penganggaran itu sendiri berhubungan dengan kapabilitas individu yang terlibat didalamnya.
Kapasitas individu pada hakekatnya terbentuk dari proses pendidikan secara umum, baik melalui pendidikan formal, nonformal dan informal. Individu yang
berkualitas adalah individu yang memiliki pengetahuan. Terkait dalam proses penganggaran, maka individu yang memiliki cukup pengetahuan akan mampu
mengalokasikan sumber daya secara optimal, dengan demikian dapat memperkecil budgetary slack Yuhertina, 2004. Akan tetapi pada kenyataannya meningkatnya
kapasitas individu ternyata justru memunculkan anggapan bahwa budgetary slack adalah suatu konsekuensi yang muncul dalam penyusunan anggaran. Belkaoui 1989
berpendapat bahwa dengan budgetary slack manajer lebih kreatif dan lebih bebas melakukan aktivitas operasionalnya, sehingga mampu mengantisipasi ketidakpastian
yang mungkin terjadi.
2.1.2. Partisipasi Penganggaran
Menurut Anthony dan Young 2000 anggaran adalah perencanaan yang secara kuantitatif dalam unit moneter untuk periode satu tahun. Anggaran semata-
mata merupakan perpaduan antara rencana dan ramalan yang dinyatakan dalam istilah keuangan. Perlu ditekankan bahwa anggaran harus merupakan perangkat
manajemen, tidak sekedar perhitungan akuntansi belaka. Dengan kata lain kehadiran anggaran tersebut harus dapat dimanfaatkan. Proses penyusunan anggaran pada
dasarnya merupakan suatu proses negoisasi antara manajer pusat
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban dan atasannya. Hasil akhir proses negoisasi adalah persetujuan tentang perkiraan biaya yang akan terjadi selama satu tahun untuk pusat biaya, atau
anggaran laba atau ROI yang diisyaratkan untuk pusat laba atau pusat investasi. Dengan demikian anggaran mempunyai dua peran penting di dalam sebuah
organisasi. Disatu sisi anggaran berperan sebagai alat untuk perencanaan planning dan disatu sisi anggaran berperan sebagai alat pengendalian control jangka pendek
bagi suatu organisasi Halim dkk, 2000. Siegel dan Marconi 1989 menjelaskan bahwa anggaran merupakan rencana tindakan manajerial yang diekspresikan dalam
bentuk finansial. Anggaran bukan hanya merupakan rencana keuangan mengenai biaya dan pendapatan yang ingin dicapai oleh suatu pusat pertanggungjawaban dalam
suatu perusahaan, tetapi anggaran juga merupakan alat pengendalian, koordinasi, pemotivasi, dan pengevaluasi prestasi. Chow 1988 berpendapat bahwa anggaran
selain dapat digunakan untuk memotivasi kinerja manajer tingkat bawah juga digunakan untuk memudahkan perencanaan.
Partisipasi pengganggaran adalah proses yang menggambarkan individu- individu terlibat dalam penyusunan anggaran dan mempunyai pengaruh terhadap
target anggaran dan perlunya penghargaan atas pencapaian target anggaran tersebut Brownell, 1982 dalam Fitri, 2004. Selanjutnya Anthony dan Govindrajan 2001
menyatakan bahwa mekanisme anggaran akan mempengaruhi perilaku bawahan yaitu mereka akan merespon positif atau negatif tergantung pada penggunaan anggaran.
Bawahan dan atasan akan berperilaku positif apabila tujuan pribadi bawahan dan atasan sesuai dengan tujuan organisasi. Selanjutnya bawahan akan berperilaku negatif
Universitas Sumatera Utara
apabila anggaran tidak diadministrasikan dengan baik, sehingga bawahan dapat menyimpang dari tujuan organisasi. Perilaku dysfunctional ini merupakan perilaku
bawahan yang mempunyai konflik dengan tujuan organisasi Hansen dan Mowen, 1997.
Riharjo 2001 melakukan penelitian pada organisasi sektor publik menemukan bahwa interaksi antara penganggaran partisipatif dan struktur
desentralisasi organisasi secara signifikan mempengaruhi kinerja manajerial. Demikian juga dengan Winarti 2003 yang melakukan penelitian di sektor publik
menyimpulkan bahwa partisipasi memberikan pengaruh signifikan terhadap prestasi kerja dan kepuasan kerja. Namun anggaran partisipatif dapat pula menimbulkan
permasalahan, antara lain 1 atasan atau bawahan akan menetapkan standar anggaran yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah, 2 bawahan akan membuat budgetary
slack dengan cara mengalokasikan sumber dari yang dibutuhkan, dan 3 terdapat partisipasi semu Hansen dan Mowen, 1997.
2.1.3. Komitmen Organisasi