2.2 Pertanian dan Petani Jepang Sebelum Perang Dunia II
Sebagai petani sejak zaman kuno, rakyat Jepang selalu memanfaatkan tiap jengkal tanah yang dapat dikerjakannya. Ciri hidup petani Jepang zaman sebelum
perang dapat di gambarkan sebagai petani yang bekerja sepanjang hari, tetapi hasil pertaniannya hanya cukup sekedar menunjang hidupnya yang sangat
sederhana. Selain itu, petani sebelum perang juga diidentifikasikan dengan masyarakat yang miskin, memiliki keterbelakangan budaya, serta terikat oleh
ideologi-ideologi yang dikembangkan kaum feodal Nohonshugi. Nohonshugi menanamkan pada diri para petani yaitu suatu pandangan bahwa walaupun hidup
sebagai petani itu berat dan penuh kesengsaraan tetapi pengorbanan petani tidaklah sia-sia karena pertanian merupakan ujung tombak dari negara dan
masyarakat Jepang. Sebenarnya para petani sadar dan mengerti betapa tidak menguntungkannya pekerjaan sbagai petani, tetapi ideologi ini membantunya
untuk bertahan. Ideologi ini digunakan oleh kaum feodal Jepang dengan tujuan membius para petani agar tidak menuntut atas perbaikan hidup mereka.
Sejak awal zaman Meiji sampai Perang Dunia II 1868-1912, lebih dari 80 penduduk adalah petani dan pertanian merupakan pekerjaan bagi 5,5 juta
keluarga petani Jepang. Jumlah petani sebagai pemilik tanah pada umumnya tidak lebih dari sepertiga jumlah keseluruhan petani dan 70 adalah lahan garapan
yang di sewa dari tuan tanah dengan pajak yang sangat tinggi. Luas rata-rata lahan garapan yang di kerjakan pun tidak lebih dari 1 hektar. Apabila lahan hanya 1
hektar atau kurang, maka hampir tidak mungkin keluarga tani itu hidup hanya dari hasil pertanian lahan tersebut. Untuk itu, agar dapat bertahan hidup petani
semacam itu terpaksa mencari pekerjaan lain di luar pertanian yang menghasilkan
Universitas Sumatera Utara
pendapatan tunai. Sehingga, pada akhir masa sebelum perang lebih dari setengah keluarga petani mempunyai pekerjaan lain disamping usaha pertaniannya
Fukutake, 1989:2-3. Ciri perorangan petani Jepang di bentuk dalam dunia kecil bersama adat-
istiadat serta nilai-nilai untuk melayani mereka yang mengatur dunia desa, yaitu tuan tanah dan petani pemilik tanah. Hubungan tuan tanah dan penyewa buruh
tani merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur pertanian di Jepang sebelum perang. Pengaruh utama dari hubungan tuan tanah–buruh tani ini adalah
karena tanpa haknya buruh tani atas tanah yang dikerjakannya dan hak pemilik tanah yang tidak dapat di ganggu gugat. Dengan kata lain petani tidak memiliki
hak tetap untuk terus menjadi penyewa tanah sehingga mau tidak mau petani harus tunduk kepada tuan-tuan tanah mereka.
Tuan tanah merupakan golongan yang berkuasa yang menjadi raja atas lahan pertanian bagi masyarakat petani Jepang sebelum perang sedangkan, para
petani adalah sasaran penindasan dari mereka. Tuan tanah zaman Meiji tidak ikut serta menggarap tanah, tetapi menjadi parasit melalui kekuasaannya dan
mendapatkan keuntungan dari kerja keras para petani. Para tuan tanah juga tidak tertarik dalam hal penerapan teknologi baru di bidang pertanian karena mereka
telah merasa beruntung memperoleh keuntungan dari menyewakan tanah dengan pajak yang tinggi kepada para petani penggarappenyewa. Untuk itu, beban pajak
yang tinggi ini telah menyebabkan banyak petani harus menerapkan hidup hemat yang ketat sehingga tidak mampu meningkatkan produktivitas mereka melalui
mekanisasi.
Universitas Sumatera Utara
Kerja keras merupakan cara hidup petani sebelum perang, namun betapapun ketat penghematan yang dilakukan, kondisi para petani sebelum perang tidak
menjadi lebih baik. Satu-satunya jalan untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan cara meningkatkan pemakaian pupuk serta memperbaiki pembibitan
tanaman. Meskipun luas lahan yang diolah tidak bertambah, tetapi apabila produktivitasnya naik maka tingkat hidup keluarga tani akan naik, sehingga antara
tahun 1880-an sampai kira-kira tahun 1915, hasil panen padi bahan makanan pokok di Jepang naik sebesar 50. Tetapi, di tahun-tahun berikutnya kenaikan
produktivitas ini menjadi kurang berarti oleh turunya harga-harga hasil pertanian dan naiknya taraf hidup. Karena taraf hidup selalu meningkat, mereka terpaksa
menanamkan lebih banyak tenaga kerja untuk meningkatkan produktivitasnya. Namun, tambahan kecil dari pendapatan peningkatan produktivitas, serta ketatnya
upaya penghematan yang dilakukan para petani ini, sama sekali tidak berarti untuk dapat mengeluarkan mereka dari belenggu kemiskinan dan penindasan tuan
tanah sebelum Perang Dunia II terjadi.
2.2.1 Kebijakan Pemerintah
Pada zaman Edo feodalisme akhir, di bawah perintah Keshogunan Tokugawa sistem pemerintahan daerah merupakan pemerintahan diktator militer
feodalisme yang pendiri awalnya adalah Ieyasu Tokugawa. Pada zaman ini, kaisar tidak mempunyai kekuasaan pemerintahan. Di daerah juga ada 165 kepala
wilayah, yang diberi otonomi oleh pemerintah Tokugawa untuk mengatur dalam wilayahnya. Daerah tidak membayar kepada pemerintah pusat, tetapi sistem
feodal diatur sedemikian rupa sehingga harta terpusat ke tangan pedagang
Universitas Sumatera Utara
terutama pedagang wilayah Edo, sehingga Tokugawa tidak sulit mengumpulkan dana apabila dibutuhkan Situmorang 2009:85.
Tepat pada tanggal 24 Maret 1603 Ieyasu Tokugawa diangkat sebagai Shogun pada zaman Edo. Untuk mempertahankan kekuasaannya Tokugawa
membuat berbagai kebijakan. Diantaranya, Sakoku menutup diri yaitu kebijakan menutup diri dari luar negeri, dan Sankinkoutai yaitu kebijakan bahwa setiap
Daimyo harus membuat tempat tinggal keluarganya di Edo. Oleh karena itu para Daimyo wajib tinggal selang 6 bulan di Edo dan 6 bulan lagi tinggal di wilayah
kedaimyoannya. Akibat dari kebijakan Sankinkoutai tersebut, dimana untuk membiayai keluarga Daimyo yang tinggal di Edo dan untuk perjalanan para Bushi
Samurai ke Edo ini telah memakan biaya yang tidak sedikit, sedangkan penghasilan utama yang dapat di harapkan adalah dari hasil pertanian padi. Di
tambah besarnya pajak pertanian zaman Edo yang mencapai 60 dari hasil panen sedangkan para petani hanya mendapat 40 dari hasil panennya ini semakin
membuat para petani zaman Edo semakin terbebani. Bagi petani juga ada peraturan yang dinamakan Katanagari dimana
larangan memiliki senjata atau pedang agar tidak ada usaha destruktif yang berasal dari para petani. Selain itu, sistem kelas masyarakat pada zaman Edo di
tandai dengan pengawasan yang sangat ketat. Dimana setiap kelas tidak diperbolehkan pindah ke kelas masyarakat lainnya. Oleh karena itu, karena
berbagai peraturan ini dilaksanakan secara ketat, maka pada zaman ini adalah zaman yang penuh dengan ketenangan, tetapi rakyat pada zaman ini khususnya
para petani sangatlah menderita Situmorang 2009:20. .
Universitas Sumatera Utara
Setelah Restorasi Meiji kekuasan pemerintahan dikembalikan kepada Kaisar. Restorasi Meiji menandai mulainya perubahan dari masyarakat feodal
menuju ke masyarakat kapitalis. Ibukota Edo pun telah berubah menjadi Tokyo. Zaman Meiji Jepang adalah satu masa pemerintahan Jepang dari tahun 1868
sampai dengan 1912 yang ditandai dengan perubahan besar-besaran di semua bidang kehidupan masyarakat. Upeti-upeti tahunan zaman feodal yang di
wajibkan kepada petani sebagai pajak tanah berupa hasil panen pun telah diubah dengan pajak tanah berupa uang tunai. Tentu saja hal ini membuat para petani
zaman Meiji dilanda oleh kemiskinan yang lebih parah lagi. Namun, perubahan paling utama adalah di bukanya kembali negara Jepang terhadap bangsa-bangsa
asing sehingga, kaisar pun mulai meningkatkan ekonomi dan politik Jepang dengan cara mencari ilmu dari seluruh dunia. Di samping itu, pemerintahan Meiji
ingin mengadakan pembaharuan dalam merubah Jepang dari negara pertanian menjadi negara industri. Oleh kerena itu, pada masa restorasi Meiji ini ditandai
dengan menjelmanya Negara Jepang sebagai negara yang kuat dan modern. Selain itu, atas dasar pemikiran Shimin byoudou kesetaraan rakyat,
pemerintah Meiji pun mulai menghapus golongansistem kelas yang ada pada masyarakat feodal. Penghapusan sistem kelas lapisan masyarakat Jepang ini
ternyata berguna untuk merangsang hasrat rakyat dalam meningkatkan statusnya, sehingga usaha-usaha untuk menaiki tangga sosial ini mendorong terjadinya
perkembangan ekonomi Jepang.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Teknik Pertanian
Petani Jepang sebelum perang sangat bergantung pada tenaga kerja manusia dan
ternak, sedangkan mesin pertanian masih sangat sedikit jumlahnya. Pertanian yang
dilaksanakan di Jepang sampai dengan masa Tokugawa adalah pertanian tradisional dengan produksi minim. Dalam pertanian tradisional, produksi pertanian dan
konsumsi sama banyaknya dan hanya satu atau dua macam tanaman saja yang merupakan sumber pokok bahan makanan. Produksi dan produkivitas rendah karena
hanya menggunakan peralatan yang sangat sederhanatradisional. Penggunaan modal sangat sedikit sekali, sedangkan tanah dan tenaga kerja manusia merupakan faktor
produksi yang dominan. Beban pajak yang tinggi serta ketatnya hidup hemat yang di lakukan oleh petani Jepang sebelum perang adalah alasan mereka untuk enggan
mengadopsi teknologi mekanisasi di bidang pertanian. Dalam keadaan yang demikian, kekuatan motivasi utama dalam kehidupan para petani ini bukanlah meningkatkan
penghasilan, tetapi sekedar untuk mempertahankan kehidupan keluarganya saja. Satu- satunya jalan untuk memperbaiki tingkat hidupnya adalah dengan cara bekerja keras,
meningkatkan pemakaian pupuk, serta memperbaiki pembibitan tanaman yang bukan melalui sistem teknologi mekanisasi.
Pada akhir 1920-an beberapa lahan pertanian pun telah mendapatkan mekanisasi, yang hanya terbatas dengan menggunakan mesin-mesin pemipil padi
bertenaga kecil. Proses lainnya kecuali yang dapat dilakukan dengan bantuan kuda atau keledai, masih terbatas pada cara produksi yang dilakukan dengan tangan.
Sehingga pada masa sebelum perang pertanian di nilai belum mampu keluar dari tahap perkembangan teknologi mekanisasi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Pendapatan Petani
Pada tahun 1934-1936 petani pemilik tanah rata-rata menggunakan 49 pendapatannya untuk bahan pangan, petani penggarap menggunakan 52,
sedangkan buruh tani 57. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata sebagian besar petani sebelum perang, telah menggunakan separuh dari
pendapatannya untuk membeli bahan pangan. Konsumsi untuk hal-hal yang tidak mendukung keperluan hidup fisiknya dianggap tidak penting. Mereka juga sangat
beralasan untuk menerapkan hidup hemat yang sangat ketat karena sebagian besar para petani sebelum perang sangat menggantungkan pendapatannya hanya dari
pertanian dan hanya 31 keluarga tani saja yang mempunyai sebagian kecil pendapatannya di luar pertanian.
Beberapa tahun sebelum perang dunia, dalam tahun 1926 dan 1927 Biro Statistik Kabinet membuat survei pendapatan dan menunjukkan bahwa pada
umumnya kemiskinan merata pada semua desa di Jepang pada waktu itu. Keluarga petani rata-rata berpendapatan 70 bagian dari penghasilan karyawan
kantor dan 90 dari pendapatan buruh pabrik yang tidak diberi upah wajar. Keluarga petani adalah faktor yang membuat pendapatan per kapitanya menjadi
kecil. Karena pada umumnya keluarga petani itu lebih besar daripada keluarga buruh pabrik, maka perbandingan penghasilan per kapita keluarga petani menjadi
lebih rendah.
2.2.4 Gaya Hidup Petani
Sebelum Perang Dunia II sangatlah mudah membedakan anak desa dengan anak kota hanya dengan melihat dari cara berpakaiannya saja. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa masyarakat desapetani sangat identik dengan kemiskinan. Hidup sederhana, kerja keras dan kesenjangan dalam gaya hidup merupakan
akibat dari sistem stratifikasi sosial. Petani sebelum Perang Dunia II sangat beralasan untuk menerapkan hidup hemat yang ketat namun, begitu keras upaya
penghematan yang telah dilakukan para petani ini tidak dapat mengubah kondisi kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Sikap hidup hemat sebagai keutamaan
tertinggi ini telah membatasi petani dalam berbagai hal. Gaya hidup pada kebiasaan makan, khususnya pada bumbu-bumbu hanya terbatas pada kecap dan
tauco saja dan cara memasaknya pun dengan cara tradisional yaitu dengan menggunakan tungku tanah serta bambu sebagai alat untuk memperbesar api.
Sedangkan untuk mencari sumber air, mereka biasanya menggunakan ember demi ember melalui jalan yang sulit ditempuh dari sumur ke dapur. Pada bidang
rekreasi sebelum perang, biasanya hanya terbatas pada tarian rakyat dalam pesta tahunan Bon dan perayaan Shinto yang relatif sering diadakan.
Di desa, tuan tanah dan para petani, mempunyai gaya hidup masing-masing yang bertahan sampai akhir Perang Dunia II. Apabila tuan tanah membeli barang-
barang rumah tangga seperti, radio, televisi, mesin cuci dan lemari es, para petani penggarap menganggap bahwa tuan tanah sudah selayaknya memiliki barang-
barang mewah tersebut. Petani berstatus pemilik mungkin dapat membeli barang seperti itu namun, bagi petani penggarappenyewa sebagai petani tingkat paling
rendah, pembelian barang-barang mewah seperti itu sama sekali di luar batas impiannya. Keadaan ini terus berlangsung dan tidak ada perubahan yang berarti
sampai mereka menunggu sistem tuan tanah itu benar-benar hancur, yang baru terjadi sesudah Perang Dunia II dan adanya land reform.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERUBAHAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PETANI JEPANG
SETELAH PERANG DUNIA II 3.1 Pertanian dan Petani Jepang Setelah Perang Dunia II
Sejak awal zaman Meiji sampai Perang Dunia II 1868-1912, lebih dari 80 penduduk adalah petani dan pertanian merupakan pekerjaan bagi 5,5 juta
keluarga Jepang. Sebagian besar lahan pertanian adalah lahan garapan yang disewa dari tuan tanah dengan pajak yang sangat tinggi. Tuan tanah merupakan
golongan yang berkuasa yang menjadi raja atas lahan pertanian bagi masyarakat petani Jepang sebelum perang. Para petani harus tunduk kepada tuan-tuan tanah
karena mereka tidak memiliki hak tetap untuk terus menjadi penyewa tanah.
Namun, situasi berubah dan berkembang setelah perang terjadi, sistem tuan tanah
seperti ini pun mulai dihapus setelah adanya landreform perombakan tanah yang dilakukan pemerintah setelah Perang Dunia II.
Pada akhir Perang Dunia II, Jepang mengalami kekalahannya dan negara itu di duduki oleh tentara Amerika Serikat. Pada masa pendudukan inilah perubahan
terjadi secara besar-besaran dalam masyarakat pertanian Jepang. Tindakan pertama yang dilakukan pemerintah pendudukan pada waktu itu dalam usaha
mereka membangun daerah pertanian Jepang ialah melaksanakan landreform perombakan tanah secara besar-besaran. Landreform adalah perombakan tanah
dimana pemerintah membeli semua tanah yang dimiliki oleh para tuan tanah dan kelebihan tanah yang dimiliki oleh tuan tanah yang tinggal di daerah pedesaan,
kemudian menjual tanah tersebut kepada para petani penyewa dengan harga yang murah.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum Perang Dunia II, jumlah petani sebagai pemilik tanah pada umumnya tidak lebih dari sepertiga jumlah keseluruhan petani dan 70 adalah
lahan garapan yang disewa dari tuan tanah. Karena sebagian besar lahan disewa dari tuan tanah dengan pajak yang tinggi, membuat para petani tidak mempunyai
banyak dorongan untuk meningkatkan produktivitasnya. Selain itu, waktu untuk menggarap sawah yang tidak menentu, membuat para buruh tani tidak tertarik
untuk bekerja keras karena tuan tanah sewaktu-waktu dapat mencabut hak penggarapan atas mereka. Namun, setelah perang usai keadaan ini pun mengalami
perubahan. Landreform yang menghapus sistem tuan tanah telah berhasil menambah status buruh petanipetani penyewa menjadi petani pemilik tanah yang
jumlahnya semakin meningkat dari tahun-ketahun setelah Perang Dunia II terjadi. Tentu saja hal ini menunjukkan adanya perubahan pada status kepemilikkan
tanah. Setelah landreform, petani pemilik tanah kini semakin bertambah sedangkan status petani penyewa semakin berkurang dari tahun- ketahun.
Menurut data yang ada, petani pemilik tanah dalam tahun 1946 hanya berjumlah sedikit lebih dari 30 dari jumlah seluruh petani, tetapi dalam 4 tahun kemudian
jumlahnya menjadi 61,9, dan pada tahun 1975 menjadi 84,1 dari jumlah seluruh petani. Petani penyewamenggarap tanah orang lain hampir 30 pada
tahun 1946 juga menurun pada tahun 1975 menjadi 1,1 Fukutake, 1989:7. Sebelum Perang Dunia II dan landreform terjadi, panen sebesar 3.000kg tiap
hektar sudah dianggap tinggi, tetapi pada tahun 1950 hasil panen sebesar itu pun menjadi biasa. Sesudah landreform, hasil panen padi yang menjadi makanan
pokok bangsa Jepang ini pun terus mengalami peningkatan dan pada tahun 1975 hasil panen tersebut meningkat menjadi 4.500kg per hektar. Peningkatan ini
Universitas Sumatera Utara
disebabkan landreform 1946 yang secara tidak langsung telah memberikan dorongan dan perubahan ke arah produktivitas yang lebih tinggi. Karena kalau
petani memiliki tanahnya sendiri, otomatis akan mendorong para petani tersebut untuk meningkatkan produktivitasnya.
Kenaikan produktivitas ini sangat erat hubungannya dengan kemajuan ekonomi dan industri Jepang. Adanya kenaikan produktivitas sektor pertanian ini,
berarti tersedianya cukup bahan makanan bagi rakyat Jepang, sehingga dapat membantu pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi serta membangun kembali
perindustrian Jepang yang telah hancur pasca Perang Dunia II. Sehingga pada tahun 1955, perekonomian dan industri Jepang pun mulai menunjukkan
perkembangan yang sangat cepat. Petani sebelum perang juga diidentikkan dengan masyarakat yang miskin
serta terikat dengan ideologi-ideologi yang dikembangkan oleh kaum feodal nohonshugi yang bertujuan agar para petani tidak menuntut atas perbaikan
hidupnya. Namun setelah Perang Dunia II usai, di samping membebaskan para petani dari eksploitasi ekonomi tuan tanah, landreform yang dibuat oleh
pemerintah juga membebaskan diri mereka dari belenggu ideologi yang dikembangkan oleh kaum feodalis jepang nohonshugi masa sebelum perang.
Pudarnya ideologi ini menyebabkan sikap nrimo di kalangan petani menjadi hilang. Runtuhnya sistem kelas dan ideologi feodalisme sangat cepat mendorong
pemikiran menuju “kehidupan yang lebih baik” pada semua tingkatan petani. para petani kini tidak lagi mendukung nilai-nilai hidup yang mengharuskan mereka
untuk hidup sederhana. Pola hidup yang bersifat konsumtif pun mulai tumbuh seiring perkembangan waktu. Seluruh masyarakat petani Jepang mulai
Universitas Sumatera Utara
menginginkan standar kehidupan yang lebih baik serta keinginan untuk menikmati kemudahan-kemudahan yang dahulu hanya dimiliki oleh golongan atas
tuan tanah pun mulai berkembang. Selain itu, lunturnya ideologi ini juga merangsang para petani untuk berpikir membuat pekerjaan tani menjadi lebih
menguntungkan. Kesediaan mencoba apa saja untuk memperbaiki pekerjaan sendiri maupun pekerjaan keluarganya dalam bentuk gaji, dan teknologi pertanian
ke arah modernisasi pun mulai berkembang. Ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan kondisi petani sebelum perang. Beban sewa yang tinggi dan
belenggu ideologi kaum feodalis tersebut menyebabkan para petani untuk selalu menerapkan sikap hidup hemat yang luar biasa demi kelangsungan hidupnya,
sehingga sikap hidup hemat ini sangat membatasi mereka dalam berbagai hal. Sehingga hal ini berdampak pada ketidaktertarikannya para petani untuk
mengembangkan pertanian ke arah mekanisasi dan modernisasi.
3.1.1 Perubahan Kebijakan Pemerintah
Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menyebabkan negara ini kehilangan kedaulatannya dan dikuasai oleh Sekutu. Berdasarkan isi dari
Deklarasi Potsdam, Sekutu sebagai pihak pemenang dalam Perang Dunia II mempunyai hak untuk menduduki Jepang. Dengan penerimaan Deklarasi Potsdam
oleh pemerintah Jepang tersebut, maka dimulailah masa pendudukan Sekutu di Jepang. Masa pendudukan Sekutu di Jepang berlangsung kurang lebih selama
tujuh tahun yang dimulai dari tahun 1945 dan berakhir sampai tahun 1952.
Universitas Sumatera Utara
Selama masa pendudukan tersebut Jepang harus melaksanakan kebijakan yang disampaikan oleh pemerintah pendudukan Sekutu.
Kekuasaan tertinggi pemerintah pendudukan Sekutu di Jepang terletak pada Panglima Tertinggi Pasukan Sekutu Supreme Commander of the Allied Power
SCAP. Pemimpin SCAP dijabat oleh seorang jenderal dari Amerika Serikat yang bernama Douglas MacArthur. Tugas utama dari SCAP adalah menjadi
pengantara antara pemerintah Amerika Serikat dengan pemerintah Jepang. SCAP memberikan instruksi kepada pemerintah Jepang untuk melaksanakan kebijakan
yang disampaikan oleh Amerika Serikat. Walaupun pendudukan terhadap Jepang mengatasnamakan Sekutu, dalam kenyataannya garis besar dan arah kebijakannya
di Jepang lebih didominasi dan ditentukan oleh Amerika Serikat. Oleh karena itu, peran Amerika Serikat sangat dominan dalam mereformasi dan mengatur Jepang
sesuai dengan kebijakan dan kepentingan Amerika Serikat. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II memunculkan banyak masalah
dalam bidang sosial dan ekonomi di dalam negeri Jepang. Selama masa perang, kota-kota yang penting bagi Jepang seperti Tokyo, Osaka, Nagoya, Kobe, dan
Yokohama diserang oleh pasukan Sekutu melalui serangan udara. Penyerangan pasukan Sekutu tersebut bukan hanya menghancurkan fasilitas penting untuk
transportasi di Jepang seperti bandara, pelabuhan, jalan raya, rel kereta api tetapi juga menghancurkan sebagian besar infrastruktur seperti pemukiman penduduk,
gedung-gedung dan pabrik. Serangan udara tersebut menghancurkan hampir sebagian besar fasilitas dan infrastruktur yang terdapat di dalam negeri.
Kehancuran tersebut memunculkan masalah sosial karena banyak orang yang kehilangan tempat tinggalnya. Selain itu di bidang ekonomi karena pabrik-pabrik
Universitas Sumatera Utara
juga hancur, maka kegiatan produksi menjadi terhenti. Hal itu membuat banyak orang kehilangan pekerjaan sehingga menambah jumlah pengangguran. Jepang
juga mengalami kekurangan persediaan makanan bagi rakyatnya karena terjadi gagal panen dan produksi pangan mengalami penurunan setelah perang berakhir.
Hubungan perdagangan dengan negara asing dan daerah koloni Jepang juga menjadi terputus. Selain itu Jepang sebagai negara yang kalah harus membayar
ganti rugi perang dan kehilangan daerah koloninya di luar negeri seperti Manchuria, Korea dan lain-lain.
Untuk membangun kembali industri Jepang yang telah hancur karena bom serta membangun kembali perekonomiannya adalah dengan cara jaminan
pengadaan pangan yang terkendali melalui terjaminnya pengadaan beras yang murah. Keharusan pengadaan beras ini dapat dijamin dengan cara meringankan
beban sewa tanah buruh tani. Oleh karena itu, pemerintah menyadari bahwa pemilikan tanah sangatlah diperluka n. Perubahan-perubahan kebijakan pemerintah
setelah perang ini sangat berpengaruh besar terhadap stabilitas ekonomi, sosial, dan politik masyarakat pertanian Jepang sesudah perang.
Pada bulan Desember 1945, hanya beberapa bulan setelah menyerah kalah perang, sebuah rencana undang-undang telah diajukan kepada parlemen yang
berisi Hukum Perubahan Tanah Agraria. Rencana undang-undang ini secara umum dikenal dengan landreform yang pertama, yang berisi peraturan baru
bahwa tuan tanah hanya boleh memiliki sebanyak-banyyaknya 5 hektar tanah pertanian, dan merencanakan peralihan pemilikan tanah atas 40 lahan buruh tani
dalam jangka waktu 5 tahun. Tetapi SCAP dalam “Memorandum atas Land reform” menyarankan pemerintah Jepang untuk bertindak lebih jauh dan
Universitas Sumatera Utara
menghentikan tata ekonomi yang memperbudak petani Jepang selama berabad- abad perbudakan feodal. Hukum pertama diundangkan, tetapi SCAP menunda
berlakunya dan menyarankan pemerintah untuk melaksanakan landreform yang lebih mendasar. Tindakan ini meletakkan kerangka dasar bagi perubahan kedua
yang dimulai pada tahun berikutnya 1946. Paket undang-undang baru itu memungkinkan negara untuk membeli tanah yang tidak dimiliki oleh tuan tanah
setempat, dan membeli semua tanah sewa yang lebih luas dari 1 hektar yang dimiliki oleh petani setempat. Kemudian, tanah yang di beli pemerintah itu di jual
kembali dengan harga yang murah kepada para buruh tani. Peraturan baru itu juga mengalami perubahan agar melarang pembayaran sewa dalam bentuk bukan uang,
jadi semua sewa harus dibayar dengan uang tunai, dan harganya dikendalikan untuk menghindari tarif sewa yang terlalu tinggi. Kondisi ini sangat berbeda
apabila kita bandingkan dengan kebijakan pemerintahan sebelum perang khususnya pada Zaman Edo yang menetapkan pajak pertanian sebesar 60 dari
hasil panen sedangkan petani hanya mendapat 40 nya saja. Sebelum perang, sebagian besar tanah pertanian dikuasai oleh tuan-
tuan tanah. Sedikitnya jumlah petani pemilik tanah dan banyaknya jumlah petani penyewa tanah menyebabkan hubungan tuan tanah dan penyewa buruh tani
merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur pertanian di Jepang zaman sebelum perang. Pengaruh utama dari hubungan tuan tanah – buruh tani ini karena
buruh tani tidak mempunyai hak atas tanah yang dikerjakannya dan hak pemilik tanah yang tidak dapat diganggu gugat, dengan kata lain petani tidak memiliki hak
tetap untuk terus menjadi penyewa tanah sehingga mau tidak mau petani harus tunduk kepada tuan-tuan tanah mereka. Namun, setelah perang usai, perubahan
Universitas Sumatera Utara
kebijakan yang dilakukan pemerintah atas status kepemilikan tanah landreform ini perlahan-lahan telah menghapus hubungan feodal antara tuan tanah dengan
petani penyewa tanah buruh tani dan landreform juga berhasil membuat para petani penyewapenggarap berkesempatan untuk memiliki tanah pertaniannya
sendiri. Selain itu, untuk melindungi petani dari “serangan” produk impor,
pemerintah juga menetapkan harga jual produk impor yang tidak boleh lebih murah daripada produk lokal. Pengimpor boleh menjual barangnya di bawah
harga produk lokal, dengan syarat selisih harga harus disetor ke pemerintah. Sebagai ilustrasi, seandainya importir menjual beras impor 1.000kg, sementara
harga beras lokal 1.200kg, maka importir harus menyetor ke pemerintah sebesar 200. Kebijakan ini sangat membantu petani, karena harga jual produknya dapat
bersaing dengan produk impor http:aceh.tribunnews.com20120704sejah teranya-petani-jepang 692013.
3.1.2 Perubahan dalam Teknik Pertanian
Landreform sesudah perang yang dilaksanakan pada masa pendudukan membuka kemungkinan-kemungkinan baru ke arah pembangunan pertanian.
Perubahan akibat landreform tersebut memberikan dorongan sehingga para petani dirangsang untuk mempelajari teknologi baru dalam bidang pertanian. Kemajuan
yang dicapai dalam penggunaan dan pengembangan teknologi pertanian mendorong peningkatan produksi hasil panen khusunya bahan makanan pokok.
Peningkatan hasil panen ini sangat erat kaitannya dengan mekanisasi.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum perang, sikap hidup hemat sebagai keutamaan tertinggi telah membatasi para petani dalam berbagai hal. Sebagian besar para petani tidak
tertarik untuk menerapkan sistem mekanisasi di bidang pertanian karena beban sewa tanah yang sangat tinggi. Sebelum perang, pertanian Jepang yang
dilaksanakan sampai masa Tokugawa adalah pertanian tradisional. Selain itu, petani sebelum perang sangat bergantung kepada tenaga kerja manusia dan ternak,
sedangkan jumlah mesin-mesin pertanian khususnya mesin penyebar benih masih sangat sedikit jumlahnya. Beberapa lahan telah mendapatkan mekanisasi sejak
akhir 1920-an, tetapi penggunaan mesin penyebar benih terus meningkat dari tahun-tahun berikutnya.
Pada tahun 1950, penggunaan mesin bertenaga kecil dengan bahan bakar bensin semakin luas dipergunakan. Menurut data yang ada pada tahun 1960-an,
ada 500.000 mesin digunakan di dalam pertanian Jepang dan pada tahun 1978 jumlahnya telah meningkat lagi menjadi 3.300.000 buah mesin. Pada tahun 1965,
para petani mulai menggunakan mesin pertanian yang lebih besar. Mereka telah menggunakan 25.000 buah traktor-traktor dengan pengemudi dan pada tahun
1980 an jumlahnya meningkat menjadi 650.000 buah mesin. Pada tahun 1965 mesin panen belum ada, tetapi pada tahun 1970 mesin-
mesin panen telah dipergunakan sebanyak 45.000 buah dan meningkat pada tahun 1975 menjadi 340.000 buah mesin. Pada tahun 1970 juga terdapat mesin penanam
yang jumlahnya 30.000 buah mesin dan pada tahun 1975 mengalami peningkatan sebanyak 740.000 buah mesin. Namun, meluasnya penggunaan mesin-mesin
pertanian beserta peningkatan produktivitasnya telah membawa dampak luas pada
Universitas Sumatera Utara
pertanian Jepang itu sendiri, sehingga didalamnya juga terdapat masalah-masalah baru yang sulit untuk dipecahkan Fukutake, 1989:9.
Perkembangan pertanian di masa sesudah perang, ditandai dengan penyebaran mesin sedangkan, pertanian Jepang pada saat itu sedang dalam
keadaan “pengobatan”, sehingga masalah-masalah seperti ini masih jauh dapat dipecahkan. Mekanisasi berdasarkan mesin bertenaga kecil dapat menguntungkan
pada pertanian kecil di Jepang, namun modal untuk itu masih terlalu besar untuk petani perorangan. Seiring perkembangan bangsa Jepang ke arah mekanisasi yang
lebih maju, mengakibatkan pemborosan di bidang pertanian pun menjadi lebih besar, sedangkan masalah mesin bertenaga kecil terdahulu masih belum
terpecahkan. Pada perkembangan awal mekanisasi pertanian yang masih sederhana, yaitu
dengan mesin-mesin pembibitan, petani-petani Jepang telah mempergunakan lebih banyak energi untuk mengolah tiap meter persegi tanah apabila
dibandingkan dengan petani mana pun di dunia. Hal ini disebabkan karena tanah pertanian Jepang yang sangat sempit yang tidak sebanding dengan perkembangan
mesin-mesin mekanisasi yang masuk ke pertanian Jepang. Masalahnya sekarang adalah bagaimana meneruskan mekanisasi tanpa
beban penanaman modal yang berat sehingga hal ini membuat krisis bagi para petani Jepang. Dengan kata lain, petani Jepang telah mampu meningkatkan
pendapatannya dengan hasil panen yang lebih besar melalui sistem mekanisasi, tetapi harga pupuk, obat hama, dan bibit selalu naik. Beban finansial para petani
juga semakin besar dikarenakan adanya penambahan biaya sebagai modal dan perawatan mesin-mesin pertanian. Tingkat hidup mereka telah meningkat jauh
Universitas Sumatera Utara
lebih cepat dibandingkan pada masa sebelum perang namun, naiknya harga pupuk dan bibit dan ditambah besarnya modal dan biaya operasional mesin pertanian
tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka hasilkan selama ini, sehingga hal ini dapat menyebabkan krisis ekonomi bagi para petani. Selain itu dapat
disimpulkan bahwa pertanian tidak dapat memberikan sumber pendapatan yang cukup bagi sebagian besar petani Jepang untuk mempertahankan atau
meningkatkan taraf hidupnya, sehingga sebagian besar petani mencari tambahan pendapatan pada pekerjaan di sektor lain.
Selama masa pertumbuhan yang cepat dalam tahun 1960-an, kesenjangan antara apa yang di hasilkan pertanian dengan kenaikan taraf hidup di Jepang
semakin besar. Perjuangan yang selama ini mereka tempuh telah mengecilkan hati sebagian besar para petani. Mereka menganggap bahwa pekerjaan sebagai petani
masih mengkhawatirkan untuk masa depan. Hal ini kemudian menyebabkan banyaknya petani, khususnya para pemuda yang menyerah dan berputus asa atas
pertanian sehingga, sebagian besar dari mereka banyak yang berpindah ke kota untuk beralih ke pekerjaan bidang nonpertanian.
3.1.3 Perubahan Pendapatan Petani
Sekitar tahun 1955 ekonomi berganti arah dan beralih dari penyembuhan ke pertumbuhan. Pertumbuhan pesat ini adalah akibat langsung kemajuan industri
manufaktur perkotaan. Karena ada anggapan bahwa pekerjaan sebagai petani masih mengkhawatirkan untuk masa depan, hal ini menyebabkan sebagian besar
petani, khususnya para pemuda yang menyerah dan berputus asa atas pertanian berpindah ke pekerjaan di bidang lain yang berada di daerah perkotaan dan
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan jumlah penduduk pertanian semakin menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1950 jumlah tenaga kerja pertanian sebesar 45,2, sedangkan pada
tahun 1960 jumlahnya menurun menjadi 30,1 serta menurun lagi menjadi 17,9 pada tahun 1967-an Fukutake, 1989:12. Alasan utama penurunan pada
penduduk petani ini adalah naik dan meluasnya industri dengan cepat yang terus- menerus menyerap banyak pekerja usia produktif desa pertanian dan
meningkatnya penggunaan mesin-mesin mekanisasi yang mengakibatkan tenaga untuk tiap satuan bidang lahan lebih besar.
Pertanian merupakan batu loncatan bagi industri dan perkembangan ekonomi Jepang, tetapi industri sebelum perang tidak pernah menyerap cukup
banyak petani untuk mengurangi jumlah rumah tangga tani. Industri hanya mengurangi pertumbuhan yang tajam jumlah keluarga tani dengan cara menyerap
semua anak laki-laki yang lebih muda, yang kemudian menjadi sumber tenaga kerja industri di kota-kota.
Setelah perang usai, para petani usia produktif yang mulai meninggalkan wanita dan orang-orang tua untuk bekerja di ladang pertanian menyebabkan
jumlah tenaga kerja di pertanian menurun, sedangkan umur rata-rata mereka yang bekerja di pertanian semakin tinggi. Dengan kata lain, umur rata-rata tenaga kerja
di pertanian akan terus meningkat. Pada tahun 1960, seperempat dari pekerja tani yang memegang tanggung jawab utama dalam usaha pertanian berumur di bawah
30 tahun menurun hingga menjadi 8 saja. Sebaliknya pekerja tani yang berumur 40 tahun keatas meningkat menjadi 75. Masalah pergeseran umur ini sangat
menonjol apabila dibandingkan dengan sektor nonpertanian, lebih dari 40 umur
Universitas Sumatera Utara
mereka dibawah 30 tahun dan hanya sepertiganya saja yang berumur 40 tahun keatas.
Sebelum perang, kerap sekali petani-petani itu hidup dengan kemiskinan. Menurut laporan survei tahun 1926-1927 tentang anggaran keluarga yang
dilakukan oleh Biro Statistik Kabinet, pendapatan petani sebelum perang hanya 70 dari pendapatan karyawan kantor, dan 90 dari pendapatan pekerja kasar
buruh. Karena pada umumnya keluarga petani itu lebih besar daripada keluarga pekerja kasar buruh, maka perbandingan pendapatan perkapitanya menjadi lebih
rendah lagi. Segera sesudah perang, pendapatan para petani melebihi pendapatan pekerja upahan dan gajian. Pada tahun 1960 pendapatan petani mengalami
perubahan yaitu 85 dari pendapatan karyawan kantor dan 112 dari pendapatan pekerja kasar buruh. Pendapatan rumah tangga petani mengalami peningkatan
lagi pada tahun 1972, bahkan pendapatan dari keluarga petani telah melebihi pendapatan pekerja upahan dan pegawai gajian.
Sebelum Perang, sebagian besar para petani menggunakan 50 pendapatannya untuk membeli bahan pangan, tetapi setelah perang sebagian besar
mereka menggunakan kurang dari 30 saja, sedangkan 23 pendapatannya dipergunakan untuk keperluan lain di luar kebutuhan pangan . Hal ini terjadi
karena petani setelah perang selalu berusaha menekan biaya bahan pangan sehingga dapat menggunakannya untuk keperluan pendidikan dan hiburan yang
terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Selain itu, sebagian besar para petani sebelum perang mengandalkan pendapatan mereka hanya dari pendapatan
pertanian. Namun setelah perang usai, dan karena adanya perpindahan para pemuda ke kota untuk mencari pendapatan di bidang nonpertanian menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
adanya 2 sumber pendapatan di dalam keluarga petani tersebut dan keluarga petani yang hanya menggantungkan pendapatan hanya dari pertanian pun semakin
menurun. Pada tahun 1963, pendapatan keluarga petani dari sumber-sumber
nonpertanian mempunyai jumlah yang lebih besar apabila dibandingkan dengan sumber-sumber pendapatan dari hasil pertanian itu sendiri. Perbandingan
pendapatan antara pertanian dan nonpertanian itu meningkat dari tahun ke tahun, sehingga pada tahun 1970 hanya 32 pendapatan keluarga petani yang berasal
dari sumber pekerjaan bertani saja, dan angka itu terus menurun menjadi 29 di tahun 1975.
Setelah perang, sebagian besar keluarga petani mulai menggantungkan pendapatan pokoknya bukan dari hasil bertanipertanian saja, tetapi sebaliknya
mereka mulai menggantungkan hidupnya dari hasil pendapatan nonpertanian. Hal ini menyebabkan kecenderungan para pemuda meninggalkan pertanian akan
semakin kuat dan keluarga petani yang menjadikan pertanian sebagai pekerjaan sambilan pun terus meningkat, seakan-akan keluarga petani Jepang telah menjadi
keluarga “bukan petani”. Singkatnya, pertanian bukan lagi menjadi sumber utama penghidupan bagi semua petani, termasuk petani kecil dengan lahan yang sempit,
sedangkan pekerjaan nonpertanian menjadi semakin penting artinya. Pertumbuhan ekonomi yang cepat telah memperbesar kesenjangan antara
pertanian dengan sektor lain. Perbedaan tingkat hidup di kota dan di desa mulai menurun pada masa-masa pertumbuhan ekonomi berikutnya. Bukan karena
meningkatnya pendapatan pertanian, tetapi lebih disebabkan oleh peningkatan pendapatan keluarga petani dari penghasilan pekerjaan nonpertanian. Kini para
Universitas Sumatera Utara
petani mulai bergantung pada pekerjaan-pekerjaan di bidang nonpertanian dan mereka mulai meninggalkan pertanian sebagai pekerjaan utama mereka.
3.1.4 Perubahan Gaya Hidup Petani
Perang Dunia II membawa perubahan besar dalam kehidupan petani dan masyarakat desa. Landreform di samping membebaskan para petani dari
eksploitasi ekonomi tuan tanah juga membebaskan diri mereka dari belenggu ideologi yang dikembangkan oleh kaum feodalis jepang nohonshugi. Pudarnya
ideologi ini mulai merangsang para petani untuk berpikir membuat pekerjaan tani menjadi lebih menguntungkan. Keuntungan yang di dapat karena memproduksi
bahan pangan dan meningkatnya pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan nonpertanian lambat laun menutup jurang antara tingkat hidup kota dan desa
selama Perang Dunia II , sampai perbedaan tingkat hidup antara kota dan desa pun menurun. Sebelum Perang Dunia II sangat mudah membedakan anak desa
dan kota hanya melihat dari cara berpakaiannya saja , namun kondisi ini berubah setelah Perang Dunia II terjadi. Batasan-batasan seperti ini semakin buram dan
tidak jelas karena perbandingan belanja keluarga di kota dan di daerah desa khususnya pertanian semakin mendekati titik persamaan.
Setelah Perang Dunia II, pendapatan keluarga petani lebih besar apabila dibandingkan dengan pegawai kantor dan pekerja pabrikburuh. Hal ini
disebabkan adanya 2 sumber pendapatan keluarga petani, yaitu pendapatan pertanian dan nonpertanian. Pada tahun 1963, pendapatan keluarga petani dari
sumber-sumber nonpertanian mempunyai jumlah yang lebih besar apabila dibandingkan dengan sumber-sumber pendapatan dari hasil pertanian itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Kenaikan pendapatan nonpertanian meningkat dengan cepat, sehingga pada tahun 1972 belanja per kapita rumah tangga petani 7 lebih tinggi dari belanja per
kapita rata-rata pekerja lain di seluruh negara fukutake, 1989:20. Setelah landreform, impian demokrasi dan runtuhnya sistem kelas sangat
cepat mendorong pemikiran menuju “kehidupan yang lebih baik” pada semua tingkatan petani setelah perang. Petani tidak lagi mendukung nilai-nilai hidup
yang mengharuskan mereka untuk hidup sederhana. Kini seluruh masyarakat petani Jepang mulai menginginkan standar kehidupan yang lebih baik. Keinginan
untuk menikmati kemudahan-kemudahan yang dahulu hanya dimiliki oleh golongan bangsawan pun mulai berkembang.
Sebelum Perang Dunia II sebagian besar petani tidak dapat bermimpi untuk memiliki kendaraan mobil serta barang-barang rumah tangga seperti TV, mesin
cuci, lemari es, dan radio, tetapi pada tahun 1980-an barang-barang rumah tangga seperti ini 90 telah dimiliki oleh keluarga petani dan pada tahun 1970,
pemilikan mobil oleh keluarga petani pun telah melebihi mereka yang bukan petani masyarakat kota. Keluarga petani yang memiliki mobil sebesar 58
sedangkan, keluarga bukan petani 42 dan peningkatan ini terus terjadi hingga tahun 1975. Selain itu, gaya hidup petani seperti pakaian, pangan, dan perumahan
juga mengalami perubahan dengan sendirinya seiring perkembangan waktu setelah perang usai.
Pada tahun 1960, sekitar 60 masyarakat desa pertanian pada waktu itu bergantung pada pompa air tangan dan ember untuk mencari air, hanya 25
pemukiman petani yang terjangkau jaringan air minum dan kurang dari 10 yang mendapatkannya dari bak air untuk umum. Tetapi, pada tahun 1975, lebih dari
Universitas Sumatera Utara
60 pemukiman di desa pertanian telah terlayani jaringan pipa air minum. Hal ini merupakan perubahan besar apabila dibandingkan dengan pada keadaan 15 tahun
yang lalu. Zaman ibu petani membungkuk di depan tungku pun telah berlalu. Meniup pipa bambu untuk membesarkan api atau mengangkat air dengan ember
melalui jalan yang sulit ditempuh dari sumur ke dapur hampir tidak ada lagi. Dapur yang tua pun kini telah dibenahi dan penggunaan gas propan pun sudah
mulai menggantikan kayu dan arang. Pada tahun 1975 hampir separuh dari desa petani telah memiliki
pembuangan sampah atau perusahaan swasta yang menangani masalah itu. Survey tahun 1975 menunjukan bahwa 27 pedesaan, pembuangan sampah dilakukan
oleh pemerintah setempat, dan 17 ditangani perusahaan swasta, sedangkan 55 penduduk pertanian masih menangani pembuangan sampahnya sendiri. Faktor
utama yang menggeser pembuangan sampah ke arah perusahaan ialah adanya perluasan wilayah geografis, politis dan ekonomi, serta peleburan desa pinggiran
kota menjadi kota, sehingga penduduk desa turut menikmati fasilitas umum kota Fukutake, 1989:26.
Di samping itu seiring perkembangan waktu setelah perang, petani kini mulai mengenakan pakaian jaket olahraga yang sama dengan masyarakat kota.
Istri mereka pun mulai pergi ke salon-salon kecantikan dan memilih tata rambut yang sama dengan saudara-saudaranya di kota. Perubahan pada menu makanan
pun berubah secara drastis. Mereka mulai memasukan berbagai macam bumbu disamping miso, garam, dan kecap. Selain itu, pada peralatan dapur juga
mengalami perubahan. Kini peralatan dapur menjadi lebih mudah untuk dipakai.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum perang, kesempatan rekreasi di daerah-daerah pedesaan hanya terbatas pada tarian rakyat dalam pesta tahunan Bon dan perayaan Shinto untuk
dewa-dewa. Namun setelah perang terjadi, para petani sering kali pergi kekota- kota sekitarnya untuk mencari hiburan. Hampir 30 petani berpergian tiap tahun
dan bermalam sedikitnya di losmen atau hotel serta membelanjakan uangnya hampir sebanyak keluarga perkotaan. Melihat TV dan pariwisata beregu yang
terdiri dari para petani ke daerah-daerah lain di Jepang, bahkan kadang-kadang sampai ke luar negeri adalah suatu hal yang biasa. Karena erat kaitannya dengan
dunia perkotaan, kini masyarakat desa pertanian setelah perang telah banyak mengalami perubahan di dalam kehidupannya yang banyak mengambil pola
kehidupan perkotaan dalam kegiatan sehari-harinya. Seiring meluasnya hubungan dengan dunia luar, keinginan untuk pendidikan
lanjutan pun mengalami meningkat. Setelah perang tidak ada seorang pun yang percaya bahwa “petani tidak perlu pendidikan”, atau takut kalau anak-anak pergi
ke sekolah lanjutan mereka tidak akan mau meneruskan pekerjaan tani di ladang orang tuanya. Pada tahun 1960-an hanya kurang lebih 50 anak petani yang
bersekolah lebih dari 9 tahun yang diwajibkan, namun pada tahun 1975-an 90 dari mereka melanjutkan pendidikannya setelah lulus sekolah lanjutan pertama.
Angka ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan angka untuk wilayah perkotaan.
Pemikiran akan hari depan telah mendorong berdirinya fasilitas pendidikan setempatsarana latihan untuk anak-anak muda berdasarkan anggapan bahwa
sekolah lanjutan saja tidak mampu mempersiapkan seseorang untuk bekerja pada pertanian modern. Dengan kata lain, masyarakat pedesaan pertanian Jepang kini
Universitas Sumatera Utara
telah berhasil menstransformasikan keadaan mereka, yang bermula dari sangat terbelakang menjadi ke masyarakat pedesaan yang maju dan modern. Sehingga
kini tidak memungkinkan lagi memperlakukan masyarakat desa petani sebagai “masyarakat pertanian” seperti yang dulu.
3.2 Analisis Perubahan Kehidupan Masyarakat Petani Jepang Setelah Perang Dunia II