Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) terhadap Tikus yang Diinduksi Karagenan

(1)

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL KULIT

BUAH ROTAN (

Daemonorops draco

(Willd.) Blume)

TERHADAP TIKUS YANG DIINDUKSI KARAGENAN

SKRIPSI

OLEH:

FRISKA RANI SARAH

NIM 101501051

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL KULIT

BUAH ROTAN (

Daemonorops draco

(Willd.) Blume)

TERHADAP TIKUS YANG DIINDUKSI KARAGENAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

FRISKA RANI SARAH

NIM 101501051

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL KULIT

BUAH ROTAN (

Daemonorops draco

(Willd.) Blume)

TERHADAP TIKUS YANG DIINDUKSI KARAGENAN

OLEH:

FRISKA RANI SARAH

NIM 101501051

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 29 November 2014

Medan, Desember 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002

Pembimbing I,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002

Pembimbing II,

Marianne, S.Si., M.Si., Apt. NIP 198005202005012006

Panitia Penguji,

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195301011983031004

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt. NIP 197802152008122001

Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. NIP 197806032005012004


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan YME atas segala limpahan berkat, rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan (Daemonorops draco

(Willd.) Blume) terhadap Tikus yang Diinduksi Karagenan.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., dan Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., yang telah membimbing dan memberikan petunjuk serta saran - saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., Ibu Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt., dan Ibu Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan dan Ibu T. Ismanelly Hanum, S.Si., M.Si., Apt., selaku penasehat akademik yang selalu memberikan bimbingan, perhatian dan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan. Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., selaku kepala Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara


(5)

dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., selaku kepala Laboratorium Farmakognosi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan fasilitas untuk penulis sehingga dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada Ayahanda Parsaoran Purba dan Ibunda Diana Tambunan, S.Pd., yang telah memberikan cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun, pengorbanan baik materi maupun motivasi beserta doa yang tulus yang tidak pernah berhenti. Abangku Raymon Fanal dan adikku Febrina Yosephine serta seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan semangat. Sahabat-sahabat terbaikku serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2014 Penulis,

Friska Rani Sarah NIM 101501051


(6)

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH ROTAN (Daemonorops draco (Willd.) Blume) TERHADAP TIKUS YANG

DIINDUKSI KARAGENAN ABSTRAK

Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiiflamasi nonsteroid (AINS). Obat golongan ini dapat menimbulkan efek samping apabila dikonsumsi dalam jangka panjang. Penggunaan obat ini dapat meningkatkan insiden terjadinya perdarahan dan perforasi pada saluran pencernaan bagian atas. Indonesia memiliki potensi sumber daya rotan tertinggi didunia, salah satunya dari genus Daemonorops. Genus Daemonorops ini memiliki getah yang disebut

dragon’s blood, yang terdapat pada permukaan kulit buahnya dan memiliki efek terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antiinflamasi pemberian ekstrak etanol kulit buah rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) terhadap tikus jantan yang diinduksi karagenan 1% dan membandingkannya dengan obat yang beredar di pasaran.

Penelitian ini meliputi karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pengujian pada hewan dengan pengukuran perubahan volume kaki tikus yang diinduksi karagenan 1% dengan alat pletismometer air raksa setiap 30 menit selama 360 menit. Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan, yaitu kelompok I diberikan CMC 0,5% (1% berat badan), kelompok II diberikan natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb, kelompok III diberikan ekstrak etanol kulit buah rotan (EEKBR) dosis 100 mg/kg bb, kelompok IV diberikan dosis EEKBR dosis 200 mg/kg bb, dan kelompok V diberikan EEKBR dosis 400 mg/kg bb. Dari data hasil penelitian, dihitung persen radang dan persen inhibisi radang. Data dianalisis dengan uji Kruskal Wallis, dilanjutkan dengan uji Mann Whitney untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antar kelompok.

Dari hasil penelitian, EEKBR dosis 100 mg/kg bb, EEKBR dosis 200 mg/kg bb dan EEKBR dosis 400 mg/kg bb memiliki efek sebagai antiinflamasi terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan 1% secara subplantar. EEKBR dosis 400 mg/kg bb memiliki efek inhibisi radang rata-rata yang paling besar dibandingkan EEKBR dosis 200 mg/kg bb dan dosis 100 mg/kg bb. Hasil uji statistik Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara EEKBR dosis 400 mg/kg bb dengan natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb pada tingkat kepercayaan 95%.

Kata kunci : (Daemonorops draco (Willd.) Blume), buah rotan, antiinflamasi, karagenan


(7)

EVALUATION ANTIINFLAMMATORY EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF RATTAN FRUIT’S LEATHER (Daemonorops draco (Willd.)

Blume) IN RAT CARRAGEENAN-INDUCED ABSTRACT

Sodium diclofenac is a nonsteroidal antiinflammatory agents (NSAIDs). These kind of drugs can cause side effects if it consumed in long term. The use of these drugs may increase the incidence of bleeding and perforation of the upper gastrointestinal tract. Indonesia has the highest potential of rattan resources in the world, one of them was genus Daemonorops. Daemonorops’ genus has resin called dragon's blood, which found on the surface of the leather and it has therapeutic uses. This study aimed to determine the anti-inflammatory effects of ethanol extract of rattan fruit’s leather (Daemonorops draco (Willd.) Blume) againts carrageenan-induced male rats 1% and compare it to all drugs that has spread in market.

This research includes the characterization of simplex, phytochemical screening, animal testing and measuring the volume changes of rat’s paw induced carrageenan 1% using mercury pletismometer every 30 minutes until 360 minutes. This research uses 5 treatment groups, group I was given CMC 0.5% (1% body weight), group II was given diclofenac sodium dose of 4.5 mg/kg bw, group III was given the ethanol extract of rattan fruit’s leather (EEKBR) dose of 100 mg/kg bw, group IV EEKBR dose of 200 mg/kg bw, and group V EEKBR dose of 400 mg/kg bw. From the result of the research, percent of inhibition of inflammation and inflammation was calculated. Datas were analyzed with the Kruskal-Wallis test, followed by Mann Whitney test for the presence or absence the significant differences from each group.

From the research, EEKBR dose of 100 mg/kg bw, EEKBR dose of 200 mg/kg bw and EEKBR dose of 400 mg/kg bw has an antiinflammatory effect. EEKBR dose of 400 mg/kg bw has the highest effect of inhibiting inflammation compared to EEKBR dose of 200 mg/kg bw and 100 mg/kg bw. Results of Mann-Whitney statistical test showed that there was no significant difference between EEKBR dose of 400 mg/kg bw with diclofenac sodium dose of 4.5 mg/kg bw at 95% confidence level.

Keywords: (Daemonorops draco (Willd.) Blume), rattan fruit, antiinflammatory, carrageenan


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Kerangka Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Uraian Tumbuhan ... 7

2.1.1 Sistematika Tumbuhan ... 7

2.1.2 Nama lain ... 8

2.1.3 Sifat tumbuhan ... 8


(9)

2.1.5 Kegunaan tumbuhan ... 8

2.2 Simplisia dan Ekstrak ... 9

2.3 Inflamasi (Radang) ... 11

2.3.1 Mediator inflamasi ... 11

2.3.2 Gejala-gejala terjadinya respon inflamasi ... 12

2.3.3 Mekanisme terjadinya inflamasi ... 14

2.4 Obat Antiinflamasi ... 16

2.4.1 Obat antiinflamasi golongan steroida ... 16

2.4.2 Obat antiinflamasi golongan non steroida ... 16

2.4.2.1 Natrium diklofenak ... 17

2.5 Karagenan ... 18

2.6 Pengujian Efek Antiinflamasi Akut ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Alat dan Bahan ... 21

3.1.1 Alat-alat ... 21

3.1.2 Bahan-bahan ... 21

3.2 Penyiapan Sampel ... 22

3.2.1 Pengambilan bahan ... 22

3.2.2 Identifikasi bahan ... 22

3.2.3 Pembuatan simplisia ... 22

3.3 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 22

3.3.1 Pemeriksaan makroskopik ... 22

3.3.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 23


(10)

a. Penjenuhan toluen ... 23

b. Penetapan kadar air simplisia ... 23

3.3.4 Penetapan adar sari larut air ... 24

3.3.5 Penetapan kadar sari larut etanol ... 24

3.3.6 Penetapan kadar abu total ... 24

3.3.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 25

3.3.8 Skrining fitokimia simplisia ... 25

a. Pemeriksaan alkaloida ... 25

b. Pemeriksaan flavonoida ... 25

c. Pemeriksaan tanin ... 26

d. Pemeriksaan glikosida ... 26

e. Pemeriksaan saponin ... 27

f. Pemeriksaan steroida/triterpenoida ... 27

3.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan ... 27

3.5 Skrining Fitokimia Ekstrak ... 28

a. Pemeriksaan alkaloida ... 28

b. Pemeriksaan flavonoida ... 28

c. Pemeriksaan tanin ... 29

d. Pemeriksaan glikosida ... 29

e. Pemeriksaan saponin ... 30

f. Pemeriksaan steroida/triterpenoida ... 30

3.6 Penyiapan Bahan Uji, Kontrol dan Obat Pembanding ... 30

3.6.1 Pembuatan suspensi CMS 0,5% ... 31


(11)

