Kajian Pustaka Kerangka Berpikir .1 Bagan Kerangka Berpikir

8

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka

Lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito belum pernah dikaji menggunakan teori apapun. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengkaji lakon Semar Mbangun Kayangan, oleh karena itu tidak ada skripsi atau penelitian yang digunakan sebagai kajian pustaka dalam skripsi ini.

2.2 Landasan Teoretis

Teori-teori yang berkenaan dengan penelitian ini antara lain mengenai 1 wayang, 2 strukturalisme, dan 3 struktur lakon yang di dalamnya ada beberapa unsur yaitu, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar atau setting, serta tema dan amanat

2.2.1 Wayang

Wayang merupakan identitas utama manusia Jawa, maksudnya wayang merupakan jati diri manusia Jawa, oleh karena itu wayang sangatlah istimewa bagi orang Jawa. Keistimewaan itu terdapat pada filosofisnya. Filosofi wayang mampu menjadi tuntunan hidup sebagian besar masyarakat Jawa. Hal ini dibuktikan dengan tidak sedikitnya nama tempat atau nama orang yang diambil dari pewayangan. Misalnya, puncak Gunung Muria dinamakan Sapto Arga yang merupakan tempat pertapaan Yudhistira, nama orang zaman sekarang ada yang namanya Yudhistira, Arjuna, Bima, dll. Hal itu membuktikan bahwa wayang sangatlah berarti bagi masyarakat Jawa Hermawati 2006:1. Buku-buku Jawa Kuno memuat permulaan adanya wayang. Dalam buku itu dinyatakan bahwa wayang adalah gambaran fantasi tentang bayangan manusia Jawa : ayang-ayang. Perkembangan wayang pada masa-masa berikutnya adalah wayang diartikan sebagai bayang-bayang boneka yang dimainkan di atas layar putih. Pengertian itu telah menunjuk pada boneka dua dimensi, yaitu boneka wayang kulit Mulyono 1978:39-40. Wayang pada Kamus Istilah Drama merupakan boneka tiruan orang yang terbuat dari patahan kulit atau kayu, dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional seperti di Bali, Jawa, Sunda dan biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dhalang. Orang Jawa pada zaman dahulu sengaja memberi ruang tersendiri untuk pertunjukan wayang di rumahnya. Ruangan tersebut disebut dengan Pringgitan. Bagi orang Jawa yang tidak mengerti tentang wayang berarti orang tersebut tidaklah paham terhadap jati dirinya. Hal itu dimaksudkan bahwa sebagai seorang manusia Jawa, kita harus memahami kebudayaan Jawa, terutama seni wayang yang merupakan kesenian terbesar dari budaya Jawa. Wayang disebut sebagai kesenian terbesar dalam kebudayaan Jawa karena wayang tidak hanya sebagai tontonan bagi orang Jawa tetapi juga sebagai tuntunan tingkah laku. Wayang bukan hanya sekadar sarana hiburan, tetapi juga sebagai sarana komunikasi serta media pendidikan. Di dalam tiap cerita wayang pasti terkandung makna dan amanat yang bisa diambil oleh penonton, maka dari itu wayang berfungsi sebagai tuntunan. Di Tanah Jawa ini wayang yang sangat terkenal dan sering dipertontonkan yaitu wayang purwa, yaitu wayang yang mengambil tema Mahabarata dan Ramayana. Mahabarata menceritakan kisah hidup Pandhawa, yaitu putra Pandu yang terdiri dari Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Ramayana menceritakan tentang kisah hidup Ramawijaya dan Sinta. Pertunjukan wayang purwa atau wayang kulit biasa dimainkan oleh seorang dhalang. Dhalanglah yang menjadi sutradara dalam pertunjukan wayang, sehingga seorang dhalang harus benar-benar mengerti cerita wayang yang sedang dimainkannya. Pada Masyarakat Jawa, dhalang dianggap sebagai wong kang wasis ngudhal piwulang ” maksudnya orang yang pandai menyampaikan ajaran- ajaran. Jadi, dalam pertunjukan wayang dhalang berperan sebagai seorang filsuf, seorang guru, seorang seniman, seorang pelawak, seorang orator, dan seorang komunikator.

