhadap perekonomian nasional pun tidak kecil berupa penyediaan protein hewani, perolehan devisa, penyerapan tenaga kerja, pengembangan wilayah dan multiplier effects lainnya, tetapi pada kenyataannya perikanan kurang mendapat perhatian dari para pembuat kebijakan dan pengambilan keputusan baik di kalangan pemerintah maupun swasta. Dalam hal pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh pemerintah, menurut Lawson 1984 pemerintah dapat mengambil beberapa bentuk kebijakan dalam rangka pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagai berikut : 1. Pembatasan alat tangkap restriction on gears Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif. Disamping itu, kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien. 2. Penutupan musim closed season Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan, yang umumnya dilakukan di negara dimana sistim penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumberdaya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu species saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi species. Beddington and Rattig 1983 yang diacu dalam Nikijuluw 2002 mengemukakan adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu : ¾ Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, untuk memungkinkan ikan melakukan aktivitas pemijahan dan berkembang biak. ¾ Penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumberdaya ikan telah mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu, dilakukan kebijakan ini untuk membuka peluang pada sumberdaya ikan yang masih tersisa memperbaiki populasinya. 3. Penutupan area closed season Kebijakan ini pada dasarnya mempunyai pengertian menghentikan kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanent, atau dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan ini relatif sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat beberapa negara menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau alat tangkap tertentu. 4. Kuota penangkapan Kuota penangkapan adalah suatu cara yang dapat dilakukan dalam rangka melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan. Kebijakan ini pada dasarnya adalah pemberian hak kepada industri atau perusahaan perikanan untuk menangkap atau mengambil sejumlah ikan tertentu dari perairan. Dengan kata lain, kuota adalah alokasi dari hasil tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada. Berdasarkan ketentuan ini, instansi pemerintah yang berwenang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan mengeluarkan hak kepada perusahaan atau industri bukan saja dalam hal ijin menangkap ikan, akan tetapi juga hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu kuota. Hak kuota ini dapat berupa jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap Total Allowable Catch, yang dapat dibagi per nelayan, per kapal atau per armada perikanan. Hak kuota tersebut pada hakekatnya juga dapat dialihkan atau ditransfer kepada nelayan lain. 5. Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi dari hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap. Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan, menurut Nikijuluw, 2002 diwujudkan dalam tiga fungsi, yaitu : 1 Fungsi Alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. 2 Fungsi Distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah. 3 Fungsi Stabilisasi, ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan sosial ekonomi masyarakat. Pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh masyarakat telah dipraktekan di beberapa daerah di Indonesia seperti Sasi di Pulau Saparua dan pengelolaan sumberdaya ikan di Jemluk Bali. Nikijuluw 2004 menjelaskan bahwa penerapan sistem sasi di Pulau Saparua telah berhasil mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan sekitar Pulau Saparua dengan tetap mejaga kelestariannya. Pelaksanaan sasi dilakukan dengan cara menutup musim dan daerah penangkapan ikan. Untuk itu masyarakat desa tidak diizinkan menangkap ikan selama periode waktu terentu di kawasan perairan tertentu. Periode penutupan penangkapan ikan ini dikenal dengan nama tutup sasi. Sementara itu periode penangkapan ikan dikenal dengan nama buka sasi. Mulyadi 2005 menjelaskan bahwa co-management perikanan dapat dirumuskan sebagai pengaturan kemitraan kedinasan pemerintah, nelayan, LSM dan stakeholder lainnya pedagang ikan, pemilik perahu, para pengusaha dan sebagainya berbagi tanggung jawab dan otoritas untuk melakukan manajemen perikanan. Co-management meliputi berbagai bentuk kemitraan dan tingkat pembagian kekuasaan dan keterpaduan lokal informal, tradisional, adat istiadat dengan sistem manajemen pemerintahan terpusat ataupun otonomi daerah, sedangkan Community Based Coastal Resource Management CBCRM ialah sentral co-management sebagai proses di mana msyarakat pantai sendiri diberikan peluang dan tanggung jawab mengatur sumberdaya alam pantai yang mendaftarkan sendiri kebutuhannya serta menentukan arah dan tujuan aspirasinya. Turner et al. 1998 mengemukakan bahwa perikanan ke arah masa depan akan suram jika tanpa disertai pengelolaan yang baik. Pertumbuhan populasi dunia dan peningkatan produksi perikanan berhubungan dengan peningkatan pendapatan yang dampaknya dapat meningkatkan permintaan jumlah ikan yang tidak dapat dipenuhi oleh sumberdaya. Pengelolaan yang lestari dapat diterapkan dengan mengadopsi pendekatan kehati-hatian precautionary approach untuk pengelolaan perikanan dan dapat mendukung penelitian berikutnya serta dapat digunakan sebagai informasi untuk mengurangi faktor-faktor ketidakpastian yang mempengaruhi produktivitas. Selanjutnya untuk jangka panjang yang perlu diperhatikan adalah beberapa persayaratan untuk mendukung kelestarian lingkungan yang didasarkan pada prinsip ekonomi dengan skala optimal, distribusi hukum yang adil, partisipasi dan legitimasi. Isu utama dalam meningkatkan resiko lingkungan adalah luasnya distribusi dari resiko, biaya dan manfaat. Barkin et al. 2000 menuliskan bahwa dalam melestarikan sumberdaya terdapat 3 kriteria utama, yaitu : 1 Teknologi Perbedaan secara nasional dijumpai pada teknologi eksploitasi sumberdaya utama yang ada untuk dapat disubstitusi dengan sumberdaya lainnya. Kasus yang dapat digunakan adalah adanya perbedaan teknologi terutama perbedaan pada teknologi penangkapan yang tinggi, dan penggunaan modal yang besar yang dapat menjangkau daerah penangkapan lebih jauh sehingga dapat memberikan pilihan yang bervariasi dimana ikan berada dan jenis-jenis ikan apa yang akan ditangkap. 2 Perbedaan tingkatan pemanfaatan sumberdaya Ketika suatu negara memanfaatkan sumberdaya untuk lebih dari satu tujuan, negara tersebut akan mempunyai kesulitan untuk mensubstitusi sumberdaya tersebut. Sebagai contoh, Canada memperoleh keuntungan dari salmon sport fishery, sementara United States memanfaatkan perikanan salmon sebagai perikanan komersil. Untuk mensubstitusi stok tersebut, Canada menemukan alternatif untuk turis dan nelayan untuk meningkatkan perikanan komersil. Penggunaan sumberdaya yang berbeda dapat dengan cara mensubsitusi sumberdaya tersebut, dalam kasus ketika satu negara meningkatkan keuntungan dari salah satu sumberdaya dan negara lain tidak melakukan hal itu. 3 Perbedaan arah pemanfaatan sumberdaya Ketika sumberdaya mempunyai arah yang berbeda, kemampuan negara maju untuk mensubstitusi sumberdaya alam biasanya lebih besar daripada negara-negara yang kurang maju. Isu-isu lingkungan yang masuk ke dalam kategori ini adalah isu-isu yang berkaitan dengan udara, perairan dan migrasi spesies ikan. Peraturan internasional tentang Code of Conduct for Responsible Fisheries FAO, 1995 telah mulai disiapkan untuk diimplementasikan, yang memuat beberapa aspek yaitu : 1 Aspek pengelolaan perikanan Fisheries Management. 2 Aspek operasi penangkapan ikan Fishing Operations. 3 Aspek pembangunan akuakultur Aquaculture Development. 4 Aspek integrasi perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir Integration of Fisheries into Coastal Area Management. 5 Aspek praktek-praktek pasca panen dan perdagangan Post Harvest Practices and Trade. 6 Aspek penelitian perikanan Fisheries Research. Pengaturan dan pengendalian sumberdaya perikanan di Indonesia saling berkaitan antara aspek operasi penangkapan dengan ke-lima aspek lainnya dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries. Beberapa peraturan umum yang terkandung dalam CCRF 1995 antara lain : 1 Negara dan pengguna sumberdaya perikanan harus menjaga ekosistem perairan, hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap menggunakan cara-cara yang bertanggungjawab. 2 Pengelolaan perikanan harus mendorong terjaminnya sumberdaya perikanan untuk generasi sekarang maupun yang akan datang. 3 Negara harus mencegah penangkapan yang berlebihan overfishing dan menjaga agar upaya penangkapan sesuai dengan kapasitas dari sumber itu sendiri. 4 Kebijaksanaan konservasi dan pengelolaan perikanan harus berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia, dengan memperhatikan habitat, lingkungan dan faktor sosial ekonomi. 