Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris di Hulu Daerah Aliran Sungai Citarum (Studi Kasus Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas Zero, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat)

(1)

ABSTRACT

SITI HALIMATUSADIAH. Effectiveness of Participatory Institutions in Upstream Area of Citarum River Basin (Case Study: Cikapundung Rehabilitation Program Community and Zero Community, Coblong Subdistrict, Bandung, West Java Province). (Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and RINA MARDIANA).

Upstream watershed is one of the sub-watersheds that serve to maintain the availability of water for the central and downstream region. So that, when damage occurs in that area, it will effect to the middle and lower area of the watershed. The purposes of this study were (1) to determine the stakeholders who involved in the rescue of Citarum watershed upstream, (2) to know the effectiveness of participatory institutions to change attitudes and behavior of society around the Citarum watershed upstream. This study was conducted using a quantitative approach supported by qualitative approach. Meanwhile, the results of this study showed (1) institutional participatory have successfully changed attitudes and behavior of society to not to dispose the household garbage and sewage into the river again (2) participatory institutional not yet managed to change the manner of private parties to not to dispose garbage and industrial waste into the river, and (3) participatory institutions in central are more effective to change society attitudes and behavior to be more concerned for the environment than the existing participatory institutions in the upstream. In generally, the participatory institutions have successfully established collaborative between public, private and government at the sub-watershed upstream.

Keywords: stakeholders, participatory institutional, rescue of upstream watershed, community participation.


(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Barber (1997) menyatakan bahwaDaerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya serta berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografis dengan batas di laut sampai daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. DAS merupakan kesatuan ekosistem yang utuh dari hulu hingga hilir yang terdiri dari unsur utama tanah, vegetasi, air maupun udara, serta memiliki fungsi penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.

DAS dapat dibagi ke dalam tiga komponen yaitu: bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur aliran. Ekosistem bagian tengah sebagai daerah distributor dan pengatur air, sedangkan ekosistem bagian hilir merupakan pengguna air. Hubungan antara ekosistem-ekosistem tersebut menjadikan DAS sebagai satu kesatuan hidrologis yang tidak dapat dipisahkan. Kesatuan pengelolaan DAS menjadi hal penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan manusia (Barber 1997).

Kerusakan DAS yang terjadi saat ini dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk, konflik kepentingan, kurangnya keterpaduan antar sektor, dan antara wilayah hulu-tengah-hilir. Degradasi DAS diperparah dengan pesatnya perkembangan ekonomi dimana banyaknya industri-industri menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya alam hingga berujung pada tingginya tekanan terhadap DAS dan berakhir pada kerusakan ekosistem DAS (Dephut 2006). Saat ini, di Indonesia terdapat 458 DAS yang dikelola oleh masing-masing pemerintah daerah beserta jajaran terkait. Dalam 20 tahun terakhir, jumlah DAS kritis di


(3)

Indonesia meningkat dari 22 menjadi 62 ekosistem DAS yang merupakan prioritas pertama; 232 DAS prioritas kedua; dan 178 DAS prioritas ketiga, terhadap penanganan akibat kerusakannya. Tingkat kerusakan DAS ini diindikasikan dengan fluktuasi debit sungai yang tajam antara musim penghujan dan kemarau, pendangkalan sungai, danau, dan waduk, serta terjadinya tanah longsor, banjir dan kekeringan. Deforestasi yang menyebabkan degradasi lahan di bagian hulu dan tengah DAS memicu terjadinya erosi yang berdampak pada sedimentasi di bagian hilir DAS. Prinsip interkonektivitas untuk daerah DAS sangatlah besar. Bila terjadi kerusakan di salah satu bagian DAS, maka akan mempengaruhi bagian DAS yang lain (Dephut 2008).

Perubahan situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi di Indonesia bersamaan dengan krisis multidimensi dalam beberapa tahun terakhir ini, telah mendorong terjadinya perubahan pada arah pengelolaan DAS. Semenjak diberlakukannya otonomi daerah, pengelolaan DAS menjadi terkotak-kotak, tidak terintegrasi dan sektoral. Hingga saat ini, belum ada satu lembaga/instansi pengelolaan DAS yang dapat mengintegrasikan seluruh pemangku kepentingan dari berbagai sektor yang ada. Tidak adanya pedoman yang sama yang digunakan oleh masing-masing sektor membuat pengelolaan terhadap DAS semakin terpecah-pecah dimana lembaga-lembaga pengelolaan DAS hanya bekerja pada wilayahnya masing-masing serta hanya berdasarkan batas wilayah administratif semata (Dephut 2008).

Pemerintah di berbagai daerah selama ini memandang DAS sebagai suatu komoditas yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan berlomba-lomba membuat kebijakan yang membuka peluang kepada pihak swasta untuk dapat mengelola sumberdaya alam dibandingkan dengan masyarakat setempat. Otonomi daerah yang seharusnya berfungsi mensejahterakan masyarakat lokal serta mendekatkan pemerintah dengan masyarakat justru sebaliknya. Program penghijauan, konservasi dan pemberdayaan yang selama ini dilakukan membuktikan bahwa sekian upaya dengan biaya yang besar tidak mampu mencegah bencana di DAS berupa banjir dan longsor serta belum dapat menyentuh dan menjawab kebutuhan masyarakat sekitar DAS, karena pada


(4)

perjalanannya, masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi program pengelolaan DAS tersebut.

Mekanisme bottom up yang selama ini menjadi inti dari otonomi daerah sepertinya masih sulit diterapkan oleh aparat pemerintah dimana pemerintah sulit untuk melepaskan dominasi kewenangan dan kekuasaanya untuk diberikan kepada masyarakat lokal sebagai pihak yang menentukan setiap kegiatan di daerahnya masing-masing. Koordinasi antar lembaga terkait dalam pengelolaan DAS menjadi elemen penting untuk terlaksananya pengelolaan DAS secara optimal. Pengelolaan DAS terpadu pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan yang bersifat partisipatif dari berbagai pemangku kepentingan yang berkepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan partisipatif ini mempersyaratkan adanya rasa saling mempercayai, keterbukaan, rasa tanggung jawab, dan mempunyai rasa ketergantungan (interdependency). Peran pemangku kepentingan menjadi hal yang sangat strategis karena pengelolaan DAS sangat tergantung pada individu/kelompok/organisasi/kelembagaan yang mengelolanya. Pemangku kepentingan harus menyadari betapa pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam sebuah kelembagaan pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan hingga pemungutan manfaat.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis bermaksud mengkaji kelembagaan partisipatoris yang berada di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Penulis juga melakukan telaah lebih dalam terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan serta penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung).

1.2 Perumusan Masalah

Menurut Dephut (2006) pengelolaan DAS sebagai bagian dari pembangunan wilayah dalam implementasinya melibatkan banyak pemangku kepentingan yang lintas wilayah, serta multi disiplin ilmu. Berbagai permasalahan terkait pengelolaan DAS, merupakan hal yang kompleks dan saling terkait, serta tidak mungkin diselesaikan hanya didasarkan pada satu kepentingan atau sudut pandang DAS saja. Kegiatan pengelolaan DAS tersebut mencakup aspek-aspek


(5)

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan di lapangan, pengendalian dan aspek pendukung yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat. Masyarakat merupakan unsur pelaku utama dalam pengelolaan DAS, sedangkan pemerintah sebagai unsur pemegang otoritas kebijakan, fasilitator dan pengawas yang direpresentasikan oleh instansi-instansi sektoral pusat dan daerah yang terkait dengan pengelolaan DAS.

Kerusakan DAS yang selama ini terjadi adalah akibat dari para pemangku kepentingan yang berkuasa dalam mengelola DAS, hal ini harus segera ditangani dengan cepat dan sigap. Perubahan lingkungan ekosistem DAS yang semakin hari kian parah akan membawa dampak yang sangat berbahaya khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar DAS, dikarenakan berpotensi mengalami bencana seperti banjir, longsor dan kekeringan. Salah satu langkah awal untuk mengatasi kerusakan DAS yang semakin parah adalah dengan membentuk gerakan masyarakat untuk bersama-sama melestarikan dan menjaga ekosistem DAS. Untuk membentuk gerakan masyarakat tersebut dibutuhkan suatu wadah yang dapat menampung aspirasi dan koordinasi dalam mengelola DAS. Prinsipnya kelembagaan DAS dibentuk atas kesadaran dan kebutuhan masyarakat sekitar DAS untuk melaksanakan pengelolaan DAS yang lebih baik sebagai akibat dari permasalahan-permasalahan yang timbul seperti konflik kepentingan antar sektor dan antar pemerintah daerah yang menyebabkan degradasi DAS. Pembentukan kelembagaan DAS harus didasarkan pada komitmen bersama dalam pencapaian tujuan pengelolaan DAS. Dengan keanggotaan kelembagaan demikian, maka akan terbangun komunikasi dan jejaring kerja (networking) diantara pemangku kepentingan yang terkait dengan pengelolaan DAS. Masing-masing pihak dapat memperoleh manfaat, peran, tanggungjawab dan membangun komitmen untuk mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan melestarikan ekosistem DAS (Dephut 2003 b). Berdasarkan uraian yang dipaparkan sebelumnya, untuk terus memberi

manfaat bagi seluruh pihak khususnya masyarakat sub DAS tengah dan hilir maka dibutuhkan upaya penyelamatan pada hulu DAS. Upaya penyelamatan hulu DAS tersebut sangat bergantung pada sejauh mana kelembagaan yang terdapat di


(6)

daerah hulu tersebut berperan dalam menjaga pelestarian lingkungan, fungsi dan kualitas air bagi sub DAS tengah dan hilir. Terkait hal tersebut, penulis merumuskan masalah penelitian, sebagai berikut:

1. Sedalam dan seluas apakah pemangku kepentingan terlibat dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung)?

2. Bagaimana efektivitas kelembagaan partisipatoris dalam mengubah sikap dan perilaku masyarakat di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung)?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, disusunlah beberapa tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung).