2.2.2 Strukturalisme

Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan serta bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah Abrams 1981 : 68. Struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur intrinsik yang bersifat timbale balik, saling menentukan, saling mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Tiap unsur itu akan menjadi berarti dan sangat penting setelah ada hubungan dengan unsur yang lain. Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya sastra yang bersangkutan. Jadi analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Unsur intrinsik yang dimaksud yaitu alur atau plot, tokoh dan penokohan, setting atau latar, serta tema dan amanat. Dengan demikian analisis struktural bertujuan untuk memaparkan fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasikan sebuah satu kesatuan yang utuh.

2.2.3 Struktur Lakon

Dasar lakon drama adalah konflik manusia. Konflik lebih bersifat batin daripada fisik. Konflik yang dipaparkan dalam lakon harus mempunyai motif. Motif dari konflik yang dibangun itu akan mewujudkan kejadian-kejadian. Lakon merupakan salah satu kosakata bahasa Jawa. Lakon berasal dari kata laku yang artinya perjalanan atau cerita atau rentetan peristiwa. Jadi, lakon wayang adalah perjalanan cerita wayang atau rentetan peristiwa wayang. Perjalanan cerita wayang ini berhubungan erat dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan Murtiyoso, dkk 2004: 57. Mohammad Kanzunnudin dalam bukunya yang berjudul Kamus Istilah Drama 2003:62 memberikan definisi lakon adalah karangan berbentuk drama yang ditulis dengan maksud untuk dipentaskan. Pada Kamus Istilah Sastra, definisi lakon adalah karangan berbentuk drama yang ditulis dengan maksud untuk dipentaskan. Dari kedua definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa lakon adalah drama. Jenis lakon berbeda dengan jenis prosa dan puisi dalam hal hakikat, bentuk pengungkapan, dan teknik penyajiaannya. Hakikat lakon adalah tikaian konflik. Hakikat prosa adalah cerita, dan hakikat puisi adalah imajinasi. Lakon, prosa, dan puisi merupakan bentuk-bentuk pengungkapan sastra. Teknik penyajian lakon menggunakan cakapan, baik monolog maupun dialog. Prosa menggunakan kisahan, sedangkan puisi menggunakan citraan. Di dalam drama ada dua aspek yang sangat penting, yaitu struktur dan tekstur. Struktur merupakan komponen paling utama dalam drama. Struktur adalah bangunan yang di dalamnya terdiri dari unsur-unsur tersusun menjadi suatu kerangka bangunan arsitekstural. Satoto 1985:14 mengatakan bahwa adegan- adegan di dalam lakon merupakan bangunan unsur-unsur yang tersusun dalam satu kesatuan. Jadi untuk menganalisis struktur lakon, harus memulai dengan unit paling dasar yaitu adegan. Unsur-unsur pendukung struktur lakon yaitu alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar atau setting, serta tema dan amanat.