3.6.3 Pemeriksaan suspensi ekstrak etanol kulit buah rotan 31

3.7 Penyiapan Induktor Radang ... 31

3.8 Penyiapan Hewan Percobaan ... 31

3.9 Prosedur Pengujian Efek Antiinflamasi ... 32

3.10 Perhitungan persen Radang ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 35

4.2 Hasil Karakterisasi Bahan Tumbuhan dan Simplisia ... 35

4.2.1 Pemeriksaan makroskopik ... 35

4.2.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 35

4.2.3 Pemeriksaan karakteristik serbuk simpilisia ... 35

4.3 Skrining Fitokimia ... 36

4.4 hasil Pengujian Antiinflamasi ... 37

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

5.1 Kesimpulan ... 44

5.2 Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Serbuk Simplisia ... 36 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Kulit Buah Rotan ... 37 4.3 Perbandingan Ada Tidaknya Perbedaan Bermakna Antara Kelompok


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1.1 Kerangka Pikir Penelitian ... 5 2.1 Mekanisme Terjadinya Inflamasi ... 15 2.2 Rumus Natrium Diklofenak ... 17 2.3 Grafik Persen Radang Rata-Rata Telapak Kaki Kiri Tikus Tiap Waktu Pengamatan ... 38 2.4 Grafik Persen Inhibisi Radang Rata-Rata telapak Kaki Kiri Tikus Tiap Waktu Pengamatan ... 40


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Persetujuan Komite Etik Penelitian Hewan ... 48

2. Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 49

3. Gambar karakteristik Tumbuhan ... 50

4. Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Serbuk Simplisia ... 52

5. Perhitungan Hasil Kaarakterisasi Simplisia ... 53

6. Bagan Kerja Penelitian ... 57

7. Gambar Alat ... 58

8. Gambar Hewan Percobaan ... 59

9. Contoh Perhitungan Dosis ... 60

10. Contoh Perhitungan Persen Radang dan Persen Inhibisi Radang ... 61

11. Tabel Konversi Dosis ... 62

12. Data Volume Kaki Tikus, Persen Radang dan Inhibisi Radang Rata-Rata ... 63


(15)

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH ROTAN (Daemonorops draco (Willd.) Blume) TERHADAP TIKUS YANG

DIINDUKSI KARAGENAN ABSTRAK

Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiiflamasi nonsteroid (AINS). Obat golongan ini dapat menimbulkan efek samping apabila dikonsumsi dalam jangka panjang. Penggunaan obat ini dapat meningkatkan insiden terjadinya perdarahan dan perforasi pada saluran pencernaan bagian atas. Indonesia memiliki potensi sumber daya rotan tertinggi didunia, salah satunya dari genus Daemonorops. Genus Daemonorops ini memiliki getah yang disebut

dragon’s blood, yang terdapat pada permukaan kulit buahnya dan memiliki efek terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antiinflamasi pemberian ekstrak etanol kulit buah rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) terhadap tikus jantan yang diinduksi karagenan 1% dan membandingkannya dengan obat yang beredar di pasaran.

Penelitian ini meliputi karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pengujian pada hewan dengan pengukuran perubahan volume kaki tikus yang diinduksi karagenan 1% dengan alat pletismometer air raksa setiap 30 menit selama 360 menit. Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan, yaitu kelompok I diberikan CMC 0,5% (1% berat badan), kelompok II diberikan natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb, kelompok III diberikan ekstrak etanol kulit buah rotan (EEKBR) dosis 100 mg/kg bb, kelompok IV diberikan dosis EEKBR dosis 200 mg/kg bb, dan kelompok V diberikan EEKBR dosis 400 mg/kg bb. Dari data hasil penelitian, dihitung persen radang dan persen inhibisi radang. Data dianalisis dengan uji Kruskal Wallis, dilanjutkan dengan uji Mann Whitney untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antar kelompok.

Dari hasil penelitian, EEKBR dosis 100 mg/kg bb, EEKBR dosis 200 mg/kg bb dan EEKBR dosis 400 mg/kg bb memiliki efek sebagai antiinflamasi terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan 1% secara subplantar. EEKBR dosis 400 mg/kg bb memiliki efek inhibisi radang rata-rata yang paling besar dibandingkan EEKBR dosis 200 mg/kg bb dan dosis 100 mg/kg bb. Hasil uji statistik Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara EEKBR dosis 400 mg/kg bb dengan natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb pada tingkat kepercayaan 95%.

Kata kunci : (Daemonorops draco (Willd.) Blume), buah rotan, antiinflamasi, karagenan


(16)

EVALUATION ANTIINFLAMMATORY EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF RATTAN FRUIT’S LEATHER (Daemonorops draco (Willd.)

Blume) IN RAT CARRAGEENAN-INDUCED ABSTRACT

Sodium diclofenac is a nonsteroidal antiinflammatory agents (NSAIDs). These kind of drugs can cause side effects if it consumed in long term. The use of these drugs may increase the incidence of bleeding and perforation of the upper gastrointestinal tract. Indonesia has the highest potential of rattan resources in the world, one of them was genus Daemonorops. Daemonorops’ genus has resin called dragon's blood, which found on the surface of the leather and it has therapeutic uses. This study aimed to determine the anti-inflammatory effects of ethanol extract of rattan fruit’s leather (Daemonorops draco (Willd.) Blume) againts carrageenan-induced male rats 1% and compare it to all drugs that has spread in market.

This research includes the characterization of simplex, phytochemical screening, animal testing and measuring the volume changes of rat’s paw induced carrageenan 1% using mercury pletismometer every 30 minutes until 360 minutes. This research uses 5 treatment groups, group I was given CMC 0.5% (1% body weight), group II was given diclofenac sodium dose of 4.5 mg/kg bw, group III was given the ethanol extract of rattan fruit’s leather (EEKBR) dose of 100 mg/kg bw, group IV EEKBR dose of 200 mg/kg bw, and group V EEKBR dose of 400 mg/kg bw. From the result of the research, percent of inhibition of inflammation and inflammation was calculated. Datas were analyzed with the Kruskal-Wallis test, followed by Mann Whitney test for the presence or absence the significant differences from each group.

From the research, EEKBR dose of 100 mg/kg bw, EEKBR dose of 200 mg/kg bw and EEKBR dose of 400 mg/kg bw has an antiinflammatory effect. EEKBR dose of 400 mg/kg bw has the highest effect of inhibiting inflammation compared to EEKBR dose of 200 mg/kg bw and 100 mg/kg bw. Results of Mann-Whitney statistical test showed that there was no significant difference between EEKBR dose of 400 mg/kg bw with diclofenac sodium dose of 4.5 mg/kg bw at 95% confidence level.

Keywords: (Daemonorops draco (Willd.) Blume), rattan fruit, antiinflammatory, carrageenan


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tumbuhan merupakan keanekaragaman hayati yang selalu ada di sekitar kita, baik itu yang tumbuh secara liar maupun yang sengaja dibudidayakan. Sejak zaman dahulu, tumbuhan sudah digunakan sebagai tanaman obat, walaupun penggunaannya disebarkan secara turun-temurun maupun dari mulut ke mulut (Widyawati, 2011).

Dewasa ini, didukung dengan penelitian ilmiah, tumbuhan secara fungsional tidak lagi dipandang sebagai bahan konsumsi maupun penghias saja, tetapi juga sebagai tanaman obat yang multifungsi. Mengingat biaya pengobatan yang tidak terjangkau oleh semua orang, pengobatan alamiah dengan tanaman obat tradisional dipandang sebagai alternatif yang terjangkau dan kembali ke alam. Bahkan fungsinya sebagai tanaman obat sudah dikomersialkan sebagai lahan penghasilan yang sangat menguntungkan (Widyawati, 2011).

Indonesia memiliki potensi sumber daya rotan tertinggi di dunia. Dari 530 jenis rotan dunia, lebih kurang 316 jenis terdapat di berbagai wilayah hutan Indonesia. Di wilayah hutan Sumatera terdapat 132 jenis, Jawa 29 jenis, Kalimantan 138 jenis, Sulawesi 86 jenis, Maluku dan Papua 47 jenis (Kemenhut, 2013).

Keanekaragaman jenis rotan yang tercatat, terangkum ke dalam 13 genus. Genus Daemonorops memiliki jumlah jenis terbanyak kedua setelah genus


(18)

2005). Genus Daemonorops (lebih dikenal jernang) yang menghasilkan getah, berjumlah 12 jenis. Jenis Jernang yang menghasilkan getah terbanyak dan bernilai ekonomis tinggi adalah Daemonorops draco (Willd.) Blume (Purwanto, dkk., 2005). Potensi rotan jernang di Indonesia tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera, rotan jernang dijumpai di Provinsi Aceh, Riau, dan Jambi. Sedangkan di Kalimantan, terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan (Kemenhut, 2013).

Jernang adalah resin yang merupakan hasil sekresi buah rotan jernang. Resin tersebut menempel dan menutupi bagian luar buah rotan, dimana untuk mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi. Musim berburu jernang dilakukan pada bulan September sampai dengan Desember (Elvidayanty dan Erwin, 2006). Buah rotan jernang yang sudah tua berwarna cokelat kemerahan. Buah yang menghasilkan banyak jernang adalah buah yang tua namun belum terlalu masak. Secara umum, antara satu sampai dua bulan sebelum buah masak potensi jernang yang terbentuk sangat optimal. Apabila buah yang dipetik sudah masak, maka jernang yang terkandung dalam buah rotan terlah berkurang karena dapat mencair dengan sendirinya dan membusuk (Matangaran, 2012).

Jernang cukup dikenal sebagai obat tradisional dan digunakan untuk pengobatan haemostatik, antidiare, antiulcer, antimikroba, antivirus, antitumor, antioksidan, dan antiinflamasi (Gupta, 2008). Kegunaan jernang di Indonesia adalah sebagai bahan pewarna cat dan obat-obatan, misalnya mengobati luka akibat gatal-gatal dan juga sebagai ramuan yang dioleskan di kening ibu-ibu yang baru melewati proses persalinan (Yetty, dkk., 2013). Choy, dkk., (2008),


(19)

melaporkan bahwa ekstrak etanol dari jernang Daemonorops draco iniketika diuji efek antiinflamasinya secara in vitro, menunjukkan hasil yang positif.

Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal kerusakan sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal. Inflamasi melakukan tugas pertahanannya dengan megencerkan, menghancurkan, atau menetralkan agen berbahaya (misalnya, mikroba atau toksin). Tanda-tanda terjadinya inflamasi adalah panas (kalor), merah (rubor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi (functio laesa) akibat adanya perluasan mediator dan kerusakan yang diperantarai leukosit (Robbins, dkk., 2007).

Salah satu obat untuk inflamasi adalah natrium diklofenak. Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiiflamasi nonsteroid (AINS). Obat golongan ini dapat menimbulkan efek samping apabila dikonsumsi dalam jangka panjang. Penggunaan obat ini dapat meningkatkan insiden terjadinya perdarahan dan perforasi pada saluran pencernaan bagian atas (Christianie, dkk., 2008).

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menguji efek antiinflamasi ekstrak etanol kulit buah rotan terhadap tikus jantan yang diberikan secara oral, untuk mengetahui pada dosis berapa ekstrak yang terbaik dan membandingkannya dengan obat sintesis.


(20)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. apakah ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek sebagai antiinflamasi terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan?

b. apakah ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek antiinflamasi yang sama dengan natrium diklofenak?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka hipotesisnya adalah:

a. ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek antiinflamasi terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan.

b. ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek antiinflamasi yang sama dengan natrium diklofenak.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. efek antiinflamasi ekstrak etanol kulit buah rotan terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan.


(21)

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan memberikan informasi tentang kulit buah rotan yang berkhasiat sebagai antiinflamasi, sehingga ke depan tanaman ini dapat dikembangkan sebagai sediaan fitofarmaka dengan efek samping yang relatif kecil dibanding obat antiinflamasi dari bahan kimia sintesis.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap tikus putih jantan. Varibel bebas terdiri dari serbuk simplisia kulit buah rotan, CMC 0,5%, natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb, serta ekstrak etanol kulit buah rotan dengan variasi dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, dan 400 mg/kg bb. Variabel terikat meliputi karakteristik simplisia, skrining fitokimia simplisia dan ekstrak, serta volume telapak kaki tikus yang terinduksi karagenan 1%. Terdapat beberapa parameter dalam penelitian ini yaitu makroskopik, mikroskopik, kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, alkaloid, flavonoid, tanin triterpen/steroid, glikosida, serta untuk pengujian antiinflamasi parameternya adalah persen radang rata-rata dan persen inhibisi radang rata-rata yang dapat dilihat pada Gambar 1.1.


(22)

Adapun kerangka pikir penelitian ini:

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Karakteristik

Simplisia

- Makroskopik - Mikroskopik - Kadar air

- Kadar sari yang larut dalam air - Kadar sari yang

larut dalam etanol

- Kadar abu total - Kadar abu yang tidak larut dalam asam Serbuk simplisia kulit buah rotan Ekstrak etanol kulit buah rotan Kandungan Kimia 1. Alkaloid 2. Flavonoida 3. Tannin 4. Saponin 5. Triterpen/ steroida 6. Glikosida Ekstrak etanol kulit buah

rotan dosis 100 mg/kg bb

Ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 200 mg/kg bb

Ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 400 mg/kg bb

CMC 0,5% (kontrol negatif)

Natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb (kontrol positif)

Volume telapak kaki tikus yang terinduksi karagenan 1% Persen radang rata-rata Persen inhibisi radang rata-rata


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Rotan merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Dari 530 jenis rotan di dunia, sebanyak 316 jenis terdapat di hutan Indonesia. Di wilayah hutan Sumatera terdapat 132 jenis, Jawa 29 jenis, Kalimantan 138 jenis, Sulawesi 86 jenis, Maluku dan Papua 47 jenis. Rotan (Daemonorops sp) biasanya tumbuh dengan membentuk rumpun, memanjat hingga ketinggian 30 meter tergantung. Batang rotan penghasil jernang langsing, berdiameter 2 - 3 cm dipenuhi duri-duri kecil dan tajam. Daun rotan berwarna hijau terdiri dari helaian anak daun yang tersusun berpasang-pasangan, permukaan bawah daun sedikit cekung. Rotan penghasil jernang mulai berbuah pada usia 2 tahun, akan tetapi baru menghasilkan getah jernang setelah berumur 5 tahun. Buah rotan ini pada umumnya yaitu bulat kecil-kecil berkumpul seperti buah salak (Kemenhut, 2013).

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Sistematika tumbuhan rotan adalah sebagai berikut: Super Divisi : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae Genus : Daemonorops


(24)

2.1.2 Nama lain

Getah dari buah rotan ini memiliki nama lain yaitu:

Nama daerah : Limbayung (Sumatera Barat), Jernang Kuku, Jernang Huar, Jernang Seronang, Jernang Uhan (Kalimantan), Getih Badak (Banten) dan Getih Warok (Jawa).

Nama asing : Dragon’s Blood, Kino, Red Benzoin, Sanguis Draconis, Sang Ragon, atau Ostindisches Drachenblut(Kemenhut, 2013).

2.1.3 Sifat tumbuhan

Daemonorops draco menghasilkan getah jernang yang keras, berwarna merah, berbentuk amorf, berat jenis berkisar antara 1,18-1,20, titik cair sekitar 120oC, meleleh bila dipanaskan dan mudah terbakar dengan mengeluarkan asap

dan bau yang khas (Waluyo, 2013). 2.1.4 Kandungan kimia tumbuhan

Komponen utama pada jernang adalah resin ester dan dracoresinotanol (57-82%). Selain itu, resin berwarna merah dan juga mengandung senyawa-senyawa seperti dracoresene (14%), dracoalban (hingga 2,5%), resin tak larut (0,3%), residu (18,4%), asam benzoat, asam benzoilasetat, dracohodin, dan beberapa pigmen terutama nordracorhodin dan nordracorubin (Waluyo, 2013). 2.1.5 Kegunaan tumbuhan

Jernang cukup dikenal sebagai obat tradisional dan digunakan untuk pengobatan haemostatik, antidiare, antiulcer, antimikroba, antivirus, pengobatan luka, antitumor, antiinflamasi dan antioksidan. Di samping sebagai pengobatan, jernang ini juga dapat digunakan untuk bahan baku industri pewarna untuk porselin, marmer, cat, dan vernis (Gupta, 2008). Kegunaan jernang di Indonesia


(25)

adalah sebagai bahan pewarna cat dan obat-obatan, misalnya mengobati luka akibat gatal-gatal dan juga sebagai ramuan yang dioleskan di kening ibu-ibu yang baru melewati proses persalinan (Yetty, dkk., 2013).

2.2 Simplisia dan Ekstrak

Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan dan digunakan sebagai obat yang tinggi belum mengalami pengolahan apapun (Depkes, 1979).

Ekstrak merupakan sediaan yang dapat berupa kering, kental, dan cair, dibuat dengan menyari simplisia nabati dan hewani menurut cara yang sesuai, yaitu maserasi, perkolasi atau penyeduhan dengan air mendidih. Cairan penyari yang digunakan adalah air, eter atau campuran etanol dan air. Penyarian dilakukan diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Pembuatan ekstrak dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat di simplisia di dapat dalam bentuk yang mempunyai kadar yang tinggi (Anief, 2000).

Ekstrak diperoleh dengan ekstraksi, yaitu penarikan zat yang diinginkan dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu:

a. Cara dingin

i. Maserasi, berasal dari bahasa Latin macerare, yang artinya “merendam”. Merupakan proses perendaman simplisia dalam pelarut yang sesuai sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut.Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 15-20oC dalam waktu selama 3 hari (Ansel, 2005).

ii Perkolasi, berasal dari bahasa Latin per yang artinya “melalui” dan


(26)

ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna dan umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi, dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

a. Cara Panas

i. Refluks adalah ektraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umunya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

ii. Sokletasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

iii. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.

iv. Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

v. Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 oC) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes, 2000).


(27)

2.3 Inflamasi (Radang)

Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal kerusakan sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang disebabkan oleh kerusakan asal. Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar, yaitu:

a. Inflamasi akut adalah inflamasi yang berlangsung relatif singkat, dari beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol. b. Inflamasi kronik berlangsung lebih lama yaitu berhari-hari sampai

bertahun-tahun dan ditandai khas dengan influks limfosit dan makrofag disertai dengan proliferasi pembuluh darah dan pembentukan jaringan parut (Robbins, 2007).

2.3.1 Mediator inflamasi

Inflamasi dimulai saat sel mast berdegranulasi dan melepaskan bahan-bahan kimianya seperti histamin, serotonin dan bahan-bahan kimia lainnya. Histamin merupakan mediator kimia utama inflamasi, juga dilepaskan oleh basofil dan trombosit. Akibat pelepasan histamin adalah terjadi vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler pada awal inflamasi (Corwin, 2008).

