METAFORA DALAM WAYANG KULIT LAKON KILATB

METAFORA DALAM WAYANG KULIT LAKON KILATBUWANA SEBAGAI REPRESENTASI KEHIDUPAN MASYARAKAT JAWA TESIS

Oleh:

Ferdi Arifin

13/353716/PSA/7528

PROGRAM STUDI ILMU LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2015

METAPHOR IN KILATBUWANA LEATHER PUPPET AS REPRESENTING OF JAVANESE’S LIFE THESIS

by:

Ferdi Arifin

13/353716/PSA/7528

LINGUISTICS GRADUATE STUDIES PROGRAM FACULTY OF SCIENCE AND CULTURE UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2015

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Yogyakarta, April 2015

Ferdi Arifin

iii

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan semua ini kepada yang special:  Ayahku, R Eko Miyanto, S.H. yang senantiasa mendukung dan bekerja

keras untuk anaknya tanpa memberikan interfensi dalam bentuk apapun.

 Ibuku, Nur Halimah, Amd. yang selalu banyak nasihat demi kebaikan

anaknya.

 Keluarga besar yang selalu mengarapkanku menjadi model yang baik

untuk saudara-saudara kecilku. Kalian selalu jadi yang terbaik meskipun banyak perbedaan pendapat di antara

kita.

iv

PRAKATA

Segala puji dan syukur yang senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunianya kepada kita semua. Dengan segala kehendak Allah SWT penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang dengan tulus dan ikhlas telah memberikan segenap bantuan, bimbingan, arahan, serta semangat kepada penulis sehingga tesisi ini dapat terselesaikan.

1. Prof. Dr. Marsono, S.U. selaku dosen pembimbing tesis yang selama penyusunan tesis ini beliau dengan penuh kesabarannya selalu memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis dari awal hingga tesis ini jadi.

2. Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A. selaku ketua Program Pascasarjana Linguistik yang telah memberikan banyak pelajaran dalam mendalami ilmu linguistik.

3. Dr. Pujo Semedi Hargoyuwono, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya sekaligus dosen antropologi yang memberikan banyak wawasan dalam perkuliahan selama ini, terlebih mata kuliah Kebudayaan dan Konstruksi Tubuh dan Marxisme dan Teori Konflik .

4. Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo yang sabar dan tekun memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat serta memberikan pengalaman hidup yang berharga.

5. Dr. Inyo Yos Fernandez selaku dosen yang tegas dalam membimbing dan memberikan ilmu-ilmu yang diberikan kepada mahasiswanya. Dengan ―semangat paginya‖ beliau adalah salah satu dosen yang memberi motivasi tinggi dalam belajar.

6. Dr. Suhandano, M.A. yang selalu menyenangkan dalam memberikan perkuliahan sehingga menjadikan semangat belajar.

7. Dr. Aris Munandar, M.Hum. selaku dosen bahasa Inggris yang memberikan perkuliahan dengan asik.

8. Tri Mastoyo Jati Kesuma, M.Hum. yang mengajarkan segenap ilmunya dengan santai sehingga tidak merasa tegang di dalam kelas, meskipun sering membuat menganga karena buku-buku yang dimilikinya.

9. Segenap dosen-dosen lain yang pernah memberi pelajaran di kelas seperti Prof. Dr. Lasiyo, Prof. Dr. Suhardi, M.A., Prof. Dr. Praptomo Baryadi Isodorus, M.Hum., Dr. Widya Nayati, M.A., Wiwik Suhastami, M.A., Ph.D. Terima kasih atas pelajaran yang telah disampaikan selama ini.

10. Teman-teman Leisure Community Sidiq Hari Madya, S.Sos., Satria Aji Imawan, SIP., Remo Adhy Pradana, S.E., Rifki Amelia Fadlina, SIP., Syefi Nuraeni Fitriana, S.Farm., Apt., dan Kalikautsar, S.T., M.Eng. selain itu juga pengurus baru Leisure Community Adityo Ramadhan D dan Candra Kirana Mustahziyin. Terima kasih atas wawasan yang kalian miliki sehingga memunculkan berbagai pandangan baru.

11. Teman-teman SKM UKM Bulaksumur yang selalu memberikan semangat-semangat muda yang berapi-api, khususnya Riza Adrian

vi

Soedardi calon Sarjana Komunikasi dan Muhammad Ilham Adhi P calon Sarjana Sosial, dll.

12. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan manfaat serta kontribusi khususnya dalam bidang linguistik.

Yogyakarta, April 2015

Penulis

vii

INTISARI

Wayang kulit merupakan salah satu seni pertunjukkan paling kuna yang masih eksis di kalangan masyarakat Jawa. Salah satu alasan wayang kulit tetap eksis karena dalam ceritanya menunjukkan gambaran kehidupan masyarakat setempat sehingga sebuah kebudayaan dapat terlihat dari pertunjukkan tersebut. Penelitian ini megkaji salah satu lakon dalam pewayangan yaitu Kilatbuwana dari metafora yang digunakan dalam percakapan antar-tokoh wayang. Penggunaan metafora dalam wayang kulit adalah salah upaya untuk melihat kehidupan masyarakat Jawa. Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari sebuah hasil transkripsi tim peneliti wayang kulit di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta. Dari transkripsi data yang sudah ada kemudian identifikasi keseluruhan lakon Kilatbuwana tersebut yang masuk dalam kategori metafora. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana ditemukan jenis-jenis metafora yang muncul dalam percakapan antar-tokohnya, kemudian elemen pembentuk ranah sumber dan ranah target dari metafora dalam lakon tersebut, dan metafora dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana mencerminkan kehidupan masyarakat Jawa. Ada tiga jenis metafora yang muncul yaitu struktural, ontologikal, dan orientasional, sedangkan elemen pembentuk ranah sumber dan ranah target dalam metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana tidak lepas dari budaya yang dimiliki masyarakat setempat, dan ternyata kehidupan orang Jawa tercermin dalam temuan data metafora di wayang kulit lakon Kilatbuwana. Secara keseluruhan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa metafora dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa meskipun tidak secara menyeluruh. Namun, apabila data yang digunakan dalam penelitian metafora ini lebih luas cakupannya, tidak menutup kemungkinan bahwa gambaran kehidupan masyarakat Jawa akan terlihat lebih jelas.

Kata kunci: metafora, kehidupan masyarakat Jawa, kebudayaan Jawa, wayang kulit lakon Kilatbuwana

xi

ABSTRACT

Leather puppet is one of ancient performing arts which remains existed for Javanese. A reason of leather puppet existence is because Javanese‘s leather puppet stories represent its society, so that it can be used to present Javanese culture. Because of various stories of Javanese‘s leather puppet, this research examines metaphor usage among the ch aracter in one of leather puppet‘s lakon that is Kilatbuwana. Metaphor usage in Javanese‘s leather pupper aims at seeing Javanese‘s life. Based on the transcription, this research thus indetifies entirely language usage in conversation among puppet characters of Kilatbuwana put into metaphor category. This research employed qualitative method because the method was appropriate to conduct metaphor research although some arguments needed native participants to reinfoce the analysis. The data were obtained by research team of Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta that had already written many characters ( lakon ) of Javanese‘s leather puppet. The result shows that several kinds of metaphor of Kilatbuwana leather puppet are used in conversation among the characters, form elements of source domain and target domain of Kilatbuwana‘s metaphor is tied in the society culture. Moreover, Javanese culture is represented by leather puppet metaphor, for instance, in Kilatbuwana‘s metaphor. The result of this research shows that Kilatbuwana metaphor represents the whole life of Javanese although it is not complete. Yet, if the research uses entirely leather puppet lakon bith Mahabarata and Ramayana, it will be possible to see entirely imagine of Javanese culture clearly.

Keywords : metaphor, Javanese life, Javanese culture, Kilatbuwana leather puppet.

xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wayang kulit merupakan kesenian purba yang masih terjaga eksistensinya dalam perkembangan zaman yang begitu pesat. Kekuatan eksistensi wayang kulit dikarenakan kesenian tersebut tidak hanya sebagai sebuah seni pertunjukan melainkan juga sebagai media pembelajaran bagi masyarakat karena memadukan aspek kehidupan seperti pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi (Arifin, 2013: 78). Selain itu, eksistensi kesenian ini tidak lepas dari sebuah upaya pemahaman terhadap masyarakat multikultur seperti di Indonesia dengan melibatkan unsur Islam, Buddha, Khatolik, Kristen, bahkan kelompok etnis tertentu (Korsovitis, 2001: 59 —68). Bahkan dalam sebuah riset seni pertunjukan menyebutkan bahwa seni pertunjukan –seperti wayang kulit- dapat dijadikan sebagai media untuk merefleksi keadaan, ingatan, dan emosi sehingga dapat memulihkan depresi seseorang secara visual (Argyle & Bolton, 2005: 340 —354).

Sejarahnya sendiri, wayang kulit di Jawa muncul dari kepercayaan animisme dan dinamisme yang sangat kental, sehingga masyarakat percaya bahwa nenek moyang yang sudah mati menjadi roh pelindung bagi masyarakat yang masih hidup. Oleh karena itu, pertunjukan wayang –dahulunya masih bebentuk boneka- dilakukan sebagai rasa terima kasih masyarakat terhadap roh para leluhur (Sunarto, 1997: 11). Dalam perkembangannya, beberapa komponen dari pagelaran wayang mulai digantikan dengan komponen baru sesuai dengan keadaan masyarakat, seperti boneka diganti dengan wayang kulit, dukun digantikan dalang, sajian digantikan sajen, nyanyian dan hymne digantikan suara suluk dan sindenan, bunyi-bunyian digantikan gamelan, tempat pemujaan batu digantikan dengan panggung dan debog (Mulyono, 1978: 56 —57). Kemudian pada awal abad ke-20, wayang kulit mulai memberikan pengaruh pada seni pertunjukan teater di Eropa dan Amerika bahkan banyak akademisi mereka yang mempelajari wayang di tahun 1960-an. Hal tersebut ternyata karena pengaruh koleksi di Museum Raffles di Inggris ketika mereka menjajah Indonesia dan membawa sebagian bentuk peradaban yang ada (Cohen, 2007: 340).

Dalam hal ini wayang kulit menjadi subyek dari penelitian bahasa karena eksistensi wayang kulit di era revolusi teknologi dan budaya populer saat ini. Penelitian ini akan melihat fenomena bahasa yang muncul dengan pendekatan metafora dan etnolinguistik. Hal tersebut dikarenakan penggunaan bahasa dalam wayang kulit penuh dengan unsur metaforis dan mencerminkan kebudayaan masyarakatnya karena bahasa wayang tidak mengikuti perkembangan zaman dan tetap mencirikan kebudayaan masyarakatnya.

Penelitian ini mengasumsikan bahwa metafora dan etnolinguistik sebagai alat untuk melihat kebudayaan masyarakat Jawa dalam mendeskripsikan Penelitian ini mengasumsikan bahwa metafora dan etnolinguistik sebagai alat untuk melihat kebudayaan masyarakat Jawa dalam mendeskripsikan

Oleh karena itu, metafora merupakan instrumen yang sesuai untuk mengkaji bahasa dan pikiran masyarakat Jawa yang tercermin dalam seni pertunjukan wayang kulit. Bentuk data yang akan dianalisis dalam penelitian ini seperti pada contoh berikut:

(I.1) PUNTADEWA : Nuwun inggih, menawi sandhanganing jiwa menika menapa?

PUNTADEWA : maaf sebelumnya, misalkan pakaiannya jiwa itu apa?)

KILATBUWANA : Sandhanganing jiwa iku, cipta, rasa, budi, karsa. Cipta iku kang anampa samubarang, karsa iku kang nenimbang samubarang, budi iku keng ngleramake samubarang, karsa iku nindakake samubarang. Iku sesandhangani pun jiwa .

KILATBUWANA : pakaiannya jiwa itu, cipta, rasa, budi, karsa. Cipta itu yang menerima segalanya, karsa itu yang menimbang segalanya, budi itu yang menyelaraskan semuanya, karsa itu menjalankan semuanya. Itulah pakaiannya jiwa .)

(Feinstein, dkk, 1986: 11) (I.2)

KILATBUWANA: [...] si bapa kang ndarbeni sedya ngrukunake Pandawa lan Ngastina aja nganti tuwuhing peperangan gede [...]