5 Negara dan organisasi perikanan regionalsub regional harus mengimplementasikan ”pendekatan kehati-hatian” precautionary approach dalam rangka konservasi, pengelolaan dan eksploitasi sumberdaya perairan; tidak tersedia data dan informasi ilmiah yang cukup yang tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda mengambil keputusan dalam pengelolaan. 6 Alat penangkapan yang selektif dan ramah lingkungan agar dikembangkan dalam rangka menjamin biodiversitas dan menjaga struktur populasi dalam ekosistem perairan. 7 Penangkapan dan penanganan pasca panen dan distribusi ikan harus menjamin kualitas nilai nutrisi ikan dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. 8 Perlunya perlindungan terhadap habitat yang kritis dan upaya rehabilitasi. 9 Negara harus menjamin bahwa kepentingan perikanan diperhatikan dalam rangka perencanaan pembangunan pantai terintegrasi. 10 Negara harus menjamin terlaksananya pengawasan dan kepatuhan dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan. 11 Negara pemberi ijin penangkapan harus menjamin pengawasan yang efektif agar dapat terlaksananya kode etik ini. 12 Negara harus bekerja sama dalam tingkat sub regional dan regional dalam rangka pengelolaan perikanan disesuaikan dengan kemampuannya. 13 Negara harus menjamin pelaksanaan pengelolaan perikanan yang transparan, mendorong adanya konsultasi dan partisipasi dari para pengguna sumberdaya perikanan. 14 Perdagangan ikan secara internasional harus mengacu kepada prinsip, hak dan kewajiban yang sudah digariskan oleh organisasi perdagangan dunia WTO. 15 Negara harus bekerja sama untuk menghindari konflik dan harus menghormati upaya pemecahan konflik. 16 Negara harus meningkatkan penyuluhan tentang perikanan yangg bertanggungjwab melalui pendidikan latihan. 17 Negara harus berupaya agar fasilitas penangkapan dan peralatan lainnya menjamin keselamatan para pekerja. 18 Negara harus melindungi hak-hak para nelayan dan para pekerja perikanan yang terlibat dalam perikanan skala kecil untuk mempertahankan kehidupannya. 19 Negara harus menempatkan akuakultur sebagai upaya diversifikasi dan menjamin agar akuakultur tidak mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan. Pengelolaan perikanan secara khusus di jelaskan pada Pasal 3.1, antara lain : 1 Negara-negara harus menjamin agar suatu kerangka hukum dan kelembagaan yang tepat dapat diadopsi untuk mengelola pembangunan kawasan pesisir. 2 Sektor perikanan haruslah merupakan suatu bagian integrasi dari tatanan pengelolaan kawasan pesisir untuk menjamin agar : 1. Perhatian agar diberikan pada hak dari komunitas penangkapan ikan pesisir dan praktek yang biasa mereka lakukan sejalan dengan pembangunan lestari berkelanjutan dan, 2. Sektor perikanan, bersama dengan komunitas penangkapan ikan dikonsultasikan dalam proses pengambilan keputusan berkenaan dengan proyek terkait perikanan, demikian pula melengkapi masukan sektor perikanan berikut komunitas penangkapan ikan ke dalam kegiatan non-perikanan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan pesisir. 3 Negara-negara harus mengambil ketentuan untuk menetapkan dan menyusun badan pengelolaan yang efektif pada tingkat-tingkat Pangkalan Pendaratan Ikan atau Pelabuhan Ikan untuk memastikan : 1. Ketaatan pada hukum peraturan perundang-undangan dan aturan lain yang mengatur kewajiban suatu Negara berkaitan dengan fasilitas Pelabuhan Perikanan atau fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan; 2. Ketaatan pada ketentuan konservasi dan pemantauan lingkungan yang telah diadopsi oleh otoritas yang kompeten pada tingkat nasional demikian pula ketentuan yang diadopsi atas dasar regional atau subregional; 3. Pengintegrasian dengan para pengguna lain seperti dalam hal fasilitas yang biasa untuk kapal penangkap ikan; dan 4. Transparan dalam proses pengambilan keputusan. 4 Dalam menetapkan penugasan suatu badan pengelolaan, otoritas yang kompeten harus memastikan bahwa badan tersebut : 1 Disediakan dana secukupnya agar berfungsi seperti yang diharapkan; 2 Mewakili seluruh pengguna fasilitas yang beragam; 3 Memungkinkan konsultasi diantara para pengguna yang berbeda; 4 Besarnya fasilitas dan kewajiban badan sesuai dengan tanggungjawab yang ditugaskan padanya. 