2.2.3.1 Alur atau Plot

Alur atau plot adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Tautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal dan hubungan kasual sebab akibat. Pengertian lain tentang alur yaitu rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui perumitan atau komplikasi ke arah klimaks dan penyelesaian. Pada Kamus Istilah Drama 2003:4-5, alur diartikan jalinan peristiwa di dalam naskah drama atau sastra untuk mencapai efek tertentu. Tautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal atau sebab akibat. Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin secara seksama, yang sanggup menggerakkan jalannya cerita melalui rumitan kea rah klimaks dan penyelesaian atau tanpa penyelesaian. Stanton 1965:14 mengemukakan bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny 1966:14 mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Struktur umum yang membentuk alur dramatik sebuah lakon adalah introduction atau exposition perkenalan atau eksposisi, rising action atau complication perumitan, penggawatan atau komplikasi, the climax atau turning point klimaks atau puncak yang sangat menentukan, falling action atau unravelling leraian atau selesaian, the denouement atau resolution in tragedy resolusi, dan yang terakhir the conclusion kesimpulan akhir. Alur adalah rangkaian peristiwa yg direka dan dijalin dng saksama dan menggerakkan jalan cerita melalui kerumitan ke arah klimaks dan penyelesaian atau jalinan peristiwa dl karya sastra untuk mencapai efek tertentu, pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal atau sebab-akibat http:www.artikata.comarti-318576-alur.html . Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah inter-relasi fungsional dalam karya fiksi. Alur ini merupakan perpaduan unsur 5 Resolusi, pada tahap ini persoalan telah memperoleh peleraian. Tegangan akibat terjadinya konflik telah menurun, maka pada tahap ini disebut juga dengan falling action. 6 Keputusan, pada tahap ini persoalan telah memperoleh penyelesaiaannya. Konflik sudah dapat diakhiri. Jadi jika dilukiskan dengan gambar, alur struktur drama di atas sebagai berikut: d c e a b f a : eksposisi b : konflik c : komplikasi d : krisis e : resolusi f : keputusan Alur dilihat dari segi mutunya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu 1 alur erat atau ketat yaitu jalinan peristiwa yang sangat padu di dalam karya sastra. Kalau salah satu peristiwa atau kejadian dihilangkan, maka keutuhan cerita akan terganggu. 2 alur longgar yaitu jalinan peristiwa yang tidak padu. Kalau salah satu peristiwa dihilangkan maka tidak akan mengganggu keutuhan dan jalannya cerita. Pada alur longgar sering disisipi alur-alur bawahan, maka sering timbul penyimpangan alur. Alur dilihat dari segi jumlahnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu 1 alur tunggal, dan 2 alur ganda. Pada alur tunggal hanya terdapat satu alur, alur ini digunakan jika pengarang ingin memfokuskan dominasi seorang tokoh tertentu sebagai hero atau pahlawan. Pada alur ganda terdapat lebih dari satu alur atau terdapat beberapa tokoh yang diceritakan kisah hidupnya, permasalahan, dan konflik yang dihadapi. Alur ganda terdapat pada lakon wayang. Alur dilihat dari sisi lain dapat dibedakan menjadi sembilan. Berikut ini pembagian alur dilihat dari sisi lain. 1 Alur menanjak rising plot, yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang semakin menanjak sifatnya. 2 Alur menurun falling plot, yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang semakin menurun sifatnya. 3 Alur maju progressive plot, yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang berurutan dan berkesinambungan secara kronologis dari tahap awal sampai tahap akhir cerita. 4 Alur mundur regressive plot, yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang urutan atau penahapannya bermula dari tahap akhir atau tahap penyelesaian, baru tahap-tahap peleraian, puncak, perumitan, dan perkenalan. 5 Alur lurus straight plot, yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang penahapannya runtut atau urut, baik sebagai alur maju maupun alur mundur. 6 Alur patah break plot, yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang penahapannya tidak urut atau runtut tetapi patah-patah. 7 Alur sirkuler circular plot atau alur bundar atau alur lingkar, yaitu alur yang melingkar-lingkar dari suatu cerita. 