318
berbagai aturan seperti tebusan, denda dan sebagainya. Tarif tebusan berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2016 Pasal 4 misalnya telah mencerminkan
adanya transaksi antara
pengelola pajak negarapemerintah sebagai principal dengan pemohon pengampunan pajak sebagai agent. Tarif
tebusan merupakan sistem insentif dan mengadopsi konsep transaksional.
Pasal 21 ayat 2 bahwa Negara pemerintah memberikan guarantee sebagai kerahasiaan data sebagai kompensasitransaksional atas
kesediaan pemohon tax amnesty mengungkapkan data aset dan kekayaannya sehingga tax
amnesty bukan merupakan bentuk hak istimewa
yang warga negara khususnya wajib pajaksubjek pajak
namun hakikatnya merupakan insentif.
Insentif tersebut bukan berarti melegalkan ketidakpatuhan atau pelanggar pajak namun hanya peinberian peluang
one
shot penetapan periode tax amnesty yang sudah pasti Juli 2016-31 Maret 2017 Baja bagi
yang tidak patuh memperbaild kepatuhannya dan memberikan manfaat kontribusi dalam pembangunan negara dalam bentuk investasi yang
penggunaannya juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119PMK.082016. Last but not lease Aturan main ekonomi informal mindset,
code of conduct, behavior itu panting dalam suksesnya penerapan UU Pengampunan Pajak. Salah satunya adalah UU Pengampunan pajak ini tidak
akan berhasil kalau tidak ada kepercayaan trustworthness antar muti stakeholders.
11. Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Hadirnya UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak didasarkan atas tujuan umum: a. Meningkatkan penerimaan pajak dalam
jangka pendek; b. Meningkatkan kepatuhan pajak di masa yang akan datang; c. Meningkatkan basis pemajakan subjek dan objek; d. Transisi ke sistem
perpajakan yang baru yang lebih kuat dan adil; e. Mewujudkan Rekonsiliasi perpajakan nasional.
Ditinjau secara teoretis, lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2016 sebagai legal basis kebijakan Tax Amnesty merupakan derivat dari fungsi pajak yang
bersifat mengatur dengan menggunakan cara khusus yang berkarakter positif dalam bentuk kelonggaran yang berupa tax holiday pembebasan pajak dan
mengadakan afschrifving penghapusan. Fungsi pajak yang bersifat mengatur
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
319
menempatkan pajak sebagai instrumen untuk mengatur dan mengarahkan masyarakat ke arah tujuan dan kondisi tertentu yang dikehendaki pemerintah.
Jika dikaitkan dengan tujuan dari kebijakan Tax Amnesty, fungsi mengatur pajak sebagai landasan teoretis dari lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pengampunan Pajak bisa diletakkan dalam kategori Tax Reform. Yarif Branuer dan Miranda Stewart, 2013: 12 dalam buku “Tax, Law and
Development” mengatakan bahwa: “tax reform may be considered a ‘speciality’ of public finance or economic policy. Tax reform is also law reform that almost
always involves ‘transplanting’ legal notions or models across borders and hence may be theorized as a comparative law project. Finally, tax reform can
be thought of as an element of ‘governance’ reform with its focus on institutions, administration and reconstruction of modes of interaction of
citizens and the state.”
Dasar pembenaran teoretis pemungutan pajak semata-mata untuk kepentingan si pemungut pajak yaitu fiscus sudah lama ditinggalkan. Teori
pembenaran pemungutan pajak untuk semata-mata kepentingan si pemungut antara lain “orgaantheori” dari Von Gierke yang menyatakan bahwa negara itu
merupakan suatu kesatuan yang didalamnya setiap warga negara terikat, tanpa ada organ atau lembaga negara tersebut maka individu tidak mungkin
dapat hidup Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004: 29-30. Dasar pembenar dan dasar keadilan pemungutn pajak terletak pada hubungan
antara rakyat dengan negara. Negara dibentuk karena adanya persekutuan individu sehingga individu harus membaktikan dirinya pada negara melalui
pembayaran pajak. Kini, telah banyak terjadi pergeseran teori yang lebih banyak menggunakan dasar pembenar pemungutan pajak untuk kepentingan
pihak yang dipungut wajib pajak. Apabila kita melihat Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia dan menjadi landasan filosofis semua
kegiatan penyelenggaraan negara, maka pemungutan pajak oleh negara kepada rakyatnya tersebut dapat dibenarkan jika kita mengacu pada sila
kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kelima Pancasila tersebut mengandung makna bahwa kita perlu mengembangkan
perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan. Pajak adalah salah satu bentuk
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
320
perbuatan gotong royong yang tidak perlu disyaratkan, melainkan sudah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang hanya perlu
dikembangkan dan dilestarikan saja. Gotong royong, termasuk di dalamnya membayar pajak merupakan salah satu pengorbanan setiap anggota
masyarakat untuk kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan. Jadi, pemungutan pajak menurut Pancasila dapat dibenarkan, karena pembayaran
pajak akhirnya adalah untuk kita bersama Suparnyo, Hukum Pajak – Suatu Sketa Asas, Pustaka Magister, Semarang, 2012: 15-16. Teori itu disebut teori
“Pembenaran Pajak Menurut Pancasila”. Berdasarkan teori tersebut, tekanan dari fungsi pajak tidak hanya pada fungsi budgeter semata-mata, namun, perlu
dipadukan dengan fungsi mengatur untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan maupun tujuan sosial yang diamanahkan dalam Pembukaan
UUD Negara RI 1945.
Kehadiran UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak pada Pasal 2 ayat 1 didasarkan asas: a. kepastian hukum; b. keadilan; c.
kemanfaatan; dan d. kepentingan nasional. Sehubungan dengan tujuan tersebut, Pengampunan Pajak sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat 2
bertujuan untuk: a. Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap
peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; b. Mendorong reformasi perpajakan menuju
sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan c.
meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Hal itu sejalan dengan konsiderasi pembentukan
UU Nomor 11 Tahun 2016 yaitu meliputi: a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk memakmurkan
seluruh rakyat Indonesia yang merata dan berkeadilan, memerlukan pendanaan besar yang bersumber utama dari penerimaan pajak; b. bahwa
untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak yang terus meningkat, diperlukan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dengan mengoptimalkan
semua potensi dan sumber daya yang ada; c. bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya masih
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
321
perlu ditingkatkan karena terdapat Harta, baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan; d. bahwa untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan
masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak. Hakikat dari keempat tujuan tersebut meliputi
3 tiga aspek penting, yaitu: 1. Tujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanahkan oleh alinea ke-2 dan ke-4 Pembukaan
UUD Negara RI 1945; 2. Memenuhi kebutuhan penerimaan pajak fungsi budgeter yang dijamin oleh Pasal 23A UUD 1945; 3. Meningkatkan kesadaran
dan kepatuhan wajib pajak asas kepastian hukum. Ditinjau dari ketiga hakikat tujuan Pengampunan Pajak yang menjadi esensi dari konsiderans UU Nomor
11 Tahun 2016 tersebut, justru UU Nomor 11 Tahun 2016 ingin memastikan bahwa seluruh norma dalam UUD 1945 terkait mampu mewujudkan
Pembukaan UUD 1945 sepenuhnya. Pasal-pasal dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak jangan dilihat sepotong-potong, namun
harus dikaji secara holistik dan sistematik karena tujuan dari UU Pengampunan Pajak tersebut justru ingin memastikan terwujudnya nilai-niliai
konstitusionalitas melalui intermediary instrument UU Pengampunan Pajak tersebut. UU Pengampunan Pajak menjembatani kondisi masih banyaknya
ketidakpatuhan Wajib Pajak yang memiliki aset yang belum dilaporkan kepada fiscus untuk dikenakan kewajiban perpajakan menuju kondisi yang membawa
kepastian mengenai Wajib Pajak dan Tatbestand sasaran yang dikenai pajak setelah berlangsungnya masa pengampunan pajak. Deklarasi aset-aset pajak
yang dimiliki oleh Wajib Pajak melalui Surat Pernyataan dengan membayar uang tebusan secara filosofis justru merupakan pernyataan untuk mengikatkan
diri para Wajib Pajak terhadap asas kepastian hukum dalam hukum perpajakan.
Ditinjau dari teori hukum administrasi negara, UU Pengampunan Pajak memerlihatkan penerapan green light theory dan red light theory. Hal itu dapat
dilihat dari implementasi dari green light theory melalui pengaturan mengenai konstruksi berbagai ketentuan mengenai pengampunan pajak sebagai “hak”
dari setiap Wajib Pajak vide Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
322
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17. Pasal-pasal itu memang memberikan kelonggaran tax
holiday dan penghapusan afschrifving terhadap Wajib Pajak. Namun, tak berarti hal itu mengubah karakter dari Pasal 23A UUD Negara RI 1945. Hal itu
disebabkan substansi Pasal 18 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang diantaranya akan memberikan sanksi administratif
perpajakan berupa kenaikan sebesar 200 dua ratus persen dari pajak yang tidak atau kurang dibayar jika terdapat temuan adanya data danatau informasi
mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan [vide Pasal 18 ayat 1 dan ayat 2] termasuk akan diterapkan pajak dan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan [vide Pasal 18 ayat 4], memperlihatkan diterapkannya red light
theory dalam hukum administrasi negara yang tetap bermaksud memastikan dilaksanakannya prinsip yang terkandung baik dalam Pasal 23A karakter
pajak yang bersifat memaksa maupun Pasal 27 ayat 1 asas persamaan equality principle dalam UUD 1945. Hukum Pajak merupakan pengkhususan
lex specialis dari hukum administrasi negara, maka prinsip-prinsip dalam hukum administrasi negara juga tetap berlaku dalam pengaturan maupun
pelaksanaan hukum pajak.
Dalam hukum administrasi negara, pengaturan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dapat diletakkan sebagai sarana yuridis
untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintahan bestuursdoeleinden tertentu. De Haan, dkk. 1986: 7 dalam buku “Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat deel
1” mengatakan bahwa: “Meer beleidsmatig geinspireerd is de opvatting dat het bestuursrecht een tweeledige rol vervult. Enerzijds biedt het bestuursrecht de
overheid een juridisch instrumentarium voor het realiseren van overheidsdoeleinden, anderzijds biedt het de burger en andere
overheidsorganen waarborgen tegen een onjuist en rechtvaardig bestuursoptreden. Deze tweeledige rol kwam tot uiting in de oorspronkelijke
ondertitel van dit boek: instrument en waarborg.” Banyak kebijakan diinspirasi pandangan bahwa hukum administrasi negara memainkan 2 dua peranan. Di
satu sisi hukum administrasi negara menyediakan bagi penguasa sarana yuridis untuk merealisasikan tujuan-tujuan pemerintahan, di sisi lain
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
323
menyediakan bagi rakyat dan badan-badan pemerintahan lain jaminan terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang tidak tepat dan tidak adil. Kedua
peranan tersebut bertitiktolak dari sub judul dalam buku ini: sarana dan jaminan.
UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang membatasi masa berlaku kebijakan pengampunan pajak sampai pada tanggal
31 Maret 2017 harus diletakkan sebagai bentuk norma hukum UU yang bersifat sui generis yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pemerintahan
sebagaimana ditentukan pada Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2016. Dengan demikian, karakter norma hukum yang terdapat dalam UU Nomor 11
Tahun 2016 lebih menampakkan sifat diskresionary norm yang diberikan wadah suatu undang-undang agar lebih memberikan kepastian hukum.
Dengan demikian, rangkaian norma-norma yang terdapat dalam UU Pengampunan Pajak di satu sisi memang tidak pernah dimaksudkan untuk
mereduksi kualitas norma Pasal 23A UUD 1945 maupun Pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Di sisi lain, meletakkan suatu discretionary norm dalam bingkai
suatu Undang-Undang dimaksudkan untuk mewujudkan jaminan kepastian hukum sebagai wujud bestuurlijke waarborgen jaminan pemerintahan
terhadap wajib pajak. Lebih lanjut, pengaturan dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak itu telah dilaksanakan melalui serangkaian
peraturan pelaksanaan dalam:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
118PMK.032016 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119 PMK.082016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak Ke Dalam
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Dan Penempatan Pada Instrumen Investasi Di Pasar Keuangan Dalam Rangka Pengampunan Pajak,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
127PMK.0102016 tentang
Pengampunan Pajak Berdasarkan UU Nomor
11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak Bagi Wajib Pajak Yang Memiliki Harta Tidak Langsung Melalui
Special Purpose Vehicle dan yang terbaru melalui Peraturan Dirjen Pajak
Nomor PER-11PJ2016
tentang Pengaturan Lebih Lanjut Mengenai Pelaksanaan UU
Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak. Tak lama kemudian, Pemerintah juga memberikan keringanan bagi wajib
pajak
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
324
dalam konteks BPHTB melalui diterbtikannya PP Nomor
34 Tahun 2016 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah DanAtau Bangunan, Dan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah DanAtau Bangunan Beserta Perubahannya.
Singkatnya, seluruh norma hukum dalam peraturan pelaksanaan dari atau yang berkaitan dengan
UU Nomor
11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tersebut berupaya untuk lebih meningkatkan
jaminan dan perlindungan hukum bagi wajib pajak sehubungan dengan implementasi UU
Pengampunan Pajak. Dengan demikian, ditinjau secara secara vertikal ke atas, norma-norma
hukum yang terkandung dalam UU
Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tak
bertentangan dengan Pembukaan dan pasal-pasal dalam UUD 1945 manakala penafsiran konstitusi digunakan untuk menemukan apa yang disebut Ronakd
Dworkin 2006: 118 sebagai “keutuhan konstitusional” constitutional integrity.
Ditinjau secara vertikal ke bawah, peraturan pelaksanaan dari maupn yang
berkaitan dengan UU Nomor
11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
telah memastikan terwujudnya fungsi jaminan pemerintahan bestuurlijke
waarborgen maupun perlindungan hukum rechtsbescherming dalam pelaksanaan
fungsi pemerintahan sturende functie oleh Pemerintah sebagai fiscus. Ditinjau secara horizontal, UU
Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak telah sesuai dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pemanfaatan dana yang
terkumpul dari pelaksanaan Pengampunan Pajak tersebut untuk membiayai seluruh programkegiatan yang ditujukan guna mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Hal itu artinya UU
Nomor 11 Tahun 2016 memiliki koherensi tujuan dan
prinsip-prinsip dengan berbagai Undang-Undang lain yang bertujuan memberikan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat
seluas-luasnya di bidang perpajakan, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, infrastruktur publik dan lain-lain. Pada akhirnya, sebagai
penutup inspirasi dari Oliver Wendell Holmes sangat menarik untuk direnungkan, yaitu bahwa “Taxes are the price we pay for civilization” pajak
adalah harga yang kita bayar untuk suatu peradaban.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
325
12. Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Pendahuluan