14
menyepak, menendang, dan sebagainya, sehingga orang yang terkena tindakan itu merasa kesakitan.
Seringkali masalah kekerasan melibatkan anak-anak. Posisi anak yang begitu rentan karena lemah fisik, sosial dan budaya membuatnya mudah
dimanfaatkan atau menjadi sasaran tindakan kekerasan, pengabaian, eksploitasi, dan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada saat menjadi korban, anak
tidak memiliki kekuatan untuk melawan karena dilihat dari segi fisik, jelaslah bahwa kemampuan atau kekuatannya lebih kecil dibandingkan dengan orang
dewasa.
2.5 Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan
Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat, disertai kemarahan atau kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam
mengatasi masalah ekonomi, menyebabkan orang tua mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan, kekecewaan, dan ketidakmampuannya kepada orang
terdekatnya. Anak, sebagai makhluk lemah, rentan, dan dianggap sebagai “milik” orang tua, paling mudah menjadi sasaran.
http:72.14.235.104search?q=cache:Hhv_v7IVVNoJ:www.kontras.orgbaruKo vensi2520Hak2520Anak.pdf+anak+konvensi+internasionalhl=idct=clnk
cd=2gl=id
Tidak hanya orang dewasa saja yang menjadi pelaku kekerasan, terkadang anak dapat menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Hal itu dapat saja terjadi akibat
pengaruh dari media atau lingkungan sekitar anak. Terkadang tindakan kekerasan dilakukan tanpa unsur kesengajaan karena mereka belum paham betul bahwa
perbuatan mereka dapat berakibat fatal. Hal ini terlihat dari perilaku seorang anak
15
yang masih duduk di bangku sekolah dasar yang memukuli temannya sampai meninggal. Pada awalnya, ia dan temannya itu hanya sekedar meniru acara
smackdown yang sering diputar di televisi. Tak disangka niat bermain-main berujung pada kematian. Kekerasan juga dapat tertanam dalam anak secara
psikologis jika lingkungan di sekitarnya turut berperan mendidik anak tersebut ke arah yang tidak baik, seperti misalnya dalam komunitas anak jalanan, pencurian
atau berkelahi merupakan hal wajar karena mereka terbiasa melihat teman- temannya melakukan hal tersebut. Terlepas dari kesadaran pada mereka bahwa
kekerasan adalah hal yang tidak baik, mereka tetap melakukan hal itu. Cara anak memandang kekerasan dalam media, khususnya karya fiksi
tentunya berbeda dengan cara pandang orang dewasa. Jika orang dewasa menganggap pemukulan yang terjadi dalam suatu cerita adalah salah satu bentuk
kekerasan, anak-anak hanya melihat hal itu sebagai sesuatu yang lucu, seperti misalnya dalam film-film kartun yang menampilkan adegan saat tokoh tertentu
memukul tokoh lawannya dengan palu atau menabraknya hingga terlindas. Tokoh yang mengalami kekerasan tersebut tidak mati, tubuhnya menjadi pipih tapi
dengan cepat ia pulih kembali. Bagi anak, peristiwa ini merupakan suatu hal lucu, bukanlah kekerasan. Pada akhirnya anak akan menganggap bahwa peristiwa-
peristiwa yang menunjukkan kekerasan merupakan sesuatu yang wajar. Menurut anak, apa yang mereka lihat di televisi adalah orang hebat dan
terkenal. Lalu, anak meniru perilaku smack down di televisi agar dianggap sebagai orang hebat. Anak-anak belum bisa berpikir jernih, apakah perilakunya berbahaya
bagi dirinya dan juga orang lain. Anak mencoba menirukan apa yang mereka
16
saksikan. Anak hanya memikirkan kesenangan dan bagaimana memamerkan kekuatannya ke orang lain. Anak-anak sangat senang memamerkan kekuatannya
di depan orang tua, teman, dan orang lain yang mereka temui. Dunia anak-anak penuh sensasi, mereka senang mencoba hal-hal baru. Perilaku memicu anak
mencoba meniru tayangan smack down dari televisi, membuat anak sering melakukan perilaku smack down di dunia nyata untuk memamerkan kekuatannya
ke orang lain. Smack down anak-anak telah menuai korban, seperti anak menderita sakit patah tulang, terkilir, terluka, bahkan meninggal dunia.
http:najlah.blogspot.com200612smack-down-dan-kekerasan-anak.html Menurut Leonard Irwin, seorang dosen psikologi dari Universitas Illionis,
Amerika Serikat, saat anak-anak berusia 8 tahun dan pernah menyaksikan tayangan tindak kekerasan melalui televisi, ketika mencapai usia dewasa, mereka
cenderung tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat dan kejam, tidak memiliki rasa belas kasihan terhadap anak-anak kecil lainnya.
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, danatau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Tanpa disadari dan disengaja, orang tua sering melakukan kekerasan psikologis terhadap anak-anaknya. Kita mungkin sering melihat seorang anak
yang melakukan kesalahan mendapatkan bentakan atau hukuman kemarahan yang tidak perlu. Melihat, rapor anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua, si
17
anak malang langsung dicubiti dan dibanding-bandingkan dengan anak tetangga yang jadi bintang kelas.
Anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk coping mechanism seperti bulimia
nervosa memuntahkan makanan kembali, penyimpangan pola makan, anorexia takut gemuk, kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh
diri. Menurut Nadia 1991, kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik.
Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina
persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
http:duniapsikologi.dagdigdug.comtagkekerasan-anak Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya
kekerasan terdiri atas: 1.
Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi
menyebabkan tidak terelakkannya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua,
2. Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana
seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi,
3. Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya
18
kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi,
4. Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap
bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua.
5.
2.6 Bentuk-bentuk Kekerasan