Desa Pakraman Sebagai Masyarakat Hukum Adat

13 BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Desa Pakraman Sebagai Masyarakat Hukum Adat

Desa Pakraman di Bali adalah satu desa adat dalam pengertian sebagai satu kelompok masyarakat yang terikat dalam satu wadah organisasi kemasyarakatan adat yang bersifat sosial religius. Dalam kepustakaan tentang hukum adat, desa adat disebut dengan persekutuan hukum adat atau ada pula yang menyebutnya dengan masyarakat hukum adat. Ter Haar dalam tulisannya yang berjudul “Beginselen en Stelsel van het Adatrecht” yang diterjemahkan dalam Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat 1974:13-14 mengemukakan bahwa : “di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan- golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan golongan masnusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai harta benda, milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hu kum”. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa persekutuan hukum adat merupakan sekelompok orang yang tersusun dalam satu tata susunan yang tetap, memiliki pengurus dan harta kekayaan sendiri baik yang bersifat duniawi maupun 14 gaib. Yang lebih penting lagi adalah bahwa orang-orang yang ada dalam kelompok itu merasakan kehidupannya sebagai sesuatu yang bersifat kodrati dan tidak ada satu keinginanpun untuk membubarkan kelompoknya itu. Kelompok seperti ini ditemukan puila di Bali yaitu yang dikenal dengan desa adat sekarang desa pakraman. Desa Pekraman di Bali telah diberikan satu landasan hukum yang jelas yaitu dalam Perda No. 3 tahun 2001, di mana dinyatakan dalam pasal 1 sub. 4 bahwa : Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari perda ini dapat dilihat bahwa desa pakraman desa adat telah diakui sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah Provinsi Bali yang memiliki tradisi dan tata krama yang telah diwarisi secara turun temurun, memiliki wilayah tertentu dan mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri, dan mereka semua terikat dalam satu ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa. Jelas dari ketentuan di atas bahwa desa adat desa pakraman di Bali memiliki karakteristik tersendiri sehingga wajar apabila desa pakraman atau desa adat dikatakan memiliki sifat sosial religius yang tidak ditemukan pada masyarakat hukum adat lainnya di Indonesia. Pada bagian lain dapat dilihat, khususnya untuk masyarakat hukum adat di Bali Desa Pakraman, bahwa kehidupan masyarakat hukum adat di Bali memiliki landasan filosofis yang bersumber pada ajaran Agama Hindu yang dikenal dengan Tri Hita Karana yang bermakna sebagai tiga unsur penyebab kebahagiaan yang 15 meliputi : Brahman Ida Sang Hyang Widhi WasaTuhan Yang Maha Esa, Bhuwana alam semesta dan Manusa manusiaorang yang berada di wilayah desa. Ketiga unsur ini terkait dalam satu ikatan kesatuan yang tidak terpisahkan dan harus ditempatkan dalam situasi yang harmonis sepanjang masa. Apabila keharmonisan itu terganggu maka kehidupan masyarakat adat akan terganggu pula. Secara konkrit ketiga unsur tersebut dimanifestasikan dalam wujud tertentu. Unsur Brahman diwujudkan dalam satu tempat pemujaan bagi warga kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dikenal dengan Kahyangan Tiga dan Kahyangan Desa lainnya. Dalam menjamin hubungan yang harmonis antara manusia warga desa adat dengan Sang Maha Pencipta, maka ditetapkanlah berbagai aturan berkenaan dengan tempat pemujaan tersebut yang disebut pula dengan Parahyangan Desa. Keberadaan Bhuwana dalam lingkungan desa diwujudkan dalam bentuk Palemahan Desa yaitu wilayah desa yang selalu dijaga kesucian dan kelestariannya. Dalam hubungan ini ditetapkan pula berbagai aturan yang ditujukan untuk menjaga kelestarian dan kesucian desa antara lain menyangkut larangan penebangan pohon-pohonan, penyelenggaraan upacara bersih desa dalam bentuk pecaruan korban suci dll. Unsur Manusia diwujudkan dalam wadah Kerama Desa yaitu kelompok orang sebagai warga desa adat yang berkewajiban untuk selalu menjaga keserasian kelompoknya dengan baik dimana hubungan antar warga selalu berada dalam suasana yang harmonis. Selain itu warga sebagai kesatuan kelompok selalu mengupayakan keharmonisan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui hubungan pemujaan di Parahyangan Desa dan juga menjaga kelestarian lingkungan sehingga selalu dapat memberikan kehidupan 16 kepada warga desa itu sendiri. Kesemuanya itru dilandasi oleh berbagai macam aturan yang ditetapkan sendiri oleh desa adat yang dikenal dengan awig-awig desa. Upaya untuk menjaga keharmonisan dari ketiga unsur tersebut berada di tangan masyarakat hukum adat itu sendiri yang dikoordinasikan oleh kepala persekutuan hukumnya. Dalam hubungan ini dapat dilihat adanya kewenangan dari persekutuan hukum adat untuk menyelenggarakan kehidupannya sendiri sesuai dengan tatanan yang dipandang tepat, atau yang lazim dikenal dengan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Keadaan ini pulalah yang memberikan satu penilaian bahwa desa adat memiliki otonomi sendiri yang bersifat asli dalam artian bahwa kewenangan itu bersumber pada keberadaan dari desa adat itu sendiri tidak karena diberikan oleh kekuasaan lain yang lebih tinggi. Jadi karena desa adat itu ada maka secara serta merta dia memiliki kewenangan tersebut. Otonomi desa adat pada hakekatnya meliputi tiga aspek yaitu : 1. Kewenangan untuk menetapkan aturan hukum, dalam bentuk awig- awig desa yang harus ditaati oleh setiap warganya dan juga pengurusnya. 2. Kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan, dalam pengertian menyelenggarakan jalannya masyarakat hukum adat sehingga dapat mewujudkan tujuannya. 3. Kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan warganya. Wirta Griadhi, 1990, 15 17 Apabila diperhatikan lebih jauh maka kewenangan dari desa adat dalam mengurus rumah tangganya sendiri bertumpu pada aturan aturan yang ditetapkan oleh desa adat itu sendiri, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan juga penyelesaian sengketa akan bertumpu pada aturan hukum adat yang telah ditetapkan dalam aturan-aturan adat dan juga aturan adat kebiasaan yang tidak tertulis lainnya. Khusus dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang berada di tangan pemerintah desa pengurusprajuru adat, selain memperhatikan pelaksanaan aturan hukum dalam bentuk hak dan kewajiban dari warga terhadap kelompok masyarakatnya, seyogyanya juga memperhatikan kondisi kehidupan dari warga masyarakat adatnya sendiri. Dengan kata lain pengurus desa seyogyanya mengupayakan juga kesejahteraan dari warganya. R. Soepomo 2007 : 16 mengemukakan bahwa aktivitas dari kepala-kepala rakyat dapat dilihat dalam tiga hal yaitu : 1. Tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian erat antara tanah dan persekutuan golongan manusia yang menguasai tanah 2. Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum preventieve rechtszorg supaya hukum dapat berjalan semestinya. 3. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum, setelah hukum itu dilanggar repressieve rechtszorg. Dilihat dari pandangan di atas tampaknya kepala-kepala rakyat pengurusprajuru desa hanya mempunyai tugas untuk penyelenggaraan aturan hukum dan pengawasannya, serta hal-hal yang berkaitan dengan tanah mengingat tanah mempunyai arti penting bagi masyarakat adat yang bercorak agraris. Tidak ada satupun pernyataan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan 18 rakyatnya. Tapi pada sisi lainnya dapat dilihat berkenaan dengan sifat dari kepala ra kyat dinyatakan bahwa : ”kepala rakyat adalah bapak masyarakat, dia mengetuai pesekutuan sebagai ketua suatu keluarga besar, dia adalah pemimpin pergaulan hidup di dalam pesekutuan. Sifat tradisional pimpinan kepala rakyat dapat dikenal dari bunyi pepatah Minangkabau bahwa penghulu kepala rakyat itu adalah sebagai: Kayu gadang di tanah lapang, Bakeh batuduah ari ujan, Bakeh bulauang dari paneh, Ure nyo bulieh bakeh basando, Batang nyo bulieh bakeh basando. Artinya: Sebatang kayu yang besar di tengah lapang, Tempat berlindung di waktu hujan, Tempat bernaung di waktu panas, Urat-uratnya tempat duduk dan Batangnya tempat bersandar. Jadi tampaknya adalah menjadi tugas dari kepala rakyat juga untuk melindungi warganya, memberikan kenyamanan, menjadi tempat untuk mengadu ataupun bertanya segala hal dalam kehidupannya. Dengan kata lain kepala rakyat juga mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk rakyatnya. Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum adat melalui pengurusnya mempunyai kewajiban untuk dapat memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi warganya. Bagaimana kenyataannya? Inilah yang perlu ditelusuri dalam penelitian ini khususnya di lingkungan desa pakraman di Bali, dengan fokus pada apa dan bagaimana persekutuan hukum 19 adat desa adatdesa pakraman di Bali berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan .

2.2. Desa Pakraman dan kemiskinan.