KILATBUWANA: [...] si bapa memiliki keinginan merukunkan Pandawa dan Astina supaya jangan sampai tumbuhnya peperangan besar [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 295) Sepenggal dialog antara Puntadewa dan Kilatbuwana pada contoh (I.1) tersebut

merupakan data yang akan dianalisis dengan menggunakan metafora. Dari ungkapan yang dituturkan Puntadewa dan Kilatbuwana mengungkapkan kata sandhangan jiwa yang merupakan sebuah bentuk ekspresi metafora. Pada metafora tersebut jiwa merupakan sebuah target sedangkan kata sandhangan adalah sarana untuk menjelaskan target nya. Metafora tersebut memiliki source tubuh untuk menerangkan ranah targetnya. Penggunaan bahasa metaforis tersebut merupakan data yang akan dianalisis dengan menggunakan metafora. Dari ungkapan yang dituturkan Puntadewa dan Kilatbuwana mengungkapkan kata sandhangan jiwa yang merupakan sebuah bentuk ekspresi metafora. Pada metafora tersebut jiwa merupakan sebuah target sedangkan kata sandhangan adalah sarana untuk menjelaskan target nya. Metafora tersebut memiliki source tubuh untuk menerangkan ranah targetnya. Penggunaan bahasa metaforis tersebut

Hal tersebut merupakan hasil kognisi masyarakat terhadap pengalaman yang mereka alami sehingga menggunakan konsep-konsep tersebut untuk menggambarkan orang Jawa. Dilihat dari aspek metaforisnya contoh (I.1) tersebut mengindikasikan bahwa masuk dalam jenis metafora tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat jenis metafora apa saja yang muncul dalam temuan data yang lain.

Pada contoh (I.2) me nunjukkan bahwa ‗tumbuhan‘ sebagai ranah sumber untuk menjelaskan bentuk perang. Menurut Wahab (1991: 96) sebagai seorang pengikut aliran relativisme Sapir dan Whorf yang menyatakan dunia nyata tidak diperoleh secara langsung melainkan dibangun berdasarkan pengaruh pengetahuan dan bahasa, sehingga metafora memiliki peranan penting dalam segala aspek kehidupan karena pengetahuan realita -seperti konsep kecantikan- tercipta melalui interaksi antara informasi yang ada dengan lingkungan (source domain). Dengan begitu juga bahasa menjadi karakter umum sebagai sistem tanda yang muncul karena cerminan dari realita serta menjadi gambaran dari dunia (Fiumara, 1995: 8). Oleh karena itu, metafora dalam wayang memiliki keterkaitan dengan kebudayaan dalam proses pembentukan ranah sumber dan ranah target.

Setelah menelaah dari kedua pemahaman tersebut, penelitian ini akan melihat bagaimana metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana dapat merepresentasikan kehidupan masyarakat Jawa. Berdasarkan data metafora yang ditemukan, penelitian ini hanya akan melihat metafora dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana yang merefleksikan konsep kehidupan masyarakat Jawa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, penelitian ini merangkum beberapa rumusan masalah yang akan dijawab melalui hasil penelitian sebagai berikut.

1. Apa saja jenis metafora yang digunakan dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana?

2. Bagaimana elemen ranah sumber dan ranah target pada pembentukan metafora dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana?

3. Bagaimana kehidupan masyarakat Jawa tercermin dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana? Mengapa demikian!

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yang sudah dirumuskan di atas sebagai berikut.

1. Mengklasifikakan jenis metafora yang muncul dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana.

2. Mendeskripsikan elemen ranah sumber dan ranah target pada pembentukan metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana.

3. Menjelaskan kehidupan orang Jawa dari konsep metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana.

1.4 Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan penelitian linguistik yang mengkaji wayang kulit untuk melihat konsep kehidupan masyarakat Jawa dengan pendekatan metafora dan etnolinguistik. Banyaknya seni pertunjukan wayang yang ada di Indonesia, seperti wayang kulit purwa, wayang golek, wayang beber, wayang kancil, wayang suket, dan sebagainya, penelitian ini hanya difokuskan pada wayang kulit purwa khususnya cerita Mahabharata karena dianggap penggunaan bahasa yang digunakan sudah dapat merepresentasikan cerita yang lainnya.

Selain itu, untuk lebih membatasi data temuan yang begitu banyak penelitian ini tidak akan melihat semua metafora wayang kulit, melainkan metafora-metafora tertentu yang mencerminkan kehidupan masyarakat Jawa pada wayang kulit lakon Kilatbuwana. Hal ini dikarenakan penggunaan metafora dalam wayang sangat banyak sekali sehingga temuan data hanya akan dibatasi pada fakta bahasa metaforis yang mencerminkan konsep kehidupan masyarakat Jawa.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat yang akan dibagi dalam dua kategori, yaitu manfaat penelitian secara teoritis dan praktis.

1.5.1 Manfaat Teoritis

Metafora dan etnolinguistik adalah sebuah cabang ilmu linguistik yang mengkorelasikan antara fakta bahasa dengan kebudayaan yang ada. Secara teoritis, penelitian ini akan memberikan sebuah pengetahuan baru dalam bidang ilmu linguistik yang mengkaji wayang kulit dari perspektif bahasa maupun budaya. Lebih dari itu, penelitian ini juga merupakan salah satu upaya untuk pengembangan bidang makro linguistik dalam ranah kebudayaan.