5 Pada tingkat desa, pengelolaan dapat dipercayakan ke pada suatu Pusat Komunitas Perikanan atau organisasi nelayan setempat. Walaupun fasilitas dan jasa pelayanan di suatu desa atau kawasan tertentu mungkin sangat sederhana, namun masih dibutuhkan adanya suatu organisasi pengelola sumberdaya ikan. 6 Pada tingkat industri, pengelolaan harus dilaksanakan oleh suatu badan yang ditetapkan dengan baik swasta, otonomi, kabupaten atau negara dengan anggota- anggota diambil dari berbagai unsur pokok pengguna dari pelabuhan khusus demikian pula komunitas secara luas. Suatu perkecualian pada aturan adalah jika fasilitas itu dimiliki oleh satu perusahaan. Meskipun demikian, perusahaan itu akan tetap bertanggungjawab di dalam struktur pengelolaan menyeluruh dalam pengoperasiannya. Pemanfaatan sumberdaya ikan untuk diperoleh hasil optimum dan lestari diperlukan pengaturan dalam bentuk kebijakan yang dapat diterima oleh masyarakat dan semua pihak terkait. Kebijakan dimaksud adalah kebijakan publik yang dalam pelaksanaannya akan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak terkait. Menurut Friedrich 1969 yang diacu dalam Agustino., 2006 kebijakan publik adalah serangkaian tindakankegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan- hambatan kesulitan-kesulitan dan kemungkinan-kemungkinan kesempatan- kesempatan dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan tertentu. Agustino 2006 mengemukakan beberapa karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik : 1 Umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak. 2 Kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah-pisah. Misalnya, suatu kebijakan tidak hanya meliputi keputusan untuk mengeluarkan peraturan peraturan tertentu tetapi juga keputusan berikutnya yang berhubungan dengan penerapan pelaksanaannya. 3 Kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah. Kebijakan publik memperhatikan apa yang kemudian akan atau dapat terjadi setelah kebijakan itu diimplementasikan. 4 Kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan; secara negatif, kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan. 5 Kebijakan publik paling tidak secara positif, didasarkan pada hukum dan merupakan tindakan yang bersifat memerintah. Kebijakan publik yang bersifat memerintah kemungkinan besar mempunyai sifat yang memaksa secara sah, yang mana hal ini tidak dimiliki oleh kebijakan-kebijakan organisasi swasta. Agustino 2006 menerangkan bahwa sifat kebijakan publik sebagai bagian dari suatu kegiatan dapat dimengerti secara baik bila dibagi-bagi dalam beberapa kategori, yaitu : policy demands, policy decisions, policy statements, policy outputs dan policy outcomes. Dikemukakan walau kebijakan dapat dipandang sebagai solusi dari konflik yang berkecamuk, tetapi kebijakan publik juga dianggap sebagai penyebab konflik antara kelompok yang berbeda, yang pribadi dan yang resmi, yang memiliki keinginan dan kepentingan yang berbeda. Salah satu sumber konflik yang utama, khususnya dalam masyarakat modern, adalah kegiatan ekonomi. Selanjutnya dijelaskan bahwa ada lima bentuk kebijakan publik : 1 Kebijakan Substansial atau Kebijakan Prosedural Kebijakan substantive meliputi kebijakan yang akan dilakukan pemerintah, seperti : pendidikan, kesehatan, bantuan bagi usaha kecil dan menengah, atau pembayaran keuntungan bagi kesejahteraan rakyat. Kebijakan substansif pada dasarnya memberi tekanan pada subject matter dari apa yang dibutuhkan oleh warga. Kebijakan prosedural, meliputi siapa yang akan melaksanakan atau bagaimana hal tersebut akan dilaksanakan. Jadi yang membedakan antara Kebijakan Substansif atau Kebijakan Prosedural adalah dengan melihat konten kebijakan itu sendiri. Apabila isi kebijakan lebih mengarah pada upaya pengentasan suatu masalah yang tengah dialami oleh warga masyarakat, maka dapat dipastikan kebijakan tersebut adalah kebijakan substansif. Tapi ketika konten kebijakan itu hanya menyampaikan siapa yan harus melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan, maka ia termasuk dalam kategori kebijakan prosedural. 2 Kebijakan Liberal dan Kebijakan Konservatif Debat dan diskusi mengenai tipologi kebijakan publik yang juga meyita perhatian adalah pengelompokan antara kebijakan liberal dan kebijakan konservatif. Membedakan kebijakan liberal dengan kebijakan konservatif melalui pelibatan pemerintah sebagai aparatur implementor kebijakan itu sendiri. Oleh karena itu kebijakan liberal umumnya dibantu atau mempergunakanmelibatkan pemerintah dalam menuntaskan masalah-masalah perubahan sosial yang dirasakan warga masyarakat. Sebaliknya, kebijakan konservatif tidak melibatkan atau mempergunakan pemerintah untuk tujuan tersebut. 