2. Mengetahui efektivitas kelembagaan partisipatoris dalam mengubah sikap dan perilaku masyarakat di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung).

1.4 Kegunaan Penelitian

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai konsep kelembagaan di hulu DAS yang menjadi topik kajian sekaligus untuk mencari penguatan teori yang telah diperoleh di perkuliahan. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu:

1.4.1 Bidang Akademis

Kegunaan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji permasalahan kelembagaan DAS serta untuk meningkatkan kemampuan peneliti dalam menerapkan berbagai konsep, teori dan pendekatan masalah DAS dengan menggunakan teori partisipatif. Penelitian ini merupakan salah satu perwujudan dari Tridharma Perguruan Tinggi yang diharapkan dapat meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan, khususnya bidang ekosistem DAS.


(7)

1.4.2 Masyarakat Umum

Penelitian ini diharapkan dapat berdampak positif bagi masyarakat setempat, menambah pengetahuan tentang kajian kelembagaan di DAS khususnya untuk upaya penyelamatan di hulu DAS.

1.4.3 Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau dijadikan bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan (pemerintah) yang berkaitan dengan pengelolaan DAS.


(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Daerah Aliran Sungai

2.1.1.1 Definisi Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi yang tersusun atas komponen-komponen biofosik dan sosial (human systems) yang dipandang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain (Dharmawan et al. 2005). Menurut Manan (1976) sebagaimana dikutip Dharmawan et al. (2005), DAS didefinisikasn sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh topografi pemisah aliran (topographic divide), yaitu punggung bukit atau gunung yang menangkap curah hujan, menyimpan dan kemudian mengalirkannya melalui saluran-saluran pengaliran ke suatu titik (outlet) yang umumnya berada di muara sungai biasa atau danau.

Menurut Kartodihardjo et al. (2004), definisi DAS dari sudut pandang institusi bukan menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di dalam DAS, batas yurisdiksi pihak-pihak yang berada dalam DAS maupun bentuk-bentuk aturan perwakilan yang diperlukan dalam pengambilan keputusan seputar cara-cara yang digunakan (teknologi), melainkan bagaimana para pihak mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk mewujudkan aturan main diantara mereka, termasuk kesepakatan dalam penggunaan teknologi itu sendiri, sehingga masing-masing pihak mempunyai kepastian hubungan yang sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Pendefinisian DAS dalam konsep daur hidrologi sangat diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui beberapa cara. Chay Asdak (2002) sebagaimana dikutip Dephut (2003c), menjelaskan konsep daur hidrologi DAS bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran. Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari: manusia, hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing-masing komponen


(9)

tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal.

2.1.1.2 Kesatuan dan Fungsi Daerah Aliran Sungai

Fungsi hidrologis DAS sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima, geologi yang mendasari dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS menurut Farida et al. (2005) untuk: (1) mengalirkan air; (2) menyangga kejadian puncak hujan; (3) melepas air secara bertahap; (4) memelihara kualitas air; dan (5) mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor). Aktivitas yang mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu akan mempengaruhi kondisi DAS bagian tengah dan hilir. Batas DAS secara administratif hanya dapat tercakup dalam satu kabupaten hingga melintas batas provinsi dan negara. Suatu DAS yang sangat luas dapat terdiri dari beberapa sub DAS yang kemudian dapat dikelompokkan lagi menjadi DAS bagian hulu, DAS bagian tengah dan DAS bagian hilir (Dephut 2003 c). Fungsi dari setiap sub DAS tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, DAS bagian hulu dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah dengan lanskap pegunungan dengan variasi topografi, mempunyai curah hujan yang tinggi dan sebagai daerah konservasi untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen sistem aliran airnya.

Kedua, DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial


(10)

dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.

Ketiga, DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan yang relatif landai dengan curah hujan yang lebih rendah. Semakin ke hilir, mutu air, kontinuitas, kualitas dan debit akan semakin berkurang kualitasnya dibandingkan dengan DAS bagian hulu. Hal ini terjadi karena badan air di hulu tercemari oleh kegiatan-kegiatan manusia baik domestik maupun industri, sehingga badan air di bagian hilir mengalami kondisi dan kualitas yang kurang baik. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan.

2.1.1.3 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan manusia.

Prinsip dasar dalam pengelolaan DAS yaitu “satu DAS, satu perencanaan, satu

pengelolaan”. Dengan prinsip ini pengelolaan DAS dilakukan dengan pendekatan

ekosistem dengan asas keterpaduan, kemanfaatan, kelestarian, dan keadilan (Sumampouw et al. t.t).

Pengelolaan DAS menurut Dephut (2008) adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan


(11)

kelestarian ekosistem DAS. Mengacu pada penelitian Citanduy, pengelolaan DAS dalam konteks yang lebih luas dipandang sebagai suatu sistem sumberdaya, satuan pengembangan sosial ekonomi dan satuan pengaturan tata ruang wilayah yang dijalankan berdasarkan prinsip konservasi sumberdaya (resources sustainability) yang mengandung makna keterpaduan antara prinsip produktivitas dan konservasi sumberdaya (sustainability = productivity + conservation of resources) dalam mencapai tujuan-tujuan pengelolaan DAS (Dharmawan et al 2005). Tujuan-tujuan pengelolaan DAS tersebut menurut Dephut (2008) meliputi: 1. Lahan yang produktif dan berkelanjutan sesuai dengan daya dukungnya; 2. DAS yang mempunyai tutupan vegetasi tetap yang memadai dan aliran (debit)

air sungai stabil dan jernih tanpa ada pencemaran air;

3. Kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif para pihak termasuk masyarakat di dalam pengelolaan DAS semakin lebih baik;

4. Kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

Ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS sebagaimana dinyatakan oleh (Dephut 2008) meliputi :

1. Penatagunaan lahan (landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan;

2. Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk memproduksi air (water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan;

3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi);

4. Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait dengan konservasi tanah dan air;

5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS selama ini memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga pengelolaan DAS hanya bekerja pada batas wilayah administratif masing-masing. Pedoman yang digunakan lembaga-lembaga terkait untuk mengelola DAS pun berbeda-beda. Umumnya pengelolaan DAS yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang ada hanya berupa rehabilitasi dan konservasi. Program-program tersebut hanya akan muncul jika telah terjadi deforestasi dan degradasi pada DAS.


(12)

2.1.1.4 Kerusakan Ekosistem Daerah Aliran Sungai

Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50 persen dari luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun, sedangkan lahan-lahan kritis dan sangat kritis masih tetap luas yaitu sekitar 30,2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), serta erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun (Dephut 2008).

Menurut Kartodihardjo et al. (2004), rusaknya SDA disebabkan antara lain oleh: (1) berbagai kegiatan pembangunan yang lebih menitik-beratkan pada produksi komoditas (tangible product); (2) lemahnya institusi (dalam arti aturan main maupun organisasi) yang tujuannya mencegah rusaknya sumberdaya yang berupa stock (dan menghasilkan intangible product) seperti bentang alam, watershed, danau, kawasan lindung dan pantai-laut-pulau kecil; (3) lemahnya institusi yang tugasnya melakukan penyelesaian konflik dan penataan penguasaan, pemilikan serta pemanfaatan sumber-sumber agraria. Perkembangan pembangunan yang masih tertuju pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesempatan kerja akan senantiasa mengeksploitasi sumberdaya alam sebagai faktor produksi yang diperlukan. Orientasi ekonomi pada komoditas (barang) sumberdaya alam ini dalam kondisi lemahnya institusi publik yang mengaturnya akan mengabaikan fungsi sumberdaya alam sebagai daya dukung kehidupan (jasa).

Dalam 20 tahun terakhir, jumlah DAS kritis di Indonesia meningkat dari 22 menjadi 60 (Sumampouw et al. t.t). Buku Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) tahun 2007 mencatat ada 60 DAS kritis yang menduduki prioritas utama. Sebuah DAS disebut kritis dan masuk kategori prioritas utama bila seluruh parameter penilaian memperlihatkan hasil di bawah standar. Salah


(13)

satu parameternya adalah tutupan lahan di sekitar DAS. Singkatnya, setiap tahun jumlah DAS kritis terus bertambah.

Tabel 2.1 DAS Kritis di Indonesia

Daerah Aliran Sungai Kritis di Indonesia

Kategori Jumlah

Prioritas 1 60

Prioritas 2 222

Prioritas 3 176

Sumber: (Sumampouw et al t.t)

Kondisi kritis DAS ini ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS untuk menyimpan air. Dampaknya adalah meningkatnya frekuensi banjir, erosi, sedimentasi dan longsor pada musim hujan serta kekeringan pada musim kemarau. Peningkatan jumlah DAS kritis ini menimbulkan kerugian materi dan jiwa. Saat ini, kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor yaitu antara wilayah hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah, dimana sumberdaya alam ditempatkan sebagai sumber PAD (Dephut 2006).

Tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan, sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS. Bentuk kerusakan ekologi ini didominasi oleh kerusakan hutan yang berdampak pada kerusakan DAS (Dephut 2008).

2.1.2 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu

2.1.2.1 Konsep Pengelolaan Kolaboratif Daerah Aliran Sungai

Menurut Gray (1989) sebagaimana dikutip Means et al. (2005), kolaborasi adalah suatu proses dimana dua pemangku kepentingan atau lebih yang berbeda


(14)

kepentingan dalam suatu persoalan yang sama menjajagi dan bekerjasama melalui perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama. Suporahardjo (2005) menyebutkan pendekatan kolaborasi sering disebut

sebagai “jembatan” (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya.

Sebagai jembatan penyeberangan yang berfungsi mengintegrasikan batas-batas yang dibatasi oleh geografi, kepentingan dan persepsi, Straus (2002) sebagaimana dikutip Suporahardjo (2005), menyatakan pendekatan kolaborasi juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadversarial approach) untuk penyelesaian masalah dan konflik. Dalam prakteknya kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam konflik multi pihak.

Chrislip dan Larson (1994) sebagaimana dikutip Suporahardjo (2005), menyatakan bahwa strategi kolaborasi berhasil dilaksanakan karena sembilan faktor berikut:

1. Waktunya tepat dan kebutuhan yang jelas;

2. Didukung oleh kelompok pemangku kepentingan yang kuat;

3. Keterlibatan yang luas (mengupayakan keterlibatan banyak peserta dari berbagai sektor);

4. Kredibilitas dan keterbukaan proses;

5. Komitmen dan keterlibatan level atas, pemimpin yang bervisi;

6. Mendukung atau menyetujui penetapan kewenangan atau kekuasaan (power); 7. Mengatasi ketidakpercayaan dan skeptisme;

8. Kepemimpinan yang kuat terhadap proses; 9. Keberhasilan sementara;

10. Bergerak ke kepedulian yang lebih luas.

Salah satu pendekatan kolaboratif yang dapat dilakukan dalam pengelolaan DAS adalah pengelolaan DAS secara terpadu. Pengelolaan DAS secara terpadu adalah rangkaian upaya yang memperlakukan DAS sebagai suatu kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir dengan pendekatan lintas sektor dan lintas wilayah administrasi pemerintahan secara partisipatif, koordinatif, integratif, sinkron dan sinergis guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS (Dephut 2009).


(15)

Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan. Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia (Dephut 2003c). Beberapa hal yang mengharuskan pengelolaan DAS diselenggarakan secara terpadu (Dephut 2006) adalah:

1. Terdapat keterkaitan antar berbagai kegiatan (multi sektor) dalam pengelolaan sumberdaya dan pembinaan aktivitasnya;

2. Melibatkan berbagai disiplin ilmu yang mendasari dan mencakup berbagai bidang kegiatan;

3. Batas DAS tidak selalu bertepatan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan;dan

4. Interaksi daerah hulu sampai hilir yang berdampak negatif maupun positif sehingga memerlukan koordinasi antar pihak.

Prinsip-prinsip yang harus menjadi dasar acuan dalam pengelolaan DAS terpadu adalah sebagai berikut:

1. Pengelolaan DAS dilakukan dengan memperlakukan DAS sebagai satu kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir, satu perencanaan dan satu sistem pengelolaan;

2. Pengelolaan DAS terpadu melibatkan multipihak, koordinatif, menyeluruh dan berkelanjutan;

3. Pengelolaan DAS bersifat adaptif terhadap perubahan kondisi yang dinamis dan sesuai dengan karakteristik DAS;

4. Pengelolaan DAS dilaksanakan dengan pembagian tugas dan fungsi, beban biaya dan manfaat antar multipihak secara adil;

5. Pengelolaan DAS berdasarkan akuntabilitas para pemangku kepentingan. Secara garis besar ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS terpadu meliputi:


(16)

1. Penatagunaan lahan (landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan;

2. Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk memproduksi air (water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan;

3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi);

4. Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait dengan konservasi tanah dan air; dan

5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS. Pelaksanaan pengelolaan kolaboratif DAS, harus mengacu pada semboyan

“Satu Kelola DAS, Satu Rasa, Satu Aksi dengan Sejuta Manfaat”. Satu Kelola

DAS, Satu Rasa dan Satu Aksi dapat diartikan sebagai berikut (Sumampouw et al. t.t):

1. Satu Kelola DAS: suatu area pengelolaan daerah aliran sungai skala kecil yang ditentukan berdasarkan karakter bentang alam.

2. Satu Rasa: bahwa pemilihan pengelolaan suatu area satu kelola DAS skala kecil didasarkan pada munculnya isu bersama, kepentingan bersama, kedekatan budaya, dan tema bersama (contoh tema konservasi, hijau bersih sehat, perlindungan sumber air dan lain-lain).

3. Satu Aksi: suatu rencana aksi pengelolaan bersama dan terpadu yang merupakan hasil dari proses partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan terhadap pentingnya satu kelola DAS yang diwujudkan dalam bentuk aksi nyata.

4. Sejuta Manfaat: bahwa pengelolaan DAS membawa berbagai hasil serta dampak positif bagi kehidupan manusia secara utuh, terutama yang menyangkut hubungan manusia dengan alamnya.

2.1.2.2 Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris Daerah Aliran Sungai

Pengertian kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat


(17)

berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (Djogo et al. 2010). Menurut Ostrom (1986) sebagaimana dikutip Djogo et al. (2010), menerangkan bahwa kelembagaan adalah aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain.

Menurut Soekanto (1999) sebagaimana dikutip Manik et al. (2010), fungsi kelembagaan antara lain: (1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk bertingkah laku; (2) menjaga keutuhan masyarakat; dan (3) sebagai sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Ekawati (2008) sebagaimana dikutip Manik et al. (2010), menyebutkan salah satu kegiatan untuk mendorong keterpaduan dalam pengelolaan DAS adalah pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS.

Partisipasi masyarakat secara umum merupakan suatu proses yang melibatkan masyarakat. Canter (1989) sebagaimana dikutip Arimbi (1993), mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok atau sebagai proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab, secara sederhana hal ini didefinisikannya sebagai feed forward information (komunikasi dari Pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feed back information (komunikasi dari masyarakat ke Pemerintah atas kebijakan). Menurut Arimbi (1993), partisipasi masyarakat merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu (a means to an end), tujuan yang dimaksudkan adalah terkait dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik yang menentukan kesejahteraan manusia. Keterlibatan secara aktif dari masyarakat atau sering disebut partisipasi sangat menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS termasuk rehabilitasi hutan dan lahan.

Nasdian (2004) memaknai partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif yang diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme)


(18)

dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Sementara itu, Cohen dan Uphoff (1977) sebagaimana dikutip Intania (2003) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu:

1. Tahap pengambilan keputusan (perencanaan) yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat;

2. Tahap pelaksanaan dengan wujud nyata partisipasi berupa: 1. Partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran;

2. Partisipasi dalam bentuk sumbangan materi; dan

3. Partisipasi dalam bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek;

3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek yang dirasakan berarti proyek tersebut berhasil menangani sasaran; dan

4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan bagi pelaksanaan proyek selanjutnya.

Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan berarti adanya tindakan nyata yang dilakukan masyarakat dalam berbagai upaya pengendalian dampak lingkungan. Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi: setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian dipertegas dalam penjelasan bahwa hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik tahap perencanaan maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dilakukan melalui beberapa cara, yakni: (1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat


(19)

dan kemitraan; (2) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; (3) menumbuhkan rasa tanggap masyarakat untuk melakukan pengawasansosial; (4) memberikan saran dan pendapat, dan; (5) menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.

Partisipasi masyarakat merupakan faktor terpenting dalam pembangunan, sehingga hampir semua negara mengakui adanya kebutuhan akan partisipasi dalam semua proses pembangunan. Hal ini terlihat dengan munculnya konsep pembangunan dari bawah yang melibatkan peran serta masyarakat (bottom up) untuk mengimbangi modus konsep pembangunan dari atas (top down) (Zulkarnain dan Dodo1989). Kesadaran dalam berpartisipasi ini sangat penting artinya, terutama bila dikaitkan dengan perawatan atau pengelolaan hasil pembangunan. Betapa pentingnya partisipasi dari seluruh masyarakat, hal ini dikarenakan: (1) partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya programpembangunan serta proyek-proyek akan gagal; (2) masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; (3) merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Sentosa (1990) sebagaimana dikutip Atmanto (1995), mengemukakan beberapa unsur penting dari partisipasi sebagai berikut:

1. Komunitas yang menumbuhkan pengertian yang efektif;

2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian;

3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan; 4. Spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh;

5. Menumbuhkan kesadaran; dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain; dan


(20)

Anggota kelembagaan partisipatoris DAS sendiri dapat terdiri dari perwakilan tiga kelompok utama dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu kelompok pemerintah atau pemerintah daerah, kelompok dunia usaha dan kelompok masyarakat. Kelompok pemerintah terkait dengan perencanaan pembangunan, pengelolaan hutan dan lahan pertanian, pertambangan, perikanan, sumberdaya air dan lingkungan hidup. Dunia usaha (swasta) bisa berupa badan usaha milik pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS. Perwakilan masyarakat bisa berupa pakar dari Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian, LSM yang berkepentingan terhadap pengelolaan DAS serta individu-individu/tokoh yang memberikan perhatian terhadap pengelolaan (pemanfaatan/pelestarian) ekosistem DAS.

Melalui kelembagaan DAS maka akan terbangun komunikasi dan jejaring kerja (networking) diantara para pihak yang terkait dengan pengelolaan DAS. Masing-masing pihak bisa memperoleh manfaat, peran, tanggung jawab dan membangun komitmen untuk mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan DAS (Dephut 2003a). Kriteria untuk efektivitas kelembagaan sendiri adalah seberapa baik suatu organisasi berjalan dibandingkan dengan seperangkat standarnya sendiri. Kelembagaan DAS dapat dikatakan efektif bila output yang direncanakan, efek yang diharapkan, dan dampak yang dimaksudkan dapat tercapai.

Mengacu pada penelitian DAS Citanduy ukuran tingkat keberlanjutan kelembagaan dapat dinilai berdasarkan variabel-variabel: (1) peran serta anggota; (2) pelayanan terhadap anggota; (3) manfaat lembaga bagi anggota; (4) good governance; dan (5) kompleksitas. Tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal juga dianalisis melalui faktor-faktor sebagai faktor penentu yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal. Adapun determinan faktor sebagai variabel-variabel independen dalam studi DAS Citanduy, meliputi: (1) kepemimpinan; (2) pendidikan anggota; (3) aturan tertulis; (4) aturan tidak tertulis; (5) ukuran kelembagaan; (6) intervensi pemerintah yang berdampak positif; (7) intervensi pemerintah yang berdampak negatif; (8) ketersediaan prasarana dan sarana umum; (9) jejaring kerjasama antar kelembagaan; (10) usia


(21)

kelembagaan; (11) proses pendirian kelembagaan; dan (12) kecukupan anggaran (Dharmawan et al. 2005).

Menurut Fukuyama sebagaimana dikutip Nasdian (2004), keberlanjutan kelembagaan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal tersebut terdiri dari (1) kepemimpinan; (2) pendidikan; dan (3) anggaran, sedangkan faktor eksternal terdiri dari (1) kebijakan; (2) pemerintah lokal; dan (3) insentif. Aksi kelembagaan di DAS Citanduy ini memfokuskan pada konstruksi

”Wadah Pengelolaan Bersama” yang terbagi menjadi tiga aras yaitu: (1)

internasional dan nasional; (2) supra lokal (antar provinsi/kabupaten/kota); dan (3) komunitas lokal. Selain itu, kelembagaan pengelolaan DAS harus berlandaskan

kepada membangun kemitraan antar tiga “ruang kekuasaan”: civil society, state

dan private sector. Prinsip yang digunakan oleh kelembagaan pengelolaan DAS antara lain:

1. Kelembagaan tersebut merupakan manifestasi dari “sharing” seluruh

pemangku kepentingan, dimana peranan masing-masing pemangku kepentingan dalam kelembagaan tersebut (pola hubungan) dapat ditelaah secara kritis dari analisis pihak-pihak terkait. Telaah dianggap penting untuk menetapkan kedudukan organisasi atau badan yang melaksanakan fungsi hubungan kelembagaan tersebut.

2. Fokus “pekerjaan” kelembagaan tersebut adalah kepada aktivitas yang

partisipatif dan diperkirakan secara operasional dapat didukung dan difasilitasi oleh beragam kebijakan central and local government.

3. Kelembagaan tersebut baik secara konseptual maupun operasional mampu mengimplementasikan kaidah-kaidah desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ditetapkan pada satuan daerah tingkat dua atau kabupaten/kota (UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah). Prinsip ini penting untuk mendukung aksi-aksi kolektif partisipatif dan sampai sejauh mana kabupaten/kota dan/local government mampu membiayai beragam implementasi dari aktivitas partisipatif tersebut.

Pada penelitian DAS di Lampung, NTT dan DAS di Bhima India, terbukti bahwa kelembagaan DAS yang diinisiasi oleh LSM dan NGO setempat jauh lebih baik dan memiliki tingkat keberlanjutan yang tinggi dibandingkan kelembagaan


(22)

yang diinisiasi dan dibangun oleh pemerintah setempat (Hadi et al. 2006). Hal ini dikarenakan posisi LSM dan NGO tersebut adalah untuk meningkatkan kapasitas dan posisi tawar-menawar masyarakat lokal agar setara dengan para pemangku kepentingan yang ada. Berdasarkan studi kasus geo-ekologis dan sosial ekonomi DAS Citanduy, maka dapat diidentifikasi bahwa wilayah hilir adalah wilayah yang memiliki tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal tertinggi, sedangkan kelembagaan konservasi merupakan kelembagaan dengan tingkat keberlanjutan tertinggi di wilayah hulu dan tengah DAS Citanduy (Dharmawan et al. 2005)

2.1.3 Pembangunan Daerah Aliran Sungai Berkelanjutan

Definisi tentang pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh komisi dunia tentang lingkungan hidup dan pembangunan World Commission on Environment and Development (WCED) adalah “pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan

generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri” (Arifin 2001).

Menurut Sugandhy (2007), pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Paradigma pembangunan yang terjadi selama ini oleh beberapa pihak bahwa lingkungan adalah untuk pembangunan ekonomi (eco-developmentalism), lingkungan untuk manusia (eco-humanis), dan lingkungan untuk lingkungan ( eco-environmentalism). Namun apa yang terjadi selama tiga dekade adalah pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan ekonomi. Paradigma pembangunan yang berkelanjutan merupakan perpaduan dari tiga pandangan di atas, dimana pembangunan hendaknya ditujukkan untuk kesejahteraan masyarakat (termasuk di dalamnya pembangunan di dalam bidang ekonomi) dan kelestarian lingkungan hidup (Purba 2002).

Dilihat dari sudut pandang DAS, hal yang menjadi dasar pemikiran pengelolaan DAS adalah “Sustainable Resources Use Management” atau


(23)

Pengelolaan yang Berkelanjutan, artinya, setiap upaya perlindungan, rehabilitasi, dan adaptasi yang dilakukan, hendaknya dapat dilembagakan dalam bentuk organisasi masyarakat (community organization). Bentuk ini sudah mulai muncul dalam wujud forum-forum DAS dan terbentuknya kelompok masyarakat yang bertindak langsung melakukan perlindungan dan rehabilitasi lahan DAS (Sumampouw et al. t.t). Prinsip penting dari pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan adalah:

1. Pentingnya Modal Sosial (social capital), dalam bentuk pendanaan mandiri ataupun pendanaan bersama antara publik dengan pemerintah;

2. Modal Organisasi Masyarakat (modality in community organization) dalam bentuk pengorganisasian masyarakat yang mandiri;

3. Adanya alih pengetahuan (transfer of knowledge) dari pelaku-pelaku yang memiliki cerita sukses dan kreatif dalam penanganan satuan kelola daerah aliran sungai;

4. Pentingnya kehendak politik (political will) dari pemerintah daerah serta lintas sektoral yang tidak lagi didasarkan atas pertimbangan batas wilayah melainkan lebih bertumpu pada pertimbangan batas ekosistem.

Menurut Kartodihardjo et al. (2004), pengelolaan DAS dikatakan telah efektif jika tujuan manajemen dapat dicapai bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat penghuninya. Keberhasilan pengelolaan DAS akan lebih mudah jika:

1. Sumberdaya di dalam DAS menghasilkan manfaat yang besar;

2. Peluang pendapatan masyarakat lokal sejalan dengan aktivitas rehabilitasi DAS;

3. Hak atas lahan (tenureship) jelas, terjamin dan terdistribusi secara adil; 4. Ada insentif bagi mereka yang bersedia mengorbankan manfaat jangka

pendeknya (manfaat individu) untuk memperoleh manfaat jangka panjang (manfaat sosial); dan

5. Ada kerjasama antar pemangku kepentingan pengelolaan DAS.

Pengelolaan DAS harus dilihat sebagai suatu kesatuan alamiah yang terdiri

dari wilayah hulu, tengah dan hilir, dalam konteks pengelolaan “One River, One


(24)

Pembangunan keberlanjutan dalam konteks DAS adalah bagaimana antara sub hulu, tengah, hilir DAS terdapat kesamaan visi dan misi, dimana tidak hanya hulu saja yang berperan dalam menjaga kelestarian DAS namun sub tengah maupun hilir pun berkontribusi dalam menjaga kelestarian DAS melalui kolaborasi yang dilakukan aktor-aktor terkait yaitu pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, maupun akademisi turut dilibatkan. Prinsip keberlanjutan (sustainability) menjadi acuan dalam mengelola DAS, yakni fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial budaya dari berbagai sumberdaya dalam DAS dapat terjamin secara berimbang.

2.2 Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1 menjelaskan bahwa kerusakan yang terjadi di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) selama ini lebih disebabkan oleh pemangku kepentingan yang mengelola DAS. Pemangku kepentingan tersebut terdiri dari tiga aktor utama yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah. Kerusakan yang terjadi di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) akan mempengaruhi sub DAS lainnya yaitu bagian tengah dan hilir Sungai Cikapundung. Untuk itu diperlukan suatu upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dalam rangka menjaga keberlangsungan ekosistem DAS yang baik. Salah satu upaya tersebut adalah dengan membentuk kelembagaan partisipatoris yang anggotanya terdiri dari masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai yang juga merupakan anggota dari 42 komunitas pegiat Sungai Cikapundung. Dengan terbentuknya kelembagaan partisipatoris maka upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) menjadi lebih cepat karena seluruh pihak baik pemerintah, swasta dan akademisi turut mendukung serta bahu-membahu untuk mempercepat pemulihan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dengan mengajak seluruh pihak khususnya masyarakat bantaran Sungai Cikapundung untuk senantiasa berpartisipasi dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) karena selama ini masyarakat tersebutlah yang berhubungan langsung dengan sungai.

Kegiatan-kegiatan penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris secara intensif dan terus menerus inilah yang akhirnya dapat menyadarkan masyarakat di sekitar


(25)

bantaran Sungai Cikapundung (baik itu di hulu maupun di tengah Sungai Cikapundung) untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan ekosistem di DAS guna mencegah bencana yang terjadi seperti banjir dan longsor di hilir.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: Mempengaruhi : Tidak diteliti lebih lanjut : Terdapat hubungan : Kualitatif

: Kuantitatif

Warga di Tengah

Sungai Cikapundung Penyelamatan Hulu DAS

Citarum (Sub DAS Cikapundung) oleh Kelembagaan Partisipatoris  Aksi Kali Bersih

 Aksi Tanam Pohon  Pengolahan

Sampah/Limbah  Penyuluhan dan

Penyadaran Warga Keterlibatan Pemangku

Kepentingan  Masyarakat  Swasta  Pemerintah

Kerusakan Hulu DAS

Perubahan Sikap dan Perilaku, Warga di Hulu DAS

Citarum (Sub DAS Cikapundung) terhadap

Lingkungan Hidup Tingkat Pengetahuan Tingkat Membuang

Sampah/Limbah ke Sungai Tingkat Keterlibatan

Warga dalam Penghijauan Tingkat Gotong Royong Tengah DAS Hilir DAS

Warga di Hulu Sungai Cikapundung


(26)

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

1. Semakin tinggi upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) oleh kelembagaan partisipatoris maka akan semakin tinggi tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat untuk menjaga dan melestarikan Sungai Cikapundung.

2. Semakin tinggi tingkat keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan Sungai Cikapundung maka tingkat kerusakan di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) akan semakin rendah.

2.4 Definisi Konseptual

1. Keterlibatan pemangku kepentingan adalah keikutsertaan pemangku kepentingan yang terdiri dari masyarakat, pemerintah dan juga swasta dalam mengelola sumberdaya alam sehingga berkontribusi dalam menghasilkan kerusakan di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung), berikut penjelasan dari masing-masing pemangku kepentingan tersebut.

i. Masyarakat adalah sekelompok orang yang saling berinteraksi antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut atau suatu komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain) yang terkait dalam pengelolaan ekosistem hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung).

ii. Swasta adalah organisasi atau lembaga non pemerintah yang memiliki kepentingan dalam ekosistem hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) guna mencapai keuntungan bagi organisasinya.

iii. Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan dan wewenang lebih dalam mengelola hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) di wilayahnya dan memiliki peran yang sangat penting untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu yang terkait kelestarian ekosistem DAS di daerahnya.

2. Kerusakan hulu DAS adalah ketidakberfungsian bagian hulu DAS sebagai penyedia oksigen dan perlindungan serta fungsi tata air bagi DAS bagian


(27)

tengah dan hilir. Hal ini ditandai dengan banyaknya lahan kritis di daerah hulu dan banyaknya industri-industri sehingga dapat mengakibatkan bencana banjir dan longsor di hilir.

3. Bagian tengah DAS adalah bagian DAS yang didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.

4. Bagian hilir DAS adalah bagian DAS yang didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah.

5. Penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) adalah upaya-upaya yang dilakukan guna mengembalikan fungsi DAS bagian hulu sebagai daerah penyangga air dan daerah hijau.

6. Kelembagaan partisipatoris DAS adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan, pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam (DAS) secara partisipatif terkait perencanaan, hingga pelaksanaannya serta dengan sarana dan prasarana dari kelompok itu sendiri. 7. Aksi kali bersih adalah kegiatan untuk mengambil sampah dan limbah di

sepanjang aliran sungai guna membersihkan sungai agar tidak tercemar dan tidak menimbulkan bencana banjir di hilir.

8. Aksi tanam pohon adalah kegiatan untuk menanam berbagai jenis pohon di daerah kritis di sepanjang DAS guna sebagai penyangga dan penyuplai air serta sebagai pencegah banjir di DAS bagian tengah dan hilir.

9. Pengolahan sampah/limbah adalah kegiatan mendaur ulang sampah baik itu organik dan non organik agar dapat diamanfaatkan kembali menjadi barang yang dapat bernilai atau bermanfaat kembali.


(28)

10.Penyuluhan dan penyadaran warga adalah proses penyebarluasan informasi, ilmu pengetahuan kepada masyarakat sebagai upaya mencegah masyarakat khususnya masyarakat di DAS agar tidak menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan limbah/sampah. Penyuluhan dan penyadaran warga ini dilakukan dengan aksi langsung bersama masyarakat di sekitar DAS.

11.Warga di hulu Sungai Cikapundung adalah warga yang tinggal di daerah hulu Sungai Cikapundung.

12.Warga di tengah Sungai Cikapundung adalah warga yang tinggal di daerah tengah Sungai Cikapundung.

13.Kesadaran masyarakat di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) adalah sejauh mana masyarakat yang berada di sepanjang Sungai Cikapundung mengerti akan pentingnya fungsi kawasan hulu sebagai daerah tangkapan air dan penyangga sehingga tidak lagi melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mencemari ataupun merusak sungai namun sebaliknya melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat melestarikan DAS.

2.5 Definisi Operasional

Tingkat kesadaran masyarakat dinilai dari beberapa aspek, antara lain:

1. Tingkat pengetahuan adalah kognisi/pengetahuan yang dimiliki oleh warga mengenai sampah, sungai, penghijauan dan gotong royong. Tinggi rendahnya tingkat pengetahuan responden dapat diukur dari baik/tidaknya pengetahuan responden terkait sampah, sungai, penghijauan, dan gotong royong.

a. Rendah: jika responden tidak dapat membedakan jenis sampah, serta jika responden menjawab kurang/tidak penting kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sungai, penghijauan, dan gotong royong, skor 0 b. Tinggi: jika responden dapat membedakan jenis sampah, serta jika

responden menjawab penting kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sungai, penghijauan, dan gotong royong, skor1

2. Tingkat membuang sampah/limbah ke sungai adalah sejauh mana warga tidak membuang atau menyalurkan sampah/limbah rumah tangganya ke aliran sungai. Perubahan perilaku responden dalam membuang atau menyalurkan sampah/limbah rumah tangganya dapat diukur dari kemana responden


(29)

tersebut biasa membuang sampah/limbah rumah tangganya setelah adanya kelembagaan partisipatoris di daerahnya.

a. Sangat buruk: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah tangganya ke sungai di daerahnya, skor 0

b. Buruk: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah tangganya dengan cara dibakar, skor 1

c. Baik: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah tangganya dengan cara dikubur, skor 2

d. Sangat baik: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah tangganya menggunakan TPS, skor 3

3. Tingkat keterlibatan warga dalam penghijauan adalah keikutsertaan masyarakat yang berada di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) untuk melakukan aksi tanam pohon di daerah atau kawasan-kawasan kritis. Tingkat partisipasi responden dalam kegiatan penghijauan dapat diukur dari hadir/tidak hadirnya responden dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya

a. Tidak pernah: jika responden tidak pernah sama sekali terlibat dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 0

b. Jarang: dalam satu tahun responden hanya terlibat satu hingga dua kali kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 1

c. Kadang-kadang: dalam satu tahun responden terlibat lebih dari dua kali dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 2 d. Selalu: responden selalu terlibat dalam setiap kegiatan penghijauan yang

diadakan di daerahnya, skor 3

4. Tingkat keterlibatan warga dalam gotong royong adalah tingkat kerjasama antar masyarakat sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dalam kegiatan-kegiatan yang dapat menjaga kelestarian sumberdaya alam khususnya DAS. Tingkat partisipasi responden dalam kegiatan gotong royong dapat diukur dari hadir/tidak hadirnya responden dalam setiap kegiatan gotong royong yang diadakan di daerahnya.