1.5.2 Manfaat Praktis

Seorang akademisi sudah sewajarnya menjunjung tinggi Tri Dharma Perguruan Tinggi, penelitian, pengajaran, pengabdian. Penelitian ini merupakan salah satu bentuk implikasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut sehingga secara langsung memberikan manfaat praktis. Ditambah lagi penelitian ini dibuat bukan sebagai sebuah manfaat material tetapi lebih pada manfaat imaterial, yaitu share knowledge atau berbagi pengetahuan mengenai wayang. Penelitian ini akan Seorang akademisi sudah sewajarnya menjunjung tinggi Tri Dharma Perguruan Tinggi, penelitian, pengajaran, pengabdian. Penelitian ini merupakan salah satu bentuk implikasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut sehingga secara langsung memberikan manfaat praktis. Ditambah lagi penelitian ini dibuat bukan sebagai sebuah manfaat material tetapi lebih pada manfaat imaterial, yaitu share knowledge atau berbagi pengetahuan mengenai wayang. Penelitian ini akan

1.6 Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini menemukan beberapa penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai tinjauan untuk melihat kemurnian dari penelitian sekaligus sebagai acuan untuk lebih baik lagi. Ada beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang metafora ataupun wayang kulit seperti pada penelitian Setyari (2007) yang berjudul Panyandra Bentuk Tubuh Indah Dalam Masyarakat Jawa yang menjelaskan mengenai pembentukan istilah-istilah panyandra , faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kata tersebut, dan cara pandang masyarakat Jawa yang terlihat. Inti dari penelitian yang dilakukan adalah melihat hubungan antara tubuh indah dengan bentuk lingkungan masyarakat Jawa yang cenderung bersifat agraris. Dari keseluruhan data yang ditemukan untuk melihat konsep cantik dalam masyarakat Jawa. Penelitian Panyandra Bentuk Tubuh Indah Dalam Masyarakat Jawa berbeda dengan penelitian yang akan Peneliti lakukan karena dalam penelitian tersebut hanya melihat bentuk tubuh yang indah dari wanita, sedangkan dalam penelitian ini membahas mengenai perilaku baik dan buruk orang Jawa yang dilihat dari bentuk metaforanya.

Selain itu ada Wulandari (2013) yang meneliti tentang Kajian Metafora Dalam Novel Para Priyayi . Penelitian metafora yang dilakukan Wulandari membuktikan bahwa metafora dalam Novel Para Priyayi memiliki bentuk dan jenis, memuat ranah kehidupan masyarakat Jawa, dan mengandung nilai-nilai kearifan budaya Jawa. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa metafora dalam novel Para Priyayi menjelaskan ranah kehidupan masyarakat Jawa dan mengandung nilai- nilai kearifan budaya Jawa. Wulandari tidak menyinggung sama sekali metafora dalam wayang kulit untuk melihat nilai-nilai kearifan budaya Jawa sehingga Peneliti menjadikan penelitian ini sebagai tinjaun untuk penelitian Metafora Wayang Kulit Dalam Mencerminkan orang Jawa. Rachmad Efendi (2012) meneliti tentang Metafora Dalam Percakapan Antar- Tokoh Pada Film The King‟s Speech yang menunjukkan bahwa dalam percakapan antar-tokoh pada film tersebut menggunakan metafora yang terbentuk dari fungsi atau peran elemen penyusunnya serta konteks yang ada di dalamnya.

Ada lagi penelitian dari Suhandano (2014) dengan judul Metafora dan Etnofilosofi yang menjelaskan bagaimana metafora bekerja untuk menganalisis data kebahasaan, juga tinjauan etnofilosofi yang memaparkan nilai-nilai filosofi kehidupan. Suhandano menggunakan data dari beberapa istilah yang sering muncul di kalangan masyarakat Jawa. Dia juga sedikit menyinggung tentang bahasa dalam pewayangan. Namun, yang membedakan penelitian dia dengan ini adalah bahwa Suhandano tidak menjelaskan konsep kebudayaan masyarakat Jawa secara menyeluruh karena hanya berupa jurnal ilmiah dengan sedikit contoh.

Sedangkan untuk etnolinguistik dalam metafora, penelitian milik Ishak Bagea (2013) yang berjudul Metafora Dalam Wacana Pingitan Masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara juga menjadi tinjauan pustaka karena menjadi sebuah acuan untuk melihat pola relasi yang terjadi di masyarakat antara metafora dan kebudayaan yang ada.

Selain itu, Penulis juga menemukan beberapa jurnal yang berkaitan dengan riset pada wayang kulit purwa sebagai sebuah tinjaun pustaka untuk memahami lebih mendalam mengenai wayang kulit itu sendiri. Jones (1957) mengkaji wayang kulit Jawa dan Bali sebagai studi material di Inggris karena ketika penjajahan Inggris atas Indonesia, Raffles sempat membawa beberapa wayang kulit ke Inggris sebagai sebuah koleksi dan akhirnya saat ini wayang tersebut dikoleksi dan diteliti oleh pihak Victoria and Albert Museum di Oxford. Ada lagi peneliti asal Amarika Ward Keeler (1995) yang mengkaji javanese shadow puppet sebagai sebuah seni pertunjukan yang dikorelasikan dengan aspek psikologis dan budaya. Dalam penelitiannya, dia hanya menekankan pada pengaruh Islam yang menggeser nilai-nilai Hiduisme dan Budaisme sebagai akar dari wayang kulit. Riset terakhir mengenai wayang kulit dilakukan oleh Schechner (1990) dengan judul Wayang Kulit in the Colonial Margin yang hanya menekankan pada sejarah singkat perkembangan wayang kulit yang dikomodifikasi oleh pihak kolonial sebagai aset ekonomi dan mengajarkan kepada para dalang untuk bisa menulis supaya terdapat teks naskah pedalangan yang bisa mereka pelajari.

Dari temuan pustaka di atas, belum ada yang secara spesifik membahas mengenai tentang metafora wayang kulit sebagai cerminan kebudayaan masyarakat Jawa. Dari tinjauan tersebut penelitian ini masih bisa dilanjutkan karena sejauh ini belum ada yang pernah menuliskannya, sedangkan dari tinjaun pustaka tersebut akan digunakan sebagai acuan untuk membantu penelitian ini supaya baik hasilnya. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan beberapa konsep penelitian yang sudah ada tersebut sebagai acuan pustaka.

1.7 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori metafora dan etnolinguistik untuk menjawab rumusan masalah yang ada. Hal tersebut dikarenakan kedua teori saling melengkapi untuk menganalisis data yang akan muncul dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana.

1.7.1 Metafora

Untuk melihat dan menganalisi data yang ditemukan dalam wayang kulit, penelitian ini mendasari dengan teori yang dikemukakan Lakoff dan Johanson (1980: 5 —6) yang menjelaskan esensi dari sebuah metafora adalah pemahaman dan pengalaman yang dijelaskan dengan pengalaman atau pemahaman lain, sehingga pada dasarnya sistem konseptual manusia bisa didefinisi dan distruktur secara metaforis. Pendapat Lakoff dan Johanson selaras dengan penjelasan

Knowles dan Moon (2005: 93) bahwa metafora merupakan alat kreatifitas dalam sebuah fenomena kebahasaan karena menjelaskan suatu hal dengan hal lain, sehingga para penulis karya sastra menjadikannya sebuah alat dalam menciptakan karya. Oleh karena itu, metafora dianggap sebagai ekspresi-ekspresi linguistik yang terdapat dalam sistem konseptual seseorang.