3 Kebijakan Distributif, Kebijakan Redistributif, Kebijakan Regulator dan Kebijakan Self-Regulatory Kebijakan distributif terdiri dari penyebaran pelayanan atau keuntungan pada sektor- sektor khusus, baik untuk individu, kelompok-kelompok kecil, dan komunitas- komunitas tertentu. Kebijakan distributif juga memiliki karakteristik yang khas, termasuk penggunaan dana umum untuk membantu kelompok-kelompok tertentu. Kegiatan kebijakan distributif bersifat mencari keuntungan dengan tidak bersaing secara langsung dengan yang lain. Keuntungan meraka tidak merupakan biaya yang langsung ditarik pada beberapa kelompok khusus, tetapi biaya tersebut dibebankan pada dana umum, yang diminta pada semua pembayar pajak. Dengan demikian kebijakan distributif muncul untuk menciptakan pemenang, meskipun secara nyata seseorang membayar untuk mereka. Kebijakan redistributif termasuk usaha hati-hati yang dilakukan oleh pemerintah untuk memindahkan alokasi dana dari kekayaan, pendapatan, pemilihan atau hak-hak diantara kelompok-kelopmpok penduduk, misalnya dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Kebijakan regulator adalah kebijakan tentang penggunaan pembatasan atau larangan perbuatan atau tindakan bagi orang atau kelompok orang. Kebijakan ini pada dasarnya bersifat mengurangi kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat sesuatu. Kebijakan self- regulatory adalah semacam peraturan kebijakan yang berupaya untuk membatasi atau mengawasi beberapa bahan atau kelompok. Bagaimanapun juga kebijakan-kebijakan ini dibedakan dengan kebijakan regulator. Kebijakan self-regulatory biasanya dicari dan didukung oleh sekelompok aturan sebagai alat untuk melindungi atau menawarkan kepentingan mereka sendiri. 4 Kebijakan Material dan Kebijakan Simbolis Kebijakan publik dapat pula dipisahkan ke dalam kebijakan material atau simbolis. Kebijakan material adalah kebijakan yang berupaya untuk menyediakan sumber penghasilan yang nyata atau kekuasaan yang sesungguhnya kepada orang-orang yang diuntungkan, atau memberikan kerugian yang sesungguhnya, bagi siapa yang terkena kerugian. Dalam bahasa yang sederhana, kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan sumber-sumber material yang nyata bagi penerimanya, sedangkan kebijakan simbolis membagikan keuntungan atau kerugian yang mempunyai dampak kecil pada manusia. 5 Kebijakan Kolektif dan Kebijakan Privat Kebijakan publik dapat juga dimasukkan dalam ketetapan yang merupakan barang kolektif indivisible atau barang privat divisible. Yang disebut sebagai barang kolektif adalah kebijakan tentang penyediaan barang dan pelayanan bagi keperluan orang banyak kolektif. Kebijakan privat adalah kebijakan yang dapat dibagi menjadi satuan-satuan dan dibiayai untuk pemakai tunggal dan dapat dipasarkan. Charles O’Jones 1996 yang diacu dalam Agustino 2006 ada empat langkah strategis yang harus diperhatikan dalam menyusun agenda kebijakan, ialah : 1. Dilihat dari peristiwa itu sendiri 1 Ruang lingkupscope : Berapa banyak orang yang terkena pengaruh atau akibat dari peristiwa yang tengah terjadi? 2 Persepsi : Bagaimana pandangan mereka? Berapa banyak orang yang merasakan konsekuensinya? Apa hasil dari persepsi-persepsi ini? 3 Definisi : Apakah konsekuensi-konsekuensi yang dirasakan dapat disebutkan sebagai sebuah problem? Apakah problem-problem yang berlainan didefinisikan oleh orang-orang yang berlainan? 4 Intensitas : berapa banyak orang yang terlibat? Apakah intensitasnya berbeda diantara mereka yang terlibat? 2 Organisasi kelompok 1 Jumlah extent : Berapa banyak anggota yang terdapat kelompok yang terdapat? Apakah komitmen kelompok tersebut? 2 Struktur : Apakah hubungan antara anggota dengan pemimpinnya HirarkisDemokratis? Apakah terdapat staf-staf yang professional. 3 Kepemimpinan : Bagaimana pemimpinnya dipilih? Berapa besar kekuasaan yang mereka miliki? Apakah mereka itu agresif ? 3 Kemudahan akses 1 Perwakilan : Apakah mereka yang akan terkena akibat kebijakan telah terwakili dalam posisi pembuatan kebijakan? 2 Empati : Apakah mereka yang ada dalam posisi pembuat kebijakan mau berempati menaruh perhatian kepada mereka yang terkena dampak kebijakan? 3 Dukungan : Dapatkah mereka yang akan terkena dampak kebijakan memperoleh dukungan? 4 Proses Kebijakan 1 Struktur : Bagaimana hubungan antara pemeran kebijakan dengan mereka yang terlibatterkena pengaruh kebijakan tersebut hirarkis-demokratis- berdasarkan bergaining? Apakah syarat-syarat formal dari pembuatan kebijakan? 2 Daya tanggap Responsivenes : Bagaimana tanggapan para pameran kebijakan terhadap mereka yang terlibatterkena dampak kebijakan? Bagaimana nilaitradisi yang ada dalam menanggapi hal seperti ini? 3 Kepemimpinan : Bagaimana pemimpinnya dipilih? Berapa besar kekuasaan yang mereka miliki ? Apakah mereka itu agresif? Selanjutnya Agustino 2006 mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atau tidaknya suatu kebijakan publik : 1. Faktor penentu pemenuhan kebijakan 1 Respeknya anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan pemerintah. 