8 Alur linier linear plot, yaitu alur lurus progressive plot. 9 Alur episodik episodic plot atau nonlinier plot. Jalinan peristiwanya tidak lurus, tetapi patah-patah. Alur episodik ini merupakan alur kecil. Peristiwa yang dijalin ke dalam alur episodik ini merupakan episode-episode atau bagian dari cerita panjang. Misalnya episode-episode dalam Bharatayudha termasuk di dalamnya episode Teknik pengaluran yang biasa digunakan dibagi menjadi dua yaitu, 1 sorot balik, dan 2 tarik balik. Sorot balik yaitu teknik pengaluran mundur, pengungkapan peristiwa berjalan surut ke peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumya. Tarik balik yaitu bentuk teknik pengaluran patah, penyisipan alur bawaha ke dalam alur utama. Alur bawahan yang disisipkan berupa peristiwa yang secara kronologis terjadi sebelumnya Satoto 1985:23. Menurut Satoto, secara tradisional struktur lakon wayang mempunyai tiga tahapan, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. 1 Pathet Nem Pathet nem ditandai dengan penancapan gunungan yang ditancapkan condong ke kiri, tahapan pathet sanga ditandai dengan gunungan ditancapkan tegak lurus, dan pathet manyura ditandai dengan penancapan gunungan condong ke kanan. Sesuai dengan adegan-adegannya, tahapan pathet nem melambangkan kehidupan manusia pada masa kanak-kanak. Jejer merupakan adegan pertama dalam wayang. Pada adegan kedhaton di mana raja yang selesai bersidang diterima permaisuri untuk bersantap bersama yang diartikan sebagai lambang bayi yang baru lahir disambut oleh ibunya. Adegan paseban jawi diartikan melambangkan kehidupan seorang anak yang mulai mengenal dunia luar. Adegan jaranan yang ditampilkan dengan pasukan binatang diartikan watak anak, bahwa anak yang belum dewasa wataknya seperti binatang. Adegan perang ampyak diartikan melambangkan perjalanan hidup seorang anak yang sudah beranjak dewasa, mulai menghadapi banyak kesulitan dan hambatan. Akhir dari perang ampyak menunjukkan semua kesulitan dan hambatan dapat diatasi dengan baik. Adegan sabrangan dilambangkan sebagai seorang anak yang sudah dewasa namun masih mempunyai watak-watak yang dominan dalam keangkaramurkaan, emosional dan nafsu. Adegan terakhir dalam pathet nem adalah perang gagal, yaitu suatu perang yang belum berakhir dengan kemenangan. Adegan ini melambangkan tataran hidup yang belum mantap. 2 Pathet Sanga Adegan pada pathet sanga terdiri dari gara-gara, adegan pertapaan atau pandhita, adegan perang kembang, dan adegan sintren. Adegan gara-gara merupakan adegan yang paling meriah dan menyenangkan. Adegan ini diartikan bahwa ketika manusia menginjak dewasa, hidup terasa indah dan menyenangkan. Adegan pandhita adalah adegan pertemuan antara seorang pendeta di pertapaan dengan seorang kesatria. Adegan ini melambangkan suatu masa di mana manusia sudah mulai mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan. Adegan perang kembang adalah adegan perang antara raksasa melawan seorang kesatria yang diiringi punakawan. Adegan perang kembang melambangkan suatu tataran di mana manusia sudah mulai mampu dan berani memenangkan atau mengalahkan nafsu keangkaramurkaan. Adegan sintren adalah adegan yang menggambarkan seorang kesatria sudah menetapkan pilihannya dalam menempuh hidup. Adegan tersebut melambangkan tataran di mana manusia sudah mampu menentukan pilihan hidupnya. 2 Pathet Manyura Adegan pada pathet manyura terdiri dari jejer manyura, perang brubuh, dan tancep kayon. Pada jejer manyura diceritakan bahwa tokoh utama di dalam lakon sudah berhasil dan mengetahui dengan jelas tentang tujuan hidupnya. Adegan ini melambangkan tataran kehidupan manusia, di mana manusia setelah berhasil menentukan pilihan, lalu bertekad untuk menggapai tujuan hidupnya tersebut. Adegan perang brubuh disebut juga perang ageng karena merupakan perang yang paling besar, dengan banyak korban yang berjatuhan. Perang ini diakhiri dengan kemenangan di pihak kesatria. Adegan ini melambangkan bahwa manusia sudah dapat menyingkirkan segala rintangan dan hambatan guna mencapai tujuan hidup yang diinginkan. Adegan terakhir adalah tancep kayon sebagai penutup pada pagelaran wayang tersebut, yaitu kayon ditancapkan di tengah-tengah kelir sebagaimana halnya ketika pertunjukan wayang belum dimulai. Adegan tancep kayon ini melambangkan proses maut, yaitu manusia sudah meninggalkan alam fana menuju ke alam baka yang kekal dan abadi. Pada akhir pertunjukan wayang kulit purwa seringkali dimainkan tarian wayang golek wanita yang menyiratkan suatu anjuran agar para penonton mencari makna atau ajaran dari pagelaran wayang tersebut. Ada pula yang tidak memainkan boneka kayu, melainkan menarikan tokoh ksatria pemenang, misal Werkudara. Adegan ini disebut tayungan.

2.2.3.2 Penokohan

Penokohan yaitu proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak dalam suatu pementasan lakon. Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh. Pada penokohan, watak tokoh dapat terungkap melalui a tindakan, b ujaran atau ucapannya, c pikiran, perasaan, kehendaknya, d penampilan fisiknya, dan e apa yang dipikirkan, dirasakan atau dikehendaki tentang dirinya atau diri orang lain. Pada proses penokohan, ada dua teknik yang digunakan, yaitu: 1 Teknik analitik, yaitu teknik penampilan tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Contoh : Semar dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dilukiskan dengan seoarang yang tak mempunyai kelamin, mempunyai perut yang besar, dan kepalanya ditutup dengan topi kuncung putih. Pelukisan tersebut menggambarkan bahwa Semar seorang yang bijaksana dan mempunyai ilmu banyak. 2 Teknik dramatik, yaitu teknik penampilan tokoh yang dideskripsikan pengarang secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Sifat dan watak tokoh bisa diketahui melalui cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan pelukisan fisik. Contoh : Semar dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dilukiskan sebagai seorang tokoh yang bijaksana. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa adegan dalam lakon tersebut, bagaimana Semar menghadapi orang-orang yang menentang dia. Semar tetap terlihat sabar dalam menghadapi orang-orang tersebut. Tokoh dalam seni sastra disebut tokoh rekaan yang berfungsi sebagai pemegang peran watak, baik dalam jenis roman atau jenis lakon. Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian http:wcatatansingkat.blogspot.com201101tokoh-dan-penokohan-dalam- cerpen.html . Satoto 1985:25 membagi tokoh menurut kejiwaannya menjadi empat, yaitu: 1 Tokoh Protagonis, yaitu peran utama yang merupakan pusat atau sentral cerita. 2 Tokoh Antagonis, yaitu peran lawan yang menjadi musuh atau penghalang tokoh protagonis yang menyebabkan timbulnya tikaian konflik. 3 Tokoh Tritagonis, yaitu peran penengah yang bertugas menjadi pelerai, pendamai atu pengantar protagonis dan antagonis. 4 Tokoh Peran Pembantu, yaitu peran yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik tikaian yang terjadi tetapi ia diperlukan untuk membantu menyelesaikan cerita. Tokoh dilihat dari segi perkembangan wataknya dapat dibedakan menjadi delapan. Di bawah ini pembagian tokoh menurut wataknya. 1 Tokoh Andalan, yaitu tokoh yang tidak memegang peranan utama, tetapi menjadi kepercayaan protagonis. Tokoh andalan sering dipakai penulis lakon atau novel atau roman untuk menyampaikan pikiran dan maksud protagonis untuk menghindari monolog cakapan seorang diri tentang masa lalu, solilokui cakapan seorang diri tentang masa datang, dan sampingan cakapan seorang diri yang ditujukan kepada penonton atau publik. Fungsi utama tokoh andalan adalah memberi gambaran lebih terperinci tentang protagonis. 2 Tokoh Bulat, yaitu tokoh dalam karya sastra, baik jenis lakon maupun roman atau novel yang diperikan segi-segi wataknya hingga dapat dibedakan dari tokoh-tokoh yang lain. Tokoh-tokoh bulat dapat mengejutkan pembaca, pendengar, atau penonton karena kadang-kadang terungkap watak yang tak terduga. 3 Tokoh Datar sama dengan tokoh pipih, yaitu tokoh dalam karya sastra, baik lakon maupun roman atau novel yang hanya diungkapkan dari satu segi wataknya. Tokoh semacam ini sifatnya statis, tidak dikembangkan secara maksimal. Tokoh-tokoh dalam tetater tradisional bentuk wayang pada umumnya termasuk tokoh datar atau okoh pipih. 4 Tokoh Durjana, yaitu tokoh jahat dalam cerita. Pada lakon, tokoh durjana menjadi biang keladi atau pengahasut. Misal pada tokoh wayang Sakuni. 5 Tokoh Lawan, sama dengan tokoh antagonis. 6 Tokoh Statis, yaitu tokoh yang dalam lakon maupun roman atau novel perkembangan lakunya sangat sedikit, bahkan sama sekali tidak berubah. 7 Tokoh Tambahan, yaitu tokoh dalam lakon yang tidak mengucapkan sepatah katapun. Mereka tidak memegang peranan, bahkan tidak penting sebagai individu. 8 Tokoh Utama, sama dengan tokoh protagonis.

2.2.3.3 Latar atau Setting

Abrams 1981:175 latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Stanton 1965 mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta cerita sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dengan menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian merasa dipermudah untuk mengoperasikan daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuaannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi lataryang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke dalam cerita Nurgiyantoro 2005:217. Nurgiyantoro 2005:218-222 membagi latar menjadi empat, yaitu 1 latar fisik, 2 latar spiritual, 3 latar netral, dan 4 latar tipikal. 1 Latar Fisik, latar yang berupa nama tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa. Penunjukan latar fisik dalam karya fiksi dapat dengan cara yang bernacam-macam, tergantung selera dan kreativitas pengarang. Ada pengarang yang melukiskan secara rinci, sebaliknya ada pula yang sekedar menunjukkannya dalam bagian cerita. Artinya, ia tak secara khusus menceritakan situasi latar. 2 Latar Spiritual, nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik. Latar spritual berupa tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Latar spiritual dalam fiksi, khususnya karya-karya fiksi Indonesia hadir dan dihadirkan bersama dengan latar fisik. Hal ini akan memperkuat kehadiran, kejelasan, dan kekhususan latar fisik yang bersangkutan. adanya deskripsi latar spiritual inilah yang menyebabkan latar tempat tertentu, misalnya Jawa dapat dibedakan dengan tempat-tempat lain. 3 Latar Netral, latar netral tidak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar. Sifat yang ditunjukkan latar tersebut merupakan sifat umum terhadap hal sejenis, misalnya desa, kota, hutan, pasar, sehingga sebenarnya hal itu dapat berlaku di mana saja. Artinya, jika tempat-tempat tersebut dipindahkan, hal itu tidak akan mempengaruhi pemplotan dan penokohan. 4 Latar Tipikal, latar ini memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial. Latar dalam arti yang lengkap meliputi aspek ruang dan waktu terjadinya peristiwa. Ada perbedaan yang tidak mudah dilihat antara setting bagian dari teks dan hubungan yang mendasari suatu lakuan terhadap keadaan sekeliling. Latar dapat menjadi lebih luas dari sekadar urutan lakuandan tidak tergantung pada arti dari setiap peristiwa. Perumusannya, latar dipandang sebagai bagian jenis informasi, evaluation atau penilaian, collateral atau yang mengiringi, di mana atau where, kapan atau when, while, saat atau waktu dalam masalah apa kejadian itu ditempatkan. Pada konteks ini latar dibicarakan dalam non-events. Jelasnya, latar setting dalam lakon tidak sama dengan panggung. Panggung merupakan perwujudan dari setting. Setting mencakup dua aspek penting yaitu, 1 aspek ruang, dan 2 aspek waktu. Di samping dua aspek tersebut, ada satu aspek lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu 3 aspek suasana. 1 Aspek Ruang Aspek ruang menggambarkan tempat terjadinya peristiwa dalam lakon. Pada drama tradisional, tempat terjadinya peristiwa dalam lakon sering diidentifikasikan dengan tempat dalam realita. Lokasi atau tempat terjadinya peristiwa dalam lakon dapat di istana, rumah biasa, hutan, gunung, langit, laut, pantai, tempat peperangan, dan sebagainya. Peristiwa itu juga bisa terjadi di dunia atau di kahyangan. Jika lokasi terjadinya peristiwa bertempat di dalam diri manusia itu sendiri, maka akan timbul konflik batin yang sulit dileraikan. Manusia dalah sumber segala konflik, maka manusia pulalah yang harus menyelesaikannya. 2 Aspek Waktu Aspek waktu dibagi menjadi dua bagian, yaitu a waktu cerita dan b waktu penceritaan. a Waktu Cerita, yaitu waktu yang terjadi dalam seluruh cerita atau satu episode dalam lakon. Misalnya, perang wayang berlangsung selama 18 hari. Waktu cerita dalam lakon

