Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., LL.M.

303 15.000. Dan lebih dari pada itu memunculkan optimisme dan kemudian ada perasaan pratisipasi bagi masyarakat. Dan saya merasakan ada tone yang positif terhadap kegiatan atau upaya melakukan sosialisasi tax amnesty ini dengan partisipasi yang luar biasa, walaupun pada awalnya ada pesimisme di sana. Tetapi ternyata hingga saat ini target Rp165 triliun, kalau tidak salah, paling tidak sudah tercapai Rp100 triliun dan bukan mustahil kemudian target akan terlampaui. Dari ketiga pendekatan, kebijakan ini mungkin bisa dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tertentu dalam konstitusi, tetapi manfaat yang diperoleh jauh lebih besar sehingga kemudian bisa mengalahkan potensi itu. Dan kemudian kita bisa mengatakannya sebagai sebuah kebijakan yang sama sekali legal constitutional yang akhirnya saya ingin mengatakan tidak bertentangan dengan konstitusi.

8. Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., LL.M.

Ada tiga hal yang akan saya sampaikan dikaitkan dengan kapasitas dan keahlian saya, yakni; Pertama, perihal konsep pajak dan relasi antara negara dan warga negara. Kedua, memandang kebijakan pengampunan pajak dalam kerangka kebijakan publik. Ketiga, perlindungan alas tindakan pelaksanaan kebijakan negara dalam hal pengampunan pajak. Pajak dalam Relasi Negara dan Warga Negara Teori hukum ketatanegaraan yang paling kuat menganalisis antara relasi negara dengan warga negara dari terbentuknya negara adalah model kontrak sosial yang dicetuskan oleh J.J Rosseau dengan pandangan yang mirip dengan pandangan Thomas. Hobbes dan John Locke, yang meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka, namun pada hakikatnya mereka memiliki pandangan yang sama bahwa sumber kewenangan yang dimiliki oleh negara dalam pemerintahan dan mengatur warga negara adalah kontrak sosial yang ada. Kontrak sosial yang dimiliki akan berimplikasi pada kewenangan yang dimiliki oleh negara untuk mengatur apa saja yang akan digunakan untuk mengatur kehidupan warga negara sepanjang penggunaan kewenangan tersebut tidak mencerminkan tindakan sewenang-wenang. Artinya, negara memiliki kewenangan dalam mengambil dan memungut pajak selama Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 304 tindakannya tersebut tidaklah merupakan tindakan sewenang-wenang. Tindakan sewenang-wenang, pada dasarnya, dapat dilihat atau dikonstruksikan dari ada tidaknya produk hukum yang mendasari pungutan pajak tersebut. Dan tidak tanggung-tanggung, karena pajak merupakan hal yang sangat penting bagi negara, maka pengaturan dasarnya selalu dicantumkan di dalam konstitusi. UUD China 1982 misalnya dimasukkan dalam Chapter Two tentang the Fundamental Rights and Duties of Citizen, yang berbunyi it is the duty of citizen of the Peoples Republik of China to pay taxes in accordance with the law Article 56. Hal yang sama diatur di dalam UUD Swedia 1974 yang dimasukkan dalam Basic Principle of The Constitution yang berbunyi, The Parliament Riksdag is the foremost representative of the people, the Parliament enacts law, determine taxes and decide how public funds shall be used Article 4. Prinsip yang kurang lebih sama di Indonesia yang dengan jelas dimasukkan di dalam setiap UUD. Misalnya; UUD 45 pra amandemen yang berbunyi segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang Pasal 23 Ayat2; UUD RIS yang berbunyi, tidak diperkenankan memungut padjak untuk kegunaan kas federal, ketjuali dengan kuasa undang-undang federal Pasal 171; UUDS 1950 yang berbunyi, Tidak diperkenankan memungut padjak bea dan tjukai untuk kegunaan kas negara, ketjuali dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang Pasal 117 dan UUD 1945 pasca amandemen yang mengatur bahwa pajak dan pungutan bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang Pasal 23A. Karena itu, dari perspektif konstitusi, setidaknya ada beberapa hal yang dapat dibaca; Pertama, negara memiliki kewenangan untuk menarik pajak dan pungutan yang bersifat memaksa lainnya. Kedua, untuk menghilangkan kesan sewenang-wenang, maka pengaturannya haruslah diatur di dalam produk wakil rakyat yakni dalam bentuk UU. Ketiga, Iogika pajak adalah untuk melakukan pembiayaan atas keperluan negara. Akan tetapi, pajak juga merupakan Pajak seringkali menjadi problem besar dan menjadi penyebab gerakan revolusi besar atau perlawanan besar. Dalam Federalist Paper misalnya, James Medison menuliskan bahwa the Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 305 apportionment of taxes on various description of property in an act which seems to require the most exact impartiality. Seperti yang kita pahami, American Revolution 1775-1783 terjadi karena salah satu penyebab utamanya adalah tingginya pengenanaan pajak oleh British Parliament. Menariknya, pengampunan pajak adalah logika yang berlawanan dari pengenan pajak yang tinggi ini. Karena pada hakikatnya pengampunan pajak adalah bagian tindakan , negara untuk menghapus pajak dalam kaitan dengan pembayar pajak yang terutang yang tidak dikenakan sanksi administratif maupun pidana, sepanjang melakukan pengungkapan harta dan pembayaran atas denda yang ditentukan nilainya. Artinya, ini merupakan tindakan yang bagian dari kebijakan publik yang dibuat oleh negara melalui pembentuk Undang-Undang dengan tujuan tidak sekedarnya hanya pengampunan atas pembayar pajak, tetapi juga harus dilihat sebagai sumbangsih pada keuangan dan perekonimian negara secara lebih luas. Jika memahami tax amnesty maupun tax cuts dalam kerangka seperti yang disampaikan pemohon bahwa merupakan bentuk diskriminasi dengan memosisikan wajib pajak yang taat dengan yang tidak taat berbeda, maka tentu saja memberikan kesimpulan yang tidak pas. Pertama, kerangka kebijakan perpajakan tidak bisa dipandang secara sendiri, tetapi selalu dikaitkan dengan stimulus perekonomian. Misalnya saja kebijakan perpajakan dalam bentuk tax cuts di Amerika, setidaknya berlaku tiga kali yang sangat massif di tahun 1920 an masa Presiden Warren Hardings dan Calvin Coolidge, tahun 1960 masa Presiden John F. Kennedy dan 1980an masa Presiden Ronald Reagan dan terbukti, dalam ketiga masa tersebut kesemuanya berhasil melakukan stimulasi ekonomi Gina Misiroglu, 2003 218-219. Kedua, tarif rendah pengampunan pajak hanya untuk saat pertama pengungkapan pajak, akan tetapi selanjutnya akan melakukan pembayaran dengan deklarasi yang lebih benar dan karenanya akan mempengaruhi jumlah pendapatan negara karena harta yang sudah diungkapkan tersebut akan masuk pada masa pajak tahun berikutnya. Aturan yang jelas mengatakan berlaku bagi siapa saja berarti siapa. pun diperbolehkan mengakses pembayaran pengampunan ini, dan implikasinya adalah secara sadar para Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 306 peserta pengampunan pajak ini akan mengikutkan dirinya pada pembayaran pajak yang lebih benar berdasarkan jumlah harta yang disampaikan pada tahun-tahun berikutnya. Dengan kata lain, diskriminasi yang dituduhkan tidak terjadi karena kemudian terjadi pembayaran pajak secara benar. Hal tersebut senada cara berfikir Mahkamah Konstitusi Jerman pada salah satu putusannya di tahun 1990 yang dituliskan oleh Danny Darussalam 2016 yang mengutip Jacques Malherbe yang menuliskan bahwa MK Jerman membangun konstitusionalitas kebijakan serupa tax amnesty adalah bukan diskriminasi pembayar pajak taat dan tidak, akan tetapi merupakan jembatan bagi pembayar pajak yang tidak jujur agar kembali ke kepatuhan hukum untuk melakukan pembayaran pajak secara lebih benar dan memiliki implikasi pada peningkatan penerimaan negara Penyusunan Kebijakan Pubiik Pada konsepsi hukum kebijakan publik dalam ranah hukum dapat dianalisis ke dalam beberapa segi. Pertama, pengambil kebijakan haruslah punya kewenangan untuk mengambil kebijakan tersebut. Hal inilah yang dikenal dengan asas hukum bahwa tanpa wewenang maka tidaklah suatu tindakan dapat dijalankan. Artinya, pengambil kebijakan haruslah memiliki kewenangan untuk meangambil kebijakan tersebut. Dalam negara hukum, maka hulu dan hilir dari kebijakan tersebut harusnya memiliki dasar hukum. Maksudnya adalah ketika kebijakan tersebut diambil harus ada dasar kewenangan dari pengambil kebijakan dan tatkala kebijakan tersebut dikeluarkan juga haruslah dalam bentuk produk hukurn. Seperti yang dipahami secara hukum; produk hukum ada tiga; beschikking ketetapan; regaling peraturan dan vonis putusan konkrit. Artinya, suatu kebijakan hanya dapat diambil jika ada dasar secara bentuk hukum tersebut, dan juga ketika diambil haruslan menggunakan bentuk produk hukum tersebut. Kedua, sumber kewenangan pengambil kebijakan. Sumber lahirnya kewenangan secara teoritik maupun peraturan perundang-undangan menyebutkan ada tiga; atribusi, delegasi dan mandat. Pada dasarnya atribusi adalah melekat pada jabatan kewenangannya, selain diatur secara langsung oleh konstitusi danatau Undang-Undang. Sedangkan delegasi dan mandat diperoleh melalui pelimpahan administratif yang kemudian dibedakan dari jenis Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 307 pertanggungjawabannya. Dalam delegasi merupakah pelimpahan kewenangan pemerintah dari suatu organ pemerintah ke organ pemerintah lainnya. Sedangkan pada mandat, pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya, akan tetapi tidak mengalihkan tanggung jawab. Hal ini bukan hanya ciri teoritik tetapi juga dapat dilihat pada Pasal 11-14 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ketiga, konformitas hukum pengambilan kebijakan. Pada dasarnya, kebijakan hukum dapat dianggap benar secara hukum tatkala diambil dengan proses hukum yang benar berdasarkan kewenangan yang dimiliki. jika hal tersebut diambil dalam bentuk regaling aturan maka harus diambil dalam sebuah proses penyusunan peraturan yang sudah benar dan tepat sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, serta asas umum pemerintahan yang baik Dalam tiga kerangka tersebut, maka UU Pengampunan Pajak dapat dilihat dalam kerangka kebijakan publik secara lebih luas. Bahwa UU Pengampunan Pajak merupakan salah satu model dari open legal - policy yang dimiliki oleh pemilik kewenangan pengambilan kebijakan perpajakan dalam rangka mengisi kebijakan perpajakan. Sepanjang, kebijakan tersebut sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan pengambilan kebijakan dilakukan secara besar berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Open legal policy adalah kebijakan hukum yang diambil oleh pembentuk peraturan perundang-undangan untuk menerjemahkan makna visi negara yang tercantum di dalam UUD 1945. Dalam beberapa Putusan MK, telah diperkenalkan model open legal policy ini setidaknya dalam dua hal; Pertama, tatkala UUD hanya mengatur hal pemberian mandat kepada pembentuk UU untuk mengatur ke hal yang lebih khusus. Kedua, tatkala UUD tidak mengatur pendelegasian pengaturannya. Dalam konsepsi open legal policy yang menjadi ukuran adalah tujuan utama yang lebih besar ingin dicapai dalam pengaturan tersebut. Sehingga, jika pun dikenakan pembatasan, maka pembatasan konsepsi open legal policy akan menempatkan negara dalam mengambil tindakan dapat mengambil langkah yang diperlukan sepanjang tetap menjaminkan penghormatan hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 308 pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban dalam suatu masyarakat demokratis. Putusan MK Nomor 86PUU-X2012 Dengan sudut pandang open legal policy, maka tujuan lebih besar yang ingin dicapai mempertimbangkan cara berfikir lesser evil, atau dengan memilih mudharat yang terkecil yang mungkin didapatkan dengan kebijakan yang dikeluarkan. Karenanya, dengan konteks tujuan yang lebih besar yang ingin dicapai dalam melaksanakan UU Pengampunan Pajak, maka dapat dipandang sebagai cara pandang open legal policy negara dalam pengurusan dan pengelolaan pajak demi keperluan negara dapat dilakukan sepanjang tidak melanggar batasan-batasan tertentu. Perlindungan Hukum Pengambilan Pelaksanaan Kebijakan Hal lainnya adalah perlindungan hukum bagi pelaksana kebijakan pengampunan pajak. Dalam kaitan dengan pihak-pihak dari suatu kebijakan, setidaknya ada lima fungsi hukum menurut Sjahran Basah; Pertama, direktif sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk hal yang hendak dicapai dalam kehidupan bernegara; Kedua, integratif sebagai sarana pemersatu bangsa; Ketiga , stabilitatif yakni sebagai pemelihara dan penjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Keempat, perfektif, sebagai sarana untuk menyempurnakan tindakan administrasi negara maupun sikap warga negara dan kehidupan bermasyarakat, Kelima, korektif terhadap administrasi negara dalam mendapatkan keadilan. Dalam fungsi yang kompleks inilah, maka peraturan tersebut tidak bisa dan mustahil ditentukan hanya dalam satu Undang-Undang secara mendetail. Akan tetapi, ketentuan dan penegakan hal tersebut akan berada pada berbagai Undang-Undang, bahkan juga dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksana lainnya, termasuk hingga keputusan-keputusan yang bersifat teknis dalam rangka menjaga tujuan fungsi hukum secara administratif tersebut. Hal yang harus diingat, dalam pelaksanaan kebijakan ini maka tidak hanya sekedar mengikat pada pihak-pihak yang terkena dampak dari suatu aturan, akan tetapi juga mengikat pihak yang mengeluarkan aturan. Makanya, kontrol secara administratif itu bisa terhadap pihak yang diberi darnpak dalam bentuk sanksi, akan tetapi juga pada pihak yang membuat kebijakan beserta Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 309 produknya dalam bentuk uji materi. Karenanya, tindakan hukum yang pas harus dilihat berdasarkan pada beban kesalahan yang seharusnya dikoreksi pada wilayah mana. Tinggal dapat dilihat dan dibedakan secara mendetail, sanksi apa yang akan dijatuhkan pada saat adanya pelanggaran dalam melaksanakan suatu kebijakan tersebut. Tanggung jawab yang diukur berdasar pada derajat kesalahan. Pasal 22 UU Pengampunan Pajak mengatur bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut balk secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Konsep ini pada dasarnya diberikan kepada pelaksana kebijakan yang diperintahkan di dalam UU sebagai pelaksana dari suatu ketentuan perundangundangan. Hal ini dapat dilihat secara dua hal. Pertama , Pasal 22 itu lama sekall tidak melakukan perlindungan menyeluruh, akan tetapi memberikan perlindungan terbatas terhadap pengambilan pelaksanaan kebijakan hukum yang kompleks tersebut sepanjang ketika diambil tidak berdasar pada itikad buruk dan secara melawan perundang-undangan. Artinya tidak ada imunitas absolut. Kedua, dapat dipahami bahwa perlindungan ini dalam kaitan dengan melaksanakan UU. Maka jika dalam kaitan melaksanakan UU, sudah selayaknya pelaksana yang bersifat hanya sebagai pengeksekusi dari kebijakan yang diperintahkan oleh negara dilindungi dari kemungkinan dipersalahkan dari kesalahan yang diperintahkan negara. Kesimpulan Pada hakikatnya, dalam hal yang telah diterangkan di atas, dapat dikatakan bahwa; Pertama, UU Pengampunan Pajak adalah bagian dari cita- cita besar negara dalam melakukan perbaikan sistem perpajakan dan menguatkan pendanaan bagi keperluan negara sebagai cita-cita yang besar untuk membuat para pembayar pajak menjadi lebih taat. Kedua, UU Pengampunan Pajak adalah merupakan bagian dari open legal policy pembentuk UU dalam hal membuat kebijakan publik yang berkaitan dengan perpajakan. Ketiga , perlindungan hukum yang diberikan terhadap pelaksana 7 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 310 UU Pengampunan Pajak adalah hal yang bersifat tidak absolut, karena hanya dilindungi jika sudah melaksanakan dengan itikad yang baik dan benar secara peraturan perundang-undangan. Pada saat yang sama perlindungan yang diperlukan sebagai pelaksana kebijakan agak dapat melaksanakan kebijakan negara yang telah dituangkan dalam UU Pengampunan Pajak. 9 . Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum. Pada saat ini Mahkamah Konstitusi sedang menyidangkan Permohonan Uji Materiil terhadap Undang-Undang Pengampunan Pajak. Undang-Undang a quo dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya yang berkaitan dengan prinsip negara hukum, kesederajatan di depan hukum, kepastian hukum, dan kebebasan memperoleh informasi. Berdasarkan interpretasi doktriner yaitu penafsiran yang dilandaskan pada teori atau doktrin hukum, perlu disampaikan hal-hal sebagai berikut: PERTAMA, dalam doktrin hukum pidana, hukum pidana pajak disebut sebagai ius singulare karena memiliki sistem norma dan sanksi sendiri. Bersama-sama dengan hukum pidana militer yang disebut sebagai ius specialae, hukum pidana pajak merupakan hukum pidana khusus tertua di dunia. Hukum pidana pajak memiliki norma dan sanksi hukum yang mengandung sifat administratif dan pidana, yang didasarkan pada asas-asas yang bersifat ekonomis dan finansial. Artinya sanksi pidana badan berupa perampasan kemerdekaan. KEDUA, telah terjadi perubahan paradigma dalam hukum pidana moderen. Pada awalnya hukum pidana berorientasi pada keadilan retributif, yang mana hukum pidana lebih berorientasi pada pembalasan dengan mengedepankan hukum pidana sebagai lex talionis atau sarana balas dendam. Akan tetapi pada saat sekarang ini, paradigma hukum pidana moderen berorientasi pada keadilan korektif, rehabilitatif dan restoratif. Keadilan korektif berhubungan dengan sanksi atas kesalahan pelaku, sedangkan keadilan rehabilitatif berkaitan dengan perbaikan terhadap pelaku agar tidak mengulangi perbuatan pidana, sementara keadilan restoratif bertalian dengan pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan. In casu a quo, Undang-Undang Pengampunan Pajak telah berorientasi pada paradigma hukum pidana moderen yang tidak lagi berorientasi pada penghukuman terhadap pelaku melainkan lebih pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 311 pemulihan terhadap pendapatan negara dan dalam rangka memperbaiki pelaku untuk tidak lagi mengulangi perbuatan yang sama di masa mendatang. KETIGA, ketika wajib pajak telah menyatakan semua harta kekayaan yang selama ini belum dilaporkan, kemudian atas pernyataan tersebut dikenakan pembayaran dengan prosentase tertentu maka secara mutatis mutandis hal- hal yang berkaitan dengan pidana pajak dianggap selesai. Hal ini berkaitan dengan sifat dan karakter hukum pidana pajak sebagai ius singulare sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Dalam konteks teori, hal yang demikian dikenal dengan istilah pointless of punishman. Menghukum yang tidak perlu haruslah dihindari jika tujuan dari undang-undang sudah terpenuhi. KEEMPAT, kerahasiaan informasi. Dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak diatur bahwa informasi terkait data wajib pajak yang mengikuti pengampunan pajak dan dilarangnya pihak lain untuk mengakses atau memperoleh informasi tersebut pada hakikatnya tidaklah melanggar konstitusi yang bertalian dengan kebebasan memperoleh informasi. Di satu sisi, setiap warga negara memiliki hak kebebasan memperoleh informasi bukanlah kebebasan mutlak yang tidak dapat dibatasi, melainkan kebebasan tersebut haruslah dibatasi jika berkaitan dengan privasi seseorang. KELIMA, perlu dipahami bahwa Undang-Undang Pengampunan Pajak sama sekali tidak dimaksudkan untuk melegalkan praktik korupsi ataupun pencucian uang. Selain memiliki sifat dan karakter yang berbeda antara hukum pidana pajak dan hukum pidana korupsi serta hukum pidana pencucian uang, Undang-Undang Pengampunan Pajak hanya berkaitan dengan tindak pidana pajak. Hukum pidana pajak sebagai ius singulare mengedepankan hukum pidana sebagai ultimum rimedium. Artinya, hukum pidana adalah sarana terakhir penegakkan hukum setelah instrumen penegakkan hukum lainnya tidak lagi berfungsi dengan baik. Hal ini berbeda dengan hukum pidana dalam konteks korupsi dan pencucian uang yang mengedepankan hukum pidana sebagai primum rimedium. Artinya, hukum pidana sebagai sarana utama dalam memberantas kedua kejahatan tersebut. KEENAM, bertalian dengan pembuktian terbalik terhadap harta kekayaan wajib pajak. Berdasarkan Undang-Undang a quo, besarnya harta kekayaan yang belum dilaporkan diserahkan sepenuhnya kepada pernyataan wajib Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 312 pajak. Hal ini tidak dapat serta merta ditafsirkan bahwa harta kekayaan yang belum dilaporkan merupakan hasil tindak pidana pencucian uang. Dalam tindak pidana pencucian uang kejahatan asal adalah causa proxima dari kejahatan pencucian uang. Tidak dilaporkan harta kekayaan yang sesungguhnya kepada fiscus atau pegawai pajak, tidaklah berarti harta kekayaan yang belum dilaporkan merupakan hasil yang ilegal. Selain itu, pembuktian terbalik dalam kontek Pasal 77 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Udang berkaitan dengan pembuktian harta kekayaan yang akan dirampas oleh negara manakala tidak dapat dibuktikan bahwa harta kekayaan yang akan dirampas oleh negara manakala tidak dapat dibuktikan bahwa harta kekayaan tersebut tidak berasal dari suatu kejahatan. KETUJUH, bertalian dengan Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak. Perlu ditegaskan bahwa Pasal a quo tidak akan menghapuskan atau menghilangkan proses penegakan hukum pidana di luar tindak pidana pajak. Artinya, pasal a quo tidak menghapuskan penegakan hukum pidana dan tidak pula mengurangi kewenangan kekuasaan kehakiman untuk menegakan hukum dan keadilan. Proses penegakan hukum pidana kepada pelaku pengampunan pajak tetap berlangsung sepanjang data dan informasi tidak berasal dari pelaksanaan pengampunan pajak. Artinya, tindak pidana lain di luar tindak pidana pajak tetap dapat diproses oleh penegakan hukum, jika dan hanya jika data yang diperoleh penegak hukum, apakah Kepolisian, Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi mempeorleh data tersebut bukan dari pelaksanaan pengampunan pajak. Dengan demikian ketentuan pasal a quo tidaklah bertentangan dengan prinsip kesederajatan di depan hukum. Berdasarkan berbagai argumentasi teoritik di atas, Undang-Undang Pengampunan Pajak tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 baik terkait prinsip negara hukum dan kesederajatan di depan hukum, maupun kepastian hukum dan kebebasan memperoleh informasi.

10. Prof. Wihana Kirana Jaya, M. Soc. Sc., Ph.D

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN DENGAN KORBAN ANAK (Putusan Nomor 24/Pid.Sus/A/2012/PN.Pso)

7 78 16

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENGHAPUSAN ATAS MEREK DAGANG "SINKO" DARI DAFTAR UMUM MEREK OLEH DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 03/Merek/2001/PN.Jkt.Pst)

0 23 75

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT ADANYA HUBUNGAN NASAB (Studi Putusan No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj) STUDY JURIDICAL TO MARRIAGE ANNUALMENT CONSEQUENCE OF EXISTENCE LINEAGE (Study of Decision No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj)

1 45 18

KEABSAHAN PERMOHONAN POLIGAMI KARENA ISTRI TIDAK MAU BERTEMPAT TINGGAL BERSAMA DENGAN SUAMI (Studi Putusan Nomor :36 / Pdt.G / 2010 / PA. Bdg)

1 29 17

PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PENGADAAN BARANG SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HUKUM PERSAINGAN USAHA (Studi pada Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dan No. 01/KPPU-L/2008)

2 62 11

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA GRATIFIKASI OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL TULANG BAWANG (Studi Putusan Nomor:02/Pid./TPK/2012/PT.TK.)

0 40 59

KARAKTERISTIK SENGKETA PEMILUKADA Studi Putusan Mahkamah Konstitusi 2008-2013

0 35 59

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

4 34 65

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22