Lalu dilepaskan juga mediator lain yaitu faktor kemotaktik neutrofil dan eusinofil oleh leukosit, yang dapat menarik sel-sel ke daerah cedera. Selain itu dilepaskan prostaglandin yang dapat meningkatkan aliran darah ke tempat yang mengalami inflamasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan merangsang reseptor nyeri. Kemudian leukotrien yang dapat meningkatkan permeabilitas


(28)

kapiler dan meningkatkan adhesi leukosit pada pembuluh kapiler selama cedera (Corwin, 2008).

Berikut ini adalah mediator-mediator inflamasi beserta efeknya (Robbins, 2007) : a. Vasodilatasi : prostaglandin dan nitrit oksida

b. Peningkatan permeabilitas vaskular : histamin, serotonin, bradikinin, leukotrien C4, leukotrien D4, dan leukotrien E4

c. Kemotaksis, aktivasi leukosit : leukotrien B4, kemokin (misalnya:

interleukin 8 [IL-8])

d. Demam : IL-1, IL-6, prostaglandin, faktor nekrosis tumor (TNF) e. Nyeri: prostaglandin dan bradikinin

f. Kerusakan jaringan: nitrit oksida, enzim lisosom neutrofil dan makrofag 2.3.2 Gejala-gejala terjadinya respon inflamasi

Gejala terjadinya inflamasi akut ada 5, yaitu kemerahan (rubor), panas (kalor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), dan perubahan fungsi (funtio laesa): a. Kemerahan ( rubor)

Kemerahan, atau rubor, merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami inflamasi akut. Waktu reaksi inflamasi mulai timbul maka arteri yang mensuplai darah ke daerah tersebut berdilatasi, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Pembuluh-pembuluh darah yang sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang dengan cepat dan terisi penuh oleh darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia dan menyebabkan warna merah lokal karena inflamasi akut. Timbulnya hiperemia pada permulaan reaksi inflamasi diatur oleh tubuh melalui pengeluaran mediator, seperti histamin (Price dan Wilson, 1995).


(29)

b. Panas (kalor)

Panas, atau kalor, terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi inflamasi akut. Panas merupakan reaksi inflamasi yang khas karena terjadi pada permukaan tubuh yakni kulit. Daerah inflamasi pada kulit menjadi lebih panas dari daerah sekitarnya, sebab darah dengan suhu 37oC yang disalurkan tubuh ke

permukaan daerah yang terkena inflamasi lebih banyak disalurkan daripada ke daerah normal (Price dan Wilson, 1995).

c. Rasa Nyeri (dolor)

Rasa nyeri, atau dolor, adalah reaksi inflamasi yang dapat dihasilkan dengan berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf, pengeluaran mediator tertentu, misalnya histamin atau pembengkakan jaringan yang meinflamasi mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri (Price dan Wilson, 1995).

d. Pembengkakan (tumor)

Gejala yang paling menyolok dari inflamasi akut adalah tumor atau pembengkakan. Hal ini terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas dinding kapiler serta pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan yang cedera. Pada inflamasi, dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel dan lebih mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama albumin, yang diikuti oleh molekul yang lebih besar sehingga plasma jaringan mengandung lebih banyak protein daripada biasanya, yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk kedalam jaringan sehingga menyebabkan jaringan menjadi bengkak (Price dan Wilson, 1995).


(30)

e. Perubahan Fungsi (Fungsio Laesa)

Gangguan fungsi, atau functio laesa, merupakan konsekuensi dari suatu proses inflamasi. Gerakan yang terjadi pada daerah inflamasi, baik yang dilakukan secara sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit, pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (Price dan Wilson, 1995).

2.3.3 Mekanisme terjadinya inflamasi

Salah satu faktor penyebab terjadinya inflamasi adalah produk yang dihasilkan dari metabolisme asam arakhidonat. Asam arakhidonat merupakan suatu asam lemak tak jenuh ganda dengan 20 atom karbon. Asam arakhidonat dilepaskan oleh fosfolipid melalui fosfolipase sel yang telah diaktifkan oleh rangsang mekanik, kimiawi, atau fisik. Proses metabolisme asam arakhidonat terjadi melalui dua jalur utama, yaitu siklooksigenase dengan menyintesis prostaglandin juga tromboksan dan lipooksigenase yang menyintesis leukotrien dan lipoksin.

Jalur utama metabolisme asam arakhidonat, yaitu:

a. Jalur siklooksigenase, produk yang dihasilkan oleh jalur ini adalah prostaglandin E2 (PGE2), PGD2, prostasiklin (PGI2), dan tromboksan A2

(TXA2). TXA2 adalah pengagregasi trombosit dan vasokonstriktor,

merupakan produk utama prostaglandin dalam trombosit. PGI2 adalah

suatu vasodilator dan inhibitor agregasi trombosit. PGD2 merupakan

metabolit utama jalur siklooksigenase dalam sel mast, bersama dengan PGE2 menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan pembentukan edema.


(31)

inflamasi, PGE2 membantu menigkatkan sensitivitas nyeri terhadap

berbagai rangsang dan berinteraksi dengan sitokin yang menyebabkan demam.

b. Jalur lipooksigenase, merupakan enzim yang memetabolisme asam arakhidonat yang menonjol dalam neutrofil. Enzim ini menghasilkan leukotrien. Leukotrien pertama yang dihasilkan disebut leukotrien A4

(LTA4) yang selanjutnya akan menjadi LTB4 melalui hidrolisis enzimatik.

LTB4 merupakan agen kemotaksis dan menyebabkan agregasi neutrofil.

LTC4 dan metabolit berikutnya, LTD4 dan LTE4 menyebabkan

vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Kemudian lipoksin A4 (LXA4) yang menyebabkan vasodilatasi dan

menghambat kemotaksis neutrofil (Robbins, 2007).

Mekanisme terjadinya inflamasi dapat dilihat pada Gambar 2.1.


(32)

2.4 Obat Antiinflamasi

Obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Berdasarkan mekanisme kerjanya obat antiinflamasi terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah golongan obat antiinflamasi steroid. Obat antiinflamasi yang kedua yaitu golongan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS)

2.4.1 Obat antiinflamasi golongan steroida

Obat antiinflamasi golongan steroida bekerja menghambat sintesis prostaglandin dengan cara menghambat enzim fosfolipase, sehingga fosfolipid yang berada pada membran sel tidak dapat diubah menjadi asam arakidonat. Akibatnya prostaglandin tidak akan terbentuk dan efek inflamasi tidak ada. Contoh obat antiinflamasi steroid adalah deksametason, betametason dan hidrokortison (Tan, dan Rahardja, 2007).

2.4.2 Obat antiinflamasi golongan non steroida

Obat antiinflamasi golongan nonsteroida digunakan untuk pengobatan nyeri, rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dan lainnya. Semua obat antiinflamasi nonsteroid mempunyai efek klinis yaitu dengan menghambat sintesis prostaglandin. Prostaglandin menyebabkan terjadinya inflamasi. Prostaglandin juga ikut mengatur temperatur tubuh, rasa nyeri, agregasi platelet dan efek lainnya. Waktu paruhnya hanya hitungan menit. Jadi, ketika enzim pembuat prostaglandin dihambat, maka tidak terjadi pengeluaran prostaglandin. Enzim pembuat prostaglandin adalah siklooksigenase. Dua isoform siklooksigenase (COX) telah diketahui. COX-1 terdapat di beberapa jaringan dan bertugas melindungi mukosa


(33)

lambung. COX-2 terdapat di otak dan ginjal, juga dapat menyebabkan inflamasi. COX-1, terdapat di platelet (Stringer, 2001).

Obat antiinflamasi nonsteroid awal, memiliki cara kerja dengan menghambat semua isoform COX. Kemudian, obat antiinflamasi nonsteroid yang spesifik menghambat COX-2 mulai ada. Obat spesifik penghambat COX-2 dapat mengobati inflamasi tanpa merusak saluran pencernaan dan mengubah fungsi platelet. Contoh dari obat ini adalah rofecoxib dan celecoxib (Stringer, 2001). Secara kimiawi, penggolongan obat antiinflamasi nonsteroida ini dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu (Tan, dan Rahardja, 2007) :

a. Salisilat: asetosal, benorilat dan diflunisal

b. Asetat: natrium diklofenak, indometasin dan sulindac

c. Propionat: ibuprofen, ketoprofen, flurbiprofen, naproksen, dan tiaprofenat d. Oxicam: piroxicam, tenoxicam, dan meloxicam

e. Pirazolon: oksifenilbutazon, dan azapropazon

f. Lainnya: mefenaminat, nabumeton, benzidamin dan bufexamac 2.4.2.1 Natrium diklofenak

Rumus bangun natrium diklofenak dapat dilihat pada Gambar 2.2.


(34)

Rumus molekul : C14H10Cl2NNaO2

Nama kimia : asam benzeneasetat, 2-[(2,6-diklorofenil)amino] monosodium

Berat molekul : 318,13

Pemerian : serbuk kristal putih atau sedikit kuning, agak higroskopis Kelarutan : Sedikit larut dalam air, mudah larut dalam metanol, larut

dalam etanol (96 persen), dan sedikit larut dalan aseton (British Pharmacopoeia, 2009).

Diklofenak adalah suatu turunan asam fenilasetat yang relatif tidak selektif sebagai penghambat siklooksigenase. Obat ini memiliki waktu paruh singkat yaitu 1-3 jam. Efek samping yang lazim dari obat ini ialah, mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala. Pemakaian obat ini harus hati-hati terhadap pasien tukak lambung. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi dalam 2-3 dosis (Wilmana, 2009).

2.5 Karagenan

Iritan yang digunakan untuk pengujian efek inflamasi beragam jenisnya, salah satunya adalah karagenan. Karagenan merupakan suatu polisakarida hasil ekstrak rumput laut dari famili Euchema, Chondrus, dan Gigartina. Bentuknya berupa serbuk berwarna putih hingga kuning kecoklatan, ada yang berbentuk butiran kasar hingga serbuk halus, tidak berbau, serta memberi rasa berlendir di lidah. Berdasarkan kandungan sulfat dan potensi pembentukan gelnya, karagenan dapat menjadi tiga jenis, yaitu lamda karagenan, iota karagenan, dan kappa


(35)

Karagenan berperan dalam pembentukan udem pada model inflamasi akut. Karagenan dipilih karena dapat melepaskan mediator inflamasi, yaitu prostaglandin setelah disuntikkan ke hewan uji. Oleh karena itu, karagenan dapat digunakan sebagai iritan dalam metode uji yang bertujuan untuk mencari obat-obat antiinflamasi, tepatnya yang bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin (Winter, 1961). Penggunaan karagenan sebagai penginduksi memiliki beberapa keuntungan, antara lain: tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan kerusakan jaringan dan memberikan respon yng lebih peka terhadap obat antiinflamasi dibanding senyawa iritan lainnya (Siswanto dan Nurulita, 2005).

2.6 Pengujian Efek Antiinflamasi Akut

Beberapa metode yang dapat digunakan untuk model inflamasi akut (Suralkar, 2008), adalah:

a. Induksi Karagenan

Induksi udem dilakukan pada kaki hewan uji. Dalam hal ini disuntikkan suspensi karagenan secara subplantar. Obat uji diberikan secara oral. Volume udem kaki diukur dengan alat pletismometer. Aktivitas inflamasi obat uji ditunjukkan oleh kemampuan obat uji mengurangi udem yang diinduksi pada telapak kaki hewan uji.

b. Induksi Histamin

Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi karagenan, hanya saja penginduksi yang digunakan adalah larutan histamin 1%.


(36)

Metode ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas inhibisi obat terhadap peningkatan permeabilitas vaskular yang diinduksi oleh asam asetat secara intraperitoneal. Sejumlah pewarna (Evan’s Blue 10%) disuntikkan secara intravena. Aktivitas inhibisi obat uji terhadap peningkatan permeabilitas vaskular ditunjukkan dengan kemampuan obat uji dalam mengurangi konsentrasi pewarna yang menempel dalam ruang abdomen yang disuntikkan sesaat setelah induksi asam asetat.

d. Induksi Xylene pada udem daun telinga

Hewan uji diberikan obat, kemudian diinduksi xylene dengan mikropipet pada kedua permukaan daun telinga kanannya. Telinga kiri digunakan sebagai kontrol. Terdapat dua parameter yang diukur dalam metode ini, yaitu ketebalan dan bobot dari daun telinga hewan uji. Ketebalan daun telinga hewan uji yang telah diinduksi diukur dengan menggunakan jangka sorong digital, lalu dibandingkan dengan telinga kiri. Jika menggunakan parameter bobot daun telinga, maka daun telinga hewan uji dipotong dan ditimbang. Kemudian dibandingkan beratnya dengan telinga kiri.

e. Induksi Asam Arakhidonat pada udem daun telinga

Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi xylene, hanya saja penginduksi yang digunakan adalah asam arakhidonat yang diberikan secara topikal pada kedua permukaan daun telinga kanan hewan uji.


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan penelitian yaitu identifikasi tumbuhan, pengumpulan dan pengolahan tumbuhan, pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak secara perkolasi, skrining fitokimia ekstrak dan pengujian efek antiinflamasi secara oral terhadap tikus jantan menggunakan alat pletismometer air raksa. Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah alat-alat gelas laboratorium, alumunium foil, blender (Miyako), lemari pengering, mortir dan stamfer, neraca analitik (Boeco), neraca hewan (GW-1500), oral sonde, penangas air (Griffin), pletismometer air raksa, rotary evaporator (Heidolph WB-2000), spuit, mikroskop, desikator, oven, tanur.

3.1.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kulit buah rotan

(Daemonorops draco (Willd.) Blume) serta bahan kimia berupa bahan kimia yang digunakan, asam asetat anhidrat, asam klorida, asam sulfat pekat, besi (III) klorida, etanol 96% (hasil destilasi), n-heksan, natrium diklofenak, isopropanol, karagenan, karboksi metil seluluosa (CMC), kloroform, serbuk magnesium, timbal (II) asetat, serbuk seng, pereaksi Meyer, pereaksi Bouchardat, pereaksi Dragendorff, metanol, natrium sulfat anhidrat pereaksi Molish, toluen, larutan NaCl 0,9% dan air suling.


(38)

3.2 Penyiapan Sampel

Penyiapan sampel meliputi pengambilan bahan, identifikasi bahan dan pembuatan simplisia.

3.2.1 Pengambilan bahan

Pengambilan bahan dilakukan secara purposif. Bahan diambil dari Desa Onan Sau, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara tanpa membandingkan dengan bahan yang sama dari daerah lain. Bahan yang digunakan adalah kulit buah rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) 3.2.2 Identifikasi bahan

Identifikasi bahan dilakukan di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor.

3.3.3 Pembuatan simplisia

Buah rotan yang telah dikumpulkan, dipisahkan dari daging buah dan bijinya kemudian dikumpulkan kulitnya dan disebarkan diatas kertas perkamen hingga airnya meresap lalu ditimbang sebagai berat basah. Kemudian, untuk mencegah timbulnya jamur, selama pengeringan dikeringkan dalam lemari pengering pada suhu 40°C - 50°C. Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk. Kemudian, serbuk dimasukkan kedalam wadah tertutup dan disimpan pada suhu kamar

3.3 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia 3.3.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk luar dari kulit buah rotan dan serbuk simplisia kulit buah rotan.


(39)

3.3.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia kulit buah rotan. Serbuk simplisia ditaburkan diatas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop.

3.3.3 Penetapan kadar air a. Penjenuhan toluen

Toluen sebanyak 200 ml dimasukkan ke dalam labu alas bulat, lalu ditambahkan 2 ml air suling, kemudian alat dipasang dan dilakukan destilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama ± 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

b. Penetapan kadar air simplisia

Labu berisi toluen tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan toluen diatur 2 tetes per detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes per detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kadar air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 2011).


(40)

3.3.4 Penetapan kadar sari larut air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dilarutkan di dalam 1 L akuades) dalam labu tersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar dalam persensari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995).

3.3.5 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 95% dalam labu tersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 95% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995).

3.3.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan ke dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus porselin dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan pada suhu 500-600°C selama 3 jam kemudian didinginkan dan


(41)

ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 2011).

3.3.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dan dipijar sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang dikeringkan (WHO, 2011).

3.3.8 Skrining fitokimia simplisia a. Pemeriksaan alkaloida

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditimbang kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat digunakan untuk percobaan berikut:

i. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Meyer ii. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat iii. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloida dianggap positif jika terjadi endapan paling sedikit dua dari tiga percobaan diatas (Depkes, 1995).

b. Pemeriksaan flavonoida

Larutan Percobaan:

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring, filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambah 5 ml n-heksan,


(42)

dikocok hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40°C, sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring.

Cara percobaan:

i. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 96%, ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 ml asam klorida 2 N, didiamkan selama satu menit. Ditambahkan 10 ml asam klorida pekat, jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah yang intensif menunjukkan adanya flavonoida

ii. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 tetes asam klorida pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida (Depkes, 1995).

c. Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan lalu ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tannin.

d. Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia disari dengan 30 ml campuran etanol 96%-air suling (7 : 3), lalu ditambahkan 10 ml HCl 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran kloroform:isopropanol (3:2). Pada kumpulan sari ditambahkan natrium sulfat


(43)

anhidrat secukupnya, disaring dan diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50°C, dilarutkan sisanya dengan 2 ml metanol, kemudian diambil 0,1 ml larutan percobaan di masukkan kedalam tabung reaksi, diuapkan diatas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 2 tetes pereaksi molish, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat, terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (Depkes, 1995).

e. Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi 1- 10 cm. ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2N, bila buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1995).

f. Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi biru hijau menunjukkan adanya steroida/triterpenoida (Harborne, 1987).

3.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan

Pembuatan ekstrak dilakukan secara perkolasi dengan menggunakan pelarut etanol 96%. Caranya, basahi 400 gram simplisia dengan 200 ml pelarut etanol 96%, masukkan ke dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Pindahkan massa sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali ditekan


(44)

hati-hati, tuangi dengan pelarut etanol 96% sampai cairan mulai menetes dan diatas simplisia masih terdapat pelarutnya, tutup perkolator, biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, tambahkan berulang-ulang pelarut etanol 96% secukupnya sehingga selalu terdapat selapis pelarut secukupnya diatas simplisia. Kemudian perkolat dipekatkan. Pemekatan dilakukan dengan alat rotary eveporator pada suhu 40oC sampai diperoleh ekstrak kental (Depkes RI, 1979).

3.5 Skrining Fitokimia Ekstrak g. Pemeriksaan alkaloida

Sebanyak 0,5 g ekstrak ditimbang kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat digunakan untuk percobaan berikut:

i. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Meyer ii. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat iii. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloida dianggap positif jika terjadi endapan paling sedikit dua dari tiga percobaan diatas (Depkes, 1995).

h. Pemeriksaan flavonoida

Larutan Percobaan:

Sebanyak 0,5 g ekstrak disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring, filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambah 5 ml n-heksan, dikocok hati-hati,


(45)

didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40°C, sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring.

Cara percobaan:

i. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 96%, ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 ml asam klorida 2 N, didiamkan selama satu menit. Ditambahkan 10 ml asam klorida pekat, jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah yang intensif menunjukkan adanya flavonoida

ii. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 tetes asam klorida pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida (Depkes, 1995).

i. Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g ekstrak disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan lalu ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tannin.

j. Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g ekstrak disari dengan 30 ml campuran etanol 96% - air suling (7 : 3), lalu ditambahkan 10 ml HCl 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran kloroform:isopropanol (3:2). Pada kumpulan sari ditambahkan natrium sulfat


(46)

anhidrat secukupnya, disaring dan diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50°C, dilarutkan sisanya dengan 2 ml metanol, kemudian diambil 0,1 ml larutan percobaan di masukkan kedalam tabung reaksi, diuapkan diatas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 2 tetes pereaksi molish, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat, terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (Depkes, 1995).

k. Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi 1- 10 cm. ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, bila buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1995).

l. Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g ekstrak dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi biru hijau menunjukkan adanya steroida/triterpenoida (Harborne, 1987).

3.6 Penyiapan Bahan Uji, Kontrol dan Obat Pembanding

Ekstrak etanol kulit buah rotan dengan dosis 100, 200, 400 mg/kg bb (bahan uji) dan natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb (kontrol positif) dibuat dalam bentuk suspensi CMC 0,5%. Dan sebagai kontrol negatif yang digunakan adalah suspensi CMC 0,5% dalam air suling.


(47)

3.6.1 Pembuatan suspensi CMC 0,5%

Sebanyak 500 mg CMC ditaburkan merata ke dalam lumpang yang telah berisi air suling panas sebanyak 35 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, digerus hingga terbentuk gel kemudian diencerkan dengan sedikit air, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, lalu ditambahkan air suling sampai garis tanda.

3.6.2 Pembuatan suspensi natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb

Ditimbang sebanyak 4,5 mg serbuk natrium diklofenak kemudian digerus dengan penambahan suspensi CMC 0,5% sampai homogen, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, dicukupkan sampai garis tanda dengan suspensi CMC 0,5%.

2.6.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, dan 400 mg/kg bb (konsentrasi 3%)

Ditimbang 750 mg ekstrak etanol kulit buah rotan, kemudian digerus dengan penambahan suspensi CMC 0,5% sampai homogen, dimasukkan ke dalam

labu ukur 25 ml, dicukupkan sampai garis tanda dengan suspensi CMC 0,5%.

3.7 Penyiapan Induktor Radang (karagenan 1%)

Ditimbang sebanyak 100 mg karagenan, lalu dihomogenkan dengan larutan NaCl 0,9%, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml kemudian dicukupkan dengan larutan NaCl 0,9% sampai garis tanda.

3.8 Penyiapan Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan sebanyak 25 ekor, dibagi dalam 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus.


(48)

Pemilihan tikus sebagai hewan uji berdasarkan sifatnya yang tenang, mudah ditangani dan tidak terlalu fotofobik. Selain itu, ukuran telapak kaki tikus lebih mudah diamati dan diukur volume kakinya. Tikus putih cenderung aktif pada malam hari, sedangkan siang hari digunakan untuk istirahat dan tidur, sehingga pada siang hari tikus putih lebih mudah ditangani. Sebelum pengujian, hewan percobaan dipelihara pada kandang yang mempunyai ventilasi yang baik dan selalu dijaga kebersihannya. Tikus yang sehat ditandai dengan adanya peningkatan berat badan dan cenderung stabil dari hari ke hari.

3.9 Prosedur Pengujian Efek Antiinflamasi

Pengujian aktivitas antiinflamasi menggunakan metode Winter (1961).

Sebelum pengujian, tikus dipuasakan selama 18 jam dengan tetap diberi air minum. Tikus dikelompokkan ke dalam 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif (suspensi CMC 0,5%), kelompok bahan uji (tiga dosis suspensi ekstrak etanol kulit buah rotan), dan kontrol positif (natrium diklofenak).

a. Pada hari pengujian, masing-masing hewan ditimbang dan diberi tanda pada kaki kirinya, kemudian kaki kiri tikus dimasukkan ke dalam pletismometer yang berisi cairan sampai cairan tersebut naik sampai garis batas pada kaki kiri tikus.

b. Kemudian, catat angka pada skala pletismometer sebagai volume awal (Vo) yaitu volume kaki sebelum diberi obat dan diinduksi dengan larutan karagenan. c. Masing-masing tikus diberi suspensi bahan uji secara oral sesuai dengan


(49)

d. Lalu 60 menit kemudian, masing-masing telapak kaki tikus disuntik secara subplantar dengan 0,05 ml larutan karagenan 1%.

e. Setelah 30 menit, dilakukan pengukuran dengan cara mencelupkan kaki kiri tikus ke dalam pletismometer sampai cairan tersebut naik sampai garis batas pada kaki kiri tikus.

f. Dicatat angka pada skala pletismometer. Perubahan volume cairan yang terjadi dicatat sebagai volume telapak kaki tikus pada waktu tertentu (Vt).

Pengukuran dilakukan setiap 30 menit selama 360 menit. Volume radang adalah selisih volume telapak kaki tikus setelah dan sebelum disuntikkan karagenan. Pada waktu pengukuran, volume cairan harus sama setiap kali pengukuran, tanda batas pada kaki tikus harus jelas, kaki tikus harus tercelup sampai batas yang dibuat.

3.10 Penghitungan Persen Radang

Persen radang dapat dihitung dengan rumus di bawah ini (Mansjoer, 1997): Persen radang =

Di mana:

Vt = Volume radang setelah waktu t Vo = Volume awal kaki tikus

Persen inhibisi radang dihitung dengan rumus di bawah ini: Persen inhibisi radang =

Di mana:

a = Persen radang rata-rata kelompok kontrol

b = Persen radang rata-rata kelompok perlakuan bahan uji atau obat pembanding Vt- Vo x 100

Vo

a - b x 100% a


(50)

Kemudian data persen radang (%) pada masing-masing tikus pada tiap kelompok perlakuan dianalisis secara statistik dengan uji Kruskal-Wallis untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antara kelompok perlakuan. Lalu dilakukan uji Mann-Whitney untuk melihat perbedaan nyata dari setiap perlakuan pada tiap kelompok.

Bila hasil uji statistik Kruskal Wallis terdapat α < 0,05 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Hal ini berarti semua kelompok perlakuan memiliki perbedaan yang signifikan terhadap radang pada telapak kaki tikus yang diinduksi karagenan.

Untuk melihat perbedaan yang nyata antar kelompok, dilakukan uji statistik Mann Whitney dari menit ke-30 sampai menit ke-360. Apabila signifikansi > 0,05 menunjukkan bahwa antar perlakuan tidak ada perbedaan yang bermakna dan sebaliknya apabila signifikansi < 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antar kelompok perlakuan tersebut.


(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Hasil identifikasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, menyebutkan bahwa tanaman yang digunakan adalah tanaman rotan Daemonorops draco (Willd.) Blume. Hasil identifikasi tanaman dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman 49.

4.2 Hasil karakterisasi Bahan Tumbuhan dan Serbuk Simplisia 4.2.1 Pemeriksaan makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik dari tumbuhan yaitu kulit buah rotan berwarna coklat kemerahan dan permukaan kulit bersisik, bentuk kulit bulat memanjang, panjang 2 - 3 cm, lebarnya 3 cm, dan ujung kulit meruncing.

4.2.2 Pemeriksaan mikroskopik

Hasil pemeriksaan mikroskopik dari serbuk simplisia kulit buah rotan dijumpai adanya parenkim, sklerenkim, berkas pengangkut dengan penebalan spiral dan sklereid. Pengamatan serbuk simplisia kulit buah rotan menggunakan mikroskop dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 52.

4.2.3 Pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia

Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia kulit buah rotan diperoleh kadar air sebesar 5,66%, kadar sari yang larut dalam air sebesar 5,14%, kadar sari yang larut dalam etanol sebesar 3,62%, kadar abu total sebesar 5,70% dan kadar abu yang tidak larut dalam asam sebesar 2,45%. Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia kulit buah rotan dapat dilihat pada Tabel 4.1.


(52)

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia.

Hasil penetapan kadar air serbuk simplisia kulit buah rotan menunjukkan hasil yang lebih kecil dari 10%. Hal ini baik karena kelebihan air dalam simplisia akan mendorong pertumbuhan mikroba dan jamur. Penetapan kadar sari larut air untuk mengetahui kadar sari yang larut dalam air. Senyawa-senyawa yang dapat larut dalam air adalah glikosida, gula, gom, protein, enzim, zat warna, dan asam organik. Penetapan kadar sari larut etanol untuk mengetahui kadar sari yang larut dalam pelarut polar. Senyawa-senyawa yang dapat larut dalam etanol adalah glikosida, antrakinon, steroid terikat, klorofil, dan dalam jumlah sedikit yang larut yaitu lemak dan saponin (Depkes, 1986). Penetapan kadar abu total untuk mengetahui kadar zat anorganik yang terdapat pada simplisia, sedangkan penetapan kadar abu tidak larut asam untuk mengetahui kadar zat anorganik yang tidak larut dalam asam (Depkes, 1995).

4.3 Skrining fitokimia

Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol kulit buah rotan dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat didalamnya. Adapun pemeriksaan yang dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak etanol kulit buah rotan adalah pemeriksaan golongan senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin, dan triterpenoid/steroid.

No Parameter Hasil (%)

1 Kadar air 5,66

2 Kadar sari larut dalam air 5,14

3 Kadar sari larut dalam etanol 3,62

4 Kadar abu total 5,70


(53)

Hasil pemeriksaan skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol kulit buah rotan dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak etanol kulit buah rotan.

No Skrining Hasil

Simplisia Ekstrak

1 Alkaloid - -

2 Flavonoid + +

3 Glikosida + +

4 Saponin + +

5 Tanin + +

6 Triterpenoid/Steroid + +

Keterangan: (+) : ada ; (-) : tidak ada

Berdasarkan hasil skrining fitokimia dapat kita lihat, golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam simplisia dan ekstrak etanol kulit buah rotan adalah flavonoid, glikosida, saponin, tanin, dan triterpenoid/steroid.

4.4 Hasil Pengujian Antiinflamasi

Pengujian efek antiinflamasi dilakukan dengan menggunakan alat pletismometer air raksa dengan prinsip pengukuran berdasarkan hukum Archimedes yaitu “sebuah benda yang tercelup sebagian atau seluruhnya ke dalam zat cair akan mengalami gaya ke atas yang besarnya sama dengan berat zat cair yang dipindahkannya”. Pengujian ini menggunakan ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, dan 400 mg/kg bb dan menggunakan pembanding yaitu obat antiinflamasi nonsteroid natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb. Induksi radang dilakukan secara kimia menggunakan larutan karagenan 1% , yang disuntikkan secara subplantar pada telapak kaki tikus sebanyak 0,05 ml. Pembentukan radang oleh karagenan menghasilkan peradangan akut, dan tidak menyebabkan kerusakan jaringan, meskipun radang dapat bertahan selama 360 menit dan berangsur-angsur berkurang selama satu hari.


(54)

Dari perubahan volume kaki tikus, dapat dihitung persen radang pada kaki tikus. Perubahan volume kaki tikus dan persen radang berbanding lurus. Apabila perubahan volume kaki tikus besar, maka persen radang pun besar. Selanjutnya dibuat grafik perubahan persen radang rata-rata kaki tikus dan grafik perubahan persen inhibisi radang rata-rata kaki tikus.

Kelompok persen radang pada kaki tikus yang lebih kecil dari kelompok kontrol menunjukkan bahwa bahan uji mampu menekan radang yang disebabkan oleh karagenan. Hasil pengukuran persen radang rata-rata yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Apabila volume radang besar, maka persen radangnya pun besar. Pada Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa semua kelompok dosis memiliki persen radang rata-rata yang lebih kecil dari kelompok kontrol dari menit ke-30 sampai menit

0 100 200 300 400 500 600 700

30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360

Kontrol natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb

EEKBR dosis 100 mg/kg bb EEKBR dosis 200 mg/kg bb EEKBR dosis 400 mg/kg bb

P

er

sen R

ada

ng

(

%

)

Waktu (menit)

Keterangan:


(55)

ke-360. Pada menit ke-30, persen radang rata-rata kelompok dosis EEKBR dan natrium diklofenak sama. Pada menit ke-60 EEKBR 100 mg/kg bb dan EEKBR 200 mg/kg bb memiliki persen radang rata-rata yang sama, namun masih lebih besar dari EEKBR 400 mg/kg bb dan natrium diklofenak. Menit ke-90 sampai menit ke-210, EEKBR 400 mg/kg bb memiliki persen radang rata-rata yang lebih kecil dari EEKBR 200 mg/kg bb dan EEKBR 100 mg/kg bb namun masih lebih besar dari kelompok natrium diklofenak. Pada menit ke-240 dan menit ke-270, EEKBR 100 mg/kg bb dan EEKBR 200 mg/kg bb memiliki persen radang rata-rata yang sama, namun masih lebih besar dari EEKBR 400 mg/kg bb dan natrium diklofenak. Pada menit ke-300 sampai menit ke 360, EEKBR 400 mg/kg bb memiliki persen radang rata-rata yang lebih kecil dari EEKBR 200 mg/kg bb dan EEKBR 100 mg/kg bb, dan lebih besar dari kelompok natrium diklofenak. Data persen radang rata-rata dapat dilihat pada Lampiran 12 halaman 64 - 65.

Kemudian, efek antiinflamasi dari ekstrak etanol kulit buah rotan dapat dilihat dari besarnya persen inhibisi radang rata-rata. Apabila kelompok bahan uji memiliki persen radang yang besar, maka kelompok itu kurang dapat menghambat radang pada tikus sehingga persen inhibisi radangnya kecil. Persen radang rata-rata tiap waktu pengukuran dapat dilihat pada Gambar 4.2.


(56)

Pada Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb memiliki persen inhibisi radang rata-rata yang lebih besar dari pada EEKBR 400 mg/kg bb, 200 mg/kg bb dan 100 mg/kg bb dari menit ke-30 sampai ke-360. EEKBR 400 mg/kg bb memiliki persen inhibisi radang rata-rata yang sama dengan EEKBR 200 mg/kg bb dan 100 mg/kg bb pada menit ke-30. Pada menit ke-60, EEKBR 200 mg/kg bb memiliki persen inhibisi radang rata-rata yang sama dengan EEKBR 400 mg/kg bb dan lebih besar dibanding EEKBR 100 mg/kg bb. Kemudian menit ke-90 sampai ke-210, EEKBR 100 mg/kg bb memiliki persen inhibisi radang rata-rata yang paling kecil, diikuti oleh EEKBR 200 mg/kg bb dan EEKBR 400 mg/kg bb memiliki persen inhibisi radang rata-rata paling besar dari semua dosis variasi EEKBR. Pada menit ke-240 dan menit ke-270, EEKBR 100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360

natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb EEKBR dosis 100 mg/kg bb EEKBR dosis 200 mg/kg bb EEKBR dosis 400 mg/kg bb

P

er

se

n I

nhi

bi

si

R

ada

ng

Waktu (menit)

Keterangan:

Gambar 4.2Persen inhibisi radang rata-rata telapak kaki kiri tikus tiap waktu pengamatan.


(57)

mg/kg bb dan EEKBR 200 mg/kg bb memiliki persen inhibisi radang rata-rata yang sama yaitu 31,15%, namun masih lebih kecil dari EEKBR 400 mg/kg bb. Pada menit ke-300 sampai menit ke 360, EEKBR 400 mg/kg bb memiliki persen inhibisi radang rata-rata yang lebih besar dari EEKBR 200 mg/kg bb dan EEKBR 100 mg/kg bb. Data persen inhibisi radang rata-rata dapat dilihat pada Lampiran 12 halaman 65.

Untuk melihat perbedaan yang nyata antar kelompok, dilakukan uji statistik Mann Whitney dari menit ke-30 sampai menit ke-360 yang dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Perbandingan Ada Tidaknya Perbedaan Bermakna Antara Kelompok Perlakuan Berdasarkan Hasil Uji Satistik Mann-Whitney

Keterangan:

(-) = Tidak terdapat perbedaan bermakna; √ = Terdapat perbedaan bermakna

I = Kelompok CMC 0,5%; II = Kelompok suspensi natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb; III = Kelompok suspensi EEKBR dosis 100 mg/kg bb; IV = Kelompok

suspensi EEKBR dosis 200 mg/kg bb; V = Kelompok suspensi EEKBR dosis 400 mg/kg bb.

Kelompok Persen Radang (%) pada menit ke-

30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360

I II √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

III √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - -

IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ -

V √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

II III - - - √ √ √ √ √ - √ √ √

IV - - √ √ √ - - √ - √ √ √

V - - - √ - - - -

III IV - - - -

V - - √ - √ √ √ √ √ √ √ √


(58)

Uji Mann Whitney pada menit ke-30 sampai menit ke-360 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok suspensi CMC 0,5% dengan kelompok natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb dan EEKBR 400 mg/kg bb. Untuk kelompok CMC 0,5% dan EEKBR 100 mg/kg bb terdapat perbedaan yang signifikan dari menit ke-30 sampai menit ke-300, namun pada menit ke-330 dan menit ke-360 tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Untuk kelompok CMC 0,5% dan EEKBR 200 mg/kg bb terdapat perbedaan yang signifikan dari menit ke-30 sampai menit ke-330, namun pada menit ke-360 tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Walaupun secara statistik pada menit ke-330 dan menit ke-360 EEKBR 100 mg/kg bb dan menit ke-360 EEKBR 200 mg/kg bb tidak berbeda signifikan dengan CMC 0,5%, namun secara manual EEKBR 100 mg/kg bb tetap memiliki efek inhibisi radang yaitu berturut-turut 21,88% dan 11,29% dan 25,81% untuk EEKBR 200 mg/kg bb. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek sebagai antiinflamasi bila dibandingkan dengan kontrol negatif (CMC 0,5%).

Bila dibandingkan dengan natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb, EEKBR 400 mg/kg bb menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan dengan obat pembanding tersebut, kecuali pada menit ke-120. Untuk EEKBR 100 mg/kg bb dan EEKBR 200 mg/kg bb menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb. Hal ini dikarenakan daya antiinflamasi EEKBR 100 mg/kg bb dan EEKBR 200 mg/kg bb tidak sama kuat dengan natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb. Hasil analisis uji Mann Whitney dapat dilihat pada Lampiran 13, halaman 67.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa ekstrak etanol kulit buah rotan mampu menghambat pembentukan radang yang


(59)

diakibatkan oleh karagenan. Hal ini kemungkinan karena ekstrak etanol kulit buah rotan dapat menghambat produksi nitrit oksida (NO), prostaglandin (PGE2)

dengan menurunkan jumlah isoform enzim nitrit oksida sinthase (iNOS) dan protein siklooksigenase (COX2) melalui penekanan aktivasi nuklear faktor kappa

B (NF-kB) menurut Choy, dkk., (2008). Gupta, (2008), juga menjelaskan bahwa

Daemonorops draco memiliki senyawa dracoflavan yang mempunyai aktivitas antiinflamasi, yaitu menghambat enzim siklooksigenase.


(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan:

a. Ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek sebagai antiinflamasi terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan 1% secara subplantar.

b. EEKBR dosis 400 mg/kg bb memiliki efek inhibisi radang rata-rata yang paling besar dibandingkan EEKBR dosis 200 mg/kg bb dan dosis 100 mg/kg bb. Hasil uji statistik Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara EEKBR dosis 400 mg/kg bb dengan natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb pada tingkat kepercayaan 95%. 5.2 Saran

i. Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menguji toksisitas dari ekstrak kulit buah rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume).

ii. Dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efek antiinflamasi kulit buah rotan dengan menggunakan pelarut yang berbeda.

iii. Disarankan kepada peneliti seanjutnya untuk mengukur sel-sel inflamasi, misalnya leukosit, basofil, neutrofil.


(1)

v.

Pada kelompok natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb dan kelompok ekstrak

etanol kulit buah rotan dosis 100 mg/kg bb yang diamati pada menit ke-30

sampai menit ke-360

Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 30 Menit 60 Menit 90 Menit 120 Menit 150 Menit 180 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

10.000 25.000 -.655 .513 .690(a)

4.000 19.000 -1.928 .054 .095(a)

1.500 16.500 -2.451 .014 .016(a)

.000 15.000 -2.685 .007 .008(a)

.000 15.000 -2.730 .006 .008(a)

2.500 17.500 -2.362 .018 .032(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: Kelompok Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 210 Menit 240 Menit 270 Menit 300 Menit 330 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

2.500 17.500 -2.128 .033 .032(a)

.000 15.000 -2.668 .008 .008(a)

4.000 19.000 -1.820 .069 .095(a)

.000 15.000 -2.660 .008 .008(a)

.000 15.000 -2.635 .008 .008(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: Kelompok Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 360 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

.000 15.000 -2.635 .008 .008(a) a Not corrected for ties.


(2)

vi.

Pada kelompok natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb dan kelompok ekstrak

etanol kulit buah rotan dosis 200 mg/kg bb yang diamati pada menit ke-30

sampai menit ke-360

Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 30 Menit 60 Menit 90 Menit 120 Menit 150 Menit 180 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

10.000 25.000 -.655 .513 .690(a)

5.500 20.500 -1.565 .118 .151(a)

3.000 18.000 -2.124 .034 .056(a)

.000 15.000 -2.668 .008 .008(a)

.000 15.000 -2.652 .008 .008(a)

4.500 19.500 -1.702 .089 .095(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: Kelompok Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 210 Menit 240 Menit 270 Menit 300 Menit 330 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

5.000 20.000 -1.596 .110 .151(a)

2.000 17.000 -2.278 .023 .032(a)

4.000 19.000 -1.820 .069 .095(a)

.500 15.500 -2.603 .009 .008(a)

1.000 16.000 -2.447 .014 .016(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: Kelompok Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 360 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

.500 15.500 -2.538 .011 .008(a) a Not corrected for ties.


(3)

vii.

Pada kelompok natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb dan kelompok ekstrak

etanol kulit buah rotan dosis 400 mg/kg bb yang diamati pada menit ke-30

sampai menit ke-360

Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 30 Menit 60 Menit 90 Menit 120 Menit 150 Menit 180 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

10.000 25.000 -.655 .513 .690(a)

5.500 20.500 -1.565 .118 .151(a)

4.500 19.500 -1.890 .059 .095(a)

.000 15.000 -2.739 .006 .008(a)

4.500 19.500 -1.883 .060 .095(a)

9.500 24.500 -.651 .515 .548(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: Kelompok Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 210 Menit 240 Menit 270 Menit 300 Menit 330 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

11.000 26.000 -.339 .735 .841(a)

11.000 26.000 -.346 .729 .841(a)

12.500 27.500 .000 1.000 1.000(a)

4.500 19.500 -1.753 .080 .095(a)

8.500 23.500 -.849 .396 .421(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: Kelompok Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 360 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

6.000 21.000 -1.388 .165 .222(a) a Not corrected for ties.


(4)

viii.

Pada kelompok ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 100 mg/kg bb dan

kelompok ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 200 mg/kg bb yang diamati

pada menit ke-30 sampai menit ke-360

Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 30 Menit 60 Menit 90 Menit 120 Menit 150 Menit 180 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

12.500 27.500 .000 1.000 1.000(a)

10.000 25.000 -.655 .513 .690(a)

6.000 21.000 -1.474 .140 .222(a)

10.500 25.500 -.454 .650 .690(a)

11.500 26.500 -.236 .813 .841(a)

7.500 22.500 -1.181 .238 .310(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: Kelompok Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 210 Menit 240 Menit 270 Menit 300 Menit 330 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

10.500 25.500 -.454 .650 .690(a)

11.500 26.500 -.218 .828 .841(a)

12.500 27.500 .000 1.000 1.000(a)

6.000 21.000 -1.678 .093 .222(a)

7.000 22.000 -1.205 .228 .310(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: Kelompok Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 360 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

2.000 17.000 -2.278 .023 .032(a) a Not corrected for ties.


(5)

ix.

Pada kelompok ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 100 mg/kg bb dan

kelompok ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 400 mg/kg bb yang diamati

pada menit ke-30 sampai menit ke-360

Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 30 Menit 60 Menit 90 Menit 120 Menit 150 Menit 180 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

12.500 27.500 .000 1.000 1.000(a)

10.000 25.000 -.655 .513 .690(a)

3.500 18.500 -2.012 .044 .056(a)

4.500 19.500 -1.848 .065 .095(a)

2.000 17.000 -2.373 .018 .032(a)

.000 15.000 -2.805 .005 .008(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: Kelompok Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 210 Menit 240 Menit 270 Menit 300 Menit 330 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

3.000 18.000 -2.147 .032 .056(a)

.000 15.000 -2.694 .007 .008(a)

1.000 16.000 -2.471 .013 .016(a)

.000 15.000 -2.694 .007 .008(a)

2.000 17.000 -2.270 .023 .032(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: Kelompok Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 360 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

2.000 17.00 -2.270 .023 .032(a) a Not corrected for ties.


(6)

x.

Pada kelompok ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 200 mg/kg bb dan

kelompok ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 400 mg/kg bb yang diamati

pada menit ke-30 sampai menit ke-360

Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 30 Menit 60 Menit 90 Menit 120 Menit 150 Menit 180 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

12.500 27.500 .000 1.000 1.000(a)

12.500 27.500 .000 1.000 1.000(a)

9.000 24.000 -.808 .419 .548(a)

4.000 19.000 -1.928 .054 .095(a)

2.500 17.500 -2.148 .032 .032(a)

5.000 20.000 -1.638 .101 .151(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: Kelompok Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 210 Menit 240 Menit 270 Menit 300 Menit 330 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

6.000 21.000 -1.536 .125 .222(a)

2.000 17.000 -2.300 .021 .032(a)

1.000 16.000 -2.471 .013 .016(a)

1.500 16.500 -2.460 .014 .016(a)

6.000 21.000 -1.396 .163 .222(a) a Not corrected for ties.

b Grouping Variable: Kelompok Test Statistics(b)

Persen Radang Menit 360 Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

8.500 23.500 -.868 .386 .421(a) a Not corrected for ties.


Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Majakani (Quercus Infectoria G. Olivier) Terhadap Tikus Putih Yang Diinduksi Karagenan

10 148 117

Uji Antimutagenik Ekstrak Etanol KulitBuah Rotan Jernang (Daemonoropsdraco) Pada Mencit Jantan Yang Diinduksi Siklofosfamid

21 133 78

Uji Efek Ekstrak Etanol Biji Jengkol (Pithecellobium lobatum Benth) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Aloksan

5 51 113

Efek Ekstrak Etanol Daun Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Terhadap Kadar Nitro Oxide Pada Tikus Jantan yang Diinduksi Doksorubisin

5 49 90

Pemanenan dan pengolahan buah Rotan Jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume dalam upaya peningkatan produksi serta mutu Jernang

3 34 133

Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val & Zijp) Terhadap Tikus yang Diinduksi λ-Karagenan

5 19 76

UJI ANTIMUTAGENIK EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH ROTAN JERNANG (Daemonorops draco(Wild.) Blume) PADA MENCIT JANTAN YANG DIINDUKSI SIKLOFOSFAMID SKRIPSI

0 0 14

Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) terhadap Tikus yang Diinduksi Karagenan

0 1 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) terhadap Tikus yang Diinduksi Karagenan

0 4 14

Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) terhadap Tikus yang Diinduksi Karagenan

0 1 14