Untuk menjawab rumusan masalah yang pertama pada klasifikasi jenis metafora yang ada dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana akan menggunakan teori Lakoff dan Johanson (1980) yang mengklasifikasikan tiga jenis metafora menjadi tiga jenis metafora, yaitu (1) metafora struktural, (2) metafora ontologikal, dan (3) metafora orientasional, dengan masing-masing penjelasannya sebagai berikut.

1.7.1.1 Metafora Struktural

Metafora struktural merupakan jenis metafora yang domain sumbernya membentuk struktur pengetahuan terhadap konsep target, dengan kata lain fungsi kognitif bentuk-bentuk metafora struktural memungkinkan penutur memahami target A dengan makna-makna yang terstruktur dalam sumber B. Namun, pemahaman mengenai metafora struktural terjadi dengan mengkonseptualisasikan elemen-elemen yang ada pada A dan elemen-elemen pada B. Penggunaan konseptualisasi elemen harus sesuai dengan mapping yang tidak hanya menjelaskan ciri-ciri ekspresi yang diartikan tetapi juga membentuk keseluruhan struktur dasar, sehingga tanpa pemahaman ini akan sulit untuk memahami metafora struktural yang menjelaskan struktur dan pemahaman konsep target, seperti kasus yang dicontohkan Lakoff dan Johanson berikut.

Times are things (waktu adalah benda)

The passing of time is motion (pergantian waktu adalah gerakan) Dari kedua contoh di atas, bahasa Inggris menunjukkan bahwa kebudayaan di

sana menganggap time (waktu) merupakan sesuatu yang memiliki elemen dasar, yaitu obyek fisik, loksasi, dan pergerakannya. Elemen tersebut terstruktur dengan beberapa mapping yang muncul dalam kalimat bahasa Inggris seperti berikut.

The time for action has arrived (waktu untuk beraksi telah tiba) The time will come when... (waktu akan datang ketika...) Time is flying by (waktu terbamg tinggi) Selain menggunakan contoh waktu, Lakoff dan Johanson juga memberikan

contoh konsep metafora struktural dengan theory is building dengan mengekspresikan building (bangunan) adalah bentuk konstruksi bangunan untuk mengacu pada ranah target theory (teori) yang juga harus dibangun.

1.7.1.2 Metafora Ontologikal

Metafora ontologikal atau ontological metaphor kurang lebih membentuk struktur kognisi untuk konsep target daripada yang dilakukan metafora struktural. Metafora yang masuk dalam kategori ontologikal merupakan bentuk kategori umum dari sebuah konsep target yang abstrak dikonseptualisasikan menjadi sebuah bentuk entitas yang konkrit. Metafora ontologikal melihat kejadian , aktifitas, emosi, sebagai entitas dan substansi. Selain itu juga metafora ontologikal untuk mengklasifikasikan pemahaman mengenai kejadian, tindakan, aktifitas, dan keadaan. Kejadian-kejadian dan berbagai tindakan dikonseptualisasikan secara metafora sebagai obyek-obyek, aktifitas sebagai sub-stance , keadaan sebagai container . Selain itu semua, bentuk klasifakasi metafora ontologikal lainnya adalah personifikasi (Lakoff dan Johanson, 2003: 25 —33). Berikut adalah gambaran singkat mengenai metafora ontologikal.

source domain

target domain

physical object nonphysical or abstract entities (e.g., the mind)

event (e.g going to the race) actions (e.g giving someone a call)

substance activities (e.g., a lot of running in the game)

container undelineated physical obyek (e.g., clearing the forest)

surfaces (e.g., land areas, the visual field)

states (e.g., in love) (Kovecses, 2002: 35)

1.7.1.3 Metafora Orientasional

Metafora orientasional menentukan kurang struktur konseptual untuk target konsep daripada metafora ontologikal. Jenis metafora ini berasal dari metafora yang berhubungan dengan orientasi ruang dasar manusia seperti atas-bawah, tengah-samping, dan sebagainya. Beberapa orang juga menganggap jenis metafora konseptual ini sebagai metafora koherensi yang lebih ke arah dengan memainkan fungsi kognisi. Menurut Lakoff dan Johanson (2003: 15) menyebutkan bahwa orientasi ruang ini muncul dari kenyataan bahwa manusia memiliki tubuh dan tubuh berfungsi sebagai lingukungan fisik. Mereka juga menambahkan bahwa penerapan metafora orientasional bukan berdasarkan sebuah kesepakatan melainkan berdasarkan pada pengalaman fisik dan lebih cenderung Metafora orientasional menentukan kurang struktur konseptual untuk target konsep daripada metafora ontologikal. Jenis metafora ini berasal dari metafora yang berhubungan dengan orientasi ruang dasar manusia seperti atas-bawah, tengah-samping, dan sebagainya. Beberapa orang juga menganggap jenis metafora konseptual ini sebagai metafora koherensi yang lebih ke arah dengan memainkan fungsi kognisi. Menurut Lakoff dan Johanson (2003: 15) menyebutkan bahwa orientasi ruang ini muncul dari kenyataan bahwa manusia memiliki tubuh dan tubuh berfungsi sebagai lingukungan fisik. Mereka juga menambahkan bahwa penerapan metafora orientasional bukan berdasarkan sebuah kesepakatan melainkan berdasarkan pada pengalaman fisik dan lebih cenderung

more is up; less is down : Speak up, please. Keep your voice down, please. healthy is up; sick is down

: Lazarus rose from the dead. He fell ill. conscious is up; unconscious is down: Wake up. He sank into a coma. control is up; lack of control is down : I‟m on top of the situation. He is under my control. happy is up; sad is down

: I‟m feeling up today. He‟s really low these days. virtue is up; lack of virtue is down : She‟s an upstanding citizen. That was a

low-down thing to do.

rational is up; nonrational is down : The discussion fell to an emotional level.

H e couldn‟t rise above his emotions.

Contoh di atas merupakan bentuk metafora orientasi yang dicontohkan Kovecses (2002: 36) bahwa posisi up atau atas cenderung bermakna positif daripada orientasi down yang mengacu pada sesuatu yang negatif. Namun, apa yang dicontohkan oleh Kovecses tersebut merupakan pengalaman fisik yang terjadi pada kebudayaan di Inggris, sedangkan pada penelitian ini nantinya akan melihat apakah ruang orientasi orang Jawa berbeda dengan orang Inggris atau sama dari yang terlihat pada data metafora orientasional di wayang kulit lakon Kilatbuwana.

1.7. 2 Elemen Pembentuk Ranah Sumber dan Ranah Target Metafora Wayang Kulit Lakon Kilatbuwana

Untuk menjawab rumusan masalah kedua mengenai bagaimana elemen pembentuk metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana menggunakan teori source domain dan target domain . Dalam melihat kasus pada temuan data metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana menggunakan teori dari Kovecses (2005: 15 —

25) yang menjelaskan bagaimana source domain dan target domain terbentuk. Ada beberapa penjelasan menurut Kovecses bahwa secara umum source domain terdiri dari beberapa unsur seperti tubuh manusia, kesehatan dan penyakit, binatang, tumbuhan, bangunan dan konstruksi, mesin dan alat, permainan dan olahraga, uang dan transaksi ekonomi, memasak dan makanan, panas dan dingin, cahaya dan kegelapan, kekuatan, serta gerakan dan arah. Sedangkan dalam pembentuk target domain ada beberapa bentuk secara umum yang meliputi emosi, nafsu, moral, pikiran, negara dan masyarakat, politik dan ekonomi, hubungan manusia, komunikasi, waktu, hidup dan kematian, agama, serta kejadian dan tindakan. Selain itu juga Wahab (1991: 85 —86) menjelaskan bahwa untuk melihat metafora bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu metafora universal yang bisa dipahami oleh semua makhluk dan metafora kultural yang terikat oleh kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, kedua pemahaman tersebut digunakan untuk menjelaskan rumusan masalah nomor dua.

1.7.3 Etnolinguistik

Agar bisa melihat konsep kehidupan masyarakat Jawa dalam pewayangan melalui metaforanya, penelitian ini juga menggunakan teori linguistik antropologis atau yang juga dikenal sebagai etnolinguistik. Teori ini juga dijelaskan dalam linguistic relativity yang dicontohkan oleh linguis sekaligus filosofer Jerman pada abad ke-

18, Wilhem von Humboldt, bahwa struktur bahasa mencerminkan dunia dan ada hubungan antara bahasa, pikiran, pandangan hidup, dan budaya (Trask, 1999: 112).

Awal dari teori etnolinguistik ini dipicu sejak seorang antropolog Amerika, Franz Boas, melakukan penelitian pada masyarakat Indian Amerika. Boas mengungkapkan bahwa untuk memahami adat istiadat dan kepercayaan suatu masyarakat daerah, seorang peneliti harus mengerti bahasa yang mereka gunakan karena bahasa merupakan bagian terpenting untuk mengetahui mental kehidupan masyarakat. Dia memandang peran bahasa dalam kehidupan bisa dijadikan petunjuk untuk melihat sistem kebudayaan yang ada. Kemudian setelah peninggalan Boas, gagasan tersebut dilanjutkan oleh muridnya Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang mengungkapkan bahwa bahasa mengandung esensi penting dalam suatu ekspresi kebudayaan yang dikenal dengan semua orang dan mereka juga mempercayai bahwa struktur dari bahasa mengandung teori dari struktur alam semesta (Duranti, 1997: 56 —58).

Pandangan bahwa bahasa merefleksikan kebudayaan tidak hanya dipahami oleh Boas, Sapir, maupun Whorf, melainkan juga Wilhem van Humbolt yang beranggapan bahwa setiap bahasa mengandung karakteristik pandangan hidup dari seseorang. Bahasa merupakan mediasi antara manusia dan alam yang mempengaruhinya. Selain itu, Humbolt juga beranggapan bahwa setiap bahasa menggambarkan lingkaran kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya (Wierzbicka, 1992: 3).

Dari beberapa pandangan terhadap bahasa dan kebudayaan, kemudian teori ini dikembangkan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang menggagas bahasa mencerminkan kebudayaan dalam sebuah hipotesis yang sering dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf (Sampson, 1980: 80 —102). Hipotesis tersebut menunjukkan bahwa bahasa membentuk persepsi manusia terhadap realitas dunia, sehingga penutur bahasa memandang realitas dunia dapat terlihat dari bahasanya (Ahaern, 2012: 40). Hipotesis Sapir-Whorf juga didukung oleh Ward Goodenough (1957|1964: 36) yang menyatakan bahwa kebudayaan bukan hanya bentuk fenomena material saja melainkan juga pengaturan berbagai hal pada bentuk-bentuk yang ada dalam pikiran manusia yang direfleksikan dalam bahasa (Duranti, 1997: 27).

Selain itu, Wierzbicka (1992: 7) mengungkapkan bahwa bahasa mencerminkan konseptualisasi manusia dan penafsiran manusia terhadap dunia. Pernyataan tersebut merupakan pengembangan dari hipotesis Sapir-Whorf bahwa pandangan hidup manusia bisa terlihat dari bahasanya, sehingga bahasa mampu mencerminkan konseptualisasi manusia dalam menghadapi kehidupan. Ditambah Selain itu, Wierzbicka (1992: 7) mengungkapkan bahwa bahasa mencerminkan konseptualisasi manusia dan penafsiran manusia terhadap dunia. Pernyataan tersebut merupakan pengembangan dari hipotesis Sapir-Whorf bahwa pandangan hidup manusia bisa terlihat dari bahasanya, sehingga bahasa mampu mencerminkan konseptualisasi manusia dalam menghadapi kehidupan. Ditambah

1.8 Metode Penelitian

Berdasarkan tahap dan pelaksanaannya, metode penelitian ini terdiri dari cara penyediaan data, cara analisis, dan cara pemaparan hasil data (Sudaryanto, 1992: 57). Hal tersebut merupakan metode paling mendasar dalam sebuah penelitian linguistik.

