68
Namun pada kenyataannya selama ini, kebijakan pajak lebih mengarah pada target penerimaan setinggi-tingginya maksimalisasi.
Hal ini tentunya dapat memberatkan masyarakat, yang pada akhirnya merusak fungsi pembinaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat
akan pajak.
B. P embangunan
sistem pajak yang tidak mengarah pada cita-cita pajak bangsa.
1. Arah
kebijakan yang bertumpu pada target penerimaan
Dari tahun
ke tahun pembuat kebijakan lebih berfokus pada pencapaian target penerimaan. Ada kecendrungan pembuat
kebijakan lebih fokus pada bagaimana menaikan target penerimaan. Perangkat hukum tinggal disiapkan agar kebijakan
tersebut menjadi legal.
Tentu saja tolok ukur target penerimaan, pada akhirnya menjadikan
masyarakat menjadi
fihak yang paling dirugikan. Karena masyarakat sebagai fihak yang memiliki kewajiban membayar pajak. Masyarakat
menjadi fihak yang harus menanggung beban atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Bahkan disaat target penerimaan pajak tercapai dan dianggap sebagai
suatu keberhasilan maka tahun berikutnya, target penerimaan akan ditetapkan lebih tinggi. Begitu pula sebaliknya akan lebih memberatkan
masyarakat, jika target penerimaan pajak tidak tercapai dan dianggap sebagai kegagalan. Karena pemerintah akan melakukan berbagai
upaya, yang intinya akan menaikan target penerimaan pajak. Pada akhirnya masyarakat hanya dipandang sebagai objek pengenaan
pajak. Potensi pajak masyarakat yang sesungguhnya tidak pernah tergali, bahkan cenderung menjadi semakin menjauh.
2. Sistem pajak
Indonesia tidak memiliki Grand Design
Dari hasil penelusuran serta wawancara mendalam, terbukti sejak tax
reform tahun 1983 sampai
saat ini, sistem pajak Indonesia tidak pernah memiliki Grand Design sebagai cetak biru blue print dalam
penyelenggaraan dan pemungutan pajak. Sistem pajak Indonesia, tidak memiliki arah yang jelas dan strategi dalam pencapaian cita-cita
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
69
pajak bangsa. Hal ini menjadikan tidak ada pedoman yang dapat dijadikan dasar
dalam merancang kebijakan pajak. Pada akhirnya secara pragmatis, terminologi tax ratio dan maximum budget menjadi dasar dalam proses
pembuatan kebijakan.
Begitu pula seringkali menjadikan pembenahan pajak Indonesia kurang tepat. Bahkan tidak jarang menimbulkan masalah baru, yang
seringkali menambah rumitnya permasalahan yang terjadi. Permasalahan pajak Indonesia juga menjadi semakin sulit untuk
dipetakan saat lembaga pajak terkait stakeholders tidak memiliki data yang secara akurat dapat dijadikan acuan dalam pembuatan kebijakan
pajak.
3. Cita-cita pajak bangsa dan Grand Design
Bila mengacu pada keterangan di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum Tatacara Perpajakan maka tertuang
harapan serta cita-cita bangsa Indonesia di bidang pajak. Cita-cita tersebut seharusnya menjadi tujuan bagi pemerintah dalam
membangun sistem pajak Indonesia. Cita-cita tersebut harus dituangkan dalam suatu Grand Design.
Suatu Grand Design pajak akan memuat rancangan besar sistem pajak
Indonesia yang akan membawa sistem pembangunan pajak Indonesia menuju cita-cita pajak bangsa. Grand design nantinya akan menjadi
induk
utama sebagai
dasar dalam
membangun dan
menyelenggarakan sistem pajak Indonesia. Dengan
adanya Grand Design memudahkan dalam merancang pedoman serta perbaikan tata kelola sistem perpajakan Indonesia.
Sehingga sistem perpajakan Indonesia memiliki peta jalan Road Map, yang berisi rencana operasional tahapan serta langkah-langkah
strategi yang berkelanjutan, dalam pencapaian sasaran pembangunan cita-cita pajak Indonesia.
Selain itu juga, melalui Grand Design dapat dirancang cetak biru Blue
Print dari sistem pajak Indonesia. Blue Print menurut definisi Wikipedia diartikan sebagai kerangka kerja terperinci sebagai landasan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
70
dalam pembuatan kebijakan, yang meliputi penetapan tujuan dan sasaran, penyusunan strategi, pelaksanaan program dan fokus
kegiatan serta langkah-langkah implementasi yang harus dilakukan dari setiap lembaga sampai unit kerja terkecil dari lembaga-lembaga
pajak terkait.
Cita -cita dan harapan pajak Indonesia dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tatacara Perpajakan tersebut adalah:
1. Wajib pajak merupakan subyek yang harus dibina dan diarahkan
agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan.
2. Tuntutan masyarakat terhadap adanya “aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih”.
3. Dengan adanya self assessment system diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis akan
dihilangkan.
4. Ketentuan peraturan pajak yang baru akan lebih memperhatikan jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban wajib
pajak, dengan demikian dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggug jawab perpajakan dimasyarakat.
5. Administrasi perpajakan akan berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-
tugas pembinaan, penelitian, pengawasan dan penerapan sanksi administrasi.
6. Pada akhirnya sistem yang terbangun diharapkan dapat
menunjang sepenuhnya laju pembangunan dan mempercepat terwujudnya perataan pendapatan masyarakat, peningkatan serta
perluasan tingkat kesadaran kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan obyek kena pajak dan pengingkatan penerimaan
Negara sejalan dengan perkembangan nasional sehingga mempercepat terwujudnuya cita-cita P
roklamasi. Tujuan dan cita-cita bangsa tersebut dipertegas kembali pada revisi
Undang-Undang Pajak Tahun 1994 dan 2000, yang dituangkan dalam
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
71
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.
Dimana bukan hanya butir yang disebutkan diatas, tapi lebih diperluas lagi, dalam rangka memenuhi amanat GBHN:
1. Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari
penerimaan pajak
2. Menunjang pemerataan pembangunan dan mendorong investasi 3. Menunjang usaha peningkatan ekspor
4. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil 5. Menunjang usaha pengembangan sdm, tehnologi dan ilmu
pengetahuan 6. Menunjang usaha pelestarian ekosistem
7. Menunjang usaha meningkatkan keadilan dalam partisipasi
masyarakat dalam pembiayaan pembangunan 8. Menunjang usaha terciptanya aparat pajak yang makin
mampu dan bersih, peningkatan pelayanan, penyederhanaan prosedur, peningkatan pengawasan, serta penegakan hukum yang
berlaku
II. Kebijakan Tax Amnesty Semakin Membuat Rapuhnya Sistem
Pajak Indonesia
Tidak adanya pedoman yang bisa dijadikan dasar, menjadikan pembuat kebijakan Tax Amnesty lebih memfokuskan diri pada target penerimaan.
Kebijakan ini tentunya membuat semakin rapuhnya sistem pajak Indonesia:
1. Mengabaikan prinsip perpajakan Indonesia.
a. Kebijakan yang menakutkan bagi masyarakat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
menjadikan masyarakat menjadi resah sebagai dampak dari salah sasaran. Masih minimnya pengetahuan pajak masyarakat serta
lemahnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah akan Undang-undang pengampunan pajak, menjadikan kebijakan ini menjadi momok yang
menakutkan bagi masyarakat.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id