7.1 Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
Sumberdaya ikan di Teluk Lasongko merupakan kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Sebagaimana telah diuraikan
dalam bab terdahulu bahwa sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan secara terus menerus karena sumberdaya tersebut memiliki sifat dapat
pulih kembali secara alami apabila pemanfaatannya dilakukan dengan cara-cara yang benar atau sumberdaya ikan tersebut harus dikelola dengan baik. Oleh karena itu dalam
pemanfatan sumberdaya ikan ini diperlukan visi, misi dan tujuan pengelolaan yang jelas sebagai pedoman bersama bagi seluruh pihak terkait.
Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode suatu perencanaan. Morrisey 2002, menyatakan bahwa rumusan visi yang baik
adalah singkat, menarik perhatian, mudah diingat, memberi inspirasi dan perlu dikomunikasikan untuk memastikan bahwa visi itu diingat dan dijadikan inspirasi oleh
stakeholder. Memperhatikan kondisi masyarakat Teluk Lasongko yaitu campuran antara penduduk asli dan pendatang dari Ambon yang memerlukan kerukunan bermasyarakat
serta kecukupan pendapatan yang berkelanjutan, maka visi pemanfaatan sumberdaya ikan
di perairan Teluk Lasongko dirumuskan sebagai berikut :
“Sumberdaya ikan Teluk Lasongko mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan.”
Makna yang terkandung dalam visi ini adalah sumberdaya ikan di Teluk Lasongko merupakan sumber mata pencaharian milik bersama, harus dikelola bersama
antara penduduk asli dan pendatang dalam suasana damai. Melalui suasana damai itulah pemanfaatan sumberdaya ikan akan mendatangkan hasil yang baik yang pada akirnya
dapat meningkatkan kesejahteraan bersama.
Selanjutnya agar visi tersebut dapat diwujudkan, diperlukan upaya-upaya yang
rumusannya disebut misi. Rumusan misi didasarkan pada hasil analisis SWOT dan AHP,
yaitu sebagai berikut :
Misi : 1. Menjaga produksi ikan hasil tangkapan sampai pada batas JTB.
2. Pengembangan diversifikasi usaha 3. Pengembangan perekonomian daerah
4. Peningkatan pengelolaan sumberdaya ikan
Selanjutnya ditetapkan tujuan yang akan dicapai dalam memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada. Kegiatan memanfaatkan sumberdaya ikan tidak lain sebagai
kegiatan mata pencaharian untuk memperoleh penghasilan atau pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan hidup. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan ini tentu harus
dapat dilaksanakan secara terus menerus sampai pada generasi mendatang. Oleh karena itu tujuan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko dirumuskan sebagai berikut :
Tujuan : Meningkatkan pendapatan nelayan khususnya dan masyarakat sekitar
Teluk Lasongko umumnya ..
Setelah tujuan dirumuskan maka ditetapkan sasaran yang akan dicapai untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki. Sasaran dari pemanfaatan sumberdaya ikan adalah
perolehan hasil tangkapan ikan sampai pada batas JTB. Apabila sasaran ini dapat dijaga realisasinya, maka sesuai dengan sifat
sumberdaya ikan yang dapat pulih kembali secara alami, sumberdaya ikan di Teluk Lasongko akan dapat dimanfaatkan sepanjang masa. Sebaliknya apabila realisasi di
lapangan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, maka lambat laun sumberdaya ikan
akan mengalami kerusakan dan produktivitasnya akan terus menurun dan pada suatu saat akan mencapai nol.
Sasaran : Pencapaian produksi ikan hasil tangkapan dari Teluk Lasongko
maksimum sampai batas JTB 13.500 tontahun
Sasaran tersebut akan dapat dicapai apabila faktor-faktor pembatas dapat di penuhi keberadaannya. Faktor-faktor pembatas dimaksud beserta besarannya adalah
sebagai berikut :
- Bensin : 3.742.000 literth - Minyak Tanah : 90.000 literth
- Es : 12.000 tonth - Air Bersih : 36.000.000 literth
- Tenaga Kerja : 3.200 orang 7.2 Prioritas Kebijakan dan Program
Setelah dirumuskan visi, misi , tujuan dan sasaran pemanfaatan sumberdaya ikan
di perairan Teluk Lasongko, maka untuk pencapaian hal-hal yang telah dirumuskan tersebut diperlukan kebijakan dan program bagaimana cara pencapaiannya. Kebijakan
dan program yang akan diuraikan disini didasarkan pada hasil-hasil analisis potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, SWOT, AHP, analisis kelayakan usaha dan goal
programming sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab 6.
7.2.1 Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal
Sesuai hasil analisis SWOT prioritas pertama kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko adalah pengaturan usaha penangkapan untuk memperoleh hasil
optimum dan lestari. Untuk dapat mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan yang
optimal diperlukan program-program pengaturan jenis dan jumlah alat tangkap yang diperbolehkan, pengembangan diversifikasi usaha, perlindungan ekosistem, pengaturan
lokasi pemanfaatan, pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan penegakan hukum sebagaimana hasil analisis AHP pada Tabel 66 berikut.
Tabel 66 . Prioritas Program Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Secara Optimal di Teluk Lasongko
No Uraian Alternatif
Bobot Prioritas 1
Pengaturan jenis dan jumlah alat tangkap 0,268
1 2
Pengembangan diversifikasi usaha budidaya laut 0,170
2 3
Perlindungan terhadap ekosistem tempat berkembang biak sumberdaya ikan
0,162 3 4
Pengaturan lokasi usaha penangkapan 0,096
4 5
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ikan 0,068
5 6
Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
0,065 6
1. Pengaturan Jenis dan Jumlah Alat Tangkap
Dari Tabel 66 diketahui bahwa program prioritas pertama untuk pencapaian pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimal adalah pengaturan jenis dan jumlah alat
tangkap. Berdasarkan hasil analisa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Teluk Lasongko diketahui bahwa MSY total adalah 14.979 tontahun. Produksi ikan pada
tahun 2004 sebesar 13.741 ton. Dengan demikian tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut telah mencapai 92 . Namun apabila dilihat per kelompok jenis ikan, tingkat
pemanfaatannya bervariasi yaitu untuk ikan demersal 95, pelagis kecil 98, pelagis besar 80,ikan karang konsumsi 81, dan ikan berkulit keras 95. Dalam hal ini
diketahui bahwa tingkat pemanfaatan ikan demersal telah melampaui daya dukung sumbernya atau telah mengalami tangkap lebih.
Menurut kaidah pengelolaan sumberdaya ikan yang baik, jumlah ikan yang dapat ditangkap JTB atau Total Allowable Catch TAC adalah 80 dari nilai MSY
sebagaimana yang telah diterapkan dalam kebijakan pegelolaan sumberdaya ikan nasional di Indonesia. Sejalan dengan kebijakan ini, JTB untuk perairan Teluk Lasongko
yaitu 80 x 14.979 ton = 11.983 ton dibulatkan 12.000 ton. Berdasarkan nilai JTB ini, berarti perairan Teluk Lasongko telah mengalami overfishing karena jumlah ikan yang
telah ditangkap pada tahun 2004 sudah mencapai 13.741 ton atau telah melampaui nilai JTB. Jenis overfishing disini adalah Economically overfishing. Sebagaimana
dijelaskan oleh Nikijuluw 2002 Economically overfishing yaitu kondisi dimana usaha penangkapan ikan yang ada beroperasi melebihi potensi maksimumnya secara ekonomi.