2 Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan 3 Adanya sanksi hukum 4 Adanya kepentingan publik 5 Adanya kepentingan pribadi 6 Masalah waktu 2 Faktor penentu penolakan atau penundaan kebijakan 1 Adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai yang ada. 2 Tidak adanya kepastian hukum. 3 Adanya keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi. 4 Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum. 3 KERANGKA PEMIKIRAN Daerah sekitar Teluk Lasongko berpenduduk campuran yaitu penduduk asli pulau Muna dan penduduk pendatang dari Ambon. Usaha penangkapan ikan merupakan salah satu alternatif mata pencahariannya. Usaha penangkapan ikan di perairan Teluk Lasongko ini perkembangannya pesat dan telah melebihi daya dukung sumberdaya ikannya. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan usaha penangkapan di perairan Teluk Lasongko agar hasilnya dapat optimum dan berkelanjutan. Secara nasional sektor perikanan tangkap mempunyai arti penting dalam pembangunan di Indonesia. Pembangunan perikanan tangkap ditujukan untuk : 1 meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, 2 meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, khususnya nelayan, 3 mengendalikan pemanfaatan sumberdaya ikan, 4 meningkatkan mutu dan nilai tambah hasil perikanan, 5 menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha perikanan tangkap, dan 6 menyediakan bahan pangan sumber protein hewani dan bahan baku industri serta ekspor DKP, 2004. Mengacu pada tujuan pembangunan perikanan tangkap tersebut, maka sumberdaya ikan yang ada di perairan Teluk Lasongko yang merupakan bagian dari perairan Indonesia selayaknya dimanfaatkan secara baik dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. Hal ini penting untuk mendorong terwujudnya kondisi masyarakat yang damai mengingat penduduk di wilayah Teluk Lasongko terdiri dari penduduk asli dan penduduk pendatang dari Ambon. Departemen Kelautan dan Perikanan 2004 menyatakan bahwa pembangunan perikanan tangkap selama ini telah menunjukkan hasil yang nyata yaitu telah meningkatkan produksi perikanan tangkap rata-rata 5,4 per tahun selama periode tahun 2001-2003, dari 3.966.480 ton pada tahun 2001 menjadi 4.406.200 ton pada tahun 2003. Demikian pula konsumsi ikan dan ekspor dapat terus ditingkatkan. Hal ini memberi indikasi bahwa sektor perikanan mempunyai peran dalam pembangunan ekonomi secara umum. Melalui analisa tabel Input-Output diperoleh gambaran peranan sektor perikanan dalam perekonomian baik secara nasional maupun regional, yaitu merupakan sektor prioritas jangka pendek dan menengah. Dari analisa ini dihasilkan bahwa tambahan investasi di sektor perikanan memberikan dampak positip terhadap kegiatan sektor lain serta akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Hasil ini memberikan keyakinan apabila ada tambahan investasi untuk pengembangan perikanan di Teluk Lasongko akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah Teluk Lasongko. Pengelolaan perikanan tangkap di perairan Indonesia dibagi kedalam sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia WPPI yaitu : 1 Selat Malaka, 2 Laut Cina Selatan, 3 Laut Jawa, 4 Selat Makasar dan Laut Flores, 5 Laut Banda, 6 Laut Arafura, 7 Laut Seram dan Teluk Tomini, 8 Laut Sulawesi dan Laut Flores, dan 9 Samudera Hindia, DKP, 2004. Teluk Lasongko merupakan bagian kecil dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia WPPI 4 . Kegiatan usaha penangkapan ikan di Teluk Lasongko terus berkembang dalam kurun waktu lima tahun terakhir 2000-2004. Jumlah alat tangkap terus bertambah, namun produksi ikan cenderung menurun. Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari kecamatan disekitar Teluk Lasongko, sebagai contoh jumlah alat tangkap jenis jaring insang hanyut untuk menangkap ikan- ikan demersal pada tahun 2001 adalah 549 unit. Produksi hasil tangkapan ikan demersal pada tahun yang sama adalah 2.411 ton. Pada tahun 2004 jumlah jaring insang hanyut bertambah menjadi 2.036 unit atau meningkat sebesar 370 dalam kurun waktu empat tahun atau rata-rata meningkat 93 per tahun. Sebaliknya pada kurun waktu yang sama produksi ikan demersal berkurang menjadi 2.212 ton pada tahun 2004 atau menurun rata- rata 2 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan jumlah alat tangkap jaring insang hanyut telah melebihi