2.2.3.4 Tema dan Amanat

Tema pada Kamus Istilah Drama 2003:109 diartikan sebagai gagasan, ide, pikiran utama dalam karya drama. Tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik. Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah karya sastra. Gagasan dasar umum inilah yang digunakan oleh pengarang untuk mengembangkan cerita Nurgiyantoro 2005:70. Satoto 1985:15 mendeskripsikan tema dalam suatu karya sastra bukan merupakan pokok persoalannya melainkan lebih bersifat ide sentral pokok yang dapat terungkapkan baik secara langsung maupun tak langsung. Jadi, tema adalah gagasan, ide atau pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak. Amanat dalam lakon adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada publiknya. Teknik menyampaikan pesan tersebut dapat secara langsung maupun tak langsung, secara tersurat, tersirat atau simbolis. Mohammad Kanzunnudin 2003:5 mendeskripsikan amanat sebagai pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang naskah drama atau sastra kepada penonton atau pembaca. Lakon bentuk wayang biasanya menggunakan teknik penyampaian pesan secara simbolis. Wayang merupakan karya seni yang simbolis. Itulah sebabnya, meski sumber ceritanya sama, tiap-tiap dalang berbeda cara dan hasil penafsirannya. Masing-masing dalang berbeda dalam pendekatan, garapan, dan gaya penyajiannya. Tiap dalang memiliki kadar imajinasi atau sanggitnya masing- masing. Begitu pula publik penikmatnya akan bermacam-macam cara dan hasil pendekatan atau penafsiran terhadap tema dan amanat dalam lakon wayang yang dipagelarkan oleh dalang. Jika tema dalam lakon merupakan ide sentral yang menjadi pokok persoalannya, maka amanat merupakan pemecahannya. Tema dan amanat dalam seni satra sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Jadi tema dan amanat tidak terlepas dari konteksnya. 2.3 Kerangka Berpikir 2.3.1 Bagan Kerangka Berpikir CD pertunjukan wayang kulit lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito Mengumpulkan dan mentranskripsi data Identifikasi Masalah Mengalisis data dengan menggunakan teori strukturalisme dan metode analisis struktural Hasil Analisis Data Simpulan dan Saran Lakon Semar Mbangun Kayangan yang menceritakan tentang simbol rakyat menghendaki para pemimpin untuk membangun jiwa. Pada lakon ini pula terlihat bahwa terkadang penguasa salah menafsirkan kehendak rakyat, memperlakukan rakyat sebagai objek yang bodoh, penguasa cenderung bertangan besi dan mau menang sendiri. Pada Semar Mbangun Kahyangan ini terlihat pada akhirnya penguasa yang lalim akan terkoreksi oleh rakyat jelata. Permasalahan yang akan dikaji pada lakon Semar Mbangun Kayangan yaitu struktur lakon lakon wayang tersebut. Di dalam struktur lakon terdapat unsur-unsur intrinsik dari suatu karya sastra, yaitu alur, tokoh dan penokohan, latar, serta tema dan amanat. Struktur lakon wayang yang berupa tiga tahapan akan dibahas pada bagian alur. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menyimak dan menonton pertunjukan wayang kulit lakon Semar Mbangun Kayangan yang terdapat pada kepingan CD produksi Dunia Hijau Record. Data tersebut berupa transkrip teks monolog dan dialog antar tokoh dalam lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito. Data yang dihasilkan selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis struktural sastra, yaitu metode untuk membedah unsur-unsur karya sastra, terutama unsur-unsur intrinsik dari sebuah karya sastra. Hasil analisis data berupa pendeskripsian dari unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada lakon wayang Semar Mbangun Kayangan. Simpulan dari penelitian ini berisi tentang penjelasan secara ringkas hasil analisis unsur-unsur intrinsik pada lakon Semar Mbangun Kayangan. Saran dalam penelitian ini berisi tentang nasihat-nasihat pada elemen masyarakat, guru, dan mahasiswa lain agar bisa mencontoh atau meniru sikap tegas dan keberanian Semar dalam menegakkan keadilan, serta diharapkan skripsi ini bisa menjadi panduan untuk penelitian selanjutnya. 32

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini digunakan pendekatan objektif. Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang memusatkan perhatian pada unsur-unsur intrinsik. Masalah mendasar yang diungkapkan dalam pendekatan objektif misalnya citra bahasa, stilistika, dan aspek-aspek lain yang berfungsi untuk menimbulkan kualitas estetis. Pada fiksi, yang dicari misalnya unsur-unsur plot, tokoh, latar, kejadian, sudut pandang, dan sebagainya. Pendekatan objektif akan digunakan untuk mengeksploitasi semaksimal mungkin unsur-unsur intrinsik dari suatu karya sastra Ratna 2008:73-74. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis struktural. metode analisis struktural bertujuan untuk mengkaji fungsi dan keterkaitan antar unsur pembangun dalam karya sastra. Teeuw 1988:135 menyimpulkan bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.

3.2 Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian dalam skripsi ini adalah lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito. Penelitian ini akan mengkaji unsur-unsur intrinsik dalam lakon Semar Mbangun Kayangan. Unsur-unsur intrinsik tersebut yaitu alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar atau setting, serta tema dan amanat.