1.8.1 Metode Pengumpulan Data

Cara penyediaan atau pengumpulan data penelitian ini dengan mencari transkripsi teks pedalangan lakon Kilatbuwana yang kemudian dikoreksi dengan dalang secara garis besarnya kemudian dituliskan sebagai sebuah data. Data yang dikumpulkan oleh peneliti pada dasarnya menggunakan hasil riset dari tim Akademi Seni Karawitan Indonesia (AKSI) Surakarta yang mentranskripsikan beberapa teks pedalangan khususnya lakon-lakon carangan dari beberapa dalang yang ada.

Dari beberapa teks pedalangan yang sudah ditranskripsikan oleh AKSI, penelitian ini mengambil salah satu lakon sebagai bentuk studi kasus penelitian metafora, yaitu lakon Kilatbuwana. Teks lakon carangan Kilatbuwana tersebut kemudian diidentifikasi bentuk metafora apa saja yang sekiranya muncul dan bisa menjadi sebuah data.

1.8.2 Metode Analisis Data

Setelah data dikumpulkan secara cukup untuk mendapatkan gambaran umum tentang konsep perilaku orang Jawa dalam metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana, kemudian data tersebut dianalisis sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini, yaitu dengan klasifikasi temuan data sesuai dengan teori yang digunakan, menganalisis ranah kehidupan masyarakat Jawa, dan menganalisis lebih mendalam aspek kebudayaan dalam temuan metafora tersebut.

Namun, untuk mengaitkan penelitian bahasa dan budaya, penelitian ini menggunakan arah metodologi dari Mathiot (1964) yang menyebutkan bahwa ada dua kemungkinan arah metodologi yang dapat ditempug oleh peneliti, pertama yaitu berangkat dari bahasa ke budaya dengan memeriksa kandungan budaya yang ada dalam kelas-kelas linguistik; dan kedua adalah peneliti berangkat dari budaya ke bahasa dengan memeriksa kandungan linguistik yang ada dalam kelas-kelas budaya (Suhandano, 2004: 21 —22).

Metode tersebut cocok untuk penelitian model etnolinguistik karena aspek bahasa maupun aspek budaya akan diperhatikan dengan seksama. Dengan menggunakan metode tersebut akan meminimalisis kemungkinan untuk melakukan kesalahan proses pengerjaan. Hal demikian dilakukan karena penelitian ini bersifat kajian pustaka dan lapangan, sehingga peneliti harus bisa lebih terstruktur dalam proses pencarian data supaya tidak terjadi kesalahan dan pengulangan pengambilan data.

1.8.3 Metode Penyajian Data

Setelah data dianalisis, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil analisis data. Hasil analisis data pada penelitian ini disajikan dengan menjabarkan keseluruhan penjelasan dari rumusan masalah yang ada, yaitu dengan menyajikan jenis-jenis metafora yang muncul pada wayang kulit lakon Kilatbuwana, menyajikan analisis ranah sumber dan ranah target pembentuk metafora, dan menyajikan penjabaran mengenai kehidupan masyarakat Jawa yang tercermin dalam wayang kulit.

1.9 Sistematika Penyajian

Hasil penyajian data di dalam penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, yaitu: BAB I merupakan pendahuluan. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. BAB II berisi tentang klasifikasi jenis metafora dalam pewayangan. BAB III berisis tentang elemen ranah sumber dan ranah target sebagai pembentuk metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana. BAB IV berisi tentang penjelasan metafora sebagai bentuk konsep kebudayaan Jawa. BAB V merupakan kesimpulan dari BAB I sampai BAB IV, saran dari penulis, dan juga dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran.

BAB II JENIS METAFORA

2.1 Pengantar

Metafora merupakan sebuah bentuk linguistik yang didesign untuk menggambarkan atau membentuk suatu yang dirasa menyerupai berdasarkan hasil berfikir manusia (Trask, 1999: 123). Kekuatan metafora juga digunakan untuk memahami lebih jauh lagi makna dari sebuah pengalaman yang dialami sehingga dapat mendefinisikan realita kehidupan manusia (Feinstein, 1982: 45). Secara umum metafora merupakan hasil percapakan antara manusia yang mengkonseptualisasikan suatu tuturan atau ekspresi lain dalam sebuah bentuk kata lain, seperti sebuah usaha untuk mengkonstruksi keseluruhan kalimat dari sebuah kata-kata yang digunakan sebagai bentuk metafora dan mencerminkan pikiran, tindakan, perasaan, dan tujuan penutur (Black, 1955: 275 —277).

Menurut Aristoteles menyebutkan bahwa metafora adalah “giving the thing a name that belongs to something else ‖ atau sebuah pemberian bentuk dari suatu hal

yang juga dimiliki hal lain sehingga metafora disebut sebagai sebuah sign of genius , tetapi harus melalui proses pemahaman terhadap dunia melalui istilah- istilah kategorisasi yang dipelajari diwariskan oleh manusia (Hartman, 1982: 328). Oleh karena itu, berbagai pengalaman dan pengetahuan manusia dari hasil berfikirnya tertuangkan dalam sebuah bentuk metafora sebagai suatu bentuk ekspresi manusia dalam berbicara.

Dalam bagian ini metafora merupakan sebuah hasil berfikir manusia dari berbagai pengalaman dan pengetahuan manusia terhadap dunia sehingga muncul banyak sekali konsep metafora. Konsep metafora sendiri bisa diklasifikasikan berdasarkan fungsi kognisi manusia bahwa mereka muncul atau diungkapkan berdasarkan tiga jenis konseptual metafora secara umum yang dibedakan ke dalam metafora struktural, metafora ontologikal, dan metafora oriental (Kovecses, 2002: 33).

2.2 Metafora Struktural

Metafora struktural merupakan jenis metafora yang domain sumbernya membentuk struktur pengetahuan terhadap konsep target, dengan kata lain fungsi kognisis bentuk-bentuk metafora struktural memungkinkan penutur memahami target A dengan makna-makna yang terstruktur dalam sumber B. Namun, pemahaman mengenai metafora struktural terjadi dengan mengkonseptualisasikan elemen-elemen yang ada pada A dan elemen-elemen pada B. Berikut adalah temuan data bentuk metafora struktural pada lakon Kilatbuwana.

(II.1) KILATBUWANA: [...] Ingkeng ndak wenangke darbe pitakon luwih dhisik anakku Prabu Duryudana. Ngelmu ingkang bapa tawunen lan usungana pupung aku isih urip, Ngger.

KILATBUWANA: [...] Yang ku persilahkan untuk bertanya lebih dahulu anakku Prabu Duryudana. Ilmu Bapa kuraslah dan angkatlah selagi aku masih hidup, Ngger.

(Feinstein, dkk, 1986: 10) Penjelasan: Dari perkataan Kilatbuwana tersebut, dia menggunakan kata tawunen dan

usungana yang merupakan bentuk kata kerja. Penggunaan kata tawunen atau kuraslah biasanya digunakan untuk obyek yang berkaitan dengan air seperti menguras kolam, bak mandi, maupun penampungan air lainnya. Sedangkan kata

usungana atau angkatlah biasanya digunakan untuk obyek benda yang bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain.

Kedua kata yang digunakan tersebut merupakan bentuk metafora struktural yang menjelaskan sebuah kata dengan kata lain, yaitu dalam konteks tersebut Kilatbuwana memiliki sebuah ilmu yang diibaratkan bahwa dia merupakan sebuah wadah ilmu seperti wadah air yang kemudian dijelaskan dengan penggunaan metafora tawunen atau kuraslah. Sedangkan kata usungana atau angkatlah juga merupakan metafora struktural yang melanjutkan metafora sebelumnya, sehingga pada konteks tersebut Duryudana diibaratkan sebagai seorang yang harus menguras air dan mengangkatnya untuk kebutuhannya, layaknya seperti seorang yang mencari air kemudian menyimpannya untuk suatu kebutuhan.

Contoh (II.1) tersebut menunjukkan bahwa ekspresi metafora tawunen dan usungana membentuk sebuah konseptual metafora ILMU ADALAH AIR sehingga bisa ditawu dan diusung oleh seseorang.

(II.2) DURYUDANA: inggih, menawi dipun keparengaken ingkang putra nyuwun kalidamar pepadhang kula kepingin mangertos mengah margining kamulyan, kajen-kineringan salebetipun gesang wonten Madyapada menika saratipun menapa?

DURYUDANA: ya, jika diperbolehkan putramu ini minta pencerahan yang saya ingin mengerti tentang jalan kemakmuran, supaya dihormati selama hidup di dunia selalu itu syaratnya apa?

(Feinstein, dkk, 1986: 10)

Penjelasan: Pada contoh (II.2) ekspresi metafora yang muncul dalam kalimat tersebut adalah

margining atau jalannya yang diasosiasikan dengan kamulyan atau kemakmuran. Dalam konteks tersebut kemakmuran diasosiasikan dengan suatu tujuan atau alamat yang bisa dituju dengan menggunakan kata jalan, sehingga kalimat tersebut menjadi metaforis karena kemakmuran dijelaskan seperti sebuah alamat yang bisa dituju dan diberikan arah.

(II.3) KILATBUWANA: [...] Mula piwulang wirya, harta, tri winasis mau kudu tinutup lan kinunci klayan kelakuwan becik, muna -muni, sola h-tingkah lan solah-bawa saben dina.

KILATBUWANA: [...] Sehingga ketiga ajaran wirya, harta, tri winasis tersebut harus ditutup dan dikunci dengan kelakuan baik, perkataan, perilaku, dan kesopanan berkata setiap hari.

(Feinstein, dkk, 1986: 10) Penjelasan: Dalam contoh kalimat (II.3) Kilatbuwana memberikan ajaran berperilaku baik

dengan menggunakan ungkapan metaforis yaitu pada kata tinutup dan kinunci atau ditutup dan dikunci. Penggunaan metafora tersebut dikarenakan untuk mengasosiasikan bahwa ajaran wirya, harta, dan tri winasis merupakan sebuah bentuk yang bisa lepas dari ruangan yang ada pintunya sehingga harus ditutup dan dikunci dengan kelakuan baik, perkataan, perilaku, dan kesopanan.

Pada contoh (II.3) ekspresi metafora muncul pada kata tinutup dan kinunci yang membentuk metafora konseptual WIRYA, HARTA, WINASIS ADALAH RUANGAN sehingga bisa ditutup dan dikunci supaya tidak lepas dari pemiliknya.

(II.4) PUNTADEWA: Nuwun inggih, menawi keng putra ing Ngamarta dipun keparengaken nyuwun katrangan menggah kula nate mireng bilih wonten sandhanganing raga lan sandhanganing jiwa menika kadospundi?

PUNTADEWA: iya, jika putra Amarta diperbolehkan minta keterangan seperti saya pernah dengar jika pakaiannya raga dan pakaiannya jiwa itu seperti apa?

(Feinstein, dkk, 1986: 11)

Penjelasan: Kata sandhangan atau pakaian dalam kalimat yang diungkapkan oleh Puntadewa

merupakan bentuk metafora karena diasosiasikan dengan jiwa yang secara alami tidak memiliki wujud. Jiwa merupakan hal yang berbeda dengan tubuh yang memiliki bentuk sehingga Plato dalam tulisannya menyebutkan dualisme dalam manusia, yaitu body dan soul (Synnott, 1993: 7 —10). Dia menjelaskan bahwa dalam manusia, tubuh merupakan penjara bagi jiwa. Namun, bagi orang Jawa terlihat dari esensi kalimat Puntadewa bahwa jiwa sama halnya dengan raga karena bisa diberikan sandhangan atau pakaian. Oleh karena itu, dalam konteks tersebut jiwa diasosiasikan dengan tubuh yang terlihat oleh mata dan bisa diberi pakaian untuk menutupinya dan menjadikannya lebih enak dipandang. Ekspresi metafora sandhangan pada contoh (II.4) membentuk metafora konseptual JIWA ADALAH TUBUH sehingga harus ditutupi dengan pakaian supaya lebih baik dan sopan.

(II.5) PUNTADEWA: Nun, sokur sakethi mangayubagya jumurung. Mboten ketang namung sakglugut tambah seserepan kula.

PUNTADEWA: ya, syukur seribu kebahagiaan sudah memahamkan. Meskipun cuma sakglugut menambah pengetahuan saya.

(Feinstein, dkk, 1986: 11) Penjelasan: Esensi dari kalimat tersebut bahwa Puntadewa mungacapkan banyak terimakasih