dari daya dukung sumberdaya ikannya atau dengan perkataan lain untuk jenis ikan demersal di Teluk Lasongko telah mengalami kondisi tangkap lebih overfishing. Widodo, 2003., menerangkan bahwa suatu perairan dinilai telah mengalami tangkap lebih dapat dideteksi dengan suatu kombinasi sejumlah indikator stok ikan seperti : i penurunan hasil tangkapan per unit upaya catch per unit effort, cpue ,ii penurunan hasil tangkapan total yang didaratkan, iii penurunan rata-rata bobot ikan; dan indikator ekosistem, yakni iv perubahan pada struktur umurstruktur ukuran atau v perubahan komposisi species dalam populasi. Melalui kajian potensi sumberdaya ikan di Teluk Lasongko dengan menggunakan metode Schaefer diketahui nilai MSY . Selanjutnya nilai MSY tersebut dibandingkan dengan total produksi ikan yang telah dicapai diperoleh hasil tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko. Hasil perhitungan ini menunjukan bahwa secara keseluruhan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko telah mendekati tingkat kejenuhan. Oleh karena itu untuk mencegah kerusakan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko perlu dirumuskan kebijakan pemanfaatannya berbasis nilai MSY agar kedepan sumberdaya ikan yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari. Widodo 2003, menyatakan bahwa terhadap perairan yang telah mengalami tekanan penangkapan yang berlebihan, harus dilakukan pengaturan terhadap besarnya upaya penangkapan. Dengan pengelolaan yang lebih baik memungkinkan terjadinya pemulihan sumberdaya ikan yang selanjutnya akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan. Selain itu dampak ekonomi dapat pula terjadi terutama dalam peningkatan pendapatan nelayan maupun pendapatan negara. Untuk mengetahui kelayakan usaha unit-unit penangkapan yang ada, dianalisa dengan menggunakan metode Benefit-Cost Ratio BC Ratio. Selanjutnya berdasarkan faktor pembatas yaitu nilai Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan JTB dihitung jumlah unit usaha yang optimal untuk dioperasikan di perairan Teluk Lasongko dengan menggunakan model Goal Programming. Penyusunan model kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko mengacu pada analisis SWOT. Selanjutnya dengan menggunakan metode AHP dirumuskan prioritas kebijakan yang sesuai untuk penyusunan kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis MSY di Teluk Lasongko. Kebijakan pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berbasis MSY inilah yang diharapkan dapat diterapkan di Teluk Lasongko agar diperoleh produksi ikan yang optimum dan berkelanjutan. Smith 1981 yang diacu dalam Nikijuluw 2005 menuliskan dalam salah satu karya gemilangnya yang berjudul ”Improving Fishing Incomes when resources are Overfished”, mencoba secara teoritis menggambarkan kegagalan berbagai kebijakan pemerintah. Menurut Smith, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bentuk motorisasi, subsidi BBM, subsidi input, peningkatan teknologi pasca panen dan pemasaran serta pemberdayaan koperasi, kelompok dan organisasi nelayan dalam jangka pendek memang akan sedikit terlihat dampak positifnya dalam bentuk peningkatan pendapatan. Namun dalam jangka panjang, semua kebijakan ini tidak berdampak signifikan. Nelayan tetap miskin dan terperangkap dalam kemiskinan itu. Menurut Smith, ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, jumlah nelayan harus dikurangi dan sebab itu jumlah upaya penangkapan yang rasional serta akses terbatas ke sektor perikanan harus ditetapkan dalam bentuk aturan positif dan kemudian dijalankan dengan konsekwen dan tanggung jawab. Kedua, mengembangkan pekerjaan suplemen dan alternatif kepada keluarga nelayan di luar sektor perikanan. Bila jumlah nelayan sudah dikurangi dan dibatasi pada angka tertentu maka kebijakan-kebijakan lainnya seperti motorisasi, subsidi BBM, subsidi input, peningkatan teknologi pasaca panen dan pemasaran serta pemberdayaan koperasi, kelompok dan organisasai nelayan akan berdampak positif bagi peningkatan pendapatan dan pengentasan kemiskinan nelayan. Nikijuluw 2005 mengemukakan pendapatan nelayan Indonesia yang rendah karena Malthusian overfishing. Jumlah nelayan harus dibatasi dan ditetapkan pada angka tertentu. Setelah ditutupnya aksesibilitas ke sektor perikanan maka pemerintah dapat mengambil kebijakan selanjutnya yang diarahkan pada peningkatan produktivitas, penentuan daerah penangakapan ikan secara sistem buka tutup, penentuan waktu penangkapan ikan, penghematan biaya, peningkatan nilai jual nelayan serta penciptaan kegiatan ekonomi suplemen dan alternatif. Jadi, pembatasan jumlah nelayan di suatu perairan tertentu merupakan kebijakan mutlak yang patut dilakukan pemerintah. Hanya dengan cara ini, nelayan Indonesia bisa ditingkatkan pendapatannya. Kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko yang akan diterapkan merupakan kebijakan publik yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh semua stakeholder yang terlibat dalam kegiatan usaha penangkapan ikan. Dalam hubungan dengan kebijakan publik, Sutanto 2006 mengemukakan bahwa terdapat lima bentuk kebijakan publik : 1 Kebijakan Substansial atau Kebijakan Prosedural Kebijakan substantive meliputi kebijakan yang akan dilakukan pemerintah, seperti : pendidikan, kesehatan, bantuan bagi usaha kecil dan menengah, atau pembayaran keuntungan bagi kesejahteraan rakyat. 2 Kebijakan Liberal dan Kebijakan Konservatif Kebijakan liberal umumnya dibantu atau mempergunakanmelibatkan pemerintah dalam menuntaskan masalah-masalah perubahan sosial yang dirasakan warga masyarakat. Sebaliknya, kebijakan konservatif tidak melibatkan atau mempergunakan pemerintah untuk tujuan tersebut. 3 Kebijakan Distributif, Kebijakan Redistributif, Kebijakan Regulator dan Kebijakan Self-Regulatory Kebijakan distributif terdiri dari penyebaran pelayanan atau keuntungan pada sektor- sektor khusus, baik untuk individu, kelompok-kelompok kecil, dan komunitas- komunitas tertentu. Kebijakan distributif juga memiliki karakteristik yang khas, termasuk penggunaan dana umum untuk membantu kelompok-kelompok tertentu. Kegiatan kebijakan distributif bersifat mencari keuntungan dengan tidak bersaing secara langsung dengan yang lain. Keuntungan meraka tidak merupakan biaya yang langsung ditarik pada beberapa kelompok khusus, tetapi biaya tersebut dibebankan pada dana umum, yang diminta pada semua pembayar pajak. Dengan demikian kebijakan distributif muncul untuk menciptakan pemenang, meskipun secara nyata seseorang membayar untuk mereka. Kebijakan redistributif termasuk usaha hati-hati yang dilakukan oleh pemerintah untuk memindahkan alokasi dana dari kekayaan, pendapatan, pemilihan atau hak-hak diantara kelompok-kelopmpok penduduk, misalnya dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Kebijakan regulator adalah kebijakan tentang penggunaan pembatasan atau larangan perbuatan atau tindakan bagi orang atau kelompok orang. Kebijakan ini pada dasarnya bersifat mengurangi kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat sesuatu. Kebijakan self- regulatory adalah semacam peraturan kebijakan yang berupaya untuk membatasi atau mengawasi beberapa bahan atau kelompok. Bagaimanapun juga kebijakan-kebijakan ini dibedakan dengan kebijakan regulator. Kebijakan self-regulatory biasanya dicari dan didukung oleh sekelompok aturan sebagai alat untuk melindungi atau menawarkan kepentingan mereka sendiri. 4 Kebijakan Material dan Kebijakan Simbolis Kebijakan publik dapat pula dipisahkan ke dalam kebijakan material atau simbolis. Kebijakan material adalah kebijakan yang berupaya untuk menyediakan sumber penghasilan yang nyata atau kekuasaan yang sesungguhnya kepada orang-orang yang diuntungkan, atau memberikan kerugian yang sesungguhnya, bagi siapa yang terkena kerugian. Dalam bahasa yang sederhana, kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan sumber-sumber material yang nyata bagi penerimanya, sedangkan kebijakan simbolis membagikan keuntungan atau kerugian yang mempunyai dampak kecil pada manusia. 5 Kebijakan Kolektif dan Kebijakan Privat Kebijakan publik dapat juga dimasukkan dalam ketetapan yang merupakan barang kolektif indivisible atau barang privat divisible. Yang disebut sebagai barang kolektif adalah kebijakan tentang penyediaan barang dan pelayanan bagi keperluan orang banyak kolektif. Kebijakan privat adalah kebijakan yang dapat dibagi menjadi satuan-satuan dan dibiayai untuk pemakai tunggal dan dapat dipasarkan. Kerangka pikir penyusunan kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis MSY di Teluk Lasongko dapat dilihat pada Gambar 9 berikut. Gambar 9. Kerangka Pikir Penyusunan Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Berbasis MSY di Teluk Lasongko SUMBERDAYA IKAN - BARANG EKONOMI - LAW OF SCARCITY - LAW OF D. RETURN SDI TELUK LASONGKO -MASY. ASLI PENDATANG -SBG MATA PENC. MASY -GEJALA OVER FISHING ANALISIS I-O SEKTOR PRIORITAS ANALISIS POTENSI MSY STATUS TINGKAT PEMANFAATAN SDI OVERFISHING ANALISIS KELAYAKAN USAHA GOAL PROGRAMMING SWOT DAN AHP KEBIJAKAN PEMANFAATAN SDI BERBASIS MSY 4 METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian