sesuatu lebih terarah dan lebih sempit.”
12
Dalam kegiatan menyimak seperti ini sang penyimak menyiagakan perhatian untuk menjelajahi serta
menemukan hal-hal yang menarik perhatian, informasi tambahan mengenai suatu topik.
5. Menyimak Interogatif
“Menyimak interogatif interrogative listening adalah sejenis kegiatan menyimak intensif yang menuntut lebih banyak konsentrasi dan
seleksi, pemusatan perhatian dan pemilihan butir-butir dari ujaran sang pembicara, karena sang penyimak akan mengajukan sebanyak
pertanyaan.”
13
Artinya dalam menyimak introgatif ini, penyimak dalam melakukan kegiatan menyimak, memiliki sasaran untuk memilih butir-
butir yang dapat dijadikan bahan pertanyaan kepada si pembicara. Oleh karena itu, kegiatan menyimak seperti ini menuntut konsentrasi penuh.
Maksudnya, agar jangan sampai bahan yang menjadi pertanyaan dari penyimak tersebut sebenarnya telah dibahas pada saat pembicara
menyampaikan materi pembicaraannya.
B. Cerita Pendek a. Pengertian Cerita Pendek
“Cerita pendek adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian daripada kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu, Apa yang terjadi di
dalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi mental itulah yang pada hakekatnya disebut cerpen.”
14
Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro “cerpen adalah sebuah cerita selesai dibaca dengan
sekali duduk.”
15
Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan jelas pada tokoh cerita. Sang tokoh merupakan ide sentral dari cerita; cerita bermula dari
sang tokoh dan berakhir pula pada “nasib” yang menimpa sang tokoh itu. Unsur
12
. Tarigan, Menyimak……………………………. hlm. 47
13
Ibid. hlm. 48
14
Atar Semi, Atonomi Sastra, Padang: Angkasa Raya, 1988, hlm. 34
15
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi, Yogyakarta: UGM, 2005, hlm. 10
perwatakan lebih dominan daripada unsur cerita sendiri. Membaca sebuah cerpen berarti kita berusaha memahami manusia bukan sekedar ingin mengetahui
bagaimana jalan ceritanya. Beda dengan sebuah novel di mana kedudukan perwatakan dan jalan cerita berada dalam satu keseimbangan, ibarat dua sisi dari
satu mata uang.
“Soal panjang pendek ukuran fisiknya tidak menjadi ukuran yang mutlak; tidak ditentukan bahwa cerpen harus sekian halaman atau sekian kata,
walaupun ia punya kecenderungan untuk berukuran pendek dan pekat. Karena singkatannya jelas tidak memberi kesempatan bagi cerpen itu
menjelaskan dan mencantumkan segalanya; kepadanya dituntut menyampaikan sesuatu yang tidak kecil kendatipun menggunakan
sejumlah kecil bahasa. Dengan begitu cerpen menyuguhkan kebenaran yang diciptakan, dipadatkan, digayakan, dan diperkokoh oleh kemampuan
imajinasi pengarangnya.”
16
Di Indonesia sendiri cerpen lazim ditemui dikisaran 1.500 – 2.100 kata 6-8 halaman kwarto, spasi ganda, jumlah kata ini menjadi persyaratan standar sebuah
naskah cerpen yang dimuat surat kabar hari minggu. Jumlah itu dianggap cukup memenuhi definisi klasik dari cerpen; Cerita pendek harus dapat dibaca dalam
waktu sekali duduk Edgar Allan Poe, 1846. Boleh jadi definisi ini erat kaitannya dengan kebiasaan membaca Koran di WC.
b. Unsur-unsur Cerpen 1. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik menurut Nurgiantoro adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya sastra itu
hadir. Unsur intrinsik terdiri dari tema, alurplot, penokohan, latar, gaya, suasana, sudut pandang dan amanat.
17
Untuk lebih jelasnya, unsur intrinsik akan dipaparkan lebih lanjut di bawah ini.
a. Tema Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam buku Apresiasi
Kesusastraan menyatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang
16
Nurgiyantoro, Teori Pengajian Fiksi………………………… hlm. 34
17
Burhan. Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, Yogyakarta: BPFE, 1995, hlm. 23
dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang mau dikatakan itu bisa suatu masalah
kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini, atau komentar terhadap kehidupan ini. Kejadian dan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide
pengarang tersebut. Sebuah cerita novel harus mengatakan sesuatu, yaitu pendapat pengarang tentang hidup ini, sehingga orang lain dapat mengerti
hidup ini lebih baik.