a. Tidak pernah: responden tidak pernah sama sekali terlibat dalam setiap kegiatan gotong royong yang diadakan di daerahnya, skor 0


(30)

b. Jarang: dalam enam bulan responden hanya terlibat satu hingga dua kali dalam setiap kegiatan gotong royong yang diadakan di daerahnya, skor 1 c. Kadang-kadang: dalam enam bulan responden terlibat lebih dari dua kali

dalam setiap kegiatan gotong-royong yang diadakan di daerahnya, skor 2 d. Selalu: responden selalu terlibat dalam setiap kegiatan gotong royong yang


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penentuan tempat dilatarbelakangi oleh tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa metode pengumpulan data untuk memperoleh pemahaman mengenai efektivitas kelembagaan partisipatoris di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Penelitian ini dilakukan di Sungai Cikapundung dengan studi kasus kelembagaan partisipatoris yaitu komunitas Cikapundung Rehabilitation Program (CRP) di daerah Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Bandung, Jawa Barat dan komunitas Zero yang berada di Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong, Bandung, Jawa Barat. Pemilihan tempat dilakukan secara sengaja (purposive) dimana lokasi penelitian merupakan daerah hulu dan tengah Sungai Cikapundung. Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Juli, sedangkan pengelolaan data dan hasil penulisan laporan dilakukan pada bulan Agustus hingga Oktober 2011.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Dalam pendekatan kuantitatif, penelitian ini menggunakan metode survey. Penelitian survey adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun 1989). Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui sejauh mana masyarakat terkena dampak dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris di hulu dan tengah Sungai Cikapundung.

Pendekatan kualitatif penelitian mengambil fakta berdasarkan pemahaman subyek penelitian, dan mengetengahkan hasil pengamatan itu secara sangat rinci (Agusta 1998). Pendekatan kualitatif lebih menekankan pada kedalaman dan kecukupan informasi serta berusaha membangun teori minimal tentang unit analisis yang diteliti. Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui keterlibatan pemangku kepentingan dalam melakukan


(32)

kegiatan-kegiatan yang menyebabkan kerusakan di hulu DAS dan juga melihat bagaimana pemangku kepentingan tersebut melakukan upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung).

Strategi penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Melalui metode studi kasus peneliti bermaksud untuk mencari, menerangkan dan menganalisis peristiwa sosial yang terjadi secara holistik dan mendalam tentang permasalahan penelitian. Peneliti menggunakan metode studi kasus karena penelitian berada pada studi aras mikro, yaitu Sub DAS Cikapundung. Peneliti menggunakan triangulasi metodologi untuk menggali data kelembagaan partisipatoris dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dan juga keterlibatan pemangku kepentingan di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Triangulasi yang digunakan adalah kombinasi dari teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara mendalam, pengamatan berperan serta, dan kajian literatur.

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang disebarkan dan diisi oleh responden melalui wawancara mendalam dan pencarian informasi kepada informan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dan studi literatur yang sumbernya berasal dari berbagai dokumen-dokumen pemerintah atau dinas-dinas terkait, buku, artikel, skripsi, tesis, internet dan karya ilmiah lainya.

3.3 Teknik Penentuan Responden

Terdapat dua subjek penelitian yaitu responden dan informan. Data dari penelitian kuantitatif diperoleh melalui kuisioner dengan menggunakan teknik wawancara kepada responden. Kemudian hasil dari kuesioner tersebut dicatat seperti apa adanya dan diolah dengan melakukan analisis serta interpretasi, baru selanjutnya dilakukan pembuatan kesimpulan tentang hasil kuesioner. Data dari penelitian kualitatif diperoleh melalui observasi ke lapangan dan wawancara mendalam kepada informan.

Untuk data kualitatif, penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dengan pemangku kepentingan yang terlibat untuk mengetahui kegiatan-kegiatan


(33)

kelembagaan partisipatoris dan peran dari masing-masing pemangku kepentingan serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelembagaan partisipatoris dalam menjalankan upaya penyelamatan di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Sedangkan untuk mengetahui perubahan perilaku dan tingkat kesadaran masyarakat setelah adanya kelembagaan partisipatoris digunakan data primer yang dikumpulkan melalui kuisioner yaitu sebanyak 60 responden dari dua Rukun Tetangga (RT) yang ditentukan secara purposif. Pemilihan RT ditentukan melalui teknik random sampling, dimana masing-masing RT akan diambil 30 secara acak.

Kerangka sampling dalam penelitian ini mengambil populasi masyarakat yang berada dekat dengan Sungai Cikapundung dan dekat dengan kelembagaan partisipatoris, terpilihlah Kecamatan Coblong yang terdiri dari enam kelurahan. Dari enam kelurahan terpilih dua kelurahan yang terbagi menjadi dua kelompok dengan karakteristik yang berbeda. Kelompok pertama adalah warga di Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong yang merupakan daerah hulu Sungai Cikapundung dengan studi kasus komunitas CRP, sementara kelompok kedua adalah warga Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong yang sudah memasuki daerah tengah Sungai Cikapundung dengan studi kasus komunitas Zero. Dari kedua kelompok tersebut dipilih dua Rukun Warga (RW) secara purposif berdasarkan hasil pengamatan dan informasi yang terpercaya, kemudian dari kedua RW dipilih masing-masing satu RT secara purposif yang akan dijadikan sampel. RT yang terpilih yaitu RT 02/RW 01 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong dan RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong dimana kedua RT tersebut berdekatan langsung dengan Sungai Cikapundung.

Dari masing-masing RT tersebut baru diambil secara acak rumah tangga yang akan dijadikan responden penelitian dimana jumlah total rumah tangga di RT 02/RW 01 sebanyak 63 dan di RT 03 RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi sebanyak 52 rumah tangga. Dari sini, dipilih secara acak 30 responden dari masing-masing RT untuk dijadikan sampel penelitian, sehingga jumlah total responden di dua lokasi berjumlah 60 rumah tangga. Adapun, teknik pengambilan responden dengan metode sampling diilustrasikan seperti pada Gambar 3.1.


(34)

Gambar 3.1 Teknik Sampling dan Pengambilan Responden Kecamatan Coblong

Bandung Utara

Populasi: seluruh warga yang berada dekat dengan daerah tengah Sungai Cikapundung serta komunitas pegiat Sungai Cikapundung

Penentuan kelurahan: purposif Populasi: seluruh warga yang berada

dekat dengan daerah hulu Sungai Cikapundung serta komunitas pegiat Sungai Cikapundung

Penentuan kelurahan: purposif

Total Kelurahan di Kecamatan Coblong sebanyak 6

Dipilih satu kelurahan di tengah Sungai Cikapundung yaitu Kelurahan Lebak Siliwangi

Total RW di Kelurahan Dago: 13 Penentuan RW dan RT: purposif Dipilih satu kelurahan di hulu Sungai Cikapundung yaitu Kelurahan Dago

Total RW di Kelurahan Lebak Siliwangi: 8

Penentuan RW dan RT: purposif

Dipilih satu RW dan RT di Kelurahan Lebak Siliwangi yaitu RW 08/ RT 03 Dipilih satu RW dan RT di

Kelurahan Dago yaitu RW 01/ RT 02

Dari 63 KK di RW 01/ RT 02 Kelurahan Dago, secara acak dipilih 30 responden dengan 3 responden cadangan (10 persen dari 100 persen)

Dari 52 KK di RW 08/ RT 03 Kelurahan Lebak Siliwangi, secara acak dipilih 30 responden dengan 3 responden cadangan (10 persen dari 100 persen)

Total 60 responden Jumlah KK di RW 01/ RT 02

Kelurahan Dago sebanyak 63 KK

Jumlah KK di RW 08/ RT 03

Kelurahan Lebak Siliwangi sebanyak 52 KK


(35)

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Teknik pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan perlakuan yang berbeda sesuai dengan jenis data yang diperoleh dengan pendekatan penelitian berbeda, yakni data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif dan dari data kuantitatif. Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif akan diolah melalui tiga tahap analisis data kualitatif, yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Sugiyono (2008) mendefinisikan tahap-tahap analisis data sebagai berikut:

1. Reduksi data: merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan mencari tema serta pola data yang diperoleh;

2. Penyajian data: menyajikan data dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan lain-lain untuk mempermudah peneliti dalam mengorganisir data, menyusun pola dan memahami data yang diperoleh; 3. Penarikan kesimpulan yang menghasilkan temuan baru atas obyek penelitian.

Data yang diperoleh dari responden dan informan selanjutnya dicatat dalam catatan harian. Data-data yang telah didapat kemudian direduksi (pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, dan transformasi data

“kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan). Reduksi data

bertujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dari pemaknaan dari efektivitas kelembagaan partisipatoris di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dapat dilakukan.

Data kuantitatif hasil penyebaran kuesioner di lapangan diolah dengan terlebih dahulu dilakukan pemilahan data. Pengolahan data dilakukan dengan tabel frekuensi untuk menghitung persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabulasi silang untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu untuk melihat perubahan perilaku responden keterkaitan kegiatan kelembagaan partisipatoris di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) terhadap perubahan sikap dan perilaku masyarakat di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Selanjutnya gabungan data kualitatif dan kuantitatif tersebut diolah dan dianalisis dengan disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks, atau bagan. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah.


(36)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1Gambaran Umum Sungai Cikapundung 4.1.1 Sejarah Sungai Cikapundung

Sungai Cikapundung merupakan salah satu DAS yang memiliki nilai penting bagi Kota Bandung dan sekitarnya. Asal nama Cikapundung terdiri dari dua kata yaitu cai dan kapundung. Cai dalam bahasa Sunda berarti air, sedangkan kapundung berarti tanaman Kapundung/Bencoy/Menteng yaitu “Baccaurea dulcisMuell” yang banyak tumbuh di bantaran Sungai Cikapundung. Sungai Cikapundung berhulu di utara Kota Bandung tepatnya di daerah Lembang yang airnya berasal dari Curug Ciomas yang membelah Kota Bandung dari kawasan utara menuju selatan Kota Bandung dan bermuara di Sungai Citarum di daerah Selatan Bandung.

Sungai Cikapundung yang berhulu di Gunung Bukit Tunggul, Gunung Palasari dan Gunung Putri, berada pada ketinggian 650-2.067 m dpl merupakan Sub DAS Citarum yang luasnya 15.386,5 ha dengan wilayah administrasi Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kabupaten Bandung sepanjang ± 28 km. Pada tahun 2010 Sungai Cikapundung memiliki curah hujan berkisar antara 1500-2400 mm/tahun, adapun hari hujan antara 96-220 hari, sedangkan curah hujan maksimum 89 mm. Tataguna lahan di Sungai Cikapundung meliputi: perkebunan sebesar 53,8 persen, pemukiman sebesar 25,3 persen, hutan sebesar 3,71 persen, sawah sebesar 6,62 persen, semak belukar sebesar 5,3 persen dan terakhir lahan kosong sebesar 5,64 persen. Populasi di wilayah sungai sekitar 750.000 jiwa. Sungai Cikapundung memiliki luas daerah tangkapan di bagian hulu sebesar 111,3 km², di bagian tengah seluas 90,4 km² dan di bagian hilir seluas 76,5 Km². Pada bagian hulu terdapat percabangan sungai yang membentuk dua sub sistem DAS, yang terletak di Maribaya. Percabangan kearah Barat merupakan sub sistem Cigulung meliputi Cikidang, Cibogo, Ciputri dan Cikawari, sedangkan kearah Timur meliputi sungai Cibodas dan Sungai Cigalukguk1.

1


(37)

Sungai Cikapundung termasuk kedalam 48 sungai yang mengitari kota Bandung dan menjadi 13 anak sungai utama yang menjadi pemasok air bagi Sungai Citarum. Panjang alur Sungai Cikapundung yang melintasi Kota Bandung adalah sebesar ± 15,5 km (68,2 persen dari total panjang sungai) dan diantaranya merupakan daerah pemukiman padat penduduk yang dipenuhi dengan 1.058 bangunan. Lebar sungai di hulu sepanjang 22 meter dan di hilir 26 meter, dimana debit air minimum sebesar enam meter kubik per detik. Sungai Cikapundung membelah Kota Bandung dengan melintasi sembilankecamatan, 13 kelurahan dan 124 RW. Sungai Cikapundung terbagi dalam dua segmen antara lain kawasan hijau sepanjang lima kilometer meliputi wilayah Dago Bengkok - Curug Dago - hingga Gandok, dan sepanjang 10,5 km daerah Gandok hingga Mengger bantarannya sudah merupakan daerah perumahan padat penduduk, perdagangan dan sebagainya.

Sungai Cikapundung mengalir melewati kawasan perkebunan kina dan hutan lindung yang didominasi oleh tumbuhan pinus. Sungai Cikapundung mengalir menuju Kampung Cikapundung Desa Suntenjaya. Aliran sungai dilanjutkan sampai bertemu dengan anak Sungai Cisarua di Desa Cibodas dan anak Sungai Cigulung di kawasan wisata Maribaya di Desa Langensari Kecamatan Lembang. Selanjutnya, aliran sungai menuju ke kawasan hutan lindung Taman Insinyur Haji Djuanda atau yang biasa dikenal sebagai kawasan Dago Pakar. Kawasan ini terletak di antara Kelurahan Cidadap dan Cibeunying Kaler, kemudian arah aliran Sungai Cikapundung menuju ke arah hilir yang telah terdapat banyak pemukiman penduduk, yaitu Babakan Siliwangi, Melong, By Pass Soekarno Hatta, sampai menuju ke adarah Desa Bojong Soang dan akhirnya bertemu dengan aliran Sungai Citarum. Seperti fungsi sungai lainnya, Cikapundung pun berfungsi sebagai: (1) drainase utama pusat kota; (2) penggelontor kotoran dan pembuangan limbah domestik maupun industri sampah kota; (3) objek wisata Bandung (Maribaya, Curug Dago, kebun binatang dll); (4) penyedia air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung yang membangun instalasi penyadapan di Dago Pakar, Dago, dan di Badak Singa; (5) pemanfaatan energi yang dikelola oleh PT Indonesia Power-Unit Saguling yang mendirikan instalansi di PLTA Bengkok dan PLTA Dago Pojok, serta (6) sebagai


(38)

sarana irigasi pertanian, namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota, instalasi tersebut tidak berfungsi secara efektif.

Ditinjau dari segi mata pencaharian, sebagian besar penduduk di Sub DAS Cikapundung bergantung pada sektor pertanian sebesar 35 persen dimana sektor pertanian ini menyumbang sebesar 71,82 persen dari nilai PDB Kecamatan Lembang dan merupakan yang terbesar dari sektor-sektor yang lain. Dari segi pendidikan warga Sub DAS Cikapundung tergolong masih rendah karena sebagian besar penduduk hanya tamat SD bahkan terdapat juga penduduk yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD, adapun kegiatan sosial seperti gotong royong, ronda dan kegiatan keagamaan masih berjalan dengan baik. Ketergantungan penduduk yang tinggi terhadap sektor pertanian terancam dengan adanya tekanan alih fungsi lahan akibat pesatnya perkembangan di Kota Bandung. Merehabilitasi Sungai Cikapundung merupakan suatu langkah awal untuk merehabilitasi 13 sungai lainnya agar jernih kembali, dimana Sungai Cikapundung digunakan untuk menampung air pada musim kemarau, mengurangi sedimentasi lumpur keruh di Sungai Citarum, juga sebagai sumber listrik Ibukota Jawa Barat dan jaringan Jawa hingga Bali.

4.2 Sejarah Pembentukan Kelembagaan Partisipatoris Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung

Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program (CRP) terbentuk pada akhir tahun 2009 tepatnya pada 22 Desember 2009 di Curug Dago Bandung oleh LSM Penjelajah Rimba dan Pendaki Gunung (CAMEL) dan Dinas Kehutanan Tahura Ir.H Juanda, serta oleh salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Bandung Institut Teknologi Nasional (ITENAS). Awalnya komunitas CRP merupakan salah satu program kerja dari Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung alam bernama CAMEL yang telah berdiri selama lebih dari 30 tahun lamanya sejak 5 Mei 1982 yang sekretariatnya berada di daerah Dago Bandung. Program tersebut berupa kegiatan konservasi alam dengan nama Cikapundung Rehabilitation Program. Program rehabilitasi Sungai Cikapundung tersebut dilakukan oleh anggota CAMEL atas dasar keprihatinan terhadap Sungai Cikapundung yang kondisinya semakin hari semakin memprihatinkan. Pada


(39)

akhirnya program CRP tersebut terpisah dari LSM CAMEL dan menjadi sebuah komunitas tersendiri. Komunitas CRP senantiasa mengajak masyarakat di sepanjang Sungai Cikapundung untuk selalu berpartisipasi aktif menjaga dan melestarikan Sungai Cikapundung.

Alasan utama mengapa program kerja LSM CAMEL tersebut djadikan sebuah komunitas adalah karena nama program itu sendiri, dimana ada keyakinan tersendiri dari anggota komunitas CRP bahwa dengan mengusung nama Cikapundung sebagai suatu kelembagaan dinilai dapat menarik dan menggerakkan massa yang banyak untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan Sungai Cikapundung, serta agar komunitas CRP dapat dengan mudah dan cepat dikenal oleh masyarakat luas khususnya masyarakat di bantaran Sungai Cikapundung, karena pada umumnya LSM-LSM lingkungan yang ada saat ini terlalu mengusung nama lembaga/organisasinya masing-masing, namun sangat kurang pada aksi di lapangan. Komunitas CRP sendiri tidak menyangka bahwa kegiatannya menimbulkan gerakan masyarakat yang besar di sepanjang Sungai Cikapundung, hal ini seperti yang dikemukakan oleh salah satu anggota komunitas CRP (Dre, 40 thn).

“Pada awalnya kita semua hanya sekelompok orang pecinta alam dan pegiat lingkungan yang sering bermain di Sungai Cikapundung dengan mengambil sampah menggunakan jaring, namun semakin lama semakin banyak orang-orang yang mendukung bahkan mengikuti kegiatan kami ini” (Dre, 40 thn).