Usaha penangkapan ikan tumbuh secara berlebihan namun hasil tangkapan ikan yang diperoleh secara agregat hanya pada tingkat suboptimum. Kondisi ini menunjukkan
bahwa usaha penangkapan tidak lagi efisien. Pada kondisi perairan yang telah mengalami tangkap lebih, Widodo 2003 menyatakan bahwa pemerintah harus
melakukan pengaturan terhadap besarnya upaya penangkapan. Dengan pengelolaan yang lebih baik memungkinkan terjadinya pemulihan sumberdaya ikan yang selanjutnya akan
meningkatkan jumlah hasil tangkapan. Oleh karena itu di perairan Teluk Lasongko perlu segera ditetapkan nilai JTB yang dapat dijadikan acuan bersama semua pihak terkait.
Menurut Nikijuluw 2002, ada tiga cara mengimplementasikan pendekatan JTB. Pertama, paling mudah dan langsung dilakukan adalah menentukan JTB secara
keseluruhan pada skala nasional atas jenis ikan tertentu atau perairan tertentu. JTB tersebut kemudian diumumkan kepada setiap nelayan. Selanjutnya pemerintah
melakukan pemantauan jumlah ikan yang ditangkap serta memberhentikan penambahan
alat tangkap ikan apabila JTB telah tercapai. Kedua, membagi JTB kepada setiap nelayan, kapal atau armada. Untuk itu pemerintah sebagai manajer dapat menentukan
keberpihakan pada nelayan atau jenis kapal ikan tertentu. Cara ketiga adalah membatasi kegiatan atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sedemikian rupa sehingga JTB
tidak terlampaui. Memperhatikan
hasil analisis tingkat usaha penangkapan yang optimum dimana
jumlah unit penangkapan yang ada ternyata sudah banyak yang berlebih, maka dalam penelitian ini implementasi penentuan JTB dilakukan dengan cara pertama dan ketiga,
yaitu JTB untuk perairan Teluk Lasongko ditetapkan kemudian diumumkan kepada nelayan dan masyarakat luas, selanjutnya ditetapkan jenis dan jumlah alat tangkap yang
dapat dioperasikan. Dengan demikian pengaturan usaha penangkapan ikan di perairan Teluk Lasongko adalah sebagai berikut :
1 Jumlah Tangkapan Ikan Yang Diperbolehkan JTB di Perairan Teluk Lasongko adalah : 12.000 tontahun; dengan rincian per kelompok jenis ikan sebagaimana
Tabel 67 berikut. Tabel 67. Jumlah Tangkapan Ikan Yang Diperbolehkan JTB di Teluk Lasongko
No KELOMPOK
JTB TONTAHUN
1 Ikan demersal
1.800 2 Ikan
pelagis kecil
5.900 3
Ikan pelagis besar 2.900
4 Ikan karang konsumsi
700 5
Ikan berkulit keras 700
Total 12.000
2 Jenis dan jumlah alat tangkap yang dapat dioperasikan untuk dapat memproduksi ikan samapai dengan nilai JTB adalah seperti pada Tabel 68 .
Tabel 68. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Yang Dapat Dioperasikan di Teluk Lasongko
No Grup Alat
Nama Alat Jumlah
Alat
I Pukat
Payang 18 Pukat Pantai
27 Pukat Cincin
2 Pukat Udang
2
Sub Total I 49
II Jaring
Jaring Insang Hanyut 731
Insang Jaring Insang Lingkar
220 Jaring Insang Tetap
278 Trammel Net
31
Sub Total II 1.260
III Jaring
Bagan Perahu 73
Angkat
Bagan Tancap 66
Serok 5 Jaring Angkat Lain
5
Sub Total III 149
IV Pancing
Huhate 3 Pancing biasa
300 Pancing tonda
574 Rawai tetap
45
Sub Total IV 922
V Perangkap Sero 25
Dan alat Bubu 225
Lainnya Alat lain
130
Sub Total V 388
JUMLAH 2.768
2. Pengembangan Diversifikasi Usaha
Prioritas progam kedua adalah pengembangan diversifikasi usaha. Memperhatikan bahwa usaha penangkapan ikan di Teluk Lasongko tidak lagi dapat
dikembangkan bahkan jumlah unit penangkapan yang ada perlu dikurangi, maka diversifikasi usaha ke bidang usaha budidaya laut menjadi alternatif usaha yang sesuai
untuk dikembangkan di perairan Teluk Lasongko. Pilihan ini tepat karena perairan Teluk Lasongko cocok untuk pengembangan budidaya laut dan memiliki pantai
sepanjang 74,37 km. Perairan Teluk Lasongko memiliki sifat fisika kimia yang sesuai bagi usaha budidaya laut khususnya rumput laut yaitu Ph air 7,75-8,16, suhu berkisar
29,50-30,60 oC, dan salinitas 28,10 – 28,60 Ppt. Jenis budidaya laut yang dapat dikembangkan di sekitar Pantai Teluk Lasongko meliputi budidaya rumput laut dan
budidaya ikan-ikan karang dalam karamba jaring apung. Pengembangan rumput laut memiliki potensi yang sangat besar, dengan areal yang potensial untuk pengembangan
seluas 6.862,4 Ha dengan perkiraan produksi dapat mencapai 24.098.040 kgpanen atau 96.392.160 kgtahun.
Jenis usaha karamba jaring apung yang terdapat di Desa Waara, Boneoge dan Wanepa-Nepa hanya digunakan untuk tampungan sementara ikan komersial ikan kerapu
dan ikan karang lainnya yang berukuran kecil, kemudian dibesarkan sampai pada ukuran ikan ekonomis sekitar 5-6 ons. Keterbatasan penguasaan teknologi dan permodalan
merupakan kendala bagi nelayan pembudidaya karamba jaring apung. Oleh karena itu program pendampingan, penerapan teknologi percontohan dan bantuan permodalan
sangat diperlukan.
Kegiatan budidaya rumput laut yang dikembangkan di Teluk Lasongko mempunyai kisaran waktu yang unik yaitu 6 bulan mengalami masa subur dan 6 bulan
mengalami kondisi kurang bagus. Kondisi kurang bagus ini terjadi pada saat musim timur, karena tingginya tingkat kekeruhan perairan laut akibat angin timur yang
mengaduk air dari dasar ke permukaan laut sehingga mengganggu perkembangan kondisi rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut yang sudah ada saat ini menggunakan sistem
rakit dan terdapat di Desa Madongka, Waara, Mone, Moko, Wajogu, Lolibu, Inulu, Wantopi dan Bungi.