Tema adalah gagasan pertama atau pikiran pokok. Tema suatu karya sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca
yang cermat sebagai akibat dari membaca karya sastra tersebut. Tema biasanya merupakan komentar mengenai kehidupan.
18
Tema pada sebuah cerita baru dapat diketahui setelah pembaca mengetahui isi keseluruhan cerita. Pembaca harus mampu menafsirkan terlebih
dahulu unsur-unsur intrinsik lainnya, karena tidaklah mudah menemukan tema suatu cerita.
Tema biasanya tidak dicantumkan secara eksplisit oleh pengarang. Sumardjo dan Saini K.M, menyatakan bahwa di dalam cerpen yang berhasil,
tema justru tersamar dalam sebuah elemen. Pengarang memakai dialog para tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian, latar cerita untuk
mempertegas atau menyamarkan isi temanya. Pengarang biasanya menyatakan tema secara sembunyi-sembunyi dalam suatu potongan dialog tokohnya, atau
dalam suatu adegan cerita.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide cerita yang merupakan dasar pengembangan sebuah cerita dan menjiwai seluruh
bagian cerita itu.
b. AlurPlot Pada setiap peristiwa yang terjadi selalu memiliki permulaan,
pertengahan, dan kemudian sampailah pada sebuah akhir peristiwa, begitu pula dengan cerita fiksi dan novel. Dalam sebuah cerita, peristiwa yang terjadi itu
18
Henry Guntur Tarigan, Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa, 1994, hlm. 160
disebut sebagai alur atau plot. Alur atau plot biasanya diidentikkan dengan jalan cerita, padahal alur tidak sama dengan jalan cerita. Nurgiantoro
menyamakan plot dengan jalan cerita atau bahkan mendefinisikan plot sebagai jalan cerita sebenarnya adalah kurang tepat. Plot memang mengandung unsur
jalan cerita, namun ia lebih dari jalan cerita itu sendiri.
19
Banyak ahli bahasa yang mengemukakan pengertian alur. Panuti Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa alur adalah
rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian.
Pautannya dapat diwujudkan dengan hubungan kausal atau sebab akibat.
Nurgiantoro menyatakan bahwa alurplot merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalaam bertindak , berpikir
dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak dengan sendirinya semua kejadian yang dialami manusia dapat disebut plot
jika bersifat khas, mengandung unsur konflik, saling berkaitan dan yang terpenting adalah menarik untuk diceritakan dan bersifat dramatik.
20
Inti alur adalah konflik, namun sebuah konflik dalam cerita tidak dipaparkan begitu saja, plot itu harus ada dasarnya. Maka dari itu, plotalur
sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut. a Pengenalan.
b Timbulnya konflik. c Konflik memuncak.
d Klimaks. e Pemecahan masalah.
Lebih lanjut, Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita, konflik digambarkan sebagai pertarungan antara protagonis dan
antagonis. Protagonis adalah pelaku utama cerita, sedangkan antagonis adalah tokoh lawan protagonis. Tokoh-tokoh tersebut bertemu dan terjadilah
perbenturan yang membangun cerita.
19
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, …………………. hlm. 111
20
Ibid. hlm. 114
Berdasarkan kriteria urutan waktu, plotalur dibagi menjadi 2 bagian, yaitu plot lurus dan plot sorot balik. Sebuah novel dikatakan memiliki plot
lurus jika peristiwa-peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa berikutnya. Situasi dimulai dari tahap awal,
tengah, sampai tahap akhir. Sedangkan, novel dikatakan memiliki plot sorot balik flashback, jika urutan kejadian ceritanya tidak bersifat kronologis,
cerita tidak dimulai dari awal, melainkan dari tahap tengah, atau mungkin dari tahap akhir, baru kemudian ke awal cerita.
Berdasarkan padat atau tidaknya cerita, plot dibagi menjadi 2, yaitu plot rapat dan plot longgar Sebuah cerita dikatakan memiliki plot rapat jika
hubungan antara peristiwa dijalani secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus- menerus mengikutinya. Sedangkan, cerpen dikatakan
memiliki plot longgar jika hubungan antara peristiwa tidak terlalu erat, artinya peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain diselipi dengan peristiwa
tambahan.
21
c. Penokohan Setiap novel tentu memiliki tokoh yang sengaja diciptakan untuk
mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan sengaja diciptakan untuk mengusung sebuah cerita. Penciptaan tokoh dengan segala perwatakan dan
berbagai jati dirinya disebut sebagai penokohan.
Tokoh cerita menurut Abrams dalam Nurgiantoro, 1995 adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya sastra naratif, atau drama yang oleh
pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan.
22
Istilah penokohan oleh Sudjiman diartikan sebagai penciptaan cerita di dalam karya sastra. Tokoh tersebut diciptakan oleh pengarang secara
21
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………………. hlm. 153—159
22
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ……………….…. .. hlm. 165
meyakinkan sehingga pembaca merasa seolah-olah berhadapan dengan manusia sebenarnya.
Tarigan mengungkapkan bahwa yang dimaksud tokoh atau karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan
tokoh-tokoh fiksinya. Sedangkan untuk melukiskan tokoh dalam cerita bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1 Melukiskan bentuk lahir dari pelakon. 2 Melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya.
3 Melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu terhadap kejadian-kejadian. 4 Pengarang langsung menganalisis watak pelakon.
5 Pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon, misalnya dengan
melukiskan keadaan kamar pelakon biasanya keadaan kamar seseorang mencerminkan wataknya.
6 Pengarang melukiskan bagaimana pandangan-pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap pelakon utama itu.
7 Mempergunakan pelakon-pelakon lain yang memperbincangkan keadaan pelakon utama.
23
Kualitas sebuah cerita atau novel banyak ditentukan oleh kepandaian pengarang dalam menghidupkan watak para tokohnya. Jika watak tokohnya
lemah, maka menjadi lemahlah keseluruhan cerita. Oleh karena itu, watak atau karakter tokoh di dalam sebuah novel harus digambarkan oleh pengarang
secara tersirat, sehingga dapat ditangkap oleh pembaca.
Jadi, dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah seseorang yang berperan dalam sebuah cerita dan mengalami peristiwa-
peristiwa yang terdapat dalam cerita itu, dengan memiliki watak atau karakter sendiri, terutama dalam menghadapi suatu masalah atau kejadian yang
dialaminya.
23
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1985, hlm. 141
d. Latar Nurgiantoro, dengan mengutip pendapat Abrams, mendefinisikan ‘latar
sebagai landasan tumpu menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan’.
24
Sumardjo dan Saini K.M. mengemukakan bahwa latar dalam sebuah novel bukan hanya menunjukan tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa,
melainkan juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam debunya, pemikiran rakyatnya, kegiatan mereka, gaya hidup mereka dan
sebagainya.
Lebih lanjut Sumardjo dan Saini menjelaskan bahwa dalam sebuah cerita yang baik, latar harus benar-benar mutlak menggarap tema dan karakter cerita,
sehingga dari latar wilayah tertentu akan menghasilkan perwatakan tokoh tertentu pula. Andaikata sebuah novel latarnya dapat diganti dengan tempat
mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak tokoh-tokoh dan tema novelnya, maka latar yang demikian kurang integral.
Kedudukan latar dalam novel sangat penting karena dapat memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-
olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.
25
Pembaca merasa dipermudah mengoperasikan daya imajinasinya, di samping memungkinkan berperan
secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca pun dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar yang
diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah menemukan dalam cerita itu sesuatu yang menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika
latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke dalam novel.
24
Nurgiantoro, Burhan. Penilaian dalam Penilaian Bahasa…………………… hlm. 216
25
Ibid. hlm. 217
e. Sudut Pandang Point of view Sudut pandang yaitu cara pandang pengarang menempatkan dirinya
dalam cerita. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa-siapa saja yang menceritakan, atau dari posisi mana peristiwa dilihat.
26
Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995 menyatakan bahwa sudut pandang bersarang pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara
atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sasaran untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan sebuah strategi atau teknik yang sengaja
dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan
hidup dan tafsirnya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh atau kacamata tokoh tersebut.
Sudut pandang pada dasarnya merupakan visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Dalam
hal ini, harus dibedakan dengan pandangan pengarang sebagai pribadi, sebab sebuah karya sebenarnya merupakan pandangan pengarang terhadap
kehidupannya. Suara pribadi pengarang jelas akan masuk ke dalam karyanya dan ini lazim disebut gaya pengarang. Sedangkan sudut pandang menyangkut
teknis bercerita, yaitu soal bagaimana pandangan pribadi pengarang akan bisa diungkapkan sebaik-baiknya.
