BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan bagian dari makhluk sosial yang berada di muka bumi. Kumpulan dari manusia inilah yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat
terbentuk karena manusia menggunakan pikiran, perasaan, dan keinginannya dalam memberikan reaksi terhadap lingkungannya. Menurut Waluya 2007:10
masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul dan berinteraksi secara tetap dan memiliki kepentingan yang sama.
Setiap masyarakat senantiasa akan mengalami perubahan bersifat dinamis. Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dapat diketahui dengan
membandingkan keadaan masyarakat pada masa sekarang dengan keadaan masa lampau. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat akan mengubah
struktur dan fungsi dari unsur-unsur sosial dalam masyarakat. Perubahan sosial pasti terdapat di setiap masyarakat karena tidak ada satu pun masyarakat yang
bersifat statis Mulyati dkk, 2007:3. Berdasarkan tempat tinggal, Pada umumnya masyarakat di kelompokan
menjadi masyarakat desa dan masyarakat kota. Menurut Mulyati dkk 2007:3 bahwa laju perubahan masyarakat kota biasanya lebih cepat mengalami perubahan
sosial, sedangkan pada masyarakat pedesaan cenderung lebih lambat. Masyarakat pedesaandesa adalah komunitas yang tinggal di dalam satu
daerah yang sama, yang bersatu dan bersama-sama, memiliki ikatan yang kuat dan sangat mempengaruhi satu sama lain. Di dalam masyarakat desa, tradisi
Universitas Sumatera Utara
seperti ini masih sangat kuat dan kental, bahkan terkadang sangat mempengaruhi perkembangan desa.
Kehidupan di desa secara sosial sering dinilai sebagai kehidupan yang tenteram, dan damai. Oleh karena itu, desa dianggap sebagai
tempat yang cocok untuk menenangkan pikiran. Sebaliknya, adapula kesan yang menganggap bahwa masyarakat desa adalah masyarakat yang bodoh, lambat
dalam berpikir, mudah ditipu dan sebagainya. http:ifzanul.blogspot.com201006masyarakat-tradisional-masyarakat.html
1422013. Desa dan Petani merupakan dua kata yang tak dapat terpisahkan satu dengan
yang lainnya. Desa adalah tempat dimana petani menjalani kehidupannya. Desa tidak sekedar bermakna teritorial yang secara wilayah berbeda dengan kota dalam
ciri geografis dan ekologis, tetapi desa juga mempunyai karakter sosial yang unik http:husainassadi.blogspot.com200804masyarakat-petani.html
1422013. Pada umumnya masyarakat pedesaan identik dengan masyarakat petani, karena sebagian penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani,
atau dengan kata lain kehidupan masyarakatnya sebagian besar bersumber dari kegiatan pertanian Soeroso, 2008:112.
Pada masyarakat pedesaaan tradisional, pengolahan tanah pertanian masih dilakukan dengan teknologi-teknologi sederhana seperti dengan menggunakan
tenaga manusia beserta alat yang masih sederhana. Umumnya, lahan pertaniannya sempit dan sangat tergantung dengan alam. Hasil pertanian sebagian besar untuk
konsumsi sendiri sedangkan sisanya di jual untuk keperluan lainnya. Pada masyarakat ini, juga dikenal dengan tuan tanah, petani, dan buruh tani. Tuan tanah
adalah pemilik tanah pertanian tersebut. Petani adalah mereka yang
Universitas Sumatera Utara
memanfaatkan tanah pertanian tersebut dan buruh tani adalah mereka yang dipekerjakan untuk mengolah pertanian tersebut Maryati dan Suryawati,
2004:83. Sejarah pertanian adalah bagian dari sejarah kebudayaan manusia. Pertanian
muncul ketika suatu masyarakat mampu untuk menjaga ketersediaan pangan bagi dirinya sendiri. Pertanian memaksa suatu kelompok orang untuk menetap dan
dengan demikian mendorong kemunculan peradaban. Sebagai bagian dari kebudayaan manusia, pertanian telah membawa revolusi yang besar dalam
kehidupan manusia sebelum revolusi industri. Bahkan dapat dikatakan, revolusi pertanian adalah revolusi kebudayaan pertama yang dialami manusia.
http:id.wikipedia.orgwikiSejarah_pertanian 1922013. Sejarah awal pertanian Jepang dapat dipastikan dari bukti-bukti peninggalan
benda-benda purbakala yang terbuat dari tanah liat, dimana pada sisi luar benda tersebut terdapat lukisan tentang kehidupan pertanian pada abad ke-3 sesudah
masehi. Pada zaman ini disebut dengan zaman Yayoi karena peninggalan- peninggalan benda-benda purbakala ini pertama sekali ditemukan di Yayoicho
弥生町 di Tokyo sekarang, sedangkan situs sejarah tersebut dinamai dengan Yayoishikidoki Toyoda dalam Situmorang 2009:8. Desa petani Jepang pada
zaman sebelum perang dunia II di tandai dengan kemiskinan dan kesengsaraan, sehingga sangat mudah membedakan antara anak desa dengan anak kota hanya
dengan melihat cara berpakaiannya saja Fukutake, 1989:16. Selain itu, petani sebelum perang juga diidentifikasikan dengan masyarakat
yang memiliki keterbelakangan budaya, serta terikat oleh ideologi-ideologi yang dikembangkan kaum feodal nohonshugi. Nohonshugi menanamkan keyakinan
Universitas Sumatera Utara
pada diri para petani yaitu suatu pandangan bahwa walaupun hidup sebagai petani itu berat dan penuh kesengsaraan tetapi pengorbanan petani tidaklah sia-sia karena
pertanian merupakan ujung tombak dari negara dan masyarakat Jepang. Ideologi ini digunakan oleh kaum feodal Jepang agar membius para petani untuk tidak
menuntut perbaikan hidup mereka. Sebagai petani sejak zaman kuno, rakyat Jepang selalu memanfaatkan tiap
jengkal tanah yang dapat dikerjakan oleh mereka, tetapi lahan yang dikerjakan tiap keluarga petani rata-rata jarang yang melebihi satu hektar Fukutake, 1988:1-
59. Sejak awal zaman Meiji 1868-1912 sampai perang dunia II, lebih dari 80 penduduk Jepang bekerja sebagai petani, dan pertanian merupakan pekerjaan bagi
5,5 juta keluarga Jepang. Pada wilayah pertanian, 70 adalah lahan garapan yang di sewa dari tuan tanah dengan pajak yang sangat tinggi. Karena beban pajak yang
tinggi, petani Jepang sebelum perang sangat beralasan untuk mengambil sikap hidup hemat yang ketat agar dapat mempertahankan hidupnya walaupun hal ini
sangat membatasi mereka di dalam berbagai hal. Di samping itu, pemilikan tanah yang tidak merata juga membuat dunia pertanian Jepang dipenuhi dengan petani-
petani penggarap yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan hidup tuan tanah mereka. Petani harus tunduk kepada tuan-tuan tanah
mereka dan harus membayar pajak yang tinggi karena tidak memiliki hak tetap untuk terus menjadi penggarap. Separuh dari tanah garapan itu dikuasai oleh tuan-
tuan tanah. Tuan tanah benar-benar menjadi raja atas tanah pertaniannya, dan mereka tidak ikut serta dalam menggarap tanah, tetapi menjadi parasit melalui
kekuasaannya Fukutake, 1989:1-5.
Universitas Sumatera Utara
Sebagian besar petani sebelum perang menggunakan separuh pendapatannya untuk membeli bahan pangan sedangkan konsumsi untuk hal-hal
yang tidak langsung mendukung keperluan hidup dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting. Namun, betapapun penghematan yang dilakukan para petani ini
tidak dapat mengubah kondisi kehidupan mereka kearah yang lebih baik melainkan sekedar untuk bertahan. Satu-satunya jalan untuk memperbaiki tingkat
hidupnya adalah dengan cara bekerja keras, meningkatkan pemakaian pupuk, serta memperbaiki pembibitan tanaman yang bukan melalui mekanisasi.
Pada akhir perang dunia II, Jepang mengalami kekalahan dan di duduki oleh Amerika. Pada masa pendudukan inilah perubahan terjadi secara besar-besaran di
dalam masyarakat pedesaan Jepang. Untuk membangun kembali perekonomian Jepang yang telah hancur pasca perang dunia II adalah dengan mengendalikan
inflasi, yaitu dengan cara jaminan pengadaan pangan yang terkendali melalui terjaminnya pengadaan beras yang murah. Keharusan pengadaan beras hanya
dapat terjamin dengan cara meringankan beban sewa tanah pertanian. Selain itu, pemerintah juga menyadari bahwa kepemilikan tanah sangat diperlukan. Untuk
itu, tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha membangun daerah-daerah pedesaan Jepang adalah melaksanakan landreform secara besar-
besaran. Secara harfiah istilah landreform berasal dari bahasa Inggris yang terdiri
dari kata “land” yang berarti tanah dan kata “reform” yang berarti perombakan. Oleh karena itu, landreform secara sederhana dapat di artikan sebagai perombakan
tanah dimana pemerintah membeli semua tanah yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah dan kelebihan tanah yang dimiliki tuan tanah yang tinggal di daerah
Universitas Sumatera Utara
pedesaan, serta
menjual tanah-tanah tersebut kepada para petani penggarappenyewa dengan harga sewa yang murah Fukutake,1989:6. Sehingga,
status petani yang dulunya sebagai penyewa tanah menjadi pemilik tanah pun meningkat dari tahun ke tahun. Banyaknya petani yang memiliki lahan tanah
sendiri ini telah memberi rangsangan terhadap pemikiran para petani untuk mempelajari teknologi baru di bidang pertanian. Sehingga, kemajuan yang dicapai
dalam mempelajari teknologi pertanian ini telah mendorong peningkatan produktivitas panen padi dari tahun ke tahun.
Seiring perkembangan waktu stelah perang, peningkatan penggunaan mesin-mesin pertanian di Jepang beserta peningkatan produktivitasnya ini telah
membawa dampak luas pada pertanian Jepang. Adanya perkembangan pertanian Jepang ke arah mekanisasi yang lebih maju menyebabkan pemborosan yang
semakin besar serta membawa masalah-masalah mekanisasi tersendiri di dalam kehidupan petani Jepang setelah Perang Dunia II.
Landreform juga membebaskan diri para petani dari belenggu ideologi yang dikembangkan oleh kaum feodalisme Jepang sebelum perang. Pudarnya ideologi
feodalisme dalam masyarakat petani ini pun mulai membawa angin perubahan dalam kehidupan masyarakat petani Jepang. Pengharapan tingkat hidup yang lebih
baik dan cendrung mengarah sebagai pola kehidupan petani yang konsumtif pun mulai tumbuh di kalangan masyarakat petani setelah perang.
Selain itu, landreform tidak hanya membebaskan para petani dari eksploitasi ekonomi tuan tanah dan status kepemilikan tanah saja, tetapi memiliki dampak
yang luas yang memiliki reaksi yang berantai dan bahkan menjalar keseluruh kehidupan masyarakat pertanian Jepang. Perubahan-perubahan yang tidak selalu
Universitas Sumatera Utara
berdampak positif ini menyebabkan perubahan secara besar-besaran di dalam kehidupan masyarakat petani Jepang itu sendiri. Banyaknya pengaruh Landreform
bagi kehidupan petani Jepang yang disusul dengan perkembangan perekonomian setelah perang dunia II, telah membuka kemungkinan adanya perubahan-
perubahan baru bagi kehidupan masyarakat petani Jepang. Di samping itu, perubahan-perubahan yang timbul di kehidupan petani pasca perang dunia II juga
menimbulkan masalah-masalah baru bagi masyarakat petani Jepang itu sendiri, misalnya semakin tergantungnya pertanian Jepang dengan teknologi-teknologi
pertanian modern, menurunnya daya tarik pemuda dalam pertanian, perubahan gaya hidup yang semakin konsumtif, dan sebagainya. Hal inilah yang menjadi
alasan dan ketertarikan penulis dalam membahas penulisan skripsi yang berjudul
“Perubahan Kehidupan Masyarakat Petani Jepang Setelah Perang Dunia II”
.
1.2 Perumusan Masalah