Kendala usaha pengembangan budidaya rumput laut di Teluk Lasongko adalah keterbatasan penguasaan teknologi, besarnya biaya yang dibutuhkan, teknologi pasca
panen dan pemasaran. Untuk mengatasi permasalahan ini alternatif pemecahannya antara lain ; 1 pembinaan usaha budidaya rumput laut, mulai dari penentuan lokasi, sistem
budidaya, penanganan pasca panen dan bantuan permodalan; 2 penataan dan penguatan jaringan pasar melalui pembinaan kelompok nelayan pembudidaya rumput laut untuk
pengembangan kemitraan dan peningkatan akses pasar; 3 pembangunan industri pengolahan rumput laut atau pemberian bantuan sarana teknologi pengolahan untuk
meningkatkan kualitas pasca panen rumput laut sehingga menjadi komoditi yang bernilai tinggi. Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu
dan aspek “food safety” maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk
sekunder dan produk siap makan.. Pengembangan rumput laut di kawasan Teluk Lasongko, sampai saat ini masih
dalam bentuk kering utuh, baik untuk rumput laut penghasil caragenan, agar maupun
alginat. Jenis Euchema banyak dibudidayakan dan dijual dalam bentuk makanan seperti manisan, cendol, sirup dan lain, namun pemasarannya masih terbatas. Untuk itu perlu
diuji cobakan budidaya rumput laut penghasil agar seperti Gracilaria dan Gilidium yang banyak dibutuhkan untuk memenuhi industri agar-agar baik untuk bentuk tepung, batang
maupun kertas. Masyarakat sasaran pembinaan usaha budidaya laut adalah masyarakat di Desa
Madongka, Waara, Mone, Moko, Wajogu, Lolibu, Inulu, Wantopi, Boneoge, Wanepa- Nepa dan Bungi khususnya kepada kelompok nelayan yang sudah terbentuk agar lebih
mudah dalam program kemitraan dengan lembaga ekonomi yang ada. Pembangunan industri pengolahan rumput laut dengan kapasitas produksi sebesar 96.392.160 kgtahun
dibutuhkan industri dalam skala besar yang mampu mengemas produksi rumput laut sebesar 264.088 kghari.
Melihat kondisi geografis kawasan Teluk Lasongko dan aksesibilitas dari wilayah produksi dan menuju wilayah pemasaran, maka lokasi industri pengolahan rumput laut
dibangun di Desa Waara atau Madongka. Pembangunan industri pengolahan rumput laut meliputi peralatan pengering efektif yang mampu mengeringkan rumput laut selama satu
hari dengan kapasitas 264.088 kghari, peralatan mesin ekstrak rumput laut menjadi bahan makanan jadi, dan peralatan mesin pengepakan.
3. Perlindungan Terhadap Ekosistem Tempat Berkembang Biak Sumberdaya Ikan
Program prioritas ketiga adalah perlindungan terhadap ekosistem tempat berkembang biak sumberdaya ikan. Fungsi perlindungan terhadap kawasan yang
dimaksud adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan. termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Ekosistem tempat berkembang biak ikan di kawasan
Teluk Lasongko meliputi mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Mangrove terdapat di Desa Lolibu, Bungi, Wajogu, Matawine, dan Lakudo seluas 250 Ha. Terumbu
karang terdapat di perairan Desa Karang Bawona dan Karang Katembe. Padang lamun terdapat di perairan Teluk Lasongko yang berada di perairan intertidal.
Mengingat tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Teluk Lasongko sudah tinggi, maka perlu adanya pengalihan perhatian kearah perlindungan ekosistem
yang dapat menjaga kelestarian sumbserdaya ikan. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah Filipina yang mengalihkan fokus pembangunan dari produksi ikan ke proteksi
sumberdaya ikan, konservasi, dan pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan Dickson, 2001 dalam Nikijuluw, 2002.
Untuk pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari dan berkelanjutan, perlu dilakukan penataan ruang wilayah pesisir, pantai dan laut bagi kesesuaian
pemanfaatannya. Penataan ruang dan zona meliputi lokasi yang sesuai bagi konservasi zona inti, pemanfaatan penangkapan ikan, budidaya, dan wisata, serta penyangga.
Potensi ekosistem Teluk Lasongko yang meliputi mangrove seluas 250 hektar, terumbu karang dalam kondisi baik di beberapa lokasi dan padang lamun yang hampir merata
merupakan modal yang cukup baik bagi berkembang biaknya sumberdaya ikan. Oleh karena itu, untuk kelestarian ekosistem dan kelangsungan sumberdaya ikan, perlu
dilaksanakan kegiatan pengelolaan konservasi laut meliputi penanaman mangrove Desa Waara, Boneoge, Madongka, Matawine, dan Wantopi, rehabilitasi mengrove Waara dan
Madongka, rehabilitasi terumbu karang sepanjang perairan pantai Teluk Lasongko,
khususnya di Boneoge dan Nepa Mekar, transplantasi terumbu karang Boneoge dan Nepa Mekar, pembuatan dan penenggelaman terumbu buatan Madongka, Inulu dan
Wantopi, pemuliaan jenis ikan dilindungi, dan restocking. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan konservasi laut yang berasaskan pada
pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan sebaiknya disosialisasikan agar tidak terjadi kesalahan persepsi di masyarakat. Bentuk perhatian
dalam kelestarian sumberdaya ikan seperti pencegahan upaya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan merusak ekosistem terumbu karang seperti penggunaan
bahan peledak, potas, bius dan bubu ikan karang dan kegiatan penambangan terumbu karang untuk bahan bangunan.
4. Pengaturan Lokasi Usaha Penangkapan
Pengaturan lokasi yang diperbolehkan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di kawasan Teluk Lasongko menjadi prioritas keempat. Mengacu pada Surat Keputusan
Menteri Pertanian No.392 tahun 1999, kawasan yang layak untuk perikanan tangkap terbagi atas 2 dua wilayah penangkapan ikan dengan batas ke arah laut diukur dari
permukaan air laut pada surut terendah. Wilayah penangkapan pertama adalah dari mulai 0 sampai 3 mil laut, diperuntukkan bagi nelayan dengan klasifikasi peralatan; alat
penangkap ikan menetap dan alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi, kapal perikanan tanpa motor dan kurang dari 10 meter, yaitu di perairan pantai Teluk
Lasongko. Kawasan ini diperuntukkan bagi penangkapan ikan pelagis kecil, demersal, benih dan organisme non ikan lainnya.
Wilayah penangkapan kedua adalah 3 sampai 6 mil laut, diperuntukkan bagi usaha penangkapan dengan klasifikasi alat penangkap ikan tidak menetap yang
dimodifikasi; kapal perikanan tanpa motor atau bermotor tempel ukuran kurang dari 12 meter atau kurang dari 5 GT; pukat cincin purse seine dengan ukuran kurang dari 1000
meter. Wilayah penangkapan ini adalah luar perairan teluk, tepatnya di bagian selatan Teluk Lasongko. Kawasan ini diperuntukkan bagi penangkapan ikan pelagis kecil,
pelagis besar dan demersal. Pada wilayah perairan yang memiliki terumbu karang, jenis alat tangkap bubu
tidak diperbolehkan dipasang diatas karang karena dapat mengakibatkan kerusakan karang. Pada perairan seperti ini alat tangkap yang paling cocok dioperasikan adalah
jenis pancing untuk menangkap berbagai jenis ikan karang.
5. Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ikan penting dilakukan. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan yang dianggap sebagai sebuah pendekatan
terbaik dalam pengelolaan sumberdaya ikan, partisipasi masyakarat menjadi prasyarat pendekatan ini. Masyarakat tidak hanya menjadi objek pembangunan, namun sebagai
subjek atau pelaku pembangunan. Model perencanaan top down, dipandang kurang baik, namun harus dikombinasikan dengan pendekatan bottom up, yang artinya masyarakat
memiliki peran yang sejajar dengan pemerintah dalam mengelola sumberdaya ikan. Pengelolaan sumberdaya ikan dapat dilakukan melalui tiga cara Nikijuluw, 2003
yaitu : 1 pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat, 2 pengelolaan sumberdaya ikan oleh pemerintah, dan 3 pengelolaan sumberdaya ikan bersama
masyarakat dan pemerintah co-manajemen. Pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat PSBM diartikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung
jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya ikannya sendiri
dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan, serta aspirasinya. Dalam pengelolaan ini menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada
masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menetukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Keunggulan PSBM antara lain : 1
sesuai aspirasi dan budaya lokal, oleh karena itu pelaksanaannya akan menghasilkan dampak positif bagi masyarakat lokal, 2 diterima oleh masyarakat lokal, dan 3
pengawasan dilakukan dengan mudah. Namun demikian PSBM memiliki kelemahan antara lain : 1 tidak mengatasi masalah interkomunitas, karena PSBM diperuntukan
hanya untuk suatu komunitas lokal, 2 bersifat spesifik lokal, oleh karena itu masalah yang lebih besar tidak dapat dipecahkan dengan PSBM, 3 mudah dipengaruhi faktor
eksternal, dan 4 sulit mencapai skala ekonomi, karena hanya dianut oleh suatu masyarakat tertentu di suatu daerah yang sempit sehingga sering tidak ekonomis.
Pengelolaan sumberdaya ikan oleh pemerintah mengandung kelemahan antara lain : 1 kegagalan dalam mencegah kelebihan eksploitasi sumberdaya ikan, 2 kesulitan
dalam penegakan hukum, 3 kebijakan yang tidak tepat dan jelas atau adanya kebijakan yang saling bertentangan, 4 administrasi yang tidak efisien, 5 wewenang yang
terbagi-bagi kepada beberapa lembaga atau departemen, dan 6 data dan informasi kerap kurang benar dan akurat.
Dari hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa masyarakat Teluk Lasongko mudah diajak berembug dan mereka memiliki kesadaran yang tinggi untuk turut aktif
menjaga kelestarian sumberdaya ikan perairan Teluk Lasongko. Demikian pula para pamong desa dan aparat pemerintah dari mulai tingkat kecamatan sampai kabupaten
mudah dan senang berkomunikasi dengan masyarakatnya untuk bersama-sama menjaga
perairan Teluk Lasongko dari tindakan-tindakan yang dapat merusak sumberdaya ikan. Oleh kerena itu pengelolaan sumberdaya ikan dalam bentuk co-manajemen antara
pemerintah dengan masyarakat tentu cocok diterapkan di Teluk Lasongko. Dalam pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan bersama masyarakat dan
pemerintah co-management, ada pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal. Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab
bersama dalam melakukan seluruh tahapan pengelolaan perikanan. Dalam hal ini masyarakat dan pemerintah saling bekerja sama untuk mengatasi permasalahan yang
ada berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Lasongko. Kerjasama pemerintah dan masyarakat dalam hal pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko
digunakan bentuk koperasi. Bentuk ini menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Dengan demikian semua tahapan manajemen sejak
pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dan pemantauan institusi ko-manajemen berada di kedua pihak. Masyarakat dan pemerintah adalah mitra
yang sama kedudukannya.
6. Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pelanggaran dalam pamanfaatan sumberdaya ikan seperti penggunaan bahan peledak atau racun sangat diperlukan. Untuk
meningkatkan pengawasan dan pemantauan di kawasan ini perlu didukung dengan pelaksanaan MCS Monitoring, Controlling and Surveilance. Nasir 2001 dalam
Nikijuluw 2002 mencatat bahwa keberhasilan Malaysia dalam menjalankan kebijakan zonasi daerah penangkapan bagi nelayan kecil karena adanya sistem penegakan hukum
yang sangat baik dan sungguh-sungguh tanpa pandang bulu. Siapapun yang melanggar peraturan tersebut pasti dihukum.
Penegakan hukum sebagai proses pencegahan atau penindakan terhadap orang dan atau badan hukum yang melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu masyarakat perlu mengetahui proses perumusan peraturan perundang-undangan mulai dari tahap inisiasi
sampai disyahkan oleh lembaga legislatif. Misalnya bagaimana, kapan dan untuk apa peraturan perundang-undangan tersebut diterapkan. Masyarakat juga perlu mengetahui
isi dari perundang-undangan, misalnya objek dan lingkup pengaturan serta dampak pengaturan dalam kehidupan mereka.
Kepastian hukum sangat penting untuk menentukan siapa yang mempunyai akses, hak memiliki, dan memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemilikan dan penguasaan
sumberdaya dilindungi oleh negara dan diakui oleh stakeholders lainnya. Sehingga setiap orang atau kelompok dapat melakukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tanpa
intervensi oleh pihak penguasa atau pengguna sumberdaya dari daerah lain. Bagi dunia usaha juga yang akan menanamkan investasinya di Teluk Lasongko, kepastian hukum
memberikan jaminan keamanan investasinya dalam jangka panjang serta mengurangi resiko berusaha. Sedangkan bagi Pemda, kepastian hukum dapat menjamin konsistensi
dan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab.
7.2.2 Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan pemerintah
Pembangunan sumber daya manusia SDM pada dasarnya merupakan pembangunan manusia sebagai subyek human capital, obyek human resources, dan
pemanfaat pembangunan. Dimensi pembangunan SDM dapat dilihat dari tiga aspek
utama, yaitu kualitas, kuantitas, dan mobilitas penduduk. Kualitas penduduk tercermin dari tingkat kesejahteraan penduduk, yaitu tingkat kesehatan dan gizi, pendidikan,
produktivitas dan akhlak mulia. Kuantitas penduduk dikaitkan dengan jumlah dan laju pertumbuhannya. Sedangkan mobilitas penduduk merupakan refleksi dari perpindahan
dan persebaran penduduk yang merespon pembangunan ekonomi wilayah. Pengembangan kualitas sumberdaya manusia sangat dibutuhkan, terutama jika
dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat setempat di wilayah Teluk Lasongko, dimana; 51,66 tidakbelum tamat SD, 29,68 tamat SD, 10,85 tamat SLTP, 6,82 tamat
SLTA, 0,36 Diploma 1, 0,46 Diploma lll dan 0.16 perguruan tinggi BPS Kabupaten Buton, 2001. Selanjutnya apabila dilihat lebih jauh mengenai kualitas
sumberdaya manusia yang terkait langsung dengan pengelolaan sumberdaya ikan khususnya perikanan tangkap terlihat secara umum masih lemah dari segi pengetahuan
maupun manajeman usahanya. Pengalaman negara Kamboja yang memberlakukan Undang-Undang Perikanan
tidak dapat diimplementasikan dengan baik dan efektif karena rendahnya kualitas sumberdaya manusia sebagai alasan utama Touch, 1995 dalam Nikijuluw, 2002.