Bermodalkan kekuatan idealisme dan sebagai dharma bakti dalam mengekpresikan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 23 tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, peraturan pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, dan peraturan pemerintah No. 9 thn 2005 tentang Perlindungan Hutan, maka komunitas CRP mensosialisasikan gerakan nyata di lapangan berupa gerakan bersih-bersih Sungai Cikapundung yang sekaligus menjadi awal terjalinnya hubungan masyarakat dan aparatur pemerintah mulai dari tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan, bahkan ketingkat Walikota dan Gubernur.


(40)

Komunitas CRP merupakan pencetus gerakan rehabilitasi Sungai Cikapundung, hingga saat ini sudah terdapat ± 42 komunitas yang melakukan kegiatan serupa komunitas CRP yang ditempatkan di beberapa posko/titik yang berbeda di sepanjang Sungai Cikapundung dengan berbagai nama komunitas yang berbeda-beda. Terbentuknya 42 komunitas pegiat sungai ini, dimulai saat komunitas CRP melakukan kegiatan pengambilan sampah dari Sungai Cikapundung hampir setiap harinya. Komunitas CRP sangat rajin melakukan pendekatan ke berbagai aparat pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait seperti lurah, RW, RT, karang taruna di berbagai RW di sepanjang Sungai Cikapundung untuk mensosialisasikan gerakan aksi bersih kalinya. Anggota pegiat Sungai Cikapundung sendiri kurang lebih telah berjumlah 400 orang yang terdiri dari berbagai kalangan, tua, muda, kaya, miskin, dan dari berbagai jenis pekerjaan. Terbentuknya 42 komunitas pegiat Sungai Cikapundung inilah yang menjadi awal mula terbentuknya kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung,dimana dalam setiap kegiatan terkait lingkungan, khususnya Sungai Cikapundung senantiasa melibatkan partisipasi dari 42 komunitas pegiat sungai lainnya dengan komunitas CRP sebagai induk utama kelembagaan partisipatoris tersebut. Berikut merupakan struktur organisasi komunitas CRP pada tahun 2011.

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Komunitas CRP

Dewan Penasehat

Ketua

Sekretaris Umum

Wakil Ketua Ketua

Hubungan Masyarakat

Koordinator Lapangan


(1)

Anggota DPR RI Mengikuti Kegiatan Sungai Cikapundung Menjadi Tempat Penghijauan Komunitas CRP Wisata Bagi Masyarakat Setempat

Kondisi Sungai Cikapundung Sebelum Sampah yang Dibuang Masyarakat Adanya Kelembagaan Partisipatoris ke Sungai Cikapundung

Kompos yang Dibuat oleh Komunitas CRP Kegiatan Pengambilan Sampah di Sungai Cikapundung oleh Komunitas CRP


(2)

clxxv

Penyuluhan Warga Bantaran Serta Diskusi Peternakan Sapi di Hulu Sungai Bersama Camat Sumur Bandung Mengenai Cikapundung

Permasalahan Sungai Cikapundung

Tempat Penyimpanan Kotoran Sapi Kotoran Sapi yang Diolah Menjadi Pupuk

Kotoran Sapi yang Dialirkan ke Sungai Salah Satu Pabrik Tahu yang Mengalirkan Cikapundung dan Cikawari Limbah ke Sungai Cikapundung


(3)

Warga RT 03/RW 08 Bantaran Lebak Siliwangi Bandung yang Sudah Tidak Lagi Membuang Sampah ke Sungai Cikapundung

Ketua RW 08 Bersama Melakukan Susur Sungai untuk Memantau Kondisi Sungai Cikapundung

Warga RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi Mahasiswa ITB yang Mengikuti Kegiatan yang Menonton Aksi Susur Sungai Kerja Bakti dan Susur Sungai Cikapundung Cikapundung, Salah Satu Bentuk Bersama Komunitas Zero

Penyadaran Warga Bantaran Sungai Cikapundung Secara Tidak Langsung.


(4)

clxxvii

Logo Komunitas CRP Sosialisasi Rekor Muri Melalui Pemasangan Spanduk

\

Antusiasme warga Kota Bandung mengikuti acara Rekor Muri (Kukuyaan di Sungai Cikapundung)

Ketua Komunitas CRP bersama Walikota CRP bersama 42 Komunitas Sungai Bandung Menghadiri Rekor Muri Cikapundung lainnya mendapat (Kukuyaan Terbanyak) penghargaan Rekor Muri


(5)

kerusakan di daerah tersebut, maka akan mempengaruhi sub DAS yang lainnya, yaitu DAS bagian tengah dan hilir. Fenomena tersebut dapat menyebabkan bencana alam seperti banjir, longsor, erosi, dan sedimentasi di daerah hilir.

Kerusakan hulu DAS yang terjadi saat ini tidak terlepas dari tekanan ekonomi dan tekanan penduduk yang menyebabkan padatnya pemukiman dan perilaku yang merusak lingkungan, dimana kesadaran masyarakat yang masih rendah mengenai DAS. Di satu sisi, ketidakjelasan peraturan dan ketidaktegasan aturan menjadi penyebab utama kerusakan di bagian hulu DAS. Di sisi lain, kerusakan DAS tidak hanya tanggung jawab pemerintah daerah semata. Ketidakmampuan pemerintah dalam hal biaya, sumberdaya manusia, maupun hal teknis lainnya harus diimbangi dengan kesadaran masyarakat khususnya masyarakat di sepanjang hulu DAS untuk berperilaku menjaga lingkungannya. Ketidakberfungsian kelembagaan yang ada di masyarakat selama ini menjadi salah satu penyebab kegagalan program-program rehabilitasi yang dicanangkan oleh pemerintah setempat. Pada kenyataannya, kelembagaan yang ada di masyarakatlah yang memiliki peran besar untuk mensosialisasikan sekaligus menjadi perpanjangan tangan untuk mensukseskan program-program rehabilitasi yang dicanangkan oleh pemerintah setempat.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, tujuan dari penelitian ini terangkum dalam dua pertanyaan. Pertama, untuk mengetahui pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Kedua, untuk mengetahui efektivitas kelembagaan partisipatoris dalam mengubah sikap dan perilaku masyarakat di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung).

Penelitian ini dilakukan di Hulu DAS Citarum yaitu di Sub DAS Cikapundung. Responden dipilih dengan menggunakan teknik random sampling dengan memilih 60 responden dari dua lokasi yang berbeda yaitu 30 responden warga RT 02/RW 01 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Bandung, dimana kawasan tersebut merupakan kawasan hulu Sungai Cikapundung dan 30 responden dari RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong, Bandung, yaitu sudah termasuk kawasan tengah Sungai Cikapundung. Penelitian ini dilakukan dari bulan April hingga Juli 2011. Data primer diperoleh melalui penyebaran kuisioner kepada responden dan wawancara mendalam dilakukan kepada informan. Data sekunder diperoleh dari instansi/lembaga terkait lainnya. Kemudian data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan tabel frekuensi untuk data satu variabel dan tabel silang untuk data dua variabel.


(6)

iv

Hasil penelitian menunjukan bahwa kelembagaan partisipatoris di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) terbentuk karena adanya kerjasama serta sinergisitas masyarakat Cikapundung untuk bersama-sama menanggulangi masalah yang terjadi di Sungai Cikapundung dengan membentuk komunitas-komunitas pegiat sungai. Kerusakan Sungai Cikapundung sendiri disebabkan karena perilaku masyarakat dan swasta yang tidak sadar serta tidak peduli dengan lingkungan, dimana masyarakat dan swasta memandang DAS sebagai komoditas yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah rumah tangga dan pembuangan limbah industri. Peran kelembagaan partisipatoris tersebut adalah mensosialisasikan sekaligus mengontrol terjaganya kebersihan dan kelestarian Sungai Cikapundung. Adanya berbagai kegiatan kelembagaan partisipatoris baik kegiatan di hulu maupun di tengah Sungai Cikapundung berdampak pada perubahan sikap dan perilaku masyarakat di bantaran Sungai Cikapundung untuk tidak lagi membuang sampah atau limbah rumah tangganya ke sungai.

Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa partisipasi warga di tengah Sungai Cikapundung (Kelurahan Lebak Siliwangi) lebih baik dibandingkan dengan di hulu Sungai Cikapundung (Kelurahan Dago) dalam kegiatan-kegiatan lingkungan yang berhubungan dengan Sungai Cikapundung. Sementara itu, kelembagaan partisipatoris hingga saat ini belum dapat mengubah perilaku swasta yang memanfaatkan Sungai Cikapundung sebagai suatu komoditas khususnya di wilayah Kabupaten Bandung Barat, hal ini terjadi karena pihak swasta di hulu Sungai Cikapundung tidak dapat lepas dari kegiatan ekonomi yang merusak sungai sebagai penunjang kehidupan warga di hulu Sungai Cikapundung khususnya daerah Kabupaten Bandung Barat. Saat ini, pengelolaan Hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) masih terkotak-kotak dan ditentukan oleh batas-batas administratif semata, sehingga yang terjadi adalah semangat untuk merevitaslisasi Sungai Cikapundung hanya terlihat setelah memasuki Kota Bandung sedangkan di wilayah Kabupaten sendiri kegiatan pengrusakan sungai masih terus berlangsung.