Analisis Perubahan Kehidupan Masyarakat Petani Jepang Setelah Perang Dunia II

telah berhasil menstransformasikan keadaan mereka, yang bermula dari sangat terbelakang menjadi ke masyarakat pedesaan yang maju dan modern. Sehingga kini tidak memungkinkan lagi memperlakukan masyarakat desa petani sebagai “masyarakat pertanian” seperti yang dulu.

3.2 Analisis Perubahan Kehidupan Masyarakat Petani Jepang Setelah Perang Dunia II

Petani sebelum perang diidentifikasikan dengan masyarakat yang miskin, memiliki keterbelakangan budaya, serta terikat oleh ideologi-ideologi yang dikembangkan kaum feodal nohonshugi. Ideologi ini digunakan oleh kaum feodal Jepang untuk membius para petani agar tidak menuntut perbaikan hidup mereka. Selain itu, sangat mudah membedakan masyarakat desa dengan kota hanya dengan melihat cara berpakaiannya saja. Namun keadaan ini berubah pada saat Perang Dunia II usai. Landreform di samping membebaskan para petani dari eksploitasi ekonomi tuan tanah juga membebaskan diri mereka dari belenggu ideologi yang dikembangkan oleh kaum feodalis jepang nohonshugi. Pudarnya ideologi ini mulai merangsang para petani untuk berpikir membuat pekerjaan tani menjadi lebih menguntungkan. Keuntungan yang di dapat karena memproduksi bahan pangan dan meningkatnya pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan nonpertanian lambat laun menutup jurang antara tingkat hidup kota dan desa. Sehingga yang dahulu sangat mudah membedakaan anak kota dan anak desa hanya dengan melihat dari cara berpakaiannya ini, semakin lama semakin buram dan tidak jelas. Hal ini disebabkan seiring perkembangan waktu setelah perang Universitas Sumatera Utara perbandingan belanja keluarga di kota dan di daerah desa khususnya pertanian semakin mendekati titik persamaan. Sebelum perang, buruh tani tidak memiliki hak tetap untuk terus menjadi penyewa tanah sehingga mau tidak mau petani harus tunduk kepada tuan-tuan tanah mereka. Tuan tanah merupakan golongan yang berkuasa yang menjadi raja atas lahan pertanian bagi masyarakat petani Jepang sebelum perang. Dengan demikian para petani segera menjadi sasaran penindasan dari tuan tanah mereka. Selain itu, tuan tanah tidak ikut serta menggarap tanah, tetapi menjadi parasit melalui kekuasaannya atas kehidupan petani dan mendapatkan keuntungan dari mereka. Selain itu, jumlah petani sebagai pemilik tanah sebelum perang pada umumnya tidak lebih dari sepertiga jumlah keseluruhan petani dan 70 adalah lahan garapan yang disewa dari tuan tanah dengan pajak yang sangat tinggi. Pajak tanah yang terlalu tinggi serta kebijakan Sankinkkoutai pada zaman Edo, telah mendorong para petani untuk menerapkan hidup hemat agar kebutuhan pangan keluarganya dapat terpenuhi. Betapapun ketat penghematan yang mereka lakukan, kondisi para petani sebelum perang tidak dapat menjadi lebih baik. Pajak yang tinggi ditambah kebijakan sakinkoutai yang sangat membebani para petani juga menyebabkan para petani tidak mampu meningkatkan produktivitas mereka melalui mekanisasi. Satu-satunya jalan untuk meningkatkan produktivitas pertanian sebelum perang adalah dengan cara meningkatkan pemakaian pupuk serta memperbaiki pembibitan tanaman. Keadaan ini segera berubah setelah pemerintah membuat kebijakan land reform. Landreform adalah perombakan tanah dimana pemerintah membeli semua tanah yang dimiliki oleh para tuan tanah dan kelebihan tanah yang dimiliki oleh Universitas Sumatera Utara tuan tanah yang tinggal di daerah pedesaan, kemudian menjual tanah tersebut kepada para petani penyewa dengan harga yang murah. Landreform yang menghapus sistem tuan tanah ini telah berhasil menambah status buruh petanipetani penyewa menjadi petani pemilik tanah yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun-ketahun setelah Perang Dunia II terjadi. Meningkatnya jumlah petani yang memiliki lahan pertaniannya sendiri telah mendorong mereka untuk meningkatkan produktivitasnya di bidang teknologi mekansisasi, sehingga hasil panen padi yang menjadi makanan pokok bangsa Jepang ini pun terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun setelah perang berikutnya. Setelah Restorasi Meiji, kekuasan pemerintahan dikembalikan kepada kaisar. Restorasi Meiji menandai mulainya perubahan dari masyarakat feodal menuju ke masyarakat kapitalis. Pemerintahan Meiji ditandai dengan perubahan besar-besaran di semua bidang kehidupan masyarakat. Perubahan paling utama adalah dibukanya kembali negara Jepang terhadap bangsa-bangsa asing. Jepang yang selama sekitar 2,5 abad menutup diri karena politik pemerintahan. Pemerintah Meiji juga menghapus golongansistem kelas masyarakat feodal atas dasar pemikiran Shimin byoudou kesetaraan rakyat. Penghapusan sistem kelas lapisan masyarakat Jepang ini berguna untuk merangsang hasrat rakyat dalam meningkatkan statusnya, sehingga usaha-usaha untuk menaiki tangga sosial ini mendorong terjadinya perkembangan ekonomi Jepang. Selain itu, karena, upeti- upeti tahunan zaman Feodal yang diwajibkan kepada petani sebagai pajak tanah berupa hasil panen, telah diganti dengan pajak tanah berupa uang tunai dengan harga yang tetap tinggi. Namun, Peraturan baru tentang sewa pajak tanah ini telah mengalami perubahan setelah Perang Dunia II. Dimana pemerintah setelah perang Universitas Sumatera Utara melarang pembayaran sewa tanah dalam bentuk bukan uang, jadi semua sewa harus dibayar dengan uang tunai, dan harganya pun dikendalikan untuk menghindari tarif sewa yang terlalu tinggi, sehingga tidak memberatkan para petani seperti di zaman Meiji. Sebelum perang, pertanian yang dilaksanakan di Jepang sampai dengan masa Tokugawa adalah pertanian tradisional. Petani Jepang sebelum perang sangat bergantung pada tenaga kerja manusia dan ternak, sedangkan mesin pertanian masih amat sedikit jumlahnya dan telah mendapatkan mekanisasi sejak akhir 1920-an yang hanya terbatas pada mesin-mesin bertenaga kecil. Namun, teknologi mekanisasi bidang pertanian ini semakin berkembang dari tahun ketahun setelah perang usai dan pada tahun 1965, para petani pun mulai menggunakan mesin-mesin pertanian yang lebih besar seperti traktor. Namun, karena tanah pertanian Jepang yang sangat sempit dan hal ini tidak sebanding dengan masuknya mesin-mesin mekanisasi ke pertanian Jepang yang selalu meningkat dari tahun ketahun setelah perang. Sehingga meningkatnya penggunaan mesin-mesin pertanian setelah perang beserta peningkatan produktivitasnya ini telah membawa dampak luas pada pertanian Jepang itu sendiri, sehingga didalamnya juga terdapat masalah-masalah baru yang sulit untuk dipecahkan. Sebelum perang, sebagian besar para petani menggunakan separuh dari hasil pendapatannya untuk membeli bahan pangan. Selain itu, sebagian besar para petani sebelum perang sangat menggantungkan pendapatannya hanya dari pertanian saja. Oleh karena itu, para petani sangat beralasan untuk menerapkan hidup hemat yang sangat ketat sehingga membatasi mereka dalam berbagai hal. Universitas Sumatera Utara Namun, perubahan terjadi setelah Perang Dunia II. Sebagian besar para petani setelah perang menggunakan 30 pendapatannya untuk membeli bahan pangan, sedangkan 23 pendapatannya dipergunakan untuk keperluan lain di luar kebutuhan pangan. Hal ini terjadi karena petani setelah perang selalu berusaha menekan biaya bahan pangan sehingga dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Selain itu, setelah perang usai separuh dari jumlah keluarga petani yang pada waktu itu menggantungkan seluruh pendapatannya hanya dari pertanian. Tetapi pada tahun-tahun berikutnya, jumlah rumah tangga petani yang mengandalkan pendapatannya hanya dari pertanian pun semakin menurun. Karena banyaknya petani yang pindah ke kota untuk mencari pekerjaan di bidang nonpertanian ini menyebabkan adanya 2 sumber pendapatan yang dihasilkan oleh keluarga petani setelah perang. Namun, banyaknya para petani usia produktif yang mulai meninggalkan wanita dan orang tua untuk pergi ke kota mencari pekerjaan di bidang nonpertanian ini menyebabkan masalah baru bagi keluarga petani Jepang setelah perang. Sehingga di desa pertanian kini banyak di jumpai wanita dan para lansia saja. Tidak hanya itu, pendapatan nonpertanian yang lebih besar daripada pendapatan dari hasil pertanian itu sendiri pun menjadi masalah baru yang harus mereka hadapi. Karena besarnya pendapatan nonpertanian tersebut, kini masyarakat petani mulai menggantungkan pendapatannya melalui pekerjaan nonpertanian sehingga pekerjaan utama mereka sebagai petani pun menjadi terabaikan. Keluarga petani sebelum perang rata-rata berpendapatan 70 bagian dari penghasilan karyawan kantor dan 90 dari pendapatan buruh pabrik yang tidak diberi upah wajar. Keluarga petani adalah faktor yang membuat pendapatan per Universitas Sumatera Utara kapitanya menjadi kecil. Karena pada umumnya keluarga petani itu lebih besar daripada keluarga buruh pabrik, maka perbandingan penghasilan per kapita keluarga petani menjadi lebih rendah. Segera sesudah perang, pendapatan para petani melebihi pendapatan pekerja upahan dan gajian dan pada tahun 1960-an pendapatan petani ini mengalami peningkatan, yaitu 85 dari pendapatan karyawan kantor dan 112 dari pendapatan pekerja kasar buruh. Pada tahun 1972 pendapatan dari keluarga petani ini bahkan melebihi pendapatan pekerja upahan dan pegawai gajian. Sebelum perang, sikap hidup hemat sebagai keutamaan tertinggi telah membatasi petani dalam berbagai hal. Di desa, tuan tanah dan para petani, mempunyai gaya hidup masing-masing yang bertahan sampai akhir Perang Dunia II. Petani penggarap sebagai petani tingkat paling rendah tidak pernah bermimpi untuk memiliki barang-barang rumah tangga seperti, radio, televisi, mesin cuci dan lemari es. Petani berstatus pemilik mungkin dapat membeli barang seperti itu namun, bagi petani penggarap, pembelian barang-barang mewah yang selayaknya dimiliki oleh tuan tanah seperti itu sama sekali di luar batas impiannya. Namun, pada tahun 1980-an barang-barang rumah tangga seperti ini 90 telah dimiliki oleh keluarga petani dan bahkan pada tahun 1970-an, pemilikan mobil oleh keluarga petani pun telah melebihi mereka yang bukan petani masyarakat kota. Keadaan ini berubah karena adanya land reform sesudah perang. Setelah land reform, impian demokrasi dan runtuhnya sistem kelas sangat cepat mendorong pemikiran menuju “kehidupan yang lebih baik” pada semua tingkatan petani setelah perang. Petani tidak lagi mendukung nilai-nilai hidup yang mengharuskan mereka untuk hidup sederhana. Kini seluruh masyarakat petani Jepang mulai Universitas Sumatera Utara menginginkan standar kehidupan yang lebih baik. Keinginan untuk menikmati kemudahan-kemudahan yang dahulu hanya dimiliki oleh golongan bangsawan dan gaya hidup yang cenderung bersifat konsumtif juga mulai berkembang. Selain itu, gaya hidup petani seperti pakaian, pangan, dan perumahan juga mengalami perubahan dengan sendirinya seiring perkembangan waktu setelah perang usai. Setelah land reform, zaman ibu petani membungkuk di depan tungku pun telah berlalu. Kini dunia pedesaan pertanian sangat erat kaitannya dengan dunia perkotaan, sehingga masyarakat desa pertanian setelah perang telah banyak mengalami perubahan di dalam kehidupannya yang banyak mengambil pola kehidupan perkotaan dalam kegiatan sehari-harinya. Seiring perkembangan waktu setelah perang, masyarakat dan desa pertanian Jepang telah berhasil menstransformasikan keadaan mereka, yang bermula dari sangat terbelakang menjadi ke masyarakat pedesaan yang maju dan modern. Hal ini membuat batasan-batasan antara masyarakat desa dan kota yang dahulu hanya dapat dilihat dari cara berpakaiannya saja, kini semakin buram dan tidak jelas karena perbandingan belanja keluarga di kota dan di daerah desa semakin mendekati titik persamaan. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan