65
diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan”. Jadi fungsi pembinaan
adalah membangun kesadaran wajib pajak agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya.
Selama ini fungsi pembinaan pajak tidak dilakukan secara terencana, bersinambungan dan terintegrasi. Pembinaan masih terbatas pada
kegiatan mengkampanyekan pajak. Seharusnya diperlukan bimbingan dan pendampingan yang terus menerus karena pajak merupakan
masalah yang rumit. Hal ini penting mengingat, masyarakat Indonesia yang majemuk sehingga perlu arah dan strategi tepat. Begitu pula
generasi terus berganti, yang tua suatu saat akan digantikan generasi berikutnya. Yang tadinya anak-anak satu saat menjadi wajib pajak
berpotensi untuk menjadi pembayar pajak.
Dari pembinaan yang terencana, berkensinambungan dan terintegrasi akan dapat dipetakan tingkat kepatuhan masyarakat pajak Indonesia.
Hal ini akan memudahkan aparatur dalam mengawasi wajib pajak.
2. Pembentukan Account Representative
Setelah reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak menyediakan Account Representative AR, untuk meningkatkan kepatuhan wajib
pajak. AR berperan sebagai konsultan yang akan memberikan arahan bagi wajib pajak agar mampu menjalankan kewajiban pajaknya.
Namun keberadaan AR kurang mendapat tanggapan secara positif dari masyarakat. Dalam perkembangannya, ternyata peran AR
seringkali tidak jelas di lapangan, batas wewenang dan tanggung jawabnya. Mereka bukan lagi sebagai penyuluh tapi lebih sebagai
petugas pengawas pajak, agar wajib pajak dapat dikenakan pajak. Tentu saja peran AR tersebut menyalahi prinsip self assessment
system. Peran AR yang harusnya dapat membangun kesadaran wajib pajak, tapi pada kenyataannya lebih sebagai petugas pajak yang
mencari-cari kelemahan wajib pajak demi target penerimaan pajak. Hal ini mengakibatkan, sistem pajak Indonesia rentan penyimpangan.
3. Menjauhnya prinsip self assesment system
Sejak tax reform tahun 1984, sistem pajak Indonesia tidak sepenuhnya
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
66
dibangun dengan prinsip self assessment system. Bahkan semakin lama perkembangannya semakin menjauh dari prinsip-prinsip self
assessment system. Seharusnya penyelenggaraan pelaksanaan pemungutan pajak harus memperhatikan prinsip tersebut, termasuk
mental yang terbangun dari pembuat kebijakan, pemeriksa pajak sampai para petugas pajak di lapangan.
Sangat disayangkan, dalam kurun waktu 32 tahun sejak ditetapkan system self assessment cenderung mengalami stagnasi. Sampai
dengan saat ini, wajib pajak belum sepenuhnya melakukan penghitungan, penyetoran maupun pelaporan hutang pajaknya.
Kecenderungan yang terjadi adalah sistem pemungutan pajak saat ini mengarah pada sistem quasi self assessment dan quasi official
assessment. Terminologi Quasi yang diartikan semu dipergunakan untuk menandakan bahwa sistem yang berjalan selama ini tidaklah
murni.
Bahkan kesulitan aparatur dalam membangun kesadaran pajak para pengusaha kecil menengah, pada tahun 2013 pemerintah menetapkan
PP 46 dengan mengenakan sebesar 1 dari omzet dan final. Hal ini sebagai cara praktis dalam menjaring para pengusaha kecil
menengah.
Begitu pula Sistem quasi official assessment juga dapat dilihat pada salah satu contoh dari upaya ekstensifikasi pajak yaitu melakukan
kanvasing atau penyisiran potensi wajib pajak baru. Fenomena kanvasing justru menunjukkan tingkat kepatuhan perpajakan tax
compliance yang rendah karena dalam metode ini lebih menunjukkan upaya fiskus dibandingkan upaya wajib pajak untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya.
4. Dampak dari tolok ukur target penerimaan