Berdasarkan pengalaman tersebut, pengembangan sumberdaya manusia dan kapasitas kelembagaan pemerintah di Teluk Lasongko dinilai penting dan dapat ditempuh melalui
beberapa kebijakan sebagaimana hasil analisis AHP yang disajikan pada Tabel 69.
Tabel 69.
Prioritas Program Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia dan Kelembagaan Pemerintah di kawasan Teluk Lasongko
No Uraian Alternatif
Bobot Prioritas
1 Pengembangan alternatif
pendidikan informal, pelatihan dan kewirausahaan
0,419 1 2
Penyuluhan dan pelatihan teknologi tepat guna pemanfaatan sumberdaya ikan
0,263 2 3
Sinkronisasi program dan kegiatan antar instansi terkait 0,160
3 4 Sosialisasi
peningkatan kesadaran terhadap pengawasan
sumberdaya ikan 0,097 4
5 Rehabilitasi sekolah setingkat SD, SMP dan SMU
0,062 5
1. Pengembangan Alternatif Pendidikan Informal, Pelatihan dan Kewirausahaan
Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia sangat penting mengingat sumberdaya manusia merupakan faktor utama penggerak pembangunan. Kebijakan ini
perlu diikuti dengan kebijakan penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah khususnya yang terkait dengan pengembangan kawasan Teluk Lasongko.
Alternatif program pengembangan sumberdaya manusia di kawasan Teluk Lasongko yang paling penting adalah pengembangan alternatif pendidikan informal,
pelatihan dan kewirausahaan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal berupa pengetahuan, keterampilan dan perubahan perilaku dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Program pendidikan informal merupakan layanan pendidikan yang ditujukan
sebagai pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan yang meliputi pendidikan keaksaraan, pendidikan kesetaraan,
pendidikan keluarga, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan masyarakat secara lebih luas dan
bervariasi. Sejalan dengan itu program ini juga ditujukan untuk mendorong pendidikan
informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain: 1 menyediakan sarana dan prasarana
pendidikan yang memadai; 2 mengembangkan kurikulum yang disesuaikan dengan perkembangan jaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kondisi
lingkungan; dan 3 menyediakan bantuan biaya operasional pendidikan bagi keluarga atau masyarakat tidak mampu.
Untuk masyarakat yang tidak mempunyai kesempatan atau tidak mampu sekolah, agar aparat pemerintah daerah, atau dinas terkait bersama-sama masyarakat setempat
mengupayakan adanya pembentukan kelompok-kelompok sebagai sarana belajar mengajar serta pembelajaran lainnya secara terpadu dalam pengembangan wilayah Teluk
Lasongko yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memperoleh bekal pengetahuan dan keterampilan serta pengembangan usaha dalam rangka meningkatkan ekonomi,
kesejahteraan dan pendapatan masyarakat. Berkaitan dengan pengembangan sumberdaya manusia, penguatan kapasitas
kelembagaan pemerintah harus dilakukan melalui peningkatan kapasitas aparat daerah melalui pendidikan formal maupun pendidikan informal berupa kursus-kursus singkat
yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, sehingga program penyuluhan dan pelatihan teknologi tepat guna pemanfaatan sumberdaya ikan dapat
diimplementasikan dengan baik. Bentuk nyata program ini adalah dengan melakukan kegiatan peningkatan kualitas karang taruna di desa-desa Teluk Lasongko dan bimbingan
teknis produksi dan pasca produksi.
2. Penyuluhan dan pelatihan teknologi tepat guna pemanfaatan sumberdaya ikan
Penyelenggaraan penyuluhan dan pelatihan teknologi kepada masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan di Teluk Lasongko merupakan tanggung jawab bersama instansi
pusat maupun daerah. Aparat pemerintah sebagai fasilitator dalam penggunaan teknologi yang diterapkan memiliki kapasitas yang memadai, memahami penggunaan teknologi,
dan memiliki kapasitas komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar. Teknologi tepat guna yang diterapkan disesuaikan dengan kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk
Lasongko saat ini namun memberikan efisiensi khususnya dalam penanganan hasil penangkapan ikan dan budidaya laut seperti alat pemercepat pengeringan ikan teri dan
hasil laut lainnya rumput laut. Berdasarkan survey lapangan, di kawasan Teluk Lasongko telah terbentuk
kelembagaan lokal perikanan khususnya di 7 desakelurahan yang disurvey terdiri dari 72 kelompok yang terdiri dari masyarakat nelayan penangkap, pemindangan, pengadaan es,
pedagang ikan, dan budidaya laut dengan jumlah 485 orang. Kelembagaan tersebut memberikan kemudahan bagi fasilitator dalam pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan
teknologi tepat guna pemanfaatan sumberdaya ikan.
3. Sinkronisasi program dan kegiatan antar instansi terkait
Kawasan Teluk Lasongko sebagai kawasan percontohan di Kawasan Timur Indonesia menjadi pusat kegiatan bersama 11 sebelas instansi pemerintah pusat dan
didukung oleh pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten. Implementasi kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi-instansi tersebut harus menggunakan prinsip
keterpaduan, saling mengisi dan selaras, sehingga tidak tumpang tindih. Upaya
konsolidasi antar instansi dilaksanakan melalui sinkronisasi program dan kegiatan yang dilaksanakan sesuai kapasitas, tugas dan fungsi masing-masing instansi terkait.
Sinkronisasi program dan kegiatan di tingkat pemangku tanggung jawab masing- masing instansi harus didukung oleh aparat pemerintah instansi terkait yang secara
langsung berinteraksi dengan masyarakat di kawasan Teluk Lasongko. Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang berhadapan
langsung diarahkan untuk: 1 Mendorong penyempurnaan peraturan perundangan yang mengatur penataan pengembangan kawasan melalui penataan kewenangan antara
pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten; 2 Pengembangan sistem informasi dalam pelayanan publik; 3 Mendorong peningkatan peran lembaga
non pemerintah dan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan baik pada tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten; 4 Sosialisasi program dan kegiatan yang akan
diimplementasikan. Mengingat pentingnya pengembangan kawasan Teluk Lasongko yang
dilaksanakan secara terpadu khususnya dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan, maka sosialisasi program dan kegiatan ini sangatlah penting untuk dilaksanakan.