Hal senada diungkapkan oleh Booth dalam Nurgiyantoro, 1995 yang mengatakan bahwa sudut pandang bagaimanapun merupakan sesuatu yang
menyarankan pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih besar daripada sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan
teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan
pembaca. Dengan teknik yang dipilihnya itu, diharapkan pembaca dapat menerima dan menghayati gagasan pengarang.
26
Nurgiantoro, Penilaian dalam Penilaian Bahasa, ………………………… hlm. 246
f. Amanat Dalam membuat cerita, setiap pengarang pasti ingin menyampaikan
amanat kepada pembacanya. Seperti halnya tema, amanat biasanya disampaikan pengarang secara implisit tersirat. Maka dari itulah pembaca
harus mampu menemukan amanat dari karya sastra yang dibacanya.
Panuti Sudjiman mengatakan bahwa amanat yang terdapat dalam sebuah karya sastra bisa secara implisit maupun eksplisit. Dikatakan implisit jika jalan
keluar atau jalan moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang menyampaikan seruan, saran,
peringatan, nasihat, anjuran, dan larangan yang berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu yang disampaikan pada bagian tengah atau akhir
cerita. Amanat biasanya berupa ajaran moral yang berhubungan dengan sifat- sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.
G. GayaStyle Setiap pengarang pasti memiliki ciri khas tersendiri dalam
mengungkapkan ceritanya dan tergambar pada hasil karyanya. Artinya, cara bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan dan menceritakannya
dalam sebuah karya sastra, tentunya setiap pengarang memiliki gaya bercerita yang berbeda dengan pengarang lainnya. Gaya tersebut biasanya dipengaruhi
oleh latar belakang pengarang itu sendiri, misalnya latar belakang pendidikan, latar belakang profesi, atau latar belakang lingkungan tempat ia tinggal. Gaya
dalam sebuah karya sastra juga biasanya ada hubungannya dengan penggunaan bahasa. Hal ini ditegaskan oleh pendapat Aminuddin dalam Hendrayati, 1990
bahwa gaya mengandung pengertian cara seseorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis,
serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Penggunaan media bahasa meliputi
penggunaan kalimat, penggunaan kata, penggunaan bentuk bahasa figuratif , dialog dan sebagainya.
Panuti Sudjiman memaparkan beberapa pengertian gaya yang diungkapkan dalam Kamus Istilah Sastra sebagai berikut:
1. Cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata. 2. Cara khas dalam penyusunan dan penyampaian pikiran dan perasaan
dalam bentuk tulisan dan lisan. 3. Ciri-ciri suatu kelompok karya sastra berdasarkan bentuk perbuatannya
ekspresinya dan bukan kandungan isinya. Gaya terutama ditentukan oleh diksi dan struktur kalimat.
Kesimpulannya, gaya adalah ciri khas setiap pengarang dalam menyajikan karyanya, di mana antara pengarang yang satu dengan pengarang
yang lainnya tidak memiliki gaya yang sama persis. Mempelajari gaya bercerita pengarang akan membantu kita untuk lebih memahami pribadi yang
kreatif daripada membaca biografinya yang ditulis oleh orang lain. Yang pasti, gaya karangan yang diciptakan mencerminkan jiwa pengarangnya.
h. Suasana Dalam suatu peristiwa tertentu, pasti ada suasana yang mewarnainya.
Misalnya, sedih, gembira, mengharukan, memancing emosi kemarahan, dan ekspresi jiwa lainnya. Dengan gambaran suasana yang naratif dan emotif
inilah keasikan dari pembaca akan timbul. Demikian halnya dengan unsur- unsur intrinsik lainnya, unsur suasana akan menjadi lebih baik apabila
didukung oleh unsur-unsur intrinsik lainnya seperti tokoh, latar, tema, dan sebagainya.
Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra, mengemukakan bahwa “Suasana adalah suasana hati yang ditimbulkan oleh latar dan cakapan.” Sedangkan,
Harianto G.P. mengemukakan bahwa “Suasana adalah hawa udara atau kesadaran sesuatu di suatu lingkungan, keadaan suatu peristiwa, atau keadaan
perasaan yang ada dalam suatu peristiwa.”
Sebenarnya untuk menjelaskan suasana memang agak sulit, walaupun bisa dilihat dan dirasakan. Namun yang jelas, suasana merupakan warna dasar
cerita itu atau merupakan pesona sebuah cerita.
C. Media 1. Pengertian Media Pembelajaran