71
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.
Dimana bukan hanya butir yang disebutkan diatas, tapi lebih diperluas lagi, dalam rangka memenuhi amanat GBHN:
1. Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari
penerimaan pajak
2. Menunjang pemerataan pembangunan dan mendorong investasi 3. Menunjang usaha peningkatan ekspor
4. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil 5. Menunjang usaha pengembangan sdm, tehnologi dan ilmu
pengetahuan 6. Menunjang usaha pelestarian ekosistem
7. Menunjang usaha meningkatkan keadilan dalam partisipasi
masyarakat dalam pembiayaan pembangunan 8. Menunjang usaha terciptanya aparat pajak yang makin
mampu dan bersih, peningkatan pelayanan, penyederhanaan prosedur, peningkatan pengawasan, serta penegakan hukum yang
berlaku
II. Kebijakan Tax Amnesty Semakin Membuat Rapuhnya Sistem
Pajak Indonesia
Tidak adanya pedoman yang bisa dijadikan dasar, menjadikan pembuat kebijakan Tax Amnesty lebih memfokuskan diri pada target penerimaan.
Kebijakan ini tentunya membuat semakin rapuhnya sistem pajak Indonesia:
1. Mengabaikan prinsip perpajakan Indonesia.
a. Kebijakan yang menakutkan bagi masyarakat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
menjadikan masyarakat menjadi resah sebagai dampak dari salah sasaran. Masih minimnya pengetahuan pajak masyarakat serta
lemahnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah akan Undang-undang pengampunan pajak, menjadikan kebijakan ini menjadi momok yang
menakutkan bagi masyarakat.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
72
Target pemasukan Tax Amnesty menjadikan aparatur di lapangan menyasar kepada masyarakat untuk ikut Tax Amnesty. Padahal
selama ini masyarakat telah dipotong pajak atas penghasilan yang diperoleh selama ini. Hanya karena harta yang tidak dicantumkan SPT
Tahunan menjadikan mereka sasaran untuk diikutkan TA. Hal ini tentunya menjadikan mereka dikenakan pajak dua kali double
taxation.
Hal berbeda bila dibandingkan dengan para pengemplang pajak yang bertahun-tahun memang tidak pernah membayar pajak. Uang tebusan
Tax Amnesty sebagai cara untuk mengenakan pajak yang selama ini tidak pernah dikenakan.
Tentu saja hal ini selain tidak memenuhi unsur keadilan juga tidak ada kepastian hukum. Karena kebijakan tax amnesty melukai wajib pajak
dalam negeri dan wajib pajak patuh juga adanya kemungkinan untuk dikenakan pajak kembali. Hal ini tentunya menimbulkan efek kurang
baik bagi membangun kesadaran pajak masyarakat.
b. Berbagai kepentingan menunggangi kepentingan TA dan membuka peluang berbagai penyimpangan.
Kebijakan Tax Amnesty yang lebih memfokuskan diri pada target penerimaan menjadikan berbagai kepentingan masuk mendompleng
kepentingan pajak itu sendiri. Dari kepentingan para fihak terkait dalam merancang kebijakan TA, bila target penerimaan tersebut tercapai
yang dianggap sebagai pencapaian prestasi kerja. Para oknum aparatur pajak yang merangkap sebagai konsultan pajak fiktif. Para
konsultan dan praktisi pajak akan mengambil peluang dalam membuka training dan pengurusan TA. Para fihak dalam memanfaatkan terkait
dengan pencucian uang. Sampai para oknum yang selama ini menaruh uangnya di LN, memungkinkan mengatur kebijakan ini agar
dapat di syahkan DPR sehingga uang mereka dapat diputihkan secara hukum. Tentu saja kebijakan ini semakin membuat maraknya korupsi
dan penyimpangan di lingkungan pajak.
c. Rendahnya kinerja pemerintah dan aparatur pajak Selain itu kebijakan ini juga menggambarkan rendahnya kinerja
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
73
pemerintah dan lembaga pajak dalam mengejar para wajib pajak yang nakal. Bertahun-tahun mereka tidak pernah membayar pajak.
Diputihkan dengan hanya membayar uang penebusan dengan tarif yang rendah.
Mereka yang dihapuskannya denda adalah para wajib nakal. Sangat tidak masuk akal, wajib pajak nakal malah mendapat pengampunan.
Kebijakan ini tentunya sangat menyakitkan bagi wajib pajak patuh. Banyak di antara mereka tidak semata-mata menyetor pajak, tapi juga
mengeluarkan biaya karena menggunakan konsultan, mengorbankan waktunya, harus mengantri, mendalami peraturan dst. Seharusnya
fasilitas dan keringanan diberikan kepada wajib patuh, bukan wajib pajak nakal. Dengan memberikan pengampunan kepada wajib pajak
nakal, tentunya menimbulkan excess negatif terhadap kesadaran pajak masyarakat. Dalam jangka panjang akan menimbulkan perlawanan
pasif dari masyarakat.
Selain itu jatuhnya wibawa pemerintah dalam penegakan hukum pajak. Kebijakan ini akan berpengaruh di masyarakat. Mereka menjadi
enggan untuk patuh. Mereka berfikir satu saat pasti ada pengampunan pajak dan itu bisa dimanfaatkan.
2. Tidak