32
2.13.2. Tegangan termal arah radial Besarnya tegangan radial akibat beban termal
σ
Ht
σ
Rt
= E
α∆T 21
− v ln� r
o
r
i
� � �−ln�
r
o
r � � −
r
i 2
r
o 2
− r
i 2
�1 − r
o 2
r
2
� ln� r
o
r
i
� �� 2.16 dapat ditulis dengan
persamaan:
2.13.3. Tegangan termal arah aksial Besarnya tegangan radial akibat beban termal
σ
Ht
dapat ditulis dengan persamaan:
σ
Zt
= E
α∆T 21
− v ln� r
o
r
i
� � �1 − 2 ln�
r
o
r � � −
2r
i 2
r
o 2
− r
i 2
ln �
r
o
r
i
� �� 2.17
2.14. Regangan Termal pada Silinder
Regangan termal arah tangensial ε
Ht
, arah radial
ε
Rt
, dan aksial
ε
Zt
akibat beban termal berturut-turut dapat ditulis dengan pers. 2.18, 2.19, dan 2.20
berikut [4, 27, 30]: ε
Ht
= 1
E [
σ
Ht
− vσ
Rt
+ σ
Zt
] + α∆T … … … … … 2.18
ε
Rt
= 1
E [
σ
Rt
− vσ
Ht
+ σ
Zt
] + α∆T … … … … … 2.19
ε
Zt
= 1
E [
σ
Zt
− vσ
Rt
+ σ
Ht
] + α∆T … … … … … 2.20
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
2.15. Thermal Stress pada Silinder
Thermal stress merupakan penggabungan antara beban elastis ditambah dengan beban termal. Jika silinder menerima pembebanan kombinasi antara termal
dan mekanik maka terjadi thermal stress pada dindingnya [4, 18, 27, 30].
2.15.1. Thermal stress arah tangensial Thermal stress
akibat beban kombinasi arah tangensial σ
Ht
σ
Hts
= P
i
r
i 2
r
o 2
− r
i 2
�1 + r
o 2
r
2
� + E
α∆T 21
− v ln� r
o
r
i
� � �1 − ln�
r
o
r � � −
r
i 2
r
o 2
− r
i 2
�1 + r
o 2
r
2
� ln� r
o
r
i
� �� …. 2.21
dapat ditulis dengan persamaan:
2.15.2. Thermal stress arah radial
Thermal stress akibat beban kombinasi arah radial σ
Rts
σ
Rts
= P
i
r
i 2
r
o 2
− r
i 2
�1 − r
o 2
r
2
� + E
α∆T 21
− v ln� r
o
r
i
� � �−ln�
r
o
r � � −
r
i 2
r
o 2
− r
i 2
�1 − r
o 2
r
2
� ln� r
o
r
i
� �� …. 2.22
, dapat ditulis dengan persamaan:
2.15.3. Thermal stress arah aksial
Thermal stress akibat beban kombinasi arah aksial σ
Zts
σ
Zts
= P
i
r
i 2
r
o 2
− r
i 2
�1 + r
o 2
r
2
� + E
α∆T 21
− v ln� r
o
r
i
� � �1 − 2ln�
r
o
r � � −
2r
i 2
r
o 2
− r
i 2
ln �
r
o
r
i
� �� … … … 2.23
, dapat ditulis dengan persamaan:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
2.15.4. Thermal stress maksimum
σ
Hts
= E
α∆T 1
− v +
� 2P
i
r
i 2
r
o 2
− r
i 2
� … … … … … … … … … 2.24 Bagian luar, r=ro
Bagian dalam, r=ri σ
Hts
= E
α∆T 1
− v + P
i
� r
o 2
+r
i 2
r
o 2
− r
i 2
� … … … … … … … …. 2.25
2.16. Teori Kegagalan FailureYield Criteria
Jika suatu material yang ulet dibebani melewati batas elastis, ia akan memulur akibat deformasi plastis. Material yang gagal akibat deformasi plastis yang kecil
dikatatan rapuh brittle. Respon material yang tidak bergantung pada pembebanan atau deformasi dinamakan rate-independent. Jika sebaliknya, maka dinamakan rete-
dependent. Kebanyakan material logam menunjukkan rete-independent pada
temperatur 14 atau 13 titik cairnya dan laju regangan rendah [31, 32, 38]. 2.16.1. Teori kegagalan von-Mises
Pada umumnya material menunjukkan fenomena tegangan multiaksial, sehingga kriteria mulur digunakan untuk menghubungkan tegangan multiaksial
dengan tegangan uniaksial. Teori kegagalan von-Mises memprediksi bahwa pemuluran akan terjadi jika tegangan equivalen melebihi tegangan mulur uniaksial,
dirumuskan dengan [31, 32, 38]:
� �
1
− �
2 2
+ �
2
− �
3 2
+ �
3
− �
1 2
2 �
1 2 ⁄
≥ �
�
. … …. 2.26
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
Plot dua demensi tegangan prinsipal, seperti tampak pada gambar 2.13 a menunjukkan permukaan mulur berbentuk elip. Sedangkan plot tiga dimensi, gambar
2.13 b permukaan mulur adalah silinder. Silinder ditandai dengan sumbu σ
1
= σ
2
= σ
3
. Jika tegangan berada di dalam silinder, maka tidak terjadi pemuluran.
a dua dimensi b tiga dimensi
Gambar 2.13. Konsep tegangan equivalen von-Mises
2.16.2. Hardening rule
S
uatu material akan mulai gagal jika tegangan equivalen melebihi kekuatan mulurnya. Dengan kata lain tidak boleh ada tegangan yang melebihi diameter
lingkaran, seperti tampak pada gambar 2.14. Tetapi, hardening rule merespon pemuluran ini dengan perubahan ukuran, bentuk, dan titik pusat komponen.
Hardening rule menentukan pemuluran jika beban ditambah atau dibalik [32, 39].
Gambar 2.14. Kriteria pemuluran yielding
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
Hardening rule dibagi menjadi dua tipe yaitu; isotropic hardening, dan
kinematic hardening. Pada isotropic hardening, seperti tampak pada gambar 2.15,
permukaan mulur setelah beban ditambah berekspansi seragam ke semua arah aliran plastis plastic flow. Isotropic hardening biasa digunakan untuk simulasi dengan
regangan yang besar atau pembebanan yang proporsional. Model ini tidak cocok untuk pembebanan berulang cyclic loading.
Gambar 2.15. Isotropic hardening
Sedangkan pada kinematik hardening, seperti tampak pada gambar 2.16, ukuran permukaan mulur setelah beban ditambah tetap konstan dan bertranslasi ke
arah mulur. Kebanyakan material logam memiliki prilaku kinematic hardening untuk regangan yang kecil dan pembebanan berulang
[31, 32, 39].
Gambar 2.16. Kinematic hardening.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
2.17. Simulasi Numerik