Sosialisasi dilakukan melalui aparat pemerintah daerah secara langsung maupun melalui perwakilannya di masing-masing desa kepada masyarakat sekitarnya. Tentu saja sebelum
aksi sosialisasi dilaksanakan, perlu adanya kesepakatan bersama antar instansi terkait untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi program kegiatan yang akan dilaksanakan
baik pada taraf kebijakan maupun pelaksana secara kontinyu.
4. Sosialisasi peningkatan kesadaran terhadap pengawasan sumberdaya ikan
Masyarakat di Teluk Lasongko sebagai masyarakat pesisir sebagian besar bekerja di bidang usaha perikanan baik sebagai nelayan maupun pembudidaya ikan. Sebagai
masyarakat yang tingkat pendidikannya sebagian besar masih rendah, pemahaman mengenai pentingnya pelestarian sumberdaya ikan untuk pemanfaatan yang keberlanjutan
belum begitu dikuasai. Pemerintah daerah yang diberikan wewenang untuk mengelola sumberdaya di wilayahnya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tentang Pemerintahan Daerah diharapkan menjadi ujung tombak dalam sosialisasi peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelestarian sumberdaya ikan
melalui pengawasan bersama. Pelibatan masyarakat dalam pengawasan sumberdaya ikan terutama diarahkan pada upaya-upaya kerusakan lingkungan perairan akibat : 1
penggunaan bom rakitan yang berakibat pada kerusakan terumbu karang; 2 penggunaan cyanida oleh penangkap ikan karang; 3 penggunaan trawl; 4 penggunaan jangkar
perahu yang dapat merusak karang ; 5 penambangan karang; dan 6 penebangan mangrove untuk bahan bakar. Pembinaan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan yang
merusak lingkungan tersebut perlu terus diupayakan oleh aparat pemerintah daerah kepada masyarakat Teluk Lasongko. Dalam hal ini kelompok masyarakat pengawas
Teluk Lasongko perlu dirintis pembentukannya yang nantinya dapat didorong menjadi lembaga swadaya masyarakat dibidang pengawasan pengelolaan sumberdaya ikan dan
lingkungan hidup.
5. Rehabilitasi sekolah setingkat SD, SMP dan SMU
Di bidang pendidikan, masalah yang dihadapi di Teluk Lasongko adalah masih rendahnya partisipasi masyarakat mengikuti pendidikan terutama untuk jenjang
pendidikan menengah pertama sampai dengan pendidikan tinggi. Gambaran umum mengenai sarana pendidikan di Kecamatan Lakudo bagian wilayah Teluk Lasongko
adalah sebagai berikut : Taman Kanak-Kanak sebanyak 2 buah dengan jumlah murid 81 orang, SD sebanyak 19 buah dengan daya tampung yang sudah tidak memadai lagi,
terdiri dari 104 ruang kelas dan jumlah rombongan belajar 149 dengan jumlah murid 4.230 orang. SLTP sebanyak 4 buah, terdiri dari 31 ruang kelas dan 32 rombongan
belajar dengan jumlah murid 997 orang. Sebagian penduduk tidak dapat membayar biaya pendidikan yang dirasakan
masih mahal. Pendidikan juga dinilai belum sepenuhnya mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sehingga pendidikan belum dinilai sebagai bentuk investasi.
Kualitas proses belajar mengajar masih belum baik yang antara lain disebabkan oleh kurangnya tenaga pendidikan baik jumlah maupun kualitasnya dan belum memadainya
ketersediaan fasilitas belajar. Program rehabilitasi sekolah dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas sistem pendidikan yang ada.
Sekolah di kawasan Teluk Lasongko yang perlu direhabilitasi adalah sekolah- sekolah yang yang secara fisik sudah tidak memiliki tingkat kenyamanan dalam proses
kegiatan belajar mengajar seperti SDN Wanepa-Nepa, SDN Mone, SDN Waara, SDN Lamena, SDN Waara, SDN Wakuru, SDN Gu, SDN Lakudo, SDN Wongko, dan SMP
Wambuloli. Program ini juga meliputi pembangunan sekolah-sekolah yang sangat dibutuhkan mengingat tingginya angkatan belajar yang tidak diimbangi dengan
ketersediaan sekolah dengan akses yang lebih dekat, seperti perlunya pembangunan sekolah setingkat SMP di Mawasangka dan SMU di Mawasangka.
7.2.3 Pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan
Salah satu strategi pengelolaan sumberdaya ikan di kawasan Teluk Lasongko adalah pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan. Pemerintah perlu
menyediakan fasilitas sarana prasarana yang memadai dengan melibatkan pengusaha dan masyarakat untuk mendorong investasi.
Pemanfaatan sumberdaya ikan yang tersedia di kawasan Teluk Lasongko dilaksanakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakatnya. Kebijakan pengembangan
ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan dijabarkan ke dalam 4 program, seperti disajikan pada Tabel 70 .
Tabel 70. Prioritas Program Pengembangan Ekonomi Melalui Bantuan dan Akses Permodalan di Kawasan Teluk Lasongko
No Uraian Alternatif
Bobot Prioritas 1 Pengembangan peran lembaga keuangan ekonomi
masyarakat 0,354 1
2 Pengembangan teknologi tepat guna pasca panen
0,354 2
3 Pengembangan industri kecil
0,161 3
4 Pengembangan mata pencaharian alternatif
0,131 4
1. Pengembangan peran lembaga keuangan ekonomi masyarakat
Hasil analisis prioritas kebijakan pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan di kawasan Teluk Lasongko menunjukkan bahwa program
pengembangan peran lembaga keuangan ekonomi masyarakat sebagai prioritas utama. Ketersediaan modal usaha perikanan, mendapat perhatian tersendiri karena lembaga-
lembaga keuangan pemerintah dan lembaga keuangan non pemerintah masih enggan memberikan kemudahan permodalan bagi pengembangan usaha perikanan. Jumlah
investor yang secara serius tertarik untuk terjun kedunia bisnis perikanan sedikit.
Keengganan investor untuk menggeluti bisnis perikanan, disamping karena kendala permodalan, juga diakibatkan karena laut “dicitrakan” sebagai bisnis yang berisiko tinggi.
Dukungan permodalan sangat diperlukan bagi para pelaku bisnis perikanan baik bagi usaha skala kecil, menegah dan besar temasuk koperasi. Dukungan ini dapat
diupayakan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dan lembaga keuangan. Untuk mendukung pengembangan usaha penangkapan tentu diperlukan permodalan. Oleh
karena itu perlu diupayakan adanya fasilitas kredit perbankan dengan tingkat bunga wajar dan prosedur mudah. Dalam hal ini perlu didorong pembentukan koperasi nelayan yang
dapat membantu anggotanya dalam hal pemenuhan kebutuhan modal dan pemasaran hasil tangkapan. Terhadap nelayan itu sendiri perlu ditingkatkan pengetahuan dan
keterampilannya melalui pelatihan-pelatihan seperti penanganan hasil tangkapan agar diperoleh kualitas produk yang prima, sehingga secara ekonomi saling menguntungkan.
2. Pengembangan teknologi tepat guna pasca panen
Alasan pentingnya pengembangan teknologi tepat guna pasca panen bagi masyarakat Teluk Lasongko adalah: 1 tingkat pengetahuan, penguasaan eterampilan
dan teknologi yang masih rendah; 2 hasil laut dan perikanan masih dikelola secara tradisional; 3 jenis-jenis produk olah ikan yang diusahakan masih terbatas atau kurang
diversifikasi produk, dimana produk yang diusahakan adalah produk segar didinginkan kemudian disuplai ke perusahaan tertentu atau pedangan pengumpul; 4 usaha ikan
pindang, ikan kecil, pilet masih sangat terbatas; 5 belum ada pengolahan lebih lanjut dari rumput laut menjadi produk yang lebih ekonomis seperti lempeng agar-agar atau
tepung karagenan; dan 6 jangkauan pasar yang masih terbatas.
Implementasi program ini dapat dilaksanakan melalui : 1 peningkatan mutu produk melalui pelatihan-pelatihan; 2 pengembangan diversifikasi produk seperti abon
ikan, dendeng ikan, berikut pengemasannya melalui bimbingan teknis, pelatihan dan bantuan peralatan serta bantuan permodalan melalui bantuan dana ; 3 peningkatan
teknologi pengolahan rumput laut khususnya untuk jenis yang memiliki nilai ekonomis tinggi, melalui pengenalan, pelatihan dan bantuan peralatan dan bimbingan teknis; 4
pengembangan kelembagaan usaha bersama; dan 5 mempromosikan produk-produk hasil olahan ikan melalui pameran-pameran. Teknologi tepat guna pasca panen yang saat
ini dibutuhkan di Teluk Lasongko adalah pengolahan ikan, pengolahan rumput laut, dan pengolahan rajungan.
3. Pengembangan industri kecil
Usaha kecil dibidang rumput laut yang baru dirintis secara kelompok di wilayah Teluk Lasongko dalam bentuk sentra sebagai anggota dari koperasi nelayan Artha Bahari.
Dalam pengelolaan usahanya, perlu adanya pendampingan khususnya untuk pelayanan konsultasi dan perbaikan mutu serta pemanfaatan permodalan. Program pendampingan
dalam usaha kecil di Teluk Lasongko dibutuhkan untuk menjamin usaha secara mandiri. Pengembangan usaha kecil di Teluk Lasongko dilaksanakan dengan pertimbangan
: 1 menggunakan produk lokal; 2 memanfaatkan waktu luang warga terutama ibu rumah tangga nelayan; 3 mudah dipasarkan; dan 4 ada nilai tambah ekonomi. Usaha
industri kecil yang dapat dikembangkan antara lain: kerajinan kerang, kerajinan batok kelapa, makanan dengan bahan baku ikan, dan dodol rumput laut.
4. Pengembangan mata pencaharian alternatif
Pengurangan jumlah unit usaha penangkapan ikan dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya ikan karena pemanfaatannya sudah overexploited sebagaimana
telah dijelaskan di atas, memberikan dampak pada berkurangnya jumlah tenaga kerja pada usaha perikanan tangkap dan harus beralih pada usaha lainnya. Untuk mengatasi
permasalahan ini perlu dikembangkan mata pencaharian alternatif. Program ini dapat berjalan melalui kegiatan : 1 identifikasi dan uji coba usaha skala kecil; 2
memberikan dukungan teknis dibidang keterampilan pengelolaan usaha skala kecil; 3 menyediakan bantuan permodalan ; dan 4 membantu perluasan jaringan pemasaran.
7.2.4 Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Pengumpulan informasi dan data dasar base line, merupakan hal yang mutlak dan utama dilakukan dalam optimisasi pengelolaan suatu kawasan Sondita, 2000. Data
tersebut berupa kondisi masyarakat, kondisi ekosistem, aktifiktas manusia dan data permasalahan lingkungan. Selanjutnya Monintja 2000, menyatakan bahwa solusi dari
berbagai permasalahan pengembangan perikanan tangkap di suatu wilayah adalah: partisipasi masyarakat nelayan dalam perencanaan pengembangan perikanan tangkap;
profesionalisasi usaha penangkapan ikan; penyediaan sistem permodalan khusus perikanan tangkap. Akses pasar perlu dikembangkan secara terus-menerus baik pasar
lokal, antar pulau maupun ekspor yang dapat menjamin nelayan giat melaksanakan usahanya.
Kebijakan pengembangan jaringan dan informasi pasar dijabarkan ke dalam 3 program, seperti disajikan pada Tabel 71.
Tabel 71. Prioritas Program Pengembangan Jaringan dan Informasi Pasar di Kawasan Teluk Lasongko
No Uraian Alternatif
Bobot Prioritas 1
Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi 0,307
1 2 Pembangunan sarana penunjang efektifitas penanaman
modal, peralatan komunikasi dan transportasi 0,285 2
3 Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi dan
teknologi 0,212 3
1. Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi
Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi menurut pandangan nara sumber terhadap penilaian prioritas kebijakan pengembangan jaringan dan informasi
pasar di Teluk Lasongko menjadi prioritas pertama. Peningkatan investasi melalui revitalisasi dan penyederhanaan iklim usaha, serta restrukturisasi kelembagaan
penanaman modal. Selain itu dalam rangka memfasilitasi percepatan pertumbuhan investasi dalam rangka merespon kebutuhan perdagangan secara luas, kawasan Teluk
Lasongko perlu dipertimbangkan menjadi kawasan ekonomi khusus yang memberikan kemudahan prosedur.
Permasalahan yang dijumpai di lapangan, khususnya budidaya rumput laut, antara lain adalah masalah pemasaran yang masih terbatas. Selama ini pemasaran telah
dilakukan oleh Koperasi Nelayan Artha Bahari dengan cakupan pemasaran antar pulau yaitu ke Jawa Timur. Dengan potensi yang tersedia, sangat terbuka peluang untuk
meningkatkan pasar ekspor. Kebutuhan kegiatan yang diperlukan adalah perluasan pasar baik pasar dalam
negeri maupun ekspor, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
yaitu melalui promosi dalam bentuk pameran hasil perikanan dan secara tidak langsung yaitu melalui kemitraan dengan pengusaha lokal atau nasional.
2. Pembangunan sarana penunjang efektifitas penanaman modal, peralatan komunikasi dan transportasi
Untuk memudahkan investor dalam menanamkan modalnya, perlu dibangun sarana penunjang efektifitas penanaman modal khususnya berupa sarana komunikasi dan
transportasi. Bentuk sarana penunjang yang saat ini sudah dibangun adalah pasar di desa Madongka seluas 900 m
2
. Kondisi pasar yang belum digunakan secara maksimal ini dikarenakan berada jauh dari wilayah produksi, pengolahan dan konsumen. Dengan
rencana program pembangunan industri pengolahan rumput laut di Desa Waara dan Madongka sebagaimana dijelaskan pada program di atas diharapkan pasar yang sudah
ada ini dapat dimanfaatkan dengan baik. Sarana angkutan darat seperti kendaraan bermotor utamanya mobil sangat penting
terutama dengan adanya pelabuhan Fery Waara yang menghubungkan dengan Kota Bau- Bau. Dengan terbukanya pelayaran Fery Waara-Bau-Bau yang diikuti dengan perbaikan
kondisi jalan propinsi, akan semakin menambah strategis wilayah Kecamatan Lakudo dalam pemasaran produk perikanan mengingat semua kendaraan angkutan darat dari dan
ke Kota Bau-Bau – Raha Ibu kota Kab. Muna – Kendari Ibu kota Propinsi Sulawesi Tenggara akan melewati kecamatan Lakudo.
3. Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi dan teknologi
Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi dan teknologi merupakan salah satu bentuk modal dalam pemasaran produk perikanan. Kemitraan akan membuka akses
masyarakat Teluk Lasongko terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik, serta pergaulan bisnis yang lebih luas.
7.2.5 Peningkatan sarana dan prasarana
Lokasi kawasan Teluk Lasongko memiliki tingkat aksesibilitas yang cukup baik dengan menggunakan transportasi laut dan darat yang berjarak 22 km dari Kota Buton.
Namun demikian dalam rangka pengembangan kawasan Teluk Lasongko sebagai kawasan pembangunan ekonomi baru, perlu didukung oleh peningkatan sarana dan
prasarana. Upaya untuk peningkatan sarana dan prasaran pengembangan kawasan Teluk
lasongko, menurut nara sumber terdiri atas 5 program seperti disajikan pada Tabel 72. Tabel 72. Prioritas Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Teluk Lasongko
No Uraian Alternatif
Bobot Prioritas 1 Pembangunan
pelabuhan perikanan 0,431
1 2
Pembangunan sarana pendukung sistem pemasaran 0,234
2 3
Pembangunan dan penataan sarana transportasi 0,161
3 4
Pembangunan dan penataan sarana listrik dan air bersih 0,059
4
1. Pembangunan pelabuhan perikanan
Usaha perikanan tangkap di Teluk Lasongko telah menghasilkan ikan hasil tangkapan sebanyak 13.741 ton pada tahun 2004 atau rata-rata per hari 38 ton. Jumlah
unit usaha perikanan tangkap yang ada lebih dari 4.000 unit. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usaha perikanan tangkap di Teluk Lasongko sudah cukup padat. Dilain pihak
belum ada fasilitas tempat pendaratan yang memadai. Oleh karena itu pembangunan pelabuhan perikanan atau tempat pendaratan ikan merupakan kebutuhan yang mendesak.
Fasilitas yang perlu dibangun meliputi pembangunan dermaga, tempat pelelangan ikan,
pengadaan air bersih dan depo bahan bakar. Tipe pelabuhan yang tepat untuk kawasan Teluk Lasongko adalah Pelabuhan Perikanan tipe D atau Pangkalan Pendaratan Ikan
PPI. PPI yang akan dibangun disesuaikan dengan kondisi usaha perikanan yang ada
serta rencana pengembangan armada perikanan tangkap yang diarahkan pada armada perikanan 10 – 15 GT. Lokasi yang sesuai untuk pembangunan PPI dimaksud berada di
Desa Waara atau Desa Madongka yang berada pada posisi perairan pantai yang sesuai, yakni kedalaman 5 meter, jauh dari kegiatan budidaya laut, serta bebas dari perusakan
ekosistem. Persyaratan yang diperhatikan untuk membangun PPI adalah sebagai berikut: 1 menyediakan fasilitas pendaratanlabuh untuk merapatnya kapal perikanan dan
menyalurkan perbekalan serta penjualan hasil perikanan; 2 minimal luas lahan 5 ha untuk PPI; dan 3 mengetahui kapasitas dermaga, kapasitas TPI dan kebutuhan
perbekalan melalui data-data dan studi – topografi, bahtymetry, sosial ekonomi dan lain- lain.
Untuk mendukung usaha perikanan, tentu perlu dibangun dermaga, terutama di lokasi PPI dan lokasi lainnya yang menjadi konsentrasi labuh nelayan Teluk Lasongko.
Pembangunan dermaga di PPI disesuaikan dengan kondisi alam yang ada, dimana dengan kedalaman 5 memerlukan dermaga yang lebih kuat dan lebih besar mengingat armada
kapal yang berlabuh berukuran 10 GT. Berbeda dengan dermaga lainnya yang dibangun di daerah konsentrasi nelayan seperti di Desa Lakudo, Wajogu dan Desa Inulu, dermaga
yang dibangun lebih kecil sesuai dengan armada kapal yang berlabuh.
2. Pembangunan sarana pendukung sistem pemasaran
Akses ekonomi usaha perikanan yang juga penting adalah sarana pendukung sistem pemasaran dan sarana transportasi. Sarana ini diharapkan dapat mendukung aliran
produksi hasil perikanan yang memiliki kualitas baik sehingga bernilai ekonomis tinggi. Kelancaran arus tranportasi hasil perikanan dari lokasi pelabuhan perikanan ke daerah
konsumen sangat diperlukan. Oleh karena itu perbaikan jalan penghubung dari pelabuhan perikanan ke jalan raya menuju kota dan pelabuhan umum merupakan
kebutuhan mendesak. Demikian pula perlu dibangun jaringan telekomunikasi yang lancar dari daerah Teluk Lasongko ke kota lain untuk mendukung pemasaran hasil
perikanan yang ada.
3. Pembangunan dan penataan sarana transportasi
Sarana transportasi yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan pengembangan pemanfaatan sumberdaya ikan adalah pembangunan jalan penghubung dari jalan utama
yang sudah ada menuju lokasi PPI. Jalan yang dibangun harus didasarkan pada kesesuain lahan dan kesesuain penggunaan yang dirancang oleh ahli konstruksi dalam program
pembuatan jalan pendukung sarana PPI.
4. Pembangunan dan penataan sarana listrik dan air bersih
Pembangunan listrik dan ketersediaan air bersih dipandang vital karena terkait langsung dengan kebutuhan hidup dan kehidupan masyarakat. Sumber air bersih yang
ada di wilayah Teluk Lasongko masih berasal dari mata air dan air hujan yang belum dapat memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat. Oleh karena itu pengadaan air bersih
dinilai sangat mendesak. Demikian pula masih ada desa di Kecamatan Mawasangka Timur yang belum tejangkau aliran listrik dari PLN. Oleh karena itu perluasan jaringan
listrik yang dapat menjangkau seluruh daerah di wilayah Teluk Lasongko perlu menjadi prioritas pembangunannya.
Berdasarkan lima kebijakan utama yang telah diuraikan, dimana masing-masing kebijakan tersebut memiliki prioritas pelaksanaan program pengelolaan sumber daya ikan
di Teluk Lasongko yang diurut berdasarkan nilai pentingnya oleh key person melalui kuisioner AHP. Persepsi antar key person untuk penilaian prioritas program diukur
dengan mengambil rataannya sehingga penilaian prioritas program tersebut merupakan akumulasi dari penilaian oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
nelayanpembudidaya ikan sehingga dapat dijadikan acuan dalam penentuan kebijakan dan prioritas program pengelolaan sumber daya ikan di Teluk Lasongko.
8 KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan