Pengampunan Pajak: Justifikasi Di Indonesia

262 administrasi pajak, memperluas basis pajak, atau mengidentifikasi informasi yang belum sepenuhnya diungkap. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Malherbe, bahwa kepatuhan jangka panjang merupakan kriteria keberhasilan utama dari pengampunan pajak . Oleh sebab itu, menurutnya, lebih baik meningkatkan penerimaan pajak secara perlahan tapi pasti dalam jangka panjang daripada meningkatkan penerimaan dalam jangka pendek secara cepat dan menurun setelahnya Mencermati ketiga pilihan kebijakan tersebut: i penegakan hukum; ii menunggu datangnya era perubahan di masa yang akan datang; serta iii melakukan kebijakan terobosan melalui pengampunan pajak; maka pengampunan pajak sejatinya merupakan pilihan rasional di tengah kebuntuan untuk memperbaiki situasi pajak di Indonesia. Hal ini akan dijelaskan pada bagian berikutnya.

3. Pengampunan Pajak: Justifikasi Di Indonesia

Paling tidak terdapat lima justifikasi mengapa pengampunan pajak perlu dilaksanakan di Indonesia di 2016 ini.

3.1. Distribusi Keadilan yang Lebih Merata

Dalam sistem perpajakan yang modern, perilaku ketidakpatuhan tidak dapat dibenarkan mengingat perilaku ini berpotensi mencederai prinsip integritas dalam sistem perpajakan, di mana setiap pihak diminta untuk berkontribusi kepada negara sesuai dengan kemampuan mereka paying their fair share, sehingga tidak ada satu kelompok pun yang menjadi free-rider dalam masyarakat. Unsur keadilandalam distribusi beban pajak merupakan komponen utama atas fair share dalam sistem pajak. Justru untuk mencapai apa yang disebut sebagai fair share dan mencapai keadilan, dibutuhkanlah suatu kebijakan terobosan seperti halnya pengampunan pajak . Hal ini diperkuat oleh Jeremy Bentham, salah satu penggagas teori utililtarian. Menurutnya, pengampunan pajak dapat dijustifikasi jika kerugian yang ditanggung oleh masyarakat secara umum dengan adanya pengenaan pajak secara biasa mempertahankan hukuman akan lebih besar daripada kerugian yang diemban oleh masyarakat jika terdapat pengampunan pajak . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 263 Dari dalil dan fakta situasi pajak di Indonesia terlihat bahwa pengampunan pajak dapat dijustifikasi. Hal ini dikarenakan -terlepas dari banyaknya wajib pajak tidak patuh yang pada akhirnya berpartisipasi- kebijakan ini akan memberikan manfaat kepada seluruh wajib pajak karena bertambahnya basis pajak . Selain itu, pengampunan pajak dapat dijustifikasi ketika tidak ada cara lain untuk mengidentifikasi wajib pajak tidak patuh, selain memberikan insentif melalui pengampunan pajak. Di masa mendatang, pengenaan pajak justru akan menjadi lebih adil karena beban pajak dialokasikan secara merata berdasarkan kemampuan masing-masing wajib pajak. Perdebatan mengenai prinsip keadilan juga dapat dilihat pada contoh putusan Mahkamah Konstitusi MK Jerman pada tahun 1990. Isu konstitusionalitas pengampunan pajak ini dibawa ke MK Jerman oleh Pengadilan khusus di bidang Keuangan Finance Tribunal karena dianggap bertentangan dengan konstitusi Jerman Grundgesetz yang mengatur tentang perlakuan yang sama di hadapan hukum equality before the law. Intinya, mereka yang sama diperlakukan sama like things must be treated alike dan mereka yang tidak sama diperlakukan tidak sama unlike must be treated unlike. Setiap aturan yang menyimpang dari prinsip equality ini harus dijustifikasi berdasarkan alasan yang objektif. Dalam putusannya, MK Jerman memiliki pandangan yang berbeda dengan Finance Tribunal. MK Jerman menganggap bahwa tujuan dari pengampunan pajak adalah membawa kembali wajib pajak yang selama ini tidak melaporkan penghasilannya untuk berlaku jujur dengan melaporkan seluruh penghasilan yang diterimanya. MK Jerman mempertimbangkan pengampunan pajak sebagai suatu “ jembatan ” kepada wajib pajak yang selama ini tidak patuh untuk kembali patuh terhadap hukum pajak bridge to legality. Jadi, menurut MK Jerman, perlakuan yang berbeda antara wajib pajak yang tidak patuh dan wajib pajak patuh dijustifikasi oleh tujuan dan maksud dari legislasi pengampunan pajak , sebagai jembatan menuju kepatuhan dan demi peningkatan penerimaan negara. MK Jerman mempertimbangkan motif utama dari legislasi pengampunan pajakyaitu untuk mengatasi permasalahan fiskal. MK Jerman menyatakan bahwa dengan adanya pengampunan pajak, ke depan tidak ada lagi wajib Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 264 pajak yang dapat menyembunyikan penghasilannya dari kejaran otoritas pajak. Implikasinya, atas penghasilan yang selama ini disembunyikan tersebut akan dikenakan pajak. Tentu ini akan meningkatkan penerimaan negara karena penambahan subjek pajak dan objek pajak baru untuk basis penerimaan pajak.

3.2. Transisi ke Era Baru

Benar bahwa Indonesia pernah melakukan program pengampunan pajak di tahun 1964 dan 1984. Keduanya juga bisa dinyatakan kurang berhasil. Akan tetapi, program tersebut jelas dilaksanakan dalam situasi pajak yang berbeda dengan saat ini. Kegagalan pengampunan pajak di tahun 1964 dikarenakan ketidakstabilan politik di penghujung Orde Lama. Sedangkan program 1984 gagal karena pada saat itu jumlah wajib pajak masih sedikit dan belum terbiasa dengan sistem administrasiyang berlaku. Selain itu, aktivitas penegakan hukum pasca-pengampunan pajak juga tidak berjalan. Lebih lanjut lagi, kedua program tersebut pada dasarnya diimplementasikan dengan tujuan sebagai masa transisi menuju ke sistem pajak yang baru atau dianggap sebagai bagian dari reformasi pajak. Program tahun 1964 dilakukan untuk menggantikan sistem pajak peninggalan Belanda, sedangkan program pengampunan pajak di tahun 1984 dimaksudkan sebagai jembatan menuju era sistem pajak modern dan berbasis self-assessment. Belajar dari kedua program tersebut, justru pengampunan pajak 2016 dapat dijustifikasi sebagai upaya transisi ke era yang baru . Era yang baru tersebut mencakup: i pertukaran informasi secara otomatis di tahun 2018; ii transformasi kelembagaan otoritas administrasi pajak Indonesia menjadi lebih independen; serta iii reformasi pajak secara menyeluruh yang ditandai dengan rencana revisi UU di bidang KUP, PPh, dan PPN. Singkatnya, upaya mengampuni ketidakpatuhan pajak di masa lalu dapat menjadi periode transisi sebelum era transparansi, ‘kuatnya’ upaya penegakan hukum otoritas pajak di masa mendatang, serta perbedaan sistem pemungutan pajak.

3.3. Rekonsiliasi dan Pembaharuan Kontrak Fiskal

Pajak sendiri pada dasarnya merupakan bentuk kontrak fiskal antara negara dengan masyarakat, di mana bentuk idealnya mengacu pada adanya suatu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 265 kontribusi dari masyarakat yang kemudian dipertukarkan dengan suatu layanan, penyediaan barang publik serta manfaat yang disediakan oleh negara. Saat ini kontrak fiskal di Indonesia masih belum dalam kondisi ideal, ditandai dengan banyaknya free rider yang menikmati fasilitas publik secara gratis tidak membayar pajak dengan fair serta fasilitas publik yang tidak merata. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, terdapat keinginan yang kuat untuk mewujudkan kontrak fiskal yang lebih baik di mana negara dan masyarakat secara bersama-sama menciptakan hubungan timbal balik yang setara, saling percaya, dan menguntungkan. Melalui program pengampunan pajak, pemerintah juga memberikan sinyalemen kepada wajib pajak bahwa ada suatu kepercayaan dan kemauan untuk “mengesampingkan dosa masa lalu” dari wajib pajak sekaligus juga menyiratkan pengakuan atas kesalahan otoritas pajak di masa lalu. Pengampunan pajak juga akan membuka ruang rekonsiliasi nasional yang akan memberikan legitimasi yang lebih besar bagi pemerintah saat ini. Legitimasi tersebut merupakan bentuk kepercayaan dan bentuk dukungan masyarakat karena adanya kemauan pemerintah untuk ‘menatap ke depan’. Dengan adanya dukungan tersebut, pada hakikatnya telah terjalin suatu kontrak fiskal di mana kemudian hari para pendukung akan berkontribusi dengan membayar pajak . Akibatnya, kebijakan pajak yang terjadi pada dasarnya adalah suatu kesepakatan formal dan mengikat antara warga negara dengan negara.

3.4. Ketidakpastian dalam Pertukaran Informasi

Walau kerangka kerjasama pertukaran informasi secara otomatis memberikan suatu arah baru yang lebih baik, bukan berarti tidak ada kendala dalam penerapannya, yaitu: i Tantangan dari internal domestik . Saat ini, telah terdapat dua peraturan yang menjelaskan tata cara dan panduan teknis bagi otoritas pajak untuk mengakses data perbankan, yaitu: i Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125 tahun 2015 mengenai Tata Cara Pertukaran Informasi; serta ii Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25 tahun 2015 mengenai Penyampaian Informasi Nasabah Asing terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 266 Yurisdiksi Mitra. Walau demikian, secara kerangka hukum pelaksanaannya masih terganjal oleh UU Perbankan dan UU KUP. Tidak mengherankan jika hingga saat ini Indonesia masih digolongkan sebagai negara dengan status ‘partially compliant’ karena penerapannya masih terhambat dengan akses data perbankan dalam negeri. Saat ini, terdapat rencana untuk merevisi kedua UU tersebut yang mana akan memuat suatu akses data perbankan secara otomatis oleh otoritas perpajakan. ii Tantangan eksternal mengenai efektivitas pertukaran informasi juga masih membayangi. Walau sudah 104 negara yang berkomitmen, namun jumlah tersebut baru 50 dari total negara di dunia. Padahal, dalam konteks penyelesaian persoalan pajak yang bersifat internasional dibutuhkan suatu kesepakatan yang mengikat secara multilateral. Kesepakatan yang hanya dilakukan oleh sebagian negara subset of countries tetap menyisakan celah untuk adanya aliran dana ke tempat-tempat yang masih belum berpartisipasi dalam AEoI. Dari 49 negara tax haven yang ada, baru sekitar 30 negara yang terlibat. Itupun belum mempertimbangkan preferential tax regime negara dengan rezim ring fencing atau wilayah dalam suatu negara yang sengaja dibentuk sebagai offshore financial center seperti di Labuan Malaysia, Basque Spanyol atau Delaware Amerika Serikat. Selain itu, tidak adanya mekanisme punishment dari Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposesjuga menciptakan keraguan mengenai efektivitas AEoI. Singkatnya, pertukaran informasi secara otomatis yang digaungkan tersebut masih memiliki unsur ketidakpastian . Walaupun pengampunan pajak diajukan sebagai antisipasi ketidakpastian implementasi pertukaran informasi secara otomatis di masa mendatang, namun kehadirannya tidak dimaksudkan untuk menggagalkan hal tersebut . Ide mengenai transparansi dan keterbukaan justru menjadi salah satu elemen penting dari program pengampunan pajak di Indonesia. Sebagai contoh, hal tersebut terlihat dari kewajiban untuk membubarkan special purpose vehicleSPV dan melakukan pengalihan hakbagi wajib pajak yang memiliki harta tidak langsung melalui SPV. Akan tetapi, mempertimbangkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 267 bahwa kehadiran SPV bukan selalu untuk kepentingan pajak, namun juga untuk kebutuhan bisnis, maka keharusan untuk membubarkannya menjadi opsional. Ketentuan tersebut sekaligus juga menyeimbangkan antara transparansi dan upaya untuk menjaga aktivitas ekonomi lintas yurisdiksi.

3.5. Penegakan Hukum Pasca Pengampunan Pajak

Mengacu pada teori dan pengalaman di berbagai negara, dalam jangka panjang, efek dari pengampunan pajak terhadap kepatuhan pajak dan juga penerimaan hanya akan berdampak positif jika terdapat peningkatan penegakan hukum pajak pasca diadakannya pengampunan pajak. Dengan demikian, wajib pajak secara rasional akan cenderung melihat bahwa biaya untuk tidak patuh akan lebih besar karena pelanggaran atas ketidakpatuhan akan mudah terdeteksi . Terdapat tiga argumen mengapa program pengampunan pajak di Indonesia harus dilakukan saat ini tanpa menunggu, misalnya, era keterbukaan informasi yang akan datang di tahun 2018, yaitu: i Perubahan lanskap pajak di masa yang akan datang memungkinkan semakin mudahnya penegakan hukum law enforcement oleh otoritas pajak . Dengan demikian, terdapatdaya tawar bargaining power yang semakin besar bagi pemerintah di mata wajib pajak. Dengan demikian, bayangan tentang perubahan di masa mendatang telah menciptakan peluang keberhasilan probability of success yang semakin besar bagi program pengampunan pajak; ii Program pengampunan pajak memberikan suatu masa transisi dan peringatan bagi wajib pajak . Di negara berkembang, ketidakpatuhan wajib pajak juga diakibatkan oleh sistem administrasi pajak yang tidak sedemikian baik di masa lalu. Oleh karena itu, pengampunan pajak dapat dibaca sebagai kesempatan terakhir , uluran tangan , dan salah satu bentuk memahami ketidakpatuhan wajib pajak di masa lalu; iii Pengampunan pajak sejatinya merupakan salah satu wujud upaya pemerintah untuk membangun transparansi data dengan suatu kesukarelaan dari wajib pajak untuk mengungkapkan harta yang belum atau belum sepenuhnya dilaporkan dalam SPT. Dengan demikian, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 268 pengampunan pajak justru sangat relevan dengan era keterbukaan informasi.

4. Desain Pengampunan Pajak

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN DENGAN KORBAN ANAK (Putusan Nomor 24/Pid.Sus/A/2012/PN.Pso)

7 78 16

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENGHAPUSAN ATAS MEREK DAGANG "SINKO" DARI DAFTAR UMUM MEREK OLEH DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 03/Merek/2001/PN.Jkt.Pst)

0 23 75

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT ADANYA HUBUNGAN NASAB (Studi Putusan No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj) STUDY JURIDICAL TO MARRIAGE ANNUALMENT CONSEQUENCE OF EXISTENCE LINEAGE (Study of Decision No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj)

1 45 18

KEABSAHAN PERMOHONAN POLIGAMI KARENA ISTRI TIDAK MAU BERTEMPAT TINGGAL BERSAMA DENGAN SUAMI (Studi Putusan Nomor :36 / Pdt.G / 2010 / PA. Bdg)

1 29 17

PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PENGADAAN BARANG SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HUKUM PERSAINGAN USAHA (Studi pada Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dan No. 01/KPPU-L/2008)

2 62 11

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA GRATIFIKASI OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL TULANG BAWANG (Studi Putusan Nomor:02/Pid./TPK/2012/PT.TK.)

0 40 59

KARAKTERISTIK SENGKETA PEMILUKADA Studi Putusan Mahkamah Konstitusi 2008-2013

0 35 